Saturday, 3 October 2015

Agatha Christie - Lapangan Golf Maut - BAB EMPAT BELAS

BAB EMPAT BELAS
MAYAT YANG KEDUA


Tanpa menunggu apa-apa lagi, aku berbalik dan berlari melalui jalan setapak yang menuju ke gudang. Dua orang yang mengawal di situ menyingkir memberi jalan padaku, dan aku masuk dengan perasaan kacau. Di dalam agak gelap. Tempat itu hanya merupakan bangunan kasar dari kayu untuk menyimpan pot-pot dan alat-alat tua. Aku masuk menerobos saja, tetapi di ambang pintu aku menahan langkahku, aku terpana melihat pemandangan di
hadapanku.
Giraud sedang merangkak lagi. Sambil memegang sebuah senter, diperiksanya setiap jengkal tanah di situ. Dia mendongak sambil mengerutkan alisnya waktu aku masuk, lalu wajahnya menjadi agak lembut, tetapi dengan pandangan agak sombong dan geli.
"Nah, ini dia Tuan dari Inggris! Mari masuk. Mari kita lihat bagaimana Anda menyelesaikan perkara ini."
Aku merasa tersinggung mendengar nadanya, lalu kutundukkan kepalaku dan masuk.
"Itu dia," kata Giraud, sambil menyorotkan senternya ke sudut yang jauh.
Aku melangkah ke tempat itu. Mayat itu terbujur tertelentang. Panjang tubuhnya sedang saja, kulit mukanya agak hitam, dan dia mungkin berumur lima puluh tahun. Pakaiannya rapi, memakai setelan biru, berpotongan bagus dan mungkin dibuat oleh seorang penjahit dengan bayaran mahal, meskipun pakaian itu tak baru lagi. Wajahnya kaku sekali, dan di sebelah kiri tubuhnya, tepat di tentang jantungnya, tertancap gagang pisau belati, hitam dan berkilat. Aku mengenalinya. Belati itu adalah belati yang terdapat dalam stoples kaca kemarin pagi.
"Saya menunggu dokter yang akan datang setiap saat," Giraud menjelaskan.
"Meskipun sebenarnya kita boleh dikatakan tidak membutuhkannya lagi. Tak perlu diragukan lagi apa penyebab kematiannya. Dia ditikam di jantungnya, dan Kematiannya tentu terjadi seketika."
"Kapan hal itu terjadi? Semalam?"
Giraud menggeleng.
"Saya tak yakin. Saya tak mau mencampurkan hukum pada kesaksian medis, tapi menurut saya orang ini sudah lebih dari dua belas jam meninggal. Kapan kata Anda, Anda melihat pisau belati ini terakhir?"
"Kira-kira pukul sepuluh kemarin pagi."
"Kalau begitu saya cenderung untuk menetapkan bahwa kejahatan itu dilakukan tak lama setelah itu."
"Tapi orang tak henti-hentinya lalu-lalang di gudang ini."
Giraud tersenyum tak sependapat.
"Anda membuat kemajuan hebat! Siapa yang mengatakan pada Anda bahwa dia dibunuh di gudang"
"Yah —" hatiku panas. "Saya — berkesimpulan begitu."
"Oh, sungguh seorang detektif yang hebat! Lihatlah dia itu, mon pet it — apakah
seseorang yang sudah ditikam di jantungnya jatuh seperti itu dengan rapi, dengan kaki lurus dan rapat, dan lengannya lurus di sisinya? Tentu tidak, bukan? Kemudian, apakah seseorang berbaring tertelentang dan membiarkan dirinya ditikam tanpa mengangkat tangannya untuk membela dirinya? Tak masuk akal, bukan? Tapi lihatlah ini — dan ini —"
Senternya disorotkannya di sepanjang tanah. Kulihat bekas-bekas aneh yang tak beraturan di tanah kotor yang lembut itu. "Dia diseret kemari setelah dia mati. Setengah diseret, setengah ditopang oleh dua orang. Bekas – bekasnya tak kelihatan di tanah yang keras di luar, sedang di sini mereka berhati-hati dan menghapusnya — tapi salah seorang di antaranya adalah seorang wanita, Sahabat."
"Seorang Wanita?"
"Ya."
"Tapi bila bekas-bekasnya telah dihapus, bagaimana Anda bisa tahu?"
"Karena, meskipun sudah disamarkan, bekas bekas sepatu wanita tak dapat diragukan, juga, dengan ini —"
Dan, sambil membungkuk dia menarik sesuatu dari gagang pisau belati itu, lalu ditunjukkannya padaku. Yang diperlihatkannya itu adalah sehelai rambut wanita yang berwarna hitam sama dengan rambut yang diambil Poirot dari kursi kamar baca. Dengan tersenyum mengejek, rambut itu dililit-kannya di sekeliling pisau belati itu lagi
"Barang-barang yang ada di sini, sedapat mungkin, kita biarkan sebagaimana adanya," katanya  menjelaskan. "Hakim Pemeriksa lebih suka demikian. Eh bien, adakah
Anda melihat sesuatu yang lain lagi?"
Aku terpaksa menggeleng. "Lihat tangannya."
Aku melakukan yang disuruhnya itu. Kukunya patah-patah dan warnanya kotor, sedang kulitnya kelihatan kasar. Keadaan itu tidak memberikan penjelasan seperti yang kuingini. Aku memandang Giraud.
"Tangan itu bukan tangan pria yang berkedudukan baik," katanya membalas pandanganku. "Sebaliknya, pakaiannya adalah pakaian orang yang berada. Aneh, bukan?"
"Aneh sekali," kataku membenarkan. "Dan tak ada bekas apa-apa pada pakaiannya. Apa yang dapat Anda simpulkan dari situ? Orang ini mencoba menampilkan diri seolah-olah dia orang lain. Dia menyamar. Mengapa? Adakah sesuatu yang ditakutinya? Apakah dia sedang mencoba melarikan dirinya dengan menyamar itu? Untuk sementara ini, kita belum
tahu, tapi satu hal sudah kita ketahui — dia berusaha keras untuk menyembunyikan siapa dirinya sebenarnya, sedang kita berusaha keras untuk mengetahuinya."
Dia melihat ke mayat itu lagi. "Seperti juga yang terdahulu, tak ada bekas sidik jari pada gagang pisau belati itu. Pembunuhnya memakai sarung tangan juga."
"Jadi, menurut Anda, pembunuhnya sama dalam kedua perkara ini?" tanyaku dengan bersemangat. Arti pandangan Giraud tak dapat kuduga.
"Tak usah pikirkan apa pendapat saya. Kita lihat saja nanti. Marchaud!" Agen polisi itu muncul di ambang pintu.
"Ya, Tuan?"
"Mengapa Nyonya Renauld tak ada di sini? Sudah seperempat Jam aku memintanya datang."
"Beliau sedang dalam perjalanan ke mari, Tuan, dan putranya juga."
"Bagus. Tapi aku hanya ingin menjumpai seorang demi seorang." Marchaud memberi salam, lalu menghilang lagi. Sesaat kemudian dia muncul lagi dengan Nyonya Renauld,
"Ini Nyonya Renauld."
Giraud maju sambil mengangguk singkat.
"Silakan ke mari, Nyonya." Wanita itu dituntunnya ke seberang ruangan itu, lalu dia tiba-tiba menyingkir dan berkata, "Ini orangnya. Kenalkah Anda padanya?"
 Sambil berbicara, matanya menatap wajah wanita itu dengan pandangan yang tajam sekali, akan mencoba membaca pikirannya, dan mencatat semua gerak-geriknya. Tetapi Nyonya Renauld tetap tenang sekali — kurasa bahkan terlalu tenang. Dia menunduk melihat mayat itu dengan hampir-hampir tidak memperlihatkan perhatian, dan sama sekak tanpa ada tanda-tanda terkejut atau pengenalan.
"Tidak," katanya. "Saya tak pemah melihatnya selama hidup saya. Orang ini sama sekali tak saya kenal."
''Yakinkah Anda?"
"Yakin sekali."
'Tidakkah Anda mengenalinya sebagai salah seorang yang menyerang Anda, umpamanya?"
"Tidak," dia kelihatan agak ragu, karena teringat akan hal itu," tidak, saya rasa bukan. Bukankah mereka berjanggut — yang menurut Hakim Pemeriksa adalah janggut palsu, namun demikian — tidak." Kini kelihatannya dia benar-benar telah mengambil keputusan. "Saya yakin bahwa laki-laki ini bukan salah seorang di antara mereka "
"Baiklah, Nyonya. Cukup sekian saja, kalau begitu." Wanita itu keluar dengan kepala tegak, matahari memantulkan cahaya berkilat di rambutnya yang hitam. Jack Renauld menyusulnya. Anak muda itu pun tak bisa mengenali laki-laki itu. Sikapnya wajar sekali. Giraud hanya menggeram saja. Aku tak dapat memastikan apakah dia senang atau jengkel.
Dia hanya berseru pada Marchaud, "Adakah  seorang lagi di situ?"
"Ada, Tuan."
"Bawa dia masuk."
Yang seorang lagi itu' rupanya adalah Nyonya Daubreuil. Dia masuk dengan marah-marah, sambil memprotes, keras. "Saya keberatan, Tuan! Ini suatu hinaan! Apa hubungan diri saya dengan ini semua?"
"Nyonya," kata Giraud dengan kasar, "saya sedang menyelidiki bukan hanya satu pembunuhan, melainkan dua! Menurut saya, bisa saja Nyonya telah melakukan keduanya."
"Berani benar Anda!" teriaknya. "Berani benar Anda menghina saya dengan tuduhan begitu! Sungguh keji!"
"Keji, kata Anda? Bagaimana dengan ini?" Sambil membungkuk, dilepaskannya
lagi rambut yang terlilit tadi, lalu diangkatnya.
"Anda lihat ini, Nyonya?" Dia mendekati wanita itu. "Izinkanlah saya melihat, apakah rambut ini cocok dengan warna rambut Anda."
Sambil berteriak wanita itu melompat mundur bibirnya pucat.
"Itu tuduhan palsu—saya berani bersumpah. Say tak tahu apa-apa mengenai kejahatan itu -— kedua kejahatan itu. Siapa pun yang berkata bahwa saya terlibat, telah berbohong! Oh, Tuhan! Apa yan harus saya lakukan?"
"Tenanglah, Nyonya," kata Giraud dingin. "Belum ada seorang pun yang menuduh Anda. Tapi sebaiknya Anda jawab pertanyaan-pertanyaan saya tanpa banyak macam - macam."
"Apa saja yang Anda kehendaki, Tuan."
"Lihatlah mayat orang itu. Pernahkah Anda melihatnya?"
Sambil bergerak'mendekat, dan darahnya sudah mulai meronai wajahnya lagi, Nyonya Daubreuil menunduk melihat kepada korban dengan perhatian yang cukup
besar, dan ingin tahu. Kemudian dia Menggeleng.
"Saya tidak mengenalnya."
Agaknya tak seorang pun bisa meragukannya, kata-katanya keluar begitu wajar. Giraud menyatakan dia boleh pergi dengan menganggukkan kepalanya saja.
 "Anda biarkan dia pergi?" tanyaku dengan berbisik. "Apakah itu tak keliru? Rambut
hitam itu pasti berasai dari kepalanya."
"Saya tak perlu diajar dalam urusan saya," kata Giraud datar. "Dia berada dalam
pengawasan. Saya belum mau menahannya,"
Kemudian dia menoleh pada mayat itu, sambil mengerutkan alisnya "Apakah menurut Anda orang ini berpotongan orang Spanyol?" tanyanya tiba-tiba. Kuperhatikan wajah mayat itu dengan cermat.
"Tidak, " kataku akhirnya. "Menurut saya, dia pasti orang Prancis. " Giraud menggeram dengan kesal.
"Sama saja."
Dia berdiri diam sejenak, lalu dengan suatu isyarat disuruhnya aku menyingkir, lalu dia merangkak lagi dan melanjutkan penyelidikannya di lantai gudang itu. Dia memang luar biasa. Tak satu pun luput dari pemeriksaannya. Setiap inci dari lantai itu dijalaninya, membalik pot-pot, memeriksa karung-karung. Sebuah buntalan di dekat pintu disambarnya, tapi buntalan itu ternyata hanya terdiri dari jas dan celana kumal saja, lalu dilemparkannya dengan geram. Dua pasang sarung tangan tua menarik perhatiannya, tapi akhirnya dia menggeleng, lalu menyingkirkannya. Kemudian dia kembali ke pot-pot tadi, memba-lik-baliknya satu demi satu dengan cara tertentu. Akhirnya, dia bangkit sambil menggeleng dengan penuh pikiran. Agaknya dia heran dan tak mengerti. Kurasa dia lupa akan kehadiranku di situ. Tapi pada saat itu terdengar suatu gerak dan kesibukan dari luar, dan sahabat lama kami, Hakim Pemeriksa, yang disertai juru tulisnya dan Tuan Bex, dengan dokter di belakangnya, masuk beramai-ramai.
"Ini benar-benar luar biasa, Tuan Giraud," seru Tuan Hautet. "Satu lagi kejahatan! Rupanya kita Belum sampai ke dasar perkara ini. Ada suatu misteri yang kelam di sini. Lalu siapa korbannya kali ini?"
"Itulah yang belum dapat dikatakan oleh siapa pun juga pada kita, Pak Hakim. Belum ada yang bisa mengenalinya."
"Mana mayat itu?" tanya dokter.
Giraud bergerak agak menyingkir.
"Itu di sudut. Dia ditikam tepat di jantungnya sebagaimana yang dapat Anda lihat. Dan dengan pisau belati yang dicuri kemarin pagi pula. Menurut saya, pembunuhan itu dilakukan langsung setelah pencurian pisau itu — tapi Andalah yang bisa memastikannya. Anda bisa memegang pisau belati itu dengan bebas — tak ada bekas sidik jarinya di situ."
Dokter berlutut di dekat mayat laki-Jaki itu, dan Giraud berpaling pada Hakim
Pemeriksa.
"Suatu perkara yang menarik, bukan? Tapi saya akan menyelesaikannya"
"Jadi tak seorang pun bisa mengenalinya?" Tanya Hakim Pemeriksa dengan termangu. "Mungkinkah dia salah seorang dari pembunuh itu? Mungkin telah terjadi
perpecahan antara mereka." 
Giraud menggeleng.
"Laki-laki ini orang Prancis -— saya berani disumpah, bahwa —"
Pada saat itu pembicaraan mereka dipotong oleh dokter, yang duduk berjongkok dengan air muka tak mengerti.
"Dia dibunuh kemarin pagi, kata Anda?"
"Saya menyesuaikannya dengan pencurian pisau belati itu," Giraud menerangkan.
"Tapi mungkin saja dia dibunuhsiang harinya"
"Siang harinya? Omong kosong! Orang ini sekurang-kurangnya sudah empat puluh delapan jam mati, bahkan mungkin lebih lama."

Kami semua berpandangan dengan terbelalak keheranan.

Lanjut ke BAB LIMA BELAS

0 comments:

Post a Comment