BAB DELAPAN
KECURIGAAN BARU
Ruangan itu
senyap. Setiap orang terpana mendengar penjelasan Poirot. Japp berbicara lebih
dulu. "Ya, Tuhan," serunya. "Anda memang luar biasa. Tentunya
saksi-saksi Anda tersebut bisa dipercaya, bukan?"
"Voila.
Saya telah menyiapkan daftar nama dan alamat mereka. Tentu saja Anda bisa bicara
dengan mereka sendiri. Akan Anda ketahui nanti bahwa mereka bisa dipercaya."
"Saya
percaya," kata Japp dengan suara rendah. "Saya sangat berhutang budi
pada Anda. Tidak heran kalau kandang seekor kuda yang manis telah
menahannya."
Dia berpaling
kepada Tuan Inglethorp. "Maaf, Tuan. Mengapa Anda tidak mengatakannya pada
waktu pemeriksaan?"
"Akan saya
jelaskan," Poirot menyela. "Ada desas-desus—"
"Yang amat
jahat dan sama sekali tidak benar," potong Alfred Inglethorp dengan suara
marah,
"Dan Tuan
Inglethorp tidak ingin menimbulkan suatu skandal pada saat seperti ini. Benar
begitu?"
"Benar,"
kata Inglethorp mengangguk. "Jenazah Emily yang malang itu belum dikubur,
bagaimana mungkin saya memulai membuat gosip yang tidak benar."
"Saya
lebih suka digosipkan daripada ditahan karena membunuh. Dan saya rasa istri Anda
juga berpendapat sama. Seandainya tak ada Tuan Poirot, jelas Anda akan kami
tahan," kata Japp dengan kesal.
"Saya
memang bodoh, " gumam Inglethorp. "Tapi Anda tidak tahu dan tidak
mengerti perasaan orang yang digoda dan dijahati." Dia melemparkan
pandangan benci pada Evelyn Howard.
"Saya
ingin melihat kamar tidur Nyonya Inglethorp. Setelah itu saya akan bicara sebentar
dengan para pelayan," kata Japp pada John. "Anda tak perlu repot.
Biar Tuan Poirot yang menunjukkannya kepada saya."
Ketika mereka
semua ke luar ruangan, Poirot berpaling dan memberi isyarat pada saya untuk
mengikuti dia ke atas. Dia menangkap lengan saya dan berbisik, "Cepat—pergi
ke sayap yang di seberang. Berdiri saja di sana di dekat pintu berbeludru itu.
Jangan ke mana-mana sampai aku datang." Dia berbalik dengan cepat menyusul
kedua detektif itu.
Saya mengikuti
instruksinya dan berdiri di tempat yang diinginkannya sambil berpikir-pikir apa
yang dimaui Poirot. Mengapa saya harus berdiri di tempat ini? Saya memandang ke
bawah, ke koridor yang tepat ada di depan saya. Sebuah ide melintas di kepala
saya. Kecuali Cynthia Murdock, kamar semua orang ada di sisi ini. Apa saya
harus melapor siapa yang keluar dan masuk? Apa ada hubungannya dengan hal itu?
Dengan setia saya berdiri di pos saya. Beberapa menit telah lewat. Tak seorang pun
masuk. Tak ada apa-apa. Setelah dua puluh menit barulah Poirot datang.
"Kau tidak
ke mana-mana?"
"Tidak.
Aku berdiri di sini seperti patung. Tak ada apa-apa."
"Ah!"
Apakah dia senang atau kecewa? "Kau tak melihat apa-apa sama sekali?"
"Tidak."
"Tapi
barangkah mendengar sesuatu? Suara berdebam keras—eh, mon ami"
"Tidak."
"Benarkah?
Tapi aku memang sedang jengkel dengan diriku sendiri! Aku biasanya tak
seceroboh itu. Aku menggerakkan tanganku sedikit—dengan tangan kiri. Tiba - tiba
meja di dekat tempat tidur itu jatuh!" Dia memang kelihatan
jengkel dan marah sehingga saya cepat-cepat berusaha menghiburnya.
"Tak apa,
Kawan. Kan tidak jadi soal? Kemenanganmu tadi mungkin membuatmu agak emosi.
Kami tadi benar-benar mendengar suatu kejutan. Pasti Alfred Inglethorp dengan Nyonya
Raikes itu tidak cukup sederhana untuk menahan lidahnya. Apa yang akan
kaulakukan sekarang? Mana orang-orang Scotland Yard tadi?"
"Menanyai
para pelayan. Aku menunjukkan semua barang bukti kita kepada mereka. Tapi aku
kecewa pada Japp. Tak punya metode!"
"Halo!"
kata saya sambil memandang ke bawah dari jendela. "Dokter Bauerstein. Aku rasa
kau benar, Poirot. Aku tidak menyukainya."
"Dia
cerdik," kata Poirot merenung.
"Oh,
cerdik seperti setan! Terus terang saja aku senang melihat rupanya yang tidak keruan
hari Selasa itu. Kau pasti belum pernah melihat pertunjukan seperti itu!"
Dan saya menerangkan apa yang dilakukan Bauerstein. "Dia benar-benar
seperti orang - orangan
di sawah! Penuh lumpur dari atas ke bawah."
"Kau
melihatnya, kalau begitu?"
"Ya, tentu
saja. Dia tidak mau masuk—waktu itu kami habis makan malam. Tapi Tuan
Inglethorp memaksanya."
"Apa?"
kata Poirot sambil mengguncang bahu saya dengan keras. "Jadi Dokter Bauerstein
kemari pada Selasa malam? Dan kau tak pernah memberi tahu hal itu! Mengapa?
Mengapa?" Poirot seperti orang gila.
"Poirot,
aku tak menyangka hal itu akan menarik perhatianmu. Aku tak tahu kalau hal itu
penting," saya membela diri.
"Penting?
Itulah yang paling penting! Jadi Dokter Bauerstein kemari pada hari Selasa malam—hari
terjadinya pembunuhan itu. Has¬tings apa kau tak mengerti? Ini mengubah
segalanya—-segalanya!"
Saya belum
pernah melihatnya begitu bingung. Setelah melepaskan cengkeramannya di bahu saya,
tangannya dengan cepat meluruskan letak sepasang lilin sambil bergumam,
"Ya, ini mengubah segalanya—segalanya,"
Tiba-tiba dia kelihatan
seolah-olah telah memutuskan sesuatu. "Allons" katanya. "Kita
harus bertindak cepat. Di mana Tuan Cavendish?"
John ada di
ruang untuk merokok. Poirot langsung menemuinya. "Tuan Cavendish, saya
punya urusan penting di Tadminster. Sebuah petunjuk baru. Apa bisa saya pinjam
mobil Anda sebentar?"
"Ya, tentu
saja. Anda perlu sekarang?"
"Kalau
bisa."
John membunyikan
bel dan menyuruh sopir menyiapkan mobilnya. Dalam sepuluh menit, kami sudah
ngebut di jalan raya ke arah Tadminster. "Poirot, barangkali kau sekarang
bisa menceritakan apa yang sedang kita lakukan ini?"
"Ah, mon
ami, sebagian besar kau bisa menebaknya sendiri. Tentu saja sekarang Tuan Inglethorp
sudah tidak masuk hitungan. Situasinya sekarang berubah. Kita berhadapan dengan
persoalan yang sama sekali baru. Kita tahu sekarang bahwa ada satu orang yang
tidak membeli racun. Aku yakin bahwa semua orang di rumah, dengan perkecualian
Nyonya Cavendish yang sedang bermain tenis denganmu, bisa menyamar sebagai Tuan
Inglethorp pada hari Senin sore. Dan kita mendengar darinya bahwa Tuan
Inglethorp meletakkan kopi di ruang tengah. Tak seorang pun yang memperhatikan
hal ini dalam pemeriksaan— tapi sekarang hal itu mempunyai arti yang lain. Kita
harus mengetahui siapa yang membawa kopi itu kepada Nyonya Inglethorp, atau
siapa yang melewati ruangan itu pada waktu kopi masih di situ. Dari ceritamu
hanya ada dua orang yang jelas tidak berada dekat dengan kopi tersebut— Nyonya
Cavendish dan Nona Cynthia."
"Ya,
benar," saya merasa senang. Mary Cavendish tentunya lepas dari kecurigaan tersebut.
"Aku
terpaksa membebaskan Alfred Inglethorp lebih awal dari waktu yang kuinginkan,"
kata Poirot melanjutkan. "Seandainya aku bisa menundanya, pasti pembunuh
yang sebenarnya akan lengah karena mengira aku mengejar Inglethorp. Tapi
sekarang dia pasti lebih hati-hati—ya, sangat hati-hati." Tiba-tiba dia
berpaling kepada saya. "Apa ada seseorang yang kaucurigai, Hastings?"
Saya ragu-ragu.
Memang pada pagi itu sebuah pikiran muncul satu-dua kali di kepala saya. Tapi
saya menolaknya, karena kelihatan aneh dan tak masuk akal. Tetapi pikiran itu
tidak hilang-hilang juga. "Bukan suatu kecurigaan," gumam saya.
"Dan sangat tolol kelihatannya."
"Ayolah,"
kata Poirot memberi semangat. "Jangan takut. Katakan saja. Kau harus selalu
memberi perhatian pada instingmu."
"Baiklah.
Aneh—aku curiga bahwa Nona Howard tidak menceritakan semua yang diketahuinya!"
"Nona
Howard?"
"Ya—kau
pasti menertawakan aku—"
"Tidak.
Kenapa aku tertawa?"
"Aku hanya
merasa bahwa kita kurang memperhatikan dia. Ada kecurigaan – kecurigaan yang
merupakan suatu kemungkinan, hanya karena dia tidak berada di rumah. Padahal
dia hanya lima belas mil dari rumah dan dengan mobil jarak itu bisa ditempuh
dalam waktu setengah jam. Apakah kita bisa berkata dengan positif bahwa dia
tidak ada di Styles pada malam pembunuhan itu?"
"Ya,
bisa," kata Poirot tanpa diduga. "Salah satu hal yang telah kulakukan
adalah menelepon rumah sakit tempat dia bekerja."
"Jadi?"
"Ternyata
Nona Howard bertugas pada hari Selasa sore. Ada sebuah rombongan yang tiba-tiba
datang dan dengan senang hati dia menawarkan diri untuk bertugas malam itu—yang
dengan senang hati diterima oleh pihak rumah sakit."
"Oh!"
saya tercengang. "Sebenarnya kebenciannya yang luar biasa terhadap Inglethorp
itulah yang membuatku curiga. Aku merasa bahwa dia akan melakukan apa saja
untuk mencelakakan Alfred. Dan mungkin dia tahu ada surat wasiat yang dihancurkan.
Mungkin dia membakar yang baru, karena keliru. Dia benar-benar benci pada
Inglethorp."
"Kau
menganggap rasa bencinya tidak wajar?"
"Y—a—. Dan
dia begitu sengit. Aku tak tahu apakah dia waras atau tidak, karena bersikap
begitu."
Poirot
menggelengkan kepalanya keras-keras. "Tidak—tidak. Kau keliru. Dia sangat
waras. Nona Howard merupakan contoh yang amat bagus dari fisik dan kekuatan
orang Inggris. Dia sangat waras."
"Tapi kebenciannya
terhadap Inglethorp merupakan suatu mania. Pikiranku memang aneh— adalah dia
memang sengaja meracun Inglethorp, tapi entah bagaimana keliru—yang menjadi
korban adalah Nyonya Inglethorp. Tapi aku tak tahu bagaimana cara dia
melakukannya. Semuanya aneh dan tak masuk akal."
"Tapi kau
benar dalam satu hal. Sebaiknya kita mencurigai setiap orang sampai terbukti
dengan akal sehat bahwa dia tak bersalah dan kau merasa puas. Sekarang alasan
apa yang bisa menyangkal kemungkinan bahwa Nona Howard meracuni Nyonya
Inglethorp?"
"Karena
dia setia kepadanya!" seru saya.
"Ch!
Ch!" seru Poirot menjengkelkan. "Itu kan alasan anak-anak. Kalau Nona
Howard mampu meracuni wanita tua itu, dia pasti juga bisa berpura-pura setia
pada Nyonya Inglethorp. Kau benar, rasa bencinya pada Alfred Inglethorp terlalu
berlebihan untuk bisa disebut wajar, tetapi kau salah menarik kesimpulan. Aku
sendiri telah mempunyai kesimpulan yang aku rasa benar. Tapi aku tak ingin membicarakannya
sekarang." Dia diam sejenak, lalu melanjutkan. "Tapi dalam pikiranku
ada satu hal yang tidak cocok untuk mencurigai Nona Howard sebagai
pembunuh."
"Apa
itu?"
"Kematian
Nyonya Inglethorp tidak mendatangkan keuntungan apa-apa bagi Nona Howard.
Padahal tak ada pembunuhan tanpa motif."
Saya berpikir, "Apa
Nyonya Inglethorp pernah membuat surat wasiat yang menguntungkan dia?"
Poirot
menggelengkan kepala. "Tapi kau sendiri mengajukan kemungkinan itu pada
Tuan Wells."
Poirot
tersenyum. "Itu ada sebabnya. Aku tak ingin menyebutkan nama orang yang
ada di pikiranku. Dan Nona Howard mempunyai posisi yang sama dengan orang itu.
Jadi aku pakai saja namanya."
"Walaupun
begitu ada kemungkinan Nyonya Inglethorp melakukan hal itu. Dan surat wasiat
yang dibuatnya pada hari kematiannya mung¬kin—" Gelengan kepala Poirot
kuat sekali sehingga saya berhenti bicara.
"Tidak,
Kawan. Aku punya pendapat tentang surat wasiat itu. Aku hanya bisa mengatakan
sejauh ini—surat wasiat itu tidak menguntungkan Nona Howard." Saya menerima
keyakinannya walaupun saya tidak mengerti mengapa dia seyakin itu.
"Baiklah."
Saya menarik napas panjang. "Kita tak akan mempertimbangkan Nona Howard
kalau begitu. Sebenarnya karena kamulah aku mencurigai dia, yang menyebabkan
adalah komentarmu tentang kesaksiannya dalam pemeriksaan."
Poirot bingung.
"Apa yang kukatakan waktu itu?"
"Kau lupa?
Ketika aku mengatakan bahwa dia dan John Cavendish tidak mungkin untuk
dicurigai?"
"Oh—oh—ya."
Dia kelihatan agak bingung, tapi kemudian bisa menangkap apa yang saya katakan.
"Oh ya, aku ingin minta tolong kau, Hastings?"
"Apa
itu?"
"Kalau kau
punya kesempatan bicara dengan Lawrence Cavendish berdua saja, katakan padanya
ada pesan dari Poirot begini, 'Carilah cangkir kopi ekstra itu, dan kau akan
tenang kembali!' Itu saja—jangan ditambah, jangan dikurangi."
'Carilah
cangkir kopi ekstra itu, dan kau akan tenang kembali!' Begitu?" tanya saya
berpikir-pikir.
"Bagus!"
"Apa
artinya?"
"Ah, kau
harus mencarinya sendiri. Kau sudah tahu semua fakta. Katakan saja pesanku tadi
dan ingat-ingat apa yang dikatakannya."
"Baiklah.
Tapi semua itu sangat misterius bagiku."
Kami sampai ke
Tadminster sekarang dan Poirot memarkir mobil di depan 'Analytical Chemist'. Poirot
meloncat ke luar dan berjalan dengan cepat ke dalam. Beberapa menit kemudian
dia keluar lagi. "Beres," katanya. "Urusanku sudah
selesai."
"Apa yang
kaulakukan tadi?" tanya saya ingin tahu.
"Aku meminta mereka menganalisa
sesuatu."
"Apa yang
dianalisa?"
"Sampel
coklat yang aku ambil dari panci di kamar tidur."
"Tapi itu
kan sudah dites!" seru saya. "Dokter Bauerstein sudah mentesnya, dan
kau sendiri berpendapat bahwa tak mungkin ada strychnine di dalamnya."
"Aku tahu
bahwa Dokter Bauerstein sudah mentes coklat itu," kata Poirot tenang. "Ya—aku
hanya ingin menganalisanya lagi. Itu saja."
Tak ada
keterangan lain yang diberikan Poirot tentang hal itu, walaupun sudah saya pancing-pancing.
Apa yang dilakukan Poirot dengan coklat itu membingungkan saya. Saya tak bisa melihat
alasan sekecil apa pun untuk melakukan pengetesan kembali. Walaupun begitu,
kepercayaan saya padanya yang agak goyah sebelumnya menjadi kuat kembali setelah
kemenangannya membela Alfred Inglethorp. Jenazah Nyonya Inglethorp dikuburkan
keesokan paginya. Pada hari Senin pagi, ketika saya turun untuk sarapan, John
memberi tahu bahwa Tuan Inglethorp pagi itu pindah ke Stylites Arms sampai
rencananya selesai.
"Aku
benar-benar lega dia keluar dari sini," kata John dengan jujur. "Dulu
kami tidak senang ketika dia tinggal di sini karena kami mencurigainya. Tapi
kemudian kami menjadi lebih tidak enak lagi ketika terbukti dia tak bersalah.
Kami telah memperlakukannya dengan sangat buruk. Walaupun demikian, rasanya
orang akan maklum dengan sikap kami karena semua petunjuk menuding dia.
Ternyata kami keliru. Sekarang berat rasanya untuk mengubah sikap karena dari
semula kami memang tidak menyukainya. Kami menjadi serba salah! Aku lega karena
dia cukup mengerti. Syukurlah Styles tidak diwariskan Ibu kepadanya. Tak bisa
membayangkan dia ada di sini. Biar saja dia dapat warisan uang."
"Kau punya
uang cukup untuk memelihara rumah ini?" tanya saya.
"Oh, ya.
Memang ada pengeluaran yang harus dibayar dengan kematian ini. Tapi separuh
dari uang Ayah tertanam di sini. Lawrence akan tinggal bersama kami untuk sementara.
Memang kami harus ketat mengencangkan ikat pinggang untuk saat ini, seperti
sudah kukatakan kepadamu, aku sedikit kekurangan uang sekarang. Tapi kami akan
mendapat hasil dari tanah ini kemudian."
Pagi itu,
suasana sarapan terasa riang dan menyenangkan—untuk yang pertama kali sejak
terjadinya tragedi Nyonya Inglethorp. Dan kami merasa lega karena Alfred Inglethorp
akan segera angkat kaki dari sana. Cynthia yang memang masih muda itu kelihatan
cerah dan wajahnya bertambah cantik. Kami semua gembira kecuali Lawrence yang
masih kelihatan suram dan gelisah.
Surat
kabar-surat kabar memuat kejadian itu dengan pokok berita yang menyolok, biografi
picisan setiap anggota keluarga, sindiran-sindiran halus, dan sedikit ulasan tentang
penemuan polisi. Semua yang ditulis terasa tajam. Karena perang telah reda, berita
itu seperti menjadi santapan lezat bagi orang yang kelaparan. 'Misteri di
Styles' merupakan topik yang hangat. Tentu saja hal itu sangat menjengkelkan
keluarga Cavendish. Rumah besar itu terus menerus diserbu wartawan yang memang
tak diizinkan masuk. Mereka tetap tak beranjak dari sekitar rumah dan siaga
dengan kamera siap dibidikkan ke arah anggota keluarga yang lengah.
Orang-orang
Scotland Yard datang dan pergi, memeriksa, menanyai orang-orang, dengan mata
tajam dan lidah kelu. Kami tak tahu apa tujuan mereka dan apakah mereka
mendapatkan petunjuk atau tidak. Setelah sarapan, Dorcas mendekati saya dan bertanya apakah dia bisa
bicara sebentar.
"Tentu,
Dorcas. Ada apa?"
"Ah,
begini. Tuan akan bertemu dengan Tuan Belgia itu, kan?" Saya mengangguk,
"Tuan tahu kan, beliau menanyakan secara khusus apa ada yang memiliki baju
hijau di rumah ini."
"Ya, ya.
Apa kau menemukan baju itu?" tanya saya penuh rasa ingin tahu.
"Tidak,
Tuan. Tapi saya jadi ingat bahwa Tuan Muda John dan Lawrence punya peti baju-baju
fantasi. Peti itu masih ada di loteng, berisi macam-macam baju yang aneh - aneh.
Barangkali saja di dalamnya ada sebuah baju hijau. Jadi kalau Tuan mau memberi
tahu tuan Belgia itu—"
"Ya. Aku
akan memberi tahu dia," saya berjanji.
"Terima
kasih, Tuan. Tuan itu sangat baik. Tidak sama dengan kedua detektif dari London
yang keluar-masuk menanyakan macam-macam hal. Saya biasanya tidak terlalu suka
pada orang asing. Tapi dari koran-koran yang saya baca, saya tahu bahwa orang-orang
Belgia yang pemberani itu bukanlah orang-orang biasa. Dan tuan yang satu ini
sopan sekali tutur katanya."
Dorcas tua yang
baik. Dia memang contoh sempurna dari seorang pelayan kuno yang
kini sudah langka. Saya pergi ke tempat Poirot, tetapi di tengah
jalan bertemu dengan dia dan langsung menyampaikan pesan Dorcas.
"Ah,
Dorcas yang baik! Kita periksa saja peti itu walaupun—tak apa—kita periksa saja."
Kami masuk ke
dalam rumah. Tak ada seorang pun di ruang depan. Kami langsung menuju loteng. Memang
ada sebuah peti besar tua, penuh dengan macam-macam baju yang modelnya aneh-aneh.
Poirot mengeluarkan semuanya dan membebernya di lantai. Ada satu atau dua baju berwarna
hijau di situ tetapi Poirot hanya menggelengkan kepalanya. Kelihatannya dia
memang tidak terlalu banyak berharap. Tiba-tiba dia berseru.
"Apa
ini?"
"Lihat!"
Peti itu hampir
kosong. Di dasarnya tergeletak seonggok jenggot hitam.
"Ohol"
kata Poirot. "Oh" Dia mengambil dan membalik-balik jenggot itu di tangannya
sambil memperhatikannya. "Baru," katanya. "Ya, masih baru."
Setelah ragu-ragu
sejenak, dia mengembalikannya lagi ke peti dan menumpukinya dengan baju-baju
seperti semula. Kemudian dia menuruni tangga dengan langkah cepat, langsung
menuju ke dapur, menemui Dorcas yang sedang menggosok sendok garpu. Poirot menyapanya
dengan sopan dan melanjutkan, "Kami telah melihat peti itu, Dorcas. Terima
kasih banyak karena kau telah menunjukkannya kepada kami. Koleksi yang amat
bagus. Apakah baju-baju itu sering dipakai?"
"Belakangan
ini tidak terlalu sering, Tuan. Kadang-kadang saja. Sangat lucu, Tuan. Terutama
Tuan Lawrence. Sangat kocak! Saya masih ingat ketika dia berpakaian sebagai
raja dari Persia. Dia memegang pedang besar dari kertas dan berkata, 'He, Dorcas.
Kau harus hormat padaku. Ini adalah pedang pusakaku. Dan kepalamu akan
menggelinding bila kau membuatku tidak senang'. Nona Cynthia memakai baju Apache.
Wah, dia benar-benar luar biasa. Tak ada yang mengira bahwa dia sebenarnya
adalah seorang gadis cantik. Kelihatan kejam dan menyeramkan."
"Pasti
menyenangkan sekali saat-saat seperti itu. Pasti Tuan Lawrence memakai jenggot
hitam lebat yang ada di dalam peti itu, ya!" kata Poirot.
"Dia
memang punya jenggot, Tuan," kata Dorcas tersenyum. "Saya tahu karena
dia
membuatnya dari benang wol saya. Dari jauh kelihatan bagus. Tapi
saya tidak tahu ada jenggot di dalam peti itu. Pasti belum lama ada di situ. Di
situ ada wig merah, tapi rasanya tak ada barang lain yang terbuat dari rambut.
Biasanya yang dipakai adalah kulit kayu yang dibakar—tapi itu kotor. Nona
Cynthia pernah jadi orang Negro dan dia memakainya. Wah, repot
membersihkannya."
"Jadi
Dorcas tidak tahu apa-apa tentang jenggot itu." kata Poirot ketika dia
berjalan ke luar dapur.
"Apakah
memang itu yang dipakai?" bisik saya.
Poirot
mengangguk, "Aku rasa begitu. Kau tahu tidak bahwa ujungnya
digunting?"
"Tidak."
"Jenggot
itu digunting dan dibentuk seperti jenggot Tuan Inglethorp. Dan aku menemukan
satu-dua helai rambut yang tergunting. Hastings, kasus ini semakin bertambah
parah."
"Siapa
kira-kira yang menyimpannya di peti itu?"
"Seseorang
yang cukup terampil," kata Poirot.
"Benda itu
disembunyikan di suatu tempat yang tak mencurigakan. Dia sangat cerdik sehingga
dia tidak curiga bahwa kita lebih cerdik darinya." Saya setuju, "Nah,
mon ami kau akan bisa memberi banyak bantuan."
Ini sangat
menyenangkan saya. Jarang sekali Poirot mengakui bantuan yang sudah saya
berikan. "Ya," lanjutnya, sambil menatapku dalam-dalam, "kau
bisa membantu." Sungguh menyenangkan, tapi kata-kata Poirot berikutnya tak
enak didengar. "Aku harus punya seorang sekutu di rumah," katanya.
"Kan ada
aku."
"Ya, tapi
tidak cukup."
Saya merasa
tersinggung, dan tak berusaha menutup-nutupinya. Poirot cepat-cepat
menjelaskan. "Kau tidak mengerti yang kumaksud, barangkali.
Begini, semua orang tahu bahwa kau adalah temanku dan bekerja sama denganku.
Aku memerlukan seseorang yang kelihatannya tidak terlibat dalam kelompok kita
ini,"
"Oh,
begitu. Bagaimana dengan John?
"Aku rasa
kurang tepat."
"Dia
memang tidak terlalu cerdas," pikir saya.
"Ini dia
Nona Howard," kata Poirot tiba-tiba. "Dialah yang paling cocok. Tapi
aku termasuk dalam daftar hitamnya karena berhasil membebaskan Tuan Inglethorp
dari tuduhan bersalah. Ah, kita coba saja."
Dengan anggukan
dan wajah yang tidak ramali, Nona Howard menyetujui permintaan Poirot untuk
berbicara sebentar. Kami masuk ke ruang duduk yang kecil dan Poirot menutup
pintu.
"Apa yang
Anda perlukan, Tuan Poirot? Langsung saja," kata Nona Howard tidak sabar.
"Anda
masih ingat, Nona, bahwa saya pernah minta Anda untuk membantu saya?"
"Ya."
wanita itu mengangguk. "Dan saya katakan kepada Anda bahwa saya akan membantu
Anda dengan senang hati—untuk menggantung Alfred Inglethorp."
"Ah!"
Poirot memandangnya penuh perhatian. "Nona Howard, saya ingin menanyakan
satu hal dan saya harap Anda menjawab pertanyaan itu dengan sebenarnya."
"Saya tak
pernah bohong," jawabnya. "Begini. Anda masih yakin bahwa Nyonya Inglethorp
diracun oleh suaminya?"
"Apa
maksud Anda?" tanyanya dengan tajam. "Jangan Anda kira bukti-bukti
yang Anda kemukakan bisa mempengaruhi saya. Memang benar bahwa bukan dia yang membeli
strychnine. Itu tidak menjadi soal. Dia sudah pernah bermain-main dengan
racun."
"Ya, tapi
itu arsenik—bukan strychnine," kata Poirot.
"Tak ada
bedanya. Arsenik atau strychnine sama saja. Keduanya akan membunuh Emily. Saya
yakin bahwa dialah yang melakukannya. Saya tak peduli bagaimana cara dia
melakukannya."
"Benar.
Kalau Anda yakin," kata Poirot tenang, "saya ingin menyatakan
pertanyaan saya dalam bentuk lain. Apakah dalam hati kecil Anda ada keyakinan
bahwa Nyonya Inglethorp diracun oleh suaminya?"
"Ya,
Tuhan!" teriak Nona Howard. "Saya selalu berkata bahwa laki-laki itu
seorang bajingan! Bukankah saya selalu mengatakan bahwa dia akan membunuhnya di
tempat tidur? Bukankah saya selalu membencinya seperti racun?"
"Tepat,"
kata Poirot, "hal itu memperkuat keyakinan saya."
"Tentang
apa?"
"Nona
Howard, Anda masih ingat pada percakapan yang terjadi ketika kawan saya ini baru
datang kemari? Dia menceritakannya kepada saya dan saya sangat terkesan pada satu
kalimat yang Anda ucapkan. Anda mengatakan bahwa seandainya terjadi pembunuhan
atas seseorang yang Anda sayangi, Anda merasa yakin bahwa Anda akan mengetahui
pelakunya melalui insting Anda, walaupun Anda tidak dapat membuktikannya?"
"Ya, saya
ingat sekarang. Dan saya masih yakin akan hal itu. Bagaimana menurut Anda?
Apakah tak masuk akal?"
"Sama
sekali tidak."
"Tapi Anda
tidak mau tahu tentang insting saya terhadap Alfred Inglethorp?"
"Benar,"
kata Poirot pendek. "Karena insting Anda sebenarnya tidak tertuju pada
dia. Anda tidak yakin dialah pelakunya."
"Apa?"
"Anda
hanya ingin meyakinkan diri sendiri bahwa dialah yang berbuat. Anda yakin bahwa
dia mampu melakukan hal itu. Tapi insting Anda tidak mengatakannya demikian.
Insting Anda berbicara lain—Anda mau saya melanjutkan?"
Dia memandang
Poirot dengan mata terpesona.
"Apa saya
perlu mengatakan mengapa Anda begitu benci pada Tuan Inglethorp? Karena Anda
berusaha meyakinkan diri untuk mempercayai apa yang Anda ingin percayai. Karena
Anda ingin menutupi dan mengacuhkan insting Anda yang menunjukkan dan
mengatakan sebuah nama lain—"
'Tidak, tidak,
tidak!" seru Nona Howards membabi-buta, sambil mengacungkan tangannya ke
atas. "Sudah—sudah, jangan berkata apa-apa lagi. Itu tidak benar! Itu salah!
Saya tak tahu mengapa saya memikirkan hal itu!"
"Kalau
begitu saya benar?" tanya Poirot.
"Ya, ya.
Anda pasti seorang ahli sihir. Tapi itu pasti tidak benar—terlalu tak masuk akal,
terlalu kejam. Jadi pasti Alfred Inglethorp."
Poirot
menggelengkan kepalanya dengan sedih.
"Jangan
tanya hal itu pada saya," kata Nona Howard melanjutkan, "karena saya
tak akan mengatakannya. Saya tak mau mengakui itu pada diri saya sendiri. Bisa
gila saya kalau memikirkan hal itu,"
Poirot
mengangguk, seolah-olah puas. "Saya tak akan menanyakan apa-apa pada Anda.
Cukup kalau saya tahu bahwa perkiraan saya benar. Dan saya—juga punya insting.
Kita bekerja sama untuk tujuan yang sama."
"Jangan
meminta bantuan saya, karena saya tak bersedia. Saya tak akan menunjukkan
jari untuk—untuk—" Dia tergagap.
"Anda
pasti mau membantu saya. Saya tak minta apa-apa—saya hanya minta agar Anda
menjadi sekutu saya. Anda pasti bisa, karena Anda cukup melakukan satu hal saja."
"Apa
itu?"
"Mengamat-amati!"
Evelyn Howard
menganggukkan kepalanya. "Ya, saya memang senang melakukan hal itu. Saya
selalu—memang selalu mengamati - amati sambil berharap agar saya keliru."
"Kalau
kita keliru, saya akan bersyukur," kata Poirot. "Tak ada orang yang
lebih gembira dari saya. Tapi kalau kita benar? Kalau kita benar, Nona Howard,
Anda akan berada di pihak siapa?"
"Saya tak
tahu, saya tak tahu—"
"Ah,
katakan saja."
"Bisa
ditutupi."
"Tak akan
ada tutup-tutupan."
"Tapi
Emily sendiri—" Dia diam.
"Nona
Howard," kata Poirot tegas, "tak ada artinya bagi Anda."
Tiba-tiba Nona
Howard melepaskan tangan yang menutupi mukanya.
"Ya,"
katanya, "yang bicara tadi bukanlah Evelyn Howard!" Dia menegakkan kepalanya
sambil berkata. "Inilah Evelyn Howard! Dia berpihak pada kebenaran! Dengan
risiko apa pun." Dengan kata-kata itu dia melangkah ke luar ruangan.
"Ah,
sekutu yang bisa diharapkan. Wanita itu tidak hanya punya hati tapi juga
otak," kata Poirot, sambil memandang Evelyn pergi. Saya tidak berkomentar.
"Insting
memang sesuatu yang luar biasa," kata Poirot. "Tidak bisa dijelaskan
ataupun diacuhkan,"
"Kau dan
Nona Howard kelihatannya saling mengerti," kata saya sinis,
"sedangkan aku sama sekali buta rasanya."
"Benarkah
begitu, mon ami"
"Ya.
Cobalah jelaskan."
Poirot
memandang saya sesaat. Lalu dengan tegas dia menggelengkan kepalanya. "Tidak,
Kawan,"
"Mengapa?"
"Dua orang
sudah cukup untuk satu rahasia."
"Aku rasa
tidak adil untuk menyembunyikan fakta dariku."
"Aku tidak
menyembunyikan fakta. Setiap fakta yang kuketahui kau ketahui juga. Tapi kau
bisa menarik deduksi sendiri dari fakta-fakta tersebut. Kali ini ada kaitannya dengan
gagasan atau ide."
"Tapi akan
senang kalau aku mengetahuinya."
Poirot
memandang saya sejenak. Lalu dia berkata dengan tegas. "Kau tidak punya
insting," katanya sedih.
"Kau baru
saja mengatakan bahwa yang diperlukan adalah inteligensia," sanggahku
tak mau kalah.
"Keduanya
biasanya saling bergandengan," kata Poirot, membuatku makin bingung. Jawaban
itu sama sekali tidak relevan menurut logika saya. Karena itu saya diam saja. Saya
hanya berkata pada diri-sendiri bahwa seandainya saya menemukan sesuatu dan
saya yakin akan hal itu saya tak akan memberi tahu Poirot apa-apa. Ada waktunya
seseorang harus bertindak tegas.
Lanjut ke BAB SEMBILAN
0 comments:
Post a Comment