Sunday, 25 October 2015

Agatha Christie - Misteri di Styles - BAB TIGA

BAB TIGA
MALAM NAAS



Agar cerita saya pada bagian ini lebih jelas, saya gambarkan denah lantai dua rumah di Styles itu. Kamar para pembantu bisa dicapai dari pintu. Pembantu-pembantu itu tak bisa masuk langsung dari sisi kanan, di mana terdapat kamar suami-istri Inglethorp. Kira-kira tengah malam saya dibangunkan oleh Lawrence Cavendish. Dia memegang sebatang lilin dan mukanya yang bingung menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
"Ada apa?" tanya saya sambil duduk di tempat tidur dan berusaha berkonsentrasi.
"Kami kuatir akan Ibu. Kelihatannya dia sakit. Tapi semua pintu terkunci, dan dia ada di dalam kamarnya sendiri."
Saya meloncat dari tempat tidur sambil menyambar kimono dan mengikuti Lawrence menuju ke sayap kanan rumah. John Cavendish berjalan bersama kami dan satu atau dua orang pembantu berdiri dengan sikap gelisah.
Lawrence bertanya kepada kakaknya. "Apa yang sebaiknya kita lakukan?" Kelihatan sekali sikapnya yang kurang yakin.
John menggoyang-goyangkan pegangan pintu kamar Nyonya Inglethorp tanpa hasil. Jelas pintu itu terkunci dari dalam. Seluruh penghuni rumah sekarang sudah bangun. Kami mendengar suara yang mengkhawatirkan dari dalam kamar. Kami harus berbuat sesuatu.
"Coba masuk dari kamar Tuan Inglethorp!" teriak Dorcas.
"Oh, kasihan Nyonya!"
Tiba-tiba saya sadar bahwa Alfred Inglethorp tak ada di tengah-tengah kami. John membuka pintu kamarnya. Gelap gulita di dalam. Untunglah Lawrence membawa lilin. Dalam keremangan cahaya lilin, kami tahu bahwa tempat tidurnya masih belum ditiduri. Juga tak ada tanda-tanda bahwa kamar itu dimasuki pemiliknya. Kami langsung menuju ke pintu penghubung. Tapi pintu itu juga terkunci. Apa yang harus kami lakukan?
"Ya, Tuhan," keluh Dorcas sambil meremas-remas tangannya, "apa yang akan kita lakukan?"
"Aku rasa kita harus membuka pintu itu dengan mendobraknya. Memang sulit, tapi akan kita lakukan. Coba salah satu dari kalian membangunkan Baily dan suruh dia menjemput Dokter Wilkins," kata John pada para pelayan.
"Sekarang kita dobrak pintu ini. Eh, tunggu sebentar. Ada pintu penghubung ke kamar Cynthia, kan?"
"Ada, Tuan, tetapi selalu dikunci, tak pernah dibuka."
"Coba kita lihat dulu,"
Dia berlari dengan cepat ke kamar Cynthia. Mary Cavendish ada di dalam, sedang mengguncang – guncang  gadis itu dan berusaha membangunkannya. Sesaat kemudian John kembali.
"Sama saja. Juga dikunci. Kita terpaksa mendobrak pintu. Aku rasa yang ini lebih
tipis."
Kami bersama-sama mendorong pintu itu sekuat tenaga. Kerangka pintu itu sangat kuat dan kami bergelut cukup lama untuk menaklukkannya. Akhirnya dengan suara berdebam pintu itu pun terbuka. Kami terjungkal ke dalam kamar bersama-sama. Lawrence tetap memegang lilinnya. Nyonya Inglethorp telentang di tempat tidurnya. Tubuhnya mengejang – ngejang gelisah menahan rasa sakit. Pasti tadi tangannya menampar meja yang ada di dekatnya sampai roboh.
Waktu khirnya kami semua masuk, dia menjadi tenang dan badannya terkulai di atas bantal-bantal. John cepat-cepat memasang gas. Dia menyuruh Annie, salah seorang pelayan, untuk mengambil brandy di ruang makan. Lalu dia berjalan ke tempat tidur. Saya sendiri membuka pintu yang menghubungkan kamar itu dengan koridor.
Saya berbalik pada Lawrence untuk mengatakan bahwa sebaiknya saya kembali ke kamar karena bantuan saya sudah tidak diperlukan lagi. Tapi kata-kata yang akan saya keluarkan membeku di bibir. Belum pernah saya melihat orang sepucat dia. Wajahnya kelihatan seputih kapur. Tangannya gemetar. Dan lilin yang dipegangnya meleleh menetes di atas karpet. Matanya yang ketakutan terpaku menatap ke suatu titik di dinding. Dia seolah-olah melihat sesuatu yang membuatnya berubah menjadi batu. Secara refleks saya mengikuti arah pandangannya. Tapi saya tak melihat sesuatu yang luar biasa. Saya hanya melihat abu di perapian yang masih berkelap-kelip, dan jajaran hiasan di atas perapian sama sekali tak berbahaya.
Rasa sakit Nyonya Inglethorp kelihatannya telah reda. Dia bisa bicara perlahan-lahan
dan terputus-putus. "Sudah enak—sekarang—tiba-tiba—bodoh aku —mengunci diri di kamar."
Saya melihat bayangan seseorang di belakang saya. Ternyata Mary Cavendish berdiri di pintu dengan tangan merangkul Cynthia, kelihatannya dia sedang menopang Cynthia yang seolah-olah akan tumbang. Wajah Cynthia sangat merah dan berkali – kali menguap. Aneh dan tidak seperti biasanya dia.
"Cynthia sangat ketakutan," kata Nyonya Cavendish dengan suara rendah. Mary sendiri sudah memakai pakaian kerja. Saya kemudian sadar bahwa hari mulai terang. Jam yang ada di atas perapian menunjukkan hampir pukul lima.
Sebuah jeritan tertahan dari tempat tidur mengejutkan saya. Wanita tua itu rupanya mendapat serangan lagi. Dia tak kuat menahan sakit. Tubuhnya terguncang lalu mengejang. Kami maju ke tempat tidur mengelilingi dia tanpa mampu memberi pertolongan. Sebuah kejangan terakhir mengangkat tubuhnya dari tempat tidur, membentuk suatu garis lengkung yang disangga oleh kepala dan tumitnya. Dengan susah payah Mary dan John berusaha memberikan brandy.
Sekali lagi tubuh itu mengejang dan melengkung ke atas dengan aneh. Pada saat itu Dr. Bauerstein masuk ke dalam kamar. Sesaat dia berhenti terpaku memandang tubuh di atas tempat tidur. Tiba-tiba Nyonya Inglethoip berteriak dalam suara tertahan. Matanya memandang dokter itu,
"Alfred—Alfred—" Kemudian tubuhnya terbanting diam di atas bantal-bantal.
Dr. Bauerstein melangkah cepat ke tempat tidur, mengguncang-guncang kedua tangan Nyonya Inglethorp dan membuat pernapasan buatan. Dia memberikan perintah – perintah singkat pada para pelayan. Lambaian tangannya membuat kami mundur ke pintu. Kami memandang dia, terpesona dengan kecekatannya, walaupun hati kecil kami mengatakan bahwa apa yang dilakukannya sudah terlambat. Wajah dokter itu sendiri menunjukkan bahwa dia tidak terlalu banyak berharap. Akhirnya dia menghentikan pekerjaannya, menggelengkan kepalanya dengan sedih.
Pada saat itu kami mendengar suara langkah kaki di luar, dan Dr. Wilkins, dokter
pribadi Nyonya Inglethorp, masuk ke dalam. Dengan singkat Dr. Bauerstein menjelaskan bahwa dia kebetulan melewati pintu gerbang ketika mobil keluar dan berlari masuk secepat-cepatnya, sementara mobil itu menjemput Dr. Wilkins. Dia menunjuk tubuh di atas tempat tidur.
"Sa—ngat menyedihkan. Sangat—menyedih¬kan," gumam Dr. Wilkins. "Kasihan. terlalu aktif—terlalu banyak kegiatan—padahal sudah saya peringatkan. Jantungnya tidak terlalu kuat. 'Santai saja' saran saya kepadanya. Tapi memang dia suka bekerja. Terlalu banyak. Melawan hukum alam."
Dr, Bauerstein memperhatikan Dr. Wilkins. Matanya tetap terpaku pada dokter desa itu ketika ia bicara. "Kekejangan itu sangat aneh, Dok, Sayang Anda belum datang waktu itu untuk melihatnya sendiri. Kejang-kejang yang bersifat tetanik"
"Ah!" kata Dr. Wilkins bijaksana.
"Saya ingin bicara dengan Anda secara pribadi," kata Dr. Bauerstein. Dia memandang John. "Anda tak keberatan?"
"Tentu saja tidak."
Kami semua keluar menuju koridor kecuali kedua dokter itu. Saya mendengar pintu dikunci di belakang kami. Kami berjalan perlahan-lahan menuruni tangga. Perasaan saya tak keruan. Saya memang punya bakat untuk membuat deduksi, dan sikap Dr. Bauerstein menimbulkan berbagai macam dugaan dalam benak saya. Mary Cavendish meletakkan tangannya pada lengan saya.
"Ada apa? Kenapa Dokter Bauerstein kelihatan begitu—aneh?"
Saya memandangnya.
"Kau tahu apa yang kupikir?"
"Apa?"
"Dengar!" Saya memandang berkeliling. Tak ada orang yang akan mendengarkan kami. Saya berbisik, "Aku rasa dia diracuni! Aku yakin Dokter Bauerstein mencurigai hal itu."
"Apa?" Dia merapat ke dinding, kedua bola matanya terbelalak. Kemudian dengan teriakan yang tiba-tiba dan mengejutkan saya dia menjerit, "Tidak, tidak—bukan itu!"
Dia lari naik ke atas. Karena takut dia pingsan, saya mengikutinya dari belakang. Mary bersandar pada pegangan tangga dengan wajah pucat pasi. Tangannya melambai mengusir saya.
"Jangan—tinggalkan aku. Aku ingin sendirian sejenak. Turunlah bersama yang lain,"
Saya mengikuti kemauannya dengan enggan. John dan Lawrence ada di ruang makan. Saya juga ke sana. Kami semua diam. Tapi akhirnya saya berkata, "Mana Tuan Inglethorp?"
John menggelengkan kepalanya. "Tidak ada."
Mata kami bertemu. Di mana Alfred Inglethorp tadi ketidakhadirannya aneh dan tak bisa dipahami. Saya teringat kata-kata Nyonya Ingle¬thorp yang terakhir. Apa sebenarnya maksudnya? Apa lagi yang mungkin akan dikatakannya seandainya dia sempat mengatakannya? Akhirnya kami mendengar langkah-langkah kedua dokter menuruni tangga. Dr. Wilkins kelihatan merasa dirinya penting dan penuh semangat walaupun berusaha untuk bersikap tenang. Dr. Bauerstein tetap tenang. Wajahnya yang suram tidak berubah. Dr. Wilkins mewakili mereka berbicara kepada John. "Tuan Cavendish, saya memerlukan persetujuan Anda untuk melakukan pemeriksaan mayat."
"Apakah itu perlu?" tanya John sedih.
"Sangat perlu," kata Dr. Bauerstein.
"Maksud Anda—?"
"Baik Dokter Wilkins maupun saya tidak bisa memberikan surat keterangan kematian dalam kondisi seperti ini."
John menundukkan kepalanya.
"Kalau begitu tak ada pilihan lain kecuali setuju."
"Terima kasih," kata Dr. Wilkins singkat. "Kami usulkan untuk dilakukan besok malam, atau lebih baik malam ini juga."
Dia memandang ke luar. Fajar mulai menyingsing. "Dalam kondisi seperti ini, saya rasa terpaksa harus dilakukan pemeriksaan. Formalitas ini perlu. Tapi saya harap Anda tidak terlalu merasa risau."
Mereka diam sejenak. Kemudian Dr. Bauerstein mengeluarkan dua buah kunci dari sakunya dan memberikannya kepada John.
"Ini adalah kunci dari kedua kamar itu. Keduanya saya kunci. Saya rasa kamar-kamar itu sebaiknya tetap dikunci."
Dokter-dokter itu kemudian pergi. Saya telah memikirkan sesuatu, dan saya merasa sudah tiba saatnya untuk mengeluarkannya. Tapi saya agak enggan untuk melakukannya. Saya tahu bahwa John tidak suka publisitas. Dia adalah seorang pria optimis yang tidak suka menghadapi kesulitan di tengah jalan. Mungkin agak sulit meyakinkan kebaikan rencana saya. Sebaliknya, Lawrence lebih modern dan punya lebih banyak imajinasi. Mungkin saya bisa menjadikannya sekutu saya. Saya yakin bahwa sekaranglah giliran saya untuk bicara.
"John, aku ingin bertanya," kata saya.
"Kau ingat aku pernah bercerita tentang kawanku Poirot? Orang Belgia yang sedang ada di sini? Dia adalah seorang detektif ulung."
"Ya."
"Aku ingin agar kau memanggilnya untuk menyelidiki hal ini."
"Apa? Sekarang? Sebelum pemeriksaan mayat?"
"Ya. Lebih cepat lebih baik kalau seandainya ada hal-hal yang tidak beres."
"Apa-apaan ini!" teriak Lawrence marah. "Ini kan akal-akalannya Bauerstein saja. Wilkins sendiri tidak punya ide seperti itu sebelum Bauerstein menyuntiknya. Dalam hal ini Bauerstein memang punya kepentingan. Racun adalah hobinya. Jadi dia selalu melihat racun di mana-mana."
Terus terang saya terkejut melihat sikap Lawrence. Dia tidak pernah begitu emosi sebelumnya. John ragu-ragu.
"Aku tak sependapat denganmu, Lawrence," katanya pada akhirnya. "Aku akan memberi kebebasan pada Hastings, walaupun aku lebih suka bila kita menunggu"
"Sebentar. Kita tidak menginginkan suatu skandal."
"Pasti tidak," kata saya cepat. "Jangan kuatir akan hal itu, John. Poirot bisa dipercaya."
"Baiklah kalau begitu. Aku serahkan semuanya kepadamu. Kalau memang terjadi suatu hal yang kita curigai, maka kasus itu sangat jelas. Mudah-mudahan Tuhan mengampuni kalau aku menuduh dia!"
Saya melihat jam saya. Jam enam. Saya tak ingin kehilangan waktu. Tapi saya melewatkan lima menit mengobrak-abrik perpustakaan sampai saya menemukan sebuah buku kedokteran yang memberikan keterangan tentang keracunan strychnine.

Lanjut ke BAB EMPAT

0 comments:

Post a Comment