Friday, 30 October 2015

Agatha Christie - Misteri di Styles - BAB DELAPAN

BAB DELAPAN
KECURIGAAN BARU


Ruangan itu senyap. Setiap orang terpana mendengar penjelasan Poirot. Japp berbicara lebih dulu. "Ya, Tuhan," serunya. "Anda memang luar biasa. Tentunya saksi-saksi Anda tersebut bisa dipercaya, bukan?"
"Voila. Saya telah menyiapkan daftar nama dan alamat mereka. Tentu saja Anda bisa bicara dengan mereka sendiri. Akan Anda ketahui nanti bahwa mereka bisa dipercaya."
"Saya percaya," kata Japp dengan suara rendah. "Saya sangat berhutang budi pada Anda. Tidak heran kalau kandang seekor kuda yang manis telah menahannya."
Dia berpaling kepada Tuan Inglethorp. "Maaf, Tuan. Mengapa Anda tidak mengatakannya pada waktu pemeriksaan?"
"Akan saya jelaskan," Poirot menyela. "Ada desas-desus—"
"Yang amat jahat dan sama sekali tidak benar," potong Alfred Inglethorp dengan suara marah,
"Dan Tuan Inglethorp tidak ingin menimbulkan suatu skandal pada saat seperti ini. Benar begitu?"
"Benar," kata Inglethorp mengangguk. "Jenazah Emily yang malang itu belum dikubur, bagaimana mungkin saya memulai membuat gosip yang tidak benar."
"Saya lebih suka digosipkan daripada ditahan karena membunuh. Dan saya rasa istri Anda juga berpendapat sama. Seandainya tak ada Tuan Poirot, jelas Anda akan kami tahan," kata Japp dengan kesal.
"Saya memang bodoh, " gumam Inglethorp. "Tapi Anda tidak tahu dan tidak mengerti perasaan orang yang digoda dan dijahati." Dia melemparkan pandangan benci pada Evelyn Howard.
"Saya ingin melihat kamar tidur Nyonya Inglethorp. Setelah itu saya akan bicara sebentar dengan para pelayan," kata Japp pada John. "Anda tak perlu repot. Biar Tuan Poirot yang menunjukkannya kepada saya."
Ketika mereka semua ke luar ruangan, Poirot berpaling dan memberi isyarat pada saya untuk mengikuti dia ke atas. Dia menangkap lengan saya dan berbisik, "Cepat—pergi ke sayap yang di seberang. Berdiri saja di sana di dekat pintu berbeludru itu. Jangan ke mana-mana sampai aku datang." Dia berbalik dengan cepat menyusul kedua detektif itu.
Saya mengikuti instruksinya dan berdiri di tempat yang diinginkannya sambil berpikir-pikir apa yang dimaui Poirot. Mengapa saya harus berdiri di tempat ini? Saya memandang ke bawah, ke koridor yang tepat ada di depan saya. Sebuah ide melintas di kepala saya. Kecuali Cynthia Murdock, kamar semua orang ada di sisi ini. Apa saya harus melapor siapa yang keluar dan masuk? Apa ada hubungannya dengan hal itu? Dengan setia saya berdiri di pos saya. Beberapa menit telah lewat. Tak seorang pun masuk. Tak ada apa-apa. Setelah dua puluh menit barulah Poirot datang.
"Kau tidak ke mana-mana?"
"Tidak. Aku berdiri di sini seperti patung. Tak ada apa-apa."
"Ah!" Apakah dia senang atau kecewa? "Kau tak melihat apa-apa sama sekali?"
"Tidak."
"Tapi barangkah mendengar sesuatu? Suara berdebam keras—eh, mon ami"
"Tidak."
"Benarkah? Tapi aku memang sedang jengkel dengan diriku sendiri! Aku biasanya tak seceroboh itu. Aku menggerakkan tanganku sedikit—dengan tangan kiri. Tiba - tiba
meja di dekat tempat tidur itu jatuh!" Dia memang kelihatan jengkel dan marah sehingga saya cepat-cepat berusaha menghiburnya.
"Tak apa, Kawan. Kan tidak jadi soal? Kemenanganmu tadi mungkin membuatmu agak emosi. Kami tadi benar-benar mendengar suatu kejutan. Pasti Alfred Inglethorp dengan Nyonya Raikes itu tidak cukup sederhana untuk menahan lidahnya. Apa yang akan kaulakukan sekarang? Mana orang-orang Scotland Yard tadi?"
"Menanyai para pelayan. Aku menunjukkan semua barang bukti kita kepada mereka. Tapi aku kecewa pada Japp. Tak punya metode!"
"Halo!" kata saya sambil memandang ke bawah dari jendela. "Dokter Bauerstein. Aku rasa kau benar, Poirot. Aku tidak menyukainya."
"Dia cerdik," kata Poirot merenung.
"Oh, cerdik seperti setan! Terus terang saja aku senang melihat rupanya yang tidak keruan hari Selasa itu. Kau pasti belum pernah melihat pertunjukan seperti itu!" Dan saya menerangkan apa yang dilakukan Bauerstein. "Dia benar-benar seperti orang - orangan
di sawah! Penuh lumpur dari atas ke bawah."
"Kau melihatnya, kalau begitu?"
"Ya, tentu saja. Dia tidak mau masuk—waktu itu kami habis makan malam. Tapi Tuan Inglethorp memaksanya."
"Apa?" kata Poirot sambil mengguncang bahu saya dengan keras. "Jadi Dokter Bauerstein kemari pada Selasa malam? Dan kau tak pernah memberi tahu hal itu! Mengapa? Mengapa?" Poirot seperti orang gila.
"Poirot, aku tak menyangka hal itu akan menarik perhatianmu. Aku tak tahu kalau hal itu penting," saya membela diri.
"Penting? Itulah yang paling penting! Jadi Dokter Bauerstein kemari pada hari Selasa malam—hari terjadinya pembunuhan itu. Has¬tings apa kau tak mengerti? Ini mengubah segalanya—-segalanya!"
Saya belum pernah melihatnya begitu bingung. Setelah melepaskan cengkeramannya di bahu saya, tangannya dengan cepat meluruskan letak sepasang lilin sambil bergumam, "Ya, ini mengubah segalanya—segalanya,"
Tiba-tiba dia kelihatan seolah-olah telah memutuskan sesuatu. "Allons" katanya. "Kita harus bertindak cepat. Di mana Tuan Cavendish?"
John ada di ruang untuk merokok. Poirot langsung menemuinya. "Tuan Cavendish, saya punya urusan penting di Tadminster. Sebuah petunjuk baru. Apa bisa saya pinjam mobil Anda sebentar?"
"Ya, tentu saja. Anda perlu sekarang?"
"Kalau bisa."
John membunyikan bel dan menyuruh sopir menyiapkan mobilnya. Dalam sepuluh menit, kami sudah ngebut di jalan raya ke arah Tadminster. "Poirot, barangkali kau sekarang bisa menceritakan apa yang sedang kita lakukan ini?"
"Ah, mon ami, sebagian besar kau bisa menebaknya sendiri. Tentu saja sekarang Tuan Inglethorp sudah tidak masuk hitungan. Situasinya sekarang berubah. Kita berhadapan dengan persoalan yang sama sekali baru. Kita tahu sekarang bahwa ada satu orang yang tidak membeli racun. Aku yakin bahwa semua orang di rumah, dengan perkecualian Nyonya Cavendish yang sedang bermain tenis denganmu, bisa menyamar sebagai Tuan Inglethorp pada hari Senin sore. Dan kita mendengar darinya bahwa Tuan Inglethorp meletakkan kopi di ruang tengah. Tak seorang pun yang memperhatikan hal ini dalam pemeriksaan— tapi sekarang hal itu mempunyai arti yang lain. Kita harus mengetahui siapa yang membawa kopi itu kepada Nyonya Inglethorp, atau siapa yang melewati ruangan itu pada waktu kopi masih di situ. Dari ceritamu hanya ada dua orang yang jelas tidak berada dekat dengan kopi tersebut— Nyonya Cavendish dan Nona Cynthia."
"Ya, benar," saya merasa senang. Mary Cavendish tentunya lepas dari kecurigaan tersebut.
"Aku terpaksa membebaskan Alfred Inglethorp lebih awal dari waktu yang kuinginkan," kata Poirot melanjutkan. "Seandainya aku bisa menundanya, pasti pembunuh yang sebenarnya akan lengah karena mengira aku mengejar Inglethorp. Tapi sekarang dia pasti lebih hati-hati—ya, sangat hati-hati." Tiba-tiba dia berpaling kepada saya. "Apa ada seseorang yang kaucurigai, Hastings?"
Saya ragu-ragu. Memang pada pagi itu sebuah pikiran muncul satu-dua kali di kepala saya. Tapi saya menolaknya, karena kelihatan aneh dan tak masuk akal. Tetapi pikiran itu tidak hilang-hilang juga. "Bukan suatu kecurigaan," gumam saya. "Dan sangat tolol kelihatannya."
"Ayolah," kata Poirot memberi semangat. "Jangan takut. Katakan saja. Kau harus selalu memberi perhatian pada instingmu."
"Baiklah. Aneh—aku curiga bahwa Nona Howard tidak menceritakan semua yang diketahuinya!"
"Nona Howard?"
"Ya—kau pasti menertawakan aku—"
"Tidak. Kenapa aku tertawa?"
"Aku hanya merasa bahwa kita kurang memperhatikan dia. Ada kecurigaan – kecurigaan yang merupakan suatu kemungkinan, hanya karena dia tidak berada di rumah. Padahal dia hanya lima belas mil dari rumah dan dengan mobil jarak itu bisa ditempuh dalam waktu setengah jam. Apakah kita bisa berkata dengan positif bahwa dia tidak ada di Styles pada malam pembunuhan itu?"
"Ya, bisa," kata Poirot tanpa diduga. "Salah satu hal yang telah kulakukan adalah menelepon rumah sakit tempat dia bekerja."
"Jadi?"
"Ternyata Nona Howard bertugas pada hari Selasa sore. Ada sebuah rombongan yang tiba-tiba datang dan dengan senang hati dia menawarkan diri untuk bertugas malam itu—yang dengan senang hati diterima oleh pihak rumah sakit."
"Oh!" saya tercengang. "Sebenarnya kebenciannya yang luar biasa terhadap Inglethorp itulah yang membuatku curiga. Aku merasa bahwa dia akan melakukan apa saja untuk mencelakakan Alfred. Dan mungkin dia tahu ada surat wasiat yang dihancurkan. Mungkin dia membakar yang baru, karena keliru. Dia benar-benar benci pada Inglethorp."
"Kau menganggap rasa bencinya tidak wajar?"
"Y—a—. Dan dia begitu sengit. Aku tak tahu apakah dia waras atau tidak, karena bersikap begitu."
Poirot menggelengkan kepalanya keras-keras. "Tidak—tidak. Kau keliru. Dia sangat waras. Nona Howard merupakan contoh yang amat bagus dari fisik dan kekuatan orang Inggris. Dia sangat waras."
"Tapi kebenciannya terhadap Inglethorp merupakan suatu mania. Pikiranku memang aneh— adalah dia memang sengaja meracun Inglethorp, tapi entah bagaimana keliru—yang menjadi korban adalah Nyonya Inglethorp. Tapi aku tak tahu bagaimana cara dia melakukannya. Semuanya aneh dan tak masuk akal."
"Tapi kau benar dalam satu hal. Sebaiknya kita mencurigai setiap orang sampai terbukti dengan akal sehat bahwa dia tak bersalah dan kau merasa puas. Sekarang alasan apa yang bisa menyangkal kemungkinan bahwa Nona Howard meracuni Nyonya Inglethorp?"
"Karena dia setia kepadanya!" seru saya.
"Ch! Ch!" seru Poirot menjengkelkan. "Itu kan alasan anak-anak. Kalau Nona Howard mampu meracuni wanita tua itu, dia pasti juga bisa berpura-pura setia pada Nyonya Inglethorp. Kau benar, rasa bencinya pada Alfred Inglethorp terlalu berlebihan untuk bisa disebut wajar, tetapi kau salah menarik kesimpulan. Aku sendiri telah mempunyai kesimpulan yang aku rasa benar. Tapi aku tak ingin membicarakannya sekarang." Dia diam sejenak, lalu melanjutkan. "Tapi dalam pikiranku ada satu hal yang tidak cocok untuk mencurigai Nona Howard sebagai pembunuh."
"Apa itu?"
"Kematian Nyonya Inglethorp tidak mendatangkan keuntungan apa-apa bagi Nona Howard. Padahal tak ada pembunuhan tanpa motif."
Saya berpikir, "Apa Nyonya Inglethorp pernah membuat surat wasiat yang menguntungkan dia?"
Poirot menggelengkan kepala. "Tapi kau sendiri mengajukan kemungkinan itu pada Tuan Wells."
Poirot tersenyum. "Itu ada sebabnya. Aku tak ingin menyebutkan nama orang yang ada di pikiranku. Dan Nona Howard mempunyai posisi yang sama dengan orang itu. Jadi aku pakai saja namanya."
"Walaupun begitu ada kemungkinan Nyonya Inglethorp melakukan hal itu. Dan surat wasiat yang dibuatnya pada hari kematiannya mung¬kin—" Gelengan kepala Poirot kuat sekali sehingga saya berhenti bicara.
"Tidak, Kawan. Aku punya pendapat tentang surat wasiat itu. Aku hanya bisa mengatakan sejauh ini—surat wasiat itu tidak menguntungkan Nona Howard." Saya menerima keyakinannya walaupun saya tidak mengerti mengapa dia seyakin itu.
"Baiklah." Saya menarik napas panjang. "Kita tak akan mempertimbangkan Nona Howard kalau begitu. Sebenarnya karena kamulah aku mencurigai dia, yang menyebabkan adalah komentarmu tentang kesaksiannya dalam pemeriksaan."
Poirot bingung. "Apa yang kukatakan waktu itu?"
"Kau lupa? Ketika aku mengatakan bahwa dia dan John Cavendish tidak mungkin untuk dicurigai?"
"Oh—oh—ya." Dia kelihatan agak bingung, tapi kemudian bisa menangkap apa yang saya katakan. "Oh ya, aku ingin minta tolong kau, Hastings?"
"Apa itu?"
"Kalau kau punya kesempatan bicara dengan Lawrence Cavendish berdua saja, katakan padanya ada pesan dari Poirot begini, 'Carilah cangkir kopi ekstra itu, dan kau akan tenang kembali!' Itu saja—jangan ditambah, jangan dikurangi."
'Carilah cangkir kopi ekstra itu, dan kau akan tenang kembali!' Begitu?" tanya saya berpikir-pikir.
"Bagus!"
"Apa artinya?"
"Ah, kau harus mencarinya sendiri. Kau sudah tahu semua fakta. Katakan saja pesanku tadi dan ingat-ingat apa yang dikatakannya."
"Baiklah. Tapi semua itu sangat misterius bagiku."
Kami sampai ke Tadminster sekarang dan Poirot memarkir mobil di depan 'Analytical Chemist'. Poirot meloncat ke luar dan berjalan dengan cepat ke dalam. Beberapa menit kemudian dia keluar lagi. "Beres," katanya. "Urusanku sudah selesai."
"Apa yang kaulakukan tadi?" tanya saya ingin tahu.
 "Aku meminta mereka menganalisa sesuatu."
"Apa yang dianalisa?"
"Sampel coklat yang aku ambil dari panci di kamar tidur."
"Tapi itu kan sudah dites!" seru saya. "Dokter Bauerstein sudah mentesnya, dan kau sendiri berpendapat bahwa tak mungkin ada strychnine di dalamnya."
"Aku tahu bahwa Dokter Bauerstein sudah mentes coklat itu," kata Poirot tenang. "Ya—aku hanya ingin menganalisanya lagi. Itu saja."
Tak ada keterangan lain yang diberikan Poirot tentang hal itu, walaupun sudah saya pancing-pancing. Apa yang dilakukan Poirot dengan coklat itu membingungkan saya. Saya tak bisa melihat alasan sekecil apa pun untuk melakukan pengetesan kembali. Walaupun begitu, kepercayaan saya padanya yang agak goyah sebelumnya menjadi kuat kembali setelah kemenangannya membela Alfred Inglethorp. Jenazah Nyonya Inglethorp dikuburkan keesokan paginya. Pada hari Senin pagi, ketika saya turun untuk sarapan, John memberi tahu bahwa Tuan Inglethorp pagi itu pindah ke Stylites Arms sampai rencananya selesai.
"Aku benar-benar lega dia keluar dari sini," kata John dengan jujur. "Dulu kami tidak senang ketika dia tinggal di sini karena kami mencurigainya. Tapi kemudian kami menjadi lebih tidak enak lagi ketika terbukti dia tak bersalah. Kami telah memperlakukannya dengan sangat buruk. Walaupun demikian, rasanya orang akan maklum dengan sikap kami karena semua petunjuk menuding dia. Ternyata kami keliru. Sekarang berat rasanya untuk mengubah sikap karena dari semula kami memang tidak menyukainya. Kami menjadi serba salah! Aku lega karena dia cukup mengerti. Syukurlah Styles tidak diwariskan Ibu kepadanya. Tak bisa membayangkan dia ada di sini. Biar saja dia dapat warisan uang."
"Kau punya uang cukup untuk memelihara rumah ini?" tanya saya.
"Oh, ya. Memang ada pengeluaran yang harus dibayar dengan kematian ini. Tapi separuh dari uang Ayah tertanam di sini. Lawrence akan tinggal bersama kami untuk sementara. Memang kami harus ketat mengencangkan ikat pinggang untuk saat ini, seperti sudah kukatakan kepadamu, aku sedikit kekurangan uang sekarang. Tapi kami akan mendapat hasil dari tanah ini kemudian."
Pagi itu, suasana sarapan terasa riang dan menyenangkan—untuk yang pertama kali sejak terjadinya tragedi Nyonya Inglethorp. Dan kami merasa lega karena Alfred Inglethorp akan segera angkat kaki dari sana. Cynthia yang memang masih muda itu kelihatan cerah dan wajahnya bertambah cantik. Kami semua gembira kecuali Lawrence yang masih kelihatan suram dan gelisah.
Surat kabar-surat kabar memuat kejadian itu dengan pokok berita yang menyolok, biografi picisan setiap anggota keluarga, sindiran-sindiran halus, dan sedikit ulasan tentang penemuan polisi. Semua yang ditulis terasa tajam. Karena perang telah reda, berita itu seperti menjadi santapan lezat bagi orang yang kelaparan. 'Misteri di Styles' merupakan topik yang hangat. Tentu saja hal itu sangat menjengkelkan keluarga Cavendish. Rumah besar itu terus menerus diserbu wartawan yang memang tak diizinkan masuk. Mereka tetap tak beranjak dari sekitar rumah dan siaga dengan kamera siap dibidikkan ke arah anggota keluarga yang lengah.
Orang-orang Scotland Yard datang dan pergi, memeriksa, menanyai orang-orang, dengan mata tajam dan lidah kelu. Kami tak tahu apa tujuan mereka dan apakah mereka mendapatkan petunjuk atau tidak. Setelah sarapan, Dorcas  mendekati saya dan bertanya apakah dia bisa bicara sebentar.
"Tentu, Dorcas. Ada apa?"
"Ah, begini. Tuan akan bertemu dengan Tuan Belgia itu, kan?" Saya mengangguk, "Tuan tahu kan, beliau menanyakan secara khusus apa ada yang memiliki baju hijau di rumah ini."
"Ya, ya. Apa kau menemukan baju itu?" tanya saya penuh rasa ingin tahu.
"Tidak, Tuan. Tapi saya jadi ingat bahwa Tuan Muda John dan Lawrence punya peti baju-baju fantasi. Peti itu masih ada di loteng, berisi macam-macam baju yang aneh - aneh. Barangkali saja di dalamnya ada sebuah baju hijau. Jadi kalau Tuan mau memberi tahu tuan Belgia itu—"
"Ya. Aku akan memberi tahu dia," saya berjanji.
"Terima kasih, Tuan. Tuan itu sangat baik. Tidak sama dengan kedua detektif dari London yang keluar-masuk menanyakan macam-macam hal. Saya biasanya tidak terlalu suka pada orang asing. Tapi dari koran-koran yang saya baca, saya tahu bahwa orang-orang Belgia yang pemberani itu bukanlah orang-orang biasa. Dan tuan yang satu ini sopan sekali tutur katanya."
Dorcas tua yang baik. Dia memang contoh sempurna dari seorang pelayan kuno yang
kini sudah langka. Saya pergi ke tempat Poirot, tetapi di tengah jalan bertemu dengan dia dan langsung menyampaikan pesan Dorcas.
"Ah, Dorcas yang baik! Kita periksa saja peti itu walaupun—tak apa—kita periksa saja."
Kami masuk ke dalam rumah. Tak ada seorang pun di ruang depan. Kami langsung menuju loteng. Memang ada sebuah peti besar tua, penuh dengan macam-macam baju yang modelnya aneh-aneh. Poirot mengeluarkan semuanya dan membebernya di lantai. Ada satu atau dua baju berwarna hijau di situ tetapi Poirot hanya menggelengkan kepalanya. Kelihatannya dia memang tidak terlalu banyak berharap. Tiba-tiba dia berseru.
"Apa ini?"
"Lihat!"
Peti itu hampir kosong. Di dasarnya tergeletak seonggok jenggot hitam.
"Ohol" kata Poirot. "Oh" Dia mengambil dan membalik-balik jenggot itu di tangannya sambil memperhatikannya. "Baru," katanya. "Ya, masih baru."
Setelah ragu-ragu sejenak, dia mengembalikannya lagi ke peti dan menumpukinya dengan baju-baju seperti semula. Kemudian dia menuruni tangga dengan langkah cepat, langsung menuju ke dapur, menemui Dorcas yang sedang menggosok sendok garpu. Poirot menyapanya dengan sopan dan melanjutkan, "Kami telah melihat peti itu, Dorcas. Terima kasih banyak karena kau telah menunjukkannya kepada kami. Koleksi yang amat bagus. Apakah baju-baju itu sering dipakai?"
"Belakangan ini tidak terlalu sering, Tuan. Kadang-kadang saja. Sangat lucu, Tuan. Terutama Tuan Lawrence. Sangat kocak! Saya masih ingat ketika dia berpakaian sebagai raja dari Persia. Dia memegang pedang besar dari kertas dan berkata, 'He, Dorcas. Kau harus hormat padaku. Ini adalah pedang pusakaku. Dan kepalamu akan menggelinding bila kau membuatku tidak senang'. Nona Cynthia memakai baju Apache. Wah, dia benar-benar luar biasa. Tak ada yang mengira bahwa dia sebenarnya adalah seorang gadis cantik. Kelihatan kejam dan menyeramkan."
"Pasti menyenangkan sekali saat-saat seperti itu. Pasti Tuan Lawrence memakai jenggot hitam lebat yang ada di dalam peti itu, ya!" kata Poirot.
"Dia memang punya jenggot, Tuan," kata Dorcas tersenyum. "Saya tahu karena dia
membuatnya dari benang wol saya. Dari jauh kelihatan bagus. Tapi saya tidak tahu ada jenggot di dalam peti itu. Pasti belum lama ada di situ. Di situ ada wig merah, tapi rasanya tak ada barang lain yang terbuat dari rambut. Biasanya yang dipakai adalah kulit kayu yang dibakar—tapi itu kotor. Nona Cynthia pernah jadi orang Negro dan dia memakainya. Wah, repot membersihkannya."
"Jadi Dorcas tidak tahu apa-apa tentang jenggot itu." kata Poirot ketika dia berjalan ke luar dapur.
"Apakah memang itu yang dipakai?" bisik saya.
Poirot mengangguk, "Aku rasa begitu. Kau tahu tidak bahwa ujungnya digunting?"
"Tidak."
"Jenggot itu digunting dan dibentuk seperti jenggot Tuan Inglethorp. Dan aku menemukan satu-dua helai rambut yang tergunting. Hastings, kasus ini semakin bertambah parah."
"Siapa kira-kira yang menyimpannya di peti itu?"
"Seseorang yang cukup terampil," kata Poirot.
"Benda itu disembunyikan di suatu tempat yang tak mencurigakan. Dia sangat cerdik sehingga dia tidak curiga bahwa kita lebih cerdik darinya." Saya setuju, "Nah, mon ami kau akan bisa memberi banyak bantuan."
Ini sangat menyenangkan saya. Jarang sekali Poirot mengakui bantuan yang sudah saya berikan. "Ya," lanjutnya, sambil menatapku dalam-dalam, "kau bisa membantu." Sungguh menyenangkan, tapi kata-kata Poirot berikutnya tak enak didengar. "Aku harus punya seorang sekutu di rumah," katanya.
"Kan ada aku."
"Ya, tapi tidak cukup."
Saya merasa tersinggung, dan tak berusaha menutup-nutupinya. Poirot cepat-cepat
menjelaskan. "Kau tidak mengerti yang kumaksud, barangkali. Begini, semua orang tahu bahwa kau adalah temanku dan bekerja sama denganku. Aku memerlukan seseorang yang kelihatannya tidak terlibat dalam kelompok kita ini,"
"Oh, begitu. Bagaimana dengan John?
"Aku rasa kurang tepat."
"Dia memang tidak terlalu cerdas," pikir saya.
"Ini dia Nona Howard," kata Poirot tiba-tiba. "Dialah yang paling cocok. Tapi aku termasuk dalam daftar hitamnya karena berhasil membebaskan Tuan Inglethorp dari tuduhan bersalah. Ah, kita coba saja."
Dengan anggukan dan wajah yang tidak ramali, Nona Howard menyetujui permintaan Poirot untuk berbicara sebentar. Kami masuk ke ruang duduk yang kecil dan Poirot menutup pintu.
"Apa yang Anda perlukan, Tuan Poirot? Langsung saja," kata Nona Howard tidak sabar.
"Anda masih ingat, Nona, bahwa saya pernah minta Anda untuk membantu saya?"
"Ya." wanita itu mengangguk. "Dan saya katakan kepada Anda bahwa saya akan membantu Anda dengan senang hati—untuk menggantung Alfred Inglethorp."
"Ah!" Poirot memandangnya penuh perhatian. "Nona Howard, saya ingin menanyakan satu hal dan saya harap Anda menjawab pertanyaan itu dengan sebenarnya."
"Saya tak pernah bohong," jawabnya. "Begini. Anda masih yakin bahwa Nyonya Inglethorp diracun oleh suaminya?"
"Apa maksud Anda?" tanyanya dengan tajam. "Jangan Anda kira bukti-bukti yang Anda kemukakan bisa mempengaruhi saya. Memang benar bahwa bukan dia yang membeli strychnine. Itu tidak menjadi soal. Dia sudah pernah bermain-main dengan racun."
"Ya, tapi itu arsenik—bukan strychnine," kata Poirot.
"Tak ada bedanya. Arsenik atau strychnine sama saja. Keduanya akan membunuh Emily. Saya yakin bahwa dialah yang melakukannya. Saya tak peduli bagaimana cara dia melakukannya."
"Benar. Kalau Anda yakin," kata Poirot tenang, "saya ingin menyatakan pertanyaan saya dalam bentuk lain. Apakah dalam hati kecil Anda ada keyakinan bahwa Nyonya Inglethorp diracun oleh suaminya?"
"Ya, Tuhan!" teriak Nona Howard. "Saya selalu berkata bahwa laki-laki itu seorang bajingan! Bukankah saya selalu mengatakan bahwa dia akan membunuhnya di tempat tidur? Bukankah saya selalu membencinya seperti racun?"
"Tepat," kata Poirot, "hal itu memperkuat keyakinan saya."
"Tentang apa?"
"Nona Howard, Anda masih ingat pada percakapan yang terjadi ketika kawan saya ini baru datang kemari? Dia menceritakannya kepada saya dan saya sangat terkesan pada satu kalimat yang Anda ucapkan. Anda mengatakan bahwa seandainya terjadi pembunuhan atas seseorang yang Anda sayangi, Anda merasa yakin bahwa Anda akan mengetahui pelakunya melalui insting Anda, walaupun Anda tidak dapat membuktikannya?"
"Ya, saya ingat sekarang. Dan saya masih yakin akan hal itu. Bagaimana menurut Anda? Apakah tak masuk akal?"
"Sama sekali tidak."
"Tapi Anda tidak mau tahu tentang insting saya terhadap Alfred Inglethorp?"
"Benar," kata Poirot pendek. "Karena insting Anda sebenarnya tidak tertuju pada dia. Anda tidak yakin dialah pelakunya."
"Apa?"
"Anda hanya ingin meyakinkan diri sendiri bahwa dialah yang berbuat. Anda yakin bahwa dia mampu melakukan hal itu. Tapi insting Anda tidak mengatakannya demikian. Insting Anda berbicara lain—Anda mau saya melanjutkan?"
Dia memandang Poirot dengan mata terpesona.
"Apa saya perlu mengatakan mengapa Anda begitu benci pada Tuan Inglethorp? Karena Anda berusaha meyakinkan diri untuk mempercayai apa yang Anda ingin percayai. Karena Anda ingin menutupi dan mengacuhkan insting Anda yang menunjukkan dan mengatakan sebuah nama lain—"
'Tidak, tidak, tidak!" seru Nona Howards membabi-buta, sambil mengacungkan tangannya ke atas. "Sudah—sudah, jangan berkata apa-apa lagi. Itu tidak benar! Itu salah! Saya tak tahu mengapa saya memikirkan hal itu!"
"Kalau begitu saya benar?" tanya Poirot.
"Ya, ya. Anda pasti seorang ahli sihir. Tapi itu pasti tidak benar—terlalu tak masuk akal, terlalu kejam. Jadi pasti Alfred Inglethorp."
Poirot menggelengkan kepalanya dengan sedih.
"Jangan tanya hal itu pada saya," kata Nona Howard melanjutkan, "karena saya tak akan mengatakannya. Saya tak mau mengakui itu pada diri saya sendiri. Bisa gila saya kalau memikirkan hal itu,"
Poirot mengangguk, seolah-olah puas. "Saya tak akan menanyakan apa-apa pada Anda. Cukup kalau saya tahu bahwa perkiraan saya benar. Dan saya—juga punya insting. Kita bekerja sama untuk tujuan yang sama."
"Jangan meminta bantuan saya, karena saya tak bersedia. Saya tak akan menunjukkan
jari untuk—untuk—" Dia tergagap.
"Anda pasti mau membantu saya. Saya tak minta apa-apa—saya hanya minta agar Anda menjadi sekutu saya. Anda pasti bisa, karena Anda cukup melakukan satu hal saja."
"Apa itu?"
"Mengamat-amati!"
Evelyn Howard menganggukkan kepalanya. "Ya, saya memang senang melakukan hal itu. Saya selalu—memang selalu mengamati - amati sambil berharap agar saya keliru."
"Kalau kita keliru, saya akan bersyukur," kata Poirot. "Tak ada orang yang lebih gembira dari saya. Tapi kalau kita benar? Kalau kita benar, Nona Howard, Anda akan berada di pihak siapa?"
"Saya tak tahu, saya tak tahu—"
"Ah, katakan saja."
"Bisa ditutupi."
"Tak akan ada tutup-tutupan."
"Tapi Emily sendiri—" Dia diam.
"Nona Howard," kata Poirot tegas, "tak ada artinya bagi Anda."
Tiba-tiba Nona Howard melepaskan tangan yang menutupi mukanya.
"Ya," katanya, "yang bicara tadi bukanlah Evelyn Howard!" Dia menegakkan kepalanya sambil berkata. "Inilah Evelyn Howard! Dia berpihak pada kebenaran! Dengan risiko apa pun." Dengan kata-kata itu dia melangkah ke luar ruangan.
"Ah, sekutu yang bisa diharapkan. Wanita itu tidak hanya punya hati tapi juga otak," kata Poirot, sambil memandang Evelyn pergi. Saya tidak berkomentar.
"Insting memang sesuatu yang luar biasa," kata Poirot. "Tidak bisa dijelaskan ataupun diacuhkan,"
"Kau dan Nona Howard kelihatannya saling mengerti," kata saya sinis, "sedangkan aku sama sekali buta rasanya."
"Benarkah begitu, mon ami"
"Ya. Cobalah jelaskan."
Poirot memandang saya sesaat. Lalu dengan tegas dia menggelengkan kepalanya. "Tidak, Kawan,"
"Mengapa?"
"Dua orang sudah cukup untuk satu rahasia."
"Aku rasa tidak adil untuk menyembunyikan fakta dariku."
"Aku tidak menyembunyikan fakta. Setiap fakta yang kuketahui kau ketahui juga. Tapi kau bisa menarik deduksi sendiri dari fakta-fakta tersebut. Kali ini ada kaitannya dengan gagasan atau ide."
"Tapi akan senang kalau aku mengetahuinya."
Poirot memandang saya sejenak. Lalu dia berkata dengan tegas. "Kau tidak punya insting," katanya sedih.
"Kau baru saja mengatakan bahwa yang diperlukan adalah inteligensia," sanggahku
tak mau kalah.
"Keduanya biasanya saling bergandengan," kata Poirot, membuatku makin bingung. Jawaban itu sama sekali tidak relevan menurut logika saya. Karena itu saya diam saja. Saya hanya berkata pada diri-sendiri bahwa seandainya saya menemukan sesuatu dan saya yakin akan hal itu saya tak akan memberi tahu Poirot apa-apa. Ada waktunya seseorang harus bertindak tegas.


Lanjut ke BAB SEMBILAN

0 comments:

Post a Comment