BAB SEMBILAN
DR.BAUERSTEIN
Saya belum
mendapat kesempatan baik untuk menyampaikan pesan Poirot kepada Lawrence. Tapi
ketika saya sedang berjalan-jalan di halaman untuk mendinginkan emosi, saya
melihat Lawrence di lapangan kriket, memukul-mukul dua buah bola kuno dengan
tongkat kuno—tanpa sasaran yang jelas. Saya rasa sekaranglah saya harus bicara.
Sebenarnya saya tidak mengerti pesan tersebut. Tapi saya akan mendengar
baik-baik jawaban Lawrence. Mungkin dari situ saya akan dapat menarik
kesimpulan.
"Ah kebetulan.
Dari tadi aku cari-cari," kata saya berbohong.
"Benarkah?"
"Ya. Ada
pesan dari Poirot."
"Ya?"
"Aku harus
mengatakannya bila tak ada orang lain." Saya melirik dia untuk melihat reaksinya.
Tetapi ekspresinya tidak berubah. Mungkinkah dia sudah mengerti apa yang akan
saya katakan?
"Apa
pesannya?"
"Begini,"
saya mencoba mendramatisir suasana. " 'Carilah cangkir kopt ekstra itu,
dan kau akan tenang kembali.' "
"Apa
maksudnya?" tanya Lawrence dengan polos.
"Kau tidak
mengerti?" tanya saya.
"Sama
sekali tidak. Kau?"
Saya terpaksa
menggelengkan kepala.
"Cangkir
kopi ekstra yang mana?"
"Aku tak
tahu."
"Sebaiknya
dia tanya Dorcas atau salah satu pelayan yang lain, kalau dia ingin tahu tentang
cangkir-cangkir kopi. Mereka lebih tahu karena itu urusan mereka dan bukan urusanku.
Aku tak tahu apa-apa tentang cangkir kopi, kecuali cangkir-cangkir yang belum
pernah terpakai itu. Setelan Worcester yang indah sekali. Kau bukan peneliti karya
seni, kan?"
Saya
menggelengkan kepala.
"Sayang
sekali. Benar-benar porselen yang indah—melihatnya saja kita sudah senang, apalagi
memegangnya."
"Jadi apa
yang harus kukatakan pada Poirot?"
"Katakan
saja aku tidak mengerti pesannya."
"Baiklah."
Saya sedang
berjalan kembali menuju rumah, ketika tiba-tiba dia berteriak, "He, dia bilang
apa pada pesannya tadi? Kalimat terakhir. Coba ulangi sekali lagi."
" 'Carilah
cangkir kopi ekstra itu, dan kau akan tenang kembali'. Kau benar-benar tidak
tahu?" tanya saya mendesak.
Dia
menggelengkan kepalanya,
"Tidak,"
katanya bingung.
"Seandainya
saja aku tahu."
Kami mendengar
gong berbunyi dan masuk ke dalam rumah bersama-sama. Poirot yang diminta John
untuk ikut makan siang bersama sudah menunggu kami di meja. Tanpa
diperingatkan, kami semua menghindari percakapan tentang tragedi yang baru lalu.
Tetapi setelah biskuit dan keju diedarkan dan Dorcas meninggalkan ruangan, Poirot
tiba-tiba saja mendekati Nyonya Cavendish dan berkata, "Maaf, Nyonya,
seandainya saya mengingatkan kembali pada hal-hal yang tidak menyenangkan. Saya
punya beberapa ide kecil dan ingin menanyakan satu-dua hal pada Nyonya."
"Dengan
senang hati, Tuan Poirot."
"Anda baik
sekali. Anda pernah mengatakan bahwa pintu yang menghubungkan kamar Nyonya
Inglethorp dengan kamar Nona Cynthia digerendel, bukan?"
"Ya. Saya
mengatakan hal itu pada waktu pemeriksaan," jawab Nyonya Cavendish heran.
"Digerendel?"
"Ya."
Dia kelihatan bingung.
"Maksud
saya, Anda yakin bahwa pintu itu digerendel, tidak sekadar dikunci?"
"Oh, saya
mengerti yang Anda maksud. Saya tak tahu. Saya mengatakan pintu itu digerendel—
maksud saya dikunci, dan saya tak bisa membukanya. Tapi saya yakin bahwa semua
pintu digerendel dari dalam."
"Tapi ada
kemungkinan bahwa pintu itu hanya terkunci?"
"Oh,
ya."
"Dan Anda
sendiri tidak memperhatikan hal itu ketika masuk ke kamar Nyonya Inglethorp?"
"Saya—saya
rasa digerendel."
"Tapi Anda
tidak memperhatikannya?"
"Tidak.
Saya tidak memperhatikan."
"Saya melihatnya,"
tiba-tiba Lawrence menyela. "Saya kebetulan melihat bahwa pintu itu
digerendel"
"Ah, kalau
begitu sudah pasti," kata Poirot dengan wajah kecewa.
Saya merasa
senang karena 'ide-ide kecil' Poirot ternyata tak ada hasilnya. Setelah makan
siang, Poirot minta saya menemaninya pulang. Saya menyanggupinya dengan
setengah hati.
"Kau
marah, ya?" kata Poirot ketika kami berjalan melewati kebun.
"Tidak,"
jawab saya dingin.
"Bagus.
Aku merasa lega."
Ini bukan hal
yang saya harapkan. Saya sebetulnya ingin agar dia merasakan sikap saya yang
kaku. Tapi saya malah merasakan kehangatan sikap Poirot. Hati saya meleleh.
"Aku telah
menyampaikan pesanmu pada Lawrence."
"Apa
katanya? Dia bingung sekali, ya?"
"Ya. Aku
yakin dia tidak mengerti."
Saya menyangka
Poirot akan kecewa, tapi ternyata dia mengatakan bahwa dia sudah menduga
demikian dan dia merasa senang. Tapi keangkuhan saya membuat saya menahan diri
untuk bertanya lebih lanjut. Poirot beralih ke hal lain. "Mengapa Nona
Cynthia tidak makan siang hari ini?
"Dia di
rumah sakit. Melanjutkan pekerjaannya."
"Ah, gadis
itu rajin sekali. Dan cantik. Seperti gambar-gambar yang pernah aku lihat di
Itali. Aku ingin melihat kamar obatnya. Kira-kira dia keberatan tidak,
ya?"
"Aku rasa
dia akan senang sekali. Tempat kecil itu cukup menarik."
."Apa dia
selalu di situ setiap hari?"
"Hari Rabu
dia libur. Hari Sabtu dia pulang untuk makan siang. Itu saja hari liburnya."
"Akan aku
ingat-ingat. Wanita-wanita sekarang sangat maju. Dan Nona Cynthia termasuk
wanita cerdas—ah, dia memang pandai,"
"Ya, Dia
telah lulus ujian yang sangat ketat."
"Tentu.
Pekerjaannya juga menuntut tanggung jawab. Ada racun yang keras di kamar obatnya?"
"Ya. Dia
pernah menunjukkannya kepadaku Racun itu terkunci di dalam sebuah lemari kecil.
Mereka harus hati-hati. Kunci lemari itu selalu mereka simpan sebelum pergi."
"Tentu
saja. Apa lemari itu dekat dengan jendela?"
"Tidak. Di
sisi lain ruangan itu. Mengapa?"
Poirot
mengangkat bahunya. "Hanya bertanya. Kau mau masuk?" Kami telah
sampai di pondok Poirot.
"Terima
kasih. Sebaiknya aku kembali saja. Aku mau lewat jalan memutar di hutan."
Hutan
sekeliling Styles memang indah. Saya berjalan dengan santai di taman terbuka yang
sejuk. Suara burung yang mencicit memberi rasa damai di hati. Saya berjalan melewati
jalan setapak dan akhirnya duduk di kaki sebatang pohon besar. Perasaan saya
menjadi damai, hati saya bertambah sejuk. Saya juga memaafkan Poirot. Akhirnya
saya menguap. Saya memikirkan pembunuhan itu, dan saya tertegun karena rasanya
kejadian itu seperti tak nyata dan jauh.
Saya menguap
lagi. Barangkali juga, pikir saya, hal itu tak pernah terjadi. Tentu itu hanya
sebuah mimpi buruk. Yang terjadi adalah Lawrence membunuh Alfred Inglethorp
dengan tongkat kriket. Tapi aneh. Mengapa John berteriak-teriak, "Tidak,
tidak bisa!" Saya terbangun karena kaget. Saya segera sadar bahwa saya
dalam posisi yang sulit. Karena, kira-kira empat meter di depan saya, John dan
Mary Cavendish berdiri berhadapan dan kelihatannya sedang bertengkar. Rupanya
mereka tidak tahu bahwa saya ada di situ. John mengulangi kata - kata yang
telah membuat saya terbangun. "Mary, pokoknya tidak bisa. Aku tak setuju."
Suara Mary
terdengar tenang dan dingin, "Apa kau punya hak untuk mencampuri
tindakanku?"
"Kita akan
digunjingkan orang sedesa! Ibu baru saja dimakamkan, dan sekarang kau main-main
dengan laki-laki itu."
"Oh."
Mary mengangkat bahu. "Rupanya kau cuma memikirkan gosip di desa!"
"Bukan itu
saja. Aku sudah muak melihat laki-laki itu mondar-mandir. Dia kan polisi Yahudi."
"Setitik
darah Yahudi sih tak apa-apa. Malah membuat hidup lebih bergairah daripada..."
—Dia memandang suaminya— "ketololan seorang Inggris yang dingin." Saya
melihat api di matanya dan es dalam suaranya. Tak heran bila wajah John menjadi
merah padam.
"Mary!"
"Ya?"
Nada suaranya tak berubah. Akhirnya John menjadi lemah. "Jadi kau tetap
akan menemui Bauerstein, walaupun aku sudah mengatakan tidak suka?"
"Kalau aku
mau."
"Kau
menentangku?"
"Tidak.
Tapi aku tak bisa menerima kalau kau menganggap bahwa kau punya hak untuk
mencela perbuatanku. Apa kau tidak punya teman yang mungkin membuatku benci?"
John terdiam.
Warna merah meyusut dari wajahnya. "Apa maksudmu?" tanyanya dengan
suara gemetar.
"Kau
mengerti," kata Mary tenang. "Kau mengerti, bukan, bahwa kau tak
punya hak untuk mendikte dalam memilih teman?"
John memandang
Mary dengan wajah memelas. "Tak ada hak? Apakah aku tak punya hak, Mary?
Mary—" Tangannya terulur. Suaranya gemetar.
Sesaat saya
mengira Mary akan merasa kasihan dan menyerah. Wajahnya menjadi lembut, tapi
tiba-tiba dia berpaling dan berseru, "Tidak!"
Dia terus saja
berjalan ketika John meloncat di belakangnya dan memegang lengannya, "Mary,"
katanya dengan suara tenang, "apa kau jatuh cinta pada si Bauerstein
itu?"
Mary menjadi
ragu-ragu. Tiba-tiba ekspresi wajahnya menjadi aneh, ada sesuatu yang
membuatnya tampak muda dan abadi—dalam senyumnya itu. Dia
membebaskan lengannya dari tangan John dan pelan-pelan berkata seenaknya, "Barangkali."
Dengan cepat
dia berjalan pergi meninggalkan John yang berdiri seperti patung. Saya berdiri
dan berjalan perlahan-lahan ke arah John dan dengan sengaja menginjak beberapa
ranting kering. John memalingkan kepalanya. Untunglah dia mengira bahwa saya
baru saja ke tempat itu.
"Halo,
Hastings! Baru mengantar Poirot, ya? Orang itu aneh. Benarkah dia hebat?"
"Dia
adalah salah seorang detektif yang paling hebat pada zamannya."
"Oh, kalau
begitu dia memang bisa diharapkan. Ah, dunia memang buruk."
"Kau
berpendapat begitu?" tanya saya.
"Ya!
Pertama, kasus kematian itu. Orang-orang Scotland Yard keluar-masuk rumah seenaknya!
Muncul di sana-sini begitu saja. Lalu berita di koran-koran dengan tulisan sebesar
gajah—dasar wartawan usil! Kau tahu, ada segerombolan orang mengawasi kami di
dekat pintu gerbang tadi pagi. Seperti Ruang Horor-nya Madame Tussaud saja.
Menyebalkan!"
"Sabar,
John," kata saya menghibur. "Tak akan selamanya begitu."
"Benarkah?
Ini bisa berlangsung cukup lama sehingga kami tidak mungkin lagi berjalan
dengan kepala tegak."
"Tidak,
tidak. Angan-anganmu sudah tak sehat."
"Dikejar-kejar
wartawan dan dipelototi orang-orang bego memang bisa membuat orang jadi gila!
Tapi ada yang lebih buruk dari itu."
"Apa?"
John
merendahkan suaranya, "Kau tak pernah berpikir, Hastings aku serasa
dikejar-kejar mimpi buruk—ingin tahu siapa yang melakukannya? Kadang-kadang aku
merasa bahwa kejadian itu merupakan suatu kecelakaan saja. Karena—karena—siapa
sih yang melakukannya? Inglethorp tak masuk hitungan lagi. Jadi tak ada lagi
yang melakukannya—kecuali— salah satu dari kita "
Ya, memang
seperti sebuah mimpi buruk! Salah satu dari kita! Ya, memang, kecuali— Tiba-tiba
saja muncul sebuah pikiran di kepala saya. Dengan cepat saya menganalisa. Memang
tambah lama tambah jelas. Kelakuan Poirot yang misterius.
Petunjuk-petunjuknya—cocok! Tolol, mengapa hal itu tak perhah terpikir oleh
saya? Kalau gagasan ini benar, kami semua pasti akan lega.
"Tidak,
John," kata saya.
"Pasti
bukan salah satu dari kita. Tak mungkin."
"Ya. Tapi siapa
lagi?"
"Kau tak
bisa menebak?"
"Tidak."
Saya memandang
berkeliling dengan hati-hati, lalu berbisik. "Dokter Bauerstein!"
"Tak
mungkin!"
"Kenapa
tidak?"
"Apa yang
didapatnya dengan kematian ibuku?"
"Memang
benar. Tapi Poirot berpikir begitu."
"Poirot?
Benar? Bagaimana kau tahu?"
Saya ceritakan
reaksi Poirot ketika dia tahu bahwa Dr. Bauerstein datang ke Styles pada hari
kematian ibunya sambil menambahkan, "Dia mengatakan dua kali, 'Segalanya berubah.'
Aku berpikir-pikir terus sesudah itu. Kau tahu kan bagaimana Inglethorp
mengatakan dia meletakkan kopi di ruang depan? Saat itu kan Dokter Bauerstein
datang. Ada kemungkinan pada waktu Inglethorp menyuruhnya masuk, dia memasukkan
sesuatu ke dalam cangkir kopi itu."
"Hm.
Terlalu berbahaya," kata John.. "Ya, tapi mungkin."
"Bagaimana
dia tahu bahwa kopi itu adalah kopi Ibu? Aku rasa tidak masuk akal."
"Kau
benar. Memang tidak begitu kejadiannya. Dengar." Saya menceritakan tentang
sampel coklat yang dibawa Poirot untuk tapi saya teringat akan satu hal lain
dianalisa, John menyela "Tapi Bauerstein kan sudah menganalisanya?"
"Justru
itulah. Sampai sekarang aku tidak mengerti. Kau mengerti maksudku? Bauerstein
telah menganalisa—justru itulah. Seandainya Bauerstein adalah pelakunya, mudah
sekali baginya untuk mengganti contoh coklat itu. Dia tinggal mengirimnya untuk
dianalisa. Jelas mereka tak menemukan strychnine! Tapi tak seorang pun yang
punya pikiran untuk mencurigai Bauerstein—kecuali Poirot."
"Bagaimana
dengan rasa pahit yang tak bisa disembunyikan coklat?"
"Kita kan
percaya saja pada omongannya. Dan ada kemungkinan-kemungkinan lain. Dia kan
diakui sebagai salah seorang ahli toksikologi—"
"Salah
seorang apa? Coba ulangi."
"Dia tahu
lebih banyak tentang racun daripada kita. Barangkali saja dia menemukan suatu
cara untuk membuat strychnine tidak ada rasanya. Atau barangkali bukan strychnine,
tetapi racun lain yang memberikan gejala peracunan yang sama,"
"Hm, ya
barangkali," kata John. "Tapi bagaimana dia mencampurnya ke dalam coklat?
Kan tidak diletakkan di bawah?"
"Ya,
benar," saya mengakui dengan enggan.
Tiba-tiba
sebuah kemungkinan hinggap di kepala saya. Saya berdoa semoga kemungkinan itu
tidak terpikirkan oleh John. Saya meliriknya. Dia sedang mengerutkan dahinya.
Saya menarik napas lega karena kemungkinan yang muncul di benak saya adalah bahwa
Dr. Bauerstein mungkin punya kaki-tangan. Tapi rasanya tidak mungkin! Tentunya
seorang wanita secantik Mary Cavendish tak akan meracun orang.
Tiba-tiba saya teringat
percakapan pertama kami ketika saya baru datang. Saya teringat pada pancaran
matanya ketika dia mengatakan bahwa racun adalah senjata seorang wanita. Betapa
gelisahnya dia pada hari Selasa malam itu! Apakah Nyonya Inglethorp menemukan
sesuatu antara dia dengan Bauerstein dan mengancamnya untuk memberitahukan hal
itu pada suaminya? Mungkinkah pembunuhan itu dilakukan untuk mencegah ancaman
itu? Kemudian saya teringat pada percakapan misterius antara Poirot dengan Nona
Howard. Apakah ini yang mereka maksud? Inikah kenyataan mengerikan yang tak ingin
dipercayai Evelyn Howard? Ya. Semuanya cocok. Tak heran kalau Nona Howard igin
agar hal itu 'ditutupi' saja. Sekarang saya mengerti kalimatnya yang tak
selesai, "Emily sendiri—" Dan dalam hati saya sependapat dengannya.
Nyonya Inglethorp pasti lebih suka menutupi hal semacam itu daripada membiarkan
nama Cavendish tercemar.
"Ada satu
hal lain," kata John tiba-tiba. Suaranya membuat saya malu. "Hal lain
yang membuatku ragu-ragu apabila pendapatmu itu benar."
"Apa
itu?" tanya saya sambil bersyukur karena dia tidak menyinggung lagi
masalah peracunan dalam coklat itu.
"Fakta
bahwa Bauerstein menginginkan agar jenazah Ibu diperiksa. Dia tak perlu memintanya
bila memang dia pelakunya. Si Wilkins bisa memberi alasan bahwa kematian itu
disebabkan oleh serangan jantung."
"Ya. Tapi
kita tidak tahu," kata saya ragu-ragu. "Barangkali dia pikir akan
lebih aman kemudian. Mungkin ada orang yang akan bicara tentang itu. Lalu yang
berwajib minta agar jenazah digali kembali. Akhirnya peracunan itu akan
ketahuan juga dan dia akan berada di posisi yang salah karena tak seorang pun
percaya bahwa seseorang dengan reputasi seperti dia bisa tidak mengenali
gejala-gejala peracunan yang kelihatan jelas"
"Ya, memang
mungkin," kata John. "Walaupun begitu, aku tidak melihat motif yang
menyebabkan dia melakukan hal itu."
Saya gemetar. "Ah,"
kata saya, "aku kan belum tentu benar. Dan jangan lupa. Ini di antara kita
saja."
"Oh—tentu
saja. Tentu saja." Kami bercakap-cakap sambil berjalan. Akhirnya kami sampai
di gerbang kecil yang menuju kebun. Kami mendengar suara orang bercakap - cakap.
Rupanya teh sore hari ini dihidangkan di bawah pohon sycamore, seperti di hari kedatangan
saya. Cynthia sudah datang dari rumah sakit. Saya duduk di dekatnya dan
menyampaikan keinginan Poirot untuk mengunjungi ruang obatnya.
"Benarkah?
Aku akan senang sekali. Sebaiknya dia datang pada waktu minum teh. Nanti aku
bicarakan dengan dia. Aku senang sekali padanya. Tapi dia aneh. Dia membuka
brosku dan memasangnya lagi di dasiku karena katanya letaknya miring."
Saya tertawa. "Dia
memang begitu."
Kami tertawa. Kemudian
kami berdiam sesaat. Sambil memandang ke arah Mary Cavendish, Cynthia berbisik,
"Tuan Hastings."
"Ya?"
"Setelah
minum aku ingin bicara dengan Anda."
Pandangannya
pada Mary membuat saya berpikir. Saya merasa bahwa keduanya kurang cocok. Untuk
pertama kali saya berpikir tentang masa depan gadis itu. Nyonya Inglethorp
tidak memberi warisan apa-apa untuknya. Tapi John dan Mary pasti akan memintanya
untuk tinggal bersama mereka—paling tidak sampai perang berakhir. Saya tahu
bahwa John sayang padanya dan tak akan membiarkan dia pergi. John, yang tadi
masuk ke dalam rumah, sekarang ke luar. Wajahnya yang biasanya tenang itu
kelihatan menahan marah.
"Dasar
detektif brengsek! Aku tak tahu apa yang mereka cari! Keluar-masuk kamar,
mengobrak-abrik barang-barang. Ini keterlaluan. Rupanya ketika kita tak di
rumah mereka menggunakan kesempatan itu sebaik - baiknya. Aku akan bicara
dengan si Japp!"
"Semua diintip,
diawasi," gerutu Nona Howard.
Lawrence
berpendapat bahwa mereka harus memperlihatkan bahwa mereka telah berbuat
sesuatu. Mary Cavendish tak berkata apa-apa. Setelah minum, saya mengajak
Cynthia berjalan-jalan. Kami menuju hutan.
"Nah, apa
yang ingin kaukatakan?" tanya saya setelah kami jauh dari mata yang menyelidik.
Dengan menarik napas panjang Cynthia menghempaskan tubuhnya di rumput dan membuka
topi. Cahaya matahari yang menembus celah-celah dedaunan membuat rambutnya
berkilauan laksana ombak emas.
"Tuan
Hastings—Anda selalu baik. Dan tahu banyak hal."
Saya baru sadar
sekarang betapa menariknya gadis itu. Lebih menarik daripada Mary yang pernah
mengatakan hal seperti itu.
"Jadi?"
kata saya ramah ketika dia menjadi ragu-ragu.
"Aku ingin
minta nasihat. Apa yang harus kulakukan?"
"Kaulakukan?"
"Ya. Bibi
Emily selalu mengatakan bahwa aku akan mendapat bantuan. Mungkin dia lupa atau
tidak berpikir bahwa dia akhirnya meninggal— pokoknya aku sekarang tidak
mendapat bantuan! Dan aku tak tahu mau apa. Apa sebaiknya aku pergi saja?"
"Ya,
Tuhan, jangan! Aku yakin mereka tak akan membiarkanmu pergi."
Cynthia
ragu-ragu sejenak. Tangannya yang mungil bermain-main dengan rumput. Lalu dia
berkata, "Nyonya Cavendish tidak menyukaiku. Dia benci padaku."
"Benci?"
seru saya heran.
Cynthia
mengangguk.
"Ya. Aku
tidak mengerti mengapa begitu, tapi benar—dia tidak suka padaku. Yang satu
juga."
"Kau
keliru," kata saya menghiburi "Sebaliknya, John sayang sekali
padamu."
"Ya, John.
Yang kumaksudkan Lawrence. Sebenarnya aku tak peduli kalau dia membenciku.
Tapi, sungguh mengerikan kalau tak ada orang yang benar-benar mencintai
kita."
"Ah, tapi
mereka sayang padamu, Cynthia. Kau keliru," kata saya bersungguh - sungguh.
"Ada John—dan Nona Howard—"
Cynthia
mengangguk dengan wajah sedih. "Ya. John sayang padaku. Dan Evie juga. Tapi
Lawrence tak pernah mau bicara padaku kalau tidak perlu. Dan Mary berusaha keras
untuk bersikap baik. Dia ingin agar Evie bersama mereka—dia malahan memohon-mohon.
Tapi dia tidak menghendaki aku tinggal di sini. Dan— dan—aku tak tahu harus
berbuat apa."
Tiba-tiba gadis
itu menangis. Saya tak tahu apa yang membuat saya bersikap begitu. Mungkin
karena kecantikannya yang begitu mempesona dalam cahaya matahari sore atau rasa
kasihan melihat seseorang yang begitu kesepian; atau rasa lega karena akhirnya
saya benar – benar bertemu dengan orang yang tak mungkin terlibat dalam tragedi
itu. Tanpa saya sadari saya pegang tangannya dan berkata, "Kau mau jadi
istriku, Cynthia?"
Rupanya saya
telah memberi obat manjur untuk air matanya. Dia berdiri, menarik tangannya,
dan berkata dengan tegas, "Jangan tolol!"
Saya merasa
tersinggung. "Aku tidak tolol. Aku hanya bertanya apakah kau mau menerima
kehormatan untuk menjadi istriku."
Cynthia tertawa
dan memanggil saya 'sayangku yang lucu'. "Kau sangat baik," katanya,
"tapi kau kan tahu bahwa kau tidak menginginkannya."
"Aku
ingin. Aku punya—"
"Sudahlah.
Kau sebenarnya tidak mengingin kannya—dan aku juga tidak."
"Baik
kalau begitu," kata saya kaku. "Tapi aku tak melihat sesuatu yang
lucu yang bisa ditertawakan dalam hal ini. Tak ada yang lucu kalau seorang pria
meminang seorang gadis."
"Kau
benar," kata Cynthia. "Pasti ada orang yang mau menerima lamaranmu
nanti. Terima kasih. Kau membuatku gembira. Sampai ketemu lagi."
Dengan wajah
cerah dia menghilang di balik pepohonan. Saya merasa kecewa. Tapi tiba-tiba
saja muncul pikiran untuk pergi ke desa menemui Bauerstein. Orang itu perlu
diamat-amati. Tapi dia tidak perlu tabu bahwa sedang dicurigai. Rasanya saya
bisa bersikap diplomatis. Saya pergi ke apartemen Bauerstein dan mengetuk
pintu. Seorang wanita tua membukakan pintu.
"Selamat
sore," kata saya ramah. "Bisa saya bertemu dengan Dokter
Bauerstein?" Dia memandang heran pada saya.
"Anda
belum tahu?"
"Tentang
apa?"
"Tentang dia."
"Ada
apa?"
"Diambil."
"Diambil?"
"Ya. Oleh
polisi."
"Polisi!"
saya terkejut. "Maksud Anda dia ditahan polisi?"
"Ya,
betul. Dan—"
0 comments:
Post a Comment