Friday, 16 October 2015

Agatha Christie - Lapangan Golf Maut - BAB DUA PULUH TUJUH

BAB DUA PULUH TUJUH
KISAH JACK RENAULD


"Selamat, Tuan Jack," kata Poirot sambil merema tangan anak muda itu dengan hangat.
Renauld muda langsung mendatangi kami begitu dia dibebaskan sebelum berangkat ke Merlinville untuk menggabungkan diri dengan Marthe Daubreuil dan ibunya sendiri. Stonor menyertainya. Keramahannya berlawanan sekali dengan air mukanya yang pucat. Tampak jelas bahwa anak muda itu hampir saja mengalami gangguan saraf. Meskipun dia sudah terlepas dari musibah yang mengancamnya, usaha pembebasannya demikian menyakitkannya hingga dia tak bisa merasa lega sepenuhnya.
Dia tersenyum sedih pada Poirot, dan berkata dengan suara rendah, "Saya menjalani semua ini demi dia, dan sekarang semuanya sia-sia saja."
"Anda tak bisa berharap gadis itu akan rela bila Anda sampai mengorbankan hidup Anda," kata Stonor datar. "Begitu dilihatnya Anda terancam kapak pemenggal, dia langsung tampil."
"Ebrufoil Anda memang benar-benar terancam!" Poirot menambahkan dengan berkilat. "Anda bisa saja menjadi penyebab kematian Maitre Grosier karena marahnya pada Anda kalau Anda terus-menerus begitu."
"Saya rasa dia bermaksud baik," kata Jack. "Tapi dia sangat membuat saya pusing. Saya tidak terlalu bisa mempercayakan hati saya padanya. Tapi, ya Tuhan! apa yang akan terjadi atas diri Belia?"
"Kalau saya berada di tempat Anda," kata Poirot berterus terang, "saya tidak akan mau merasa sedih percuma. Pengadilan di Prancis ini sangat lunak pada anak-anak muda, apalagi yang cantik, yang melakukan kejahatan karena cinta. Seorang pengacara yang pandai akan bisa mengubah perkara itu hingga meringankan tuduhan atas dirinya. Bagi Anda memang tidak akan menyenangkan —"
"Saya tak peduli mengenai hal itu. Bagaimanapun juga, Tuan Poirot, saya tetap merasa bersalah atas kematian ayah saya. Kalau tidak gara-gara saya dan hubungan saya dengan Marthe, beliau pasti masih hidup dan sehat sekarang. Tambahan lagi keteledoran saya dalam mengambil mantel yang salah. Bagaimanapun, saya tetap merasa bertanggung jawab atas kematian itu. Hal itu akan menghantui saya selamanya!"
"Jangan, jangan," kataku membujuknya.
"Tentu saya ngeri membayangkan Belia membunuh ayah saya," lanjut Jack, "tapi itu karena saya telah memperlakukan gadis itu dengan cara yang memalukan, setelah saya bertemu dengan Marthe, dan menyadari bahwa saya telah membuat kekeliruan, seharusnya saya menulis surat dan menyatakan hal itu padanya dengan berterus terang. Tapi saya takut sekali dia mengamuk, dan takut pula hal itu sampai dengar Marthe, dan Marthe akan menyangka bahwa hubungan kami lebih daripada yang sebenarnya. Yah, pokoknya saya memang pengecut, dan terus berharap hal itu akan mereda sendiri. Saya mengambang saja, tanpa menyadari bahwa dengan demikian saya telah membuat gadis malang itu putus asa. Bila dia benar-benar menikam saya, sebagaimana niatnya, itu memang sepantasnya. Dan betapa beraninya dia tampil menyerahkan dirinya. Kalau saya berada di tempatnya, saya akan berdiam diri saja — selamanya."
Dia diam sebentar, lalu melanjutkan celotehnya lagi, "Yang mengherankan saya adalah, mengapa Ayah berkeliaran dengan hanya berpakaian dalam dan mantel saya saja malam hari begitu. Mungkin beliau telah berhasil melarikan diri dari orang-orang asing itu, dan ibu saya pasti keliru mengenai jam itu waktu mereka datang. Atau — atau, itu semua bukan sekadar isapan jempol saja, ya? Maksud saya, ibu saya kan tidak menyangka — tak mungkin menyangka — bahwa — bahwa orang itu adalah saya"
Poirot cepat-cepat meyakinkannya. "Tidak, tidak Tuan Jack. Jangan kuatir mengenai hal itu. Mengenai selebihnya, pada suatu hari kelak akan saya jelaskan pada Anda. Memang agak aneh. Tapi coba Anda ceritakan apa sesungguhnya yang telah terjadi pada malam yang
mengerikan itu?"
"Sedikit sekali yang dapat saya ceritakan. Saya kembali dari Cherbourg, sebagaimana yang sudah saya ceritakan pada Anda, untuk menjumpai Marthe sebelum saya berangkat ke bagian lain dari dunia ini. Kereta api terlambat, dan saya memutuskan untuk mengambil jalan pintas melalui lapangan, golf. Dari sana saya akan bisa dengan mudah masuk ke pekarangan Villa Marguerite. Saya hampir tiba di tempat itu, waktu —"
Dia berhenti lalu menelan ludahnya. "Ya?"
"Saya mendengar suatu teriakan yang mengerikan. Suara itu tak nyaring — seperti suara orang tercekik, seperti tersekat—tapi membuat saya ketakutan. Saya berdiri terpaku sebentar. Kemudian saya melewati serumpun semak-semak di sudut. Waktu itu bulan sedang bersinar. Saya melihat kuburan, dan sesosok tubuh yang terbaring tertelungkup dengan sebilah pisau belati tertancap di punggungnya. Dan kemudian — saya melihat dia. Dia melihat saya seolah-olah melihat hantu — pasti mula-mula dia menyangka saya demikian — air mukanya membetw karena ketakutan. Lalu dia memekik, dan berbalik lalu lari."
Dia berhenti dan mencoba mengatasi emosinya.
"Lalu setelah itu?" tanya Poirot lembut.
"Saya benar-benar tak tahu apa-apa lagi. Saya berdiri saja di sana sebentar lagi, terpana,.Kematian saya sadar sebaiknya saya pergi dari situ secepat mungkin. Saya tak menyangka orang akan mencurigai saya, tapi saya takut saya akan dipanggil untuk memberikan kesaksian yang memberatkannya. Sebagaimana sudah saya ceritakan, saya berjalan ke St. Bcauvais, dan menyewa mobil di sana untuk kembali ke Cherbourg,"
Pintu diketuk orang, seorang pesuruh masuk membawa sepucuk telegram yang diserahkannya pada Stonor. Sekretaris itu merobeknya.
"Nyonya Renauld sudah siuman," katanya.
"Bagus!" Poirot bangkit dengan melompat. "Mari kita semua segera pergi ke Merlinville!"
Kami semua cepat-cepat berangkat. Atas permintaan Jack, Stonor bersedia tinggal untuk mengusahakan apa saja yang bisa membantu Belia. Poirot, Jack Renauld, dan aku berangkat naik mobil keluarga Renauld. Perjalanan ke sana memerlukan waktu empat puluh menit lebih sedikit. Waktu kami tiba di jalan masuk ke Villa Marguerite, Jack Renauld menoleh pada Poirot dengan pandangan bertanya.
"Bagaimana kalau kita pergi terus dulu — untuk memberi tahu ibu saya bahwa saya sudah bebas —"
"Anda tentu ingin memberitahukan hal itu dulu pada Nona Marthe, bukan?" lanjut Poirot, Jack Renauld tidak menunggu lebih lama lagi. Setelah menghentikan mobil, dia melompat ke luar, lalu berlari di sepanjang lorong ke pintu depan. Kami melanjutkan perjalanan kami dengan mobil terus ke Villa Genevieve.
"Poirot," kataku, "ingatkah kau bagaimana kita tiba di tempat ini pada hari pertama itu? Waktu itu kita disambut dengan berita tentang kematian Renauld, bukan?"
"Ya, benar. Belum begitu lama sebenarnya. Tapi alangkah banyaknya yang telah terjadi sejak itu — terutama bagimu, mon ami?"
"Poirot, apa yang telah kaulakukan dalam usahamu untuk menemukan Belia — maksudku Diilcie?"
"Tenanglah, Hastings. Semuanya akan kuatur."
"Lama sekali kau bertindak," gerutuku.
Poirot mengubah bahan pembicaraan. "Waktu kita datang itu, merupakan awal, kini kita menjelang akhirnya," katanya, sambil membunyikan lonceng. "Dan sebagai suatu perkara, akhir perkara itu tidaklah memuaskan."
"Memang tidak," desahku.
"Kau mempertimbangkannya dari segi perasaan yang mendalam, Hastings. Bukan begitu maksudku. Kita harap saja Nona Belia akan diperlakukan dengan lunak, dan bagaimanapun juga, Jack Renauld tak bisa mengawini kedua gadis itu sekaligus. Aku berbicara dari sudut pekerjaan. Kejahatan ini bukan kejahatan yang tersusun rapi dan biasa, sebagaimana yang disukai oleh seorang detektif. Peristiwa penuh sandiwara yang dirancang oleh Georges Conneau, memang sempurna, tapi kesudahannya — ah! Seorang laki-laki yang terbunuh tanpa disengaja dalam kemarahan seorang gadis — ah, susunan dan cara kerja apa itu?"
Sedang aku menertawakan keanehan kata-kata Poirot itu, pintu dibuka oleh Francoise. Poirot mengatakan padanya bahwa dia harus segera bertemu dengan Nyonya Renauld, dan palapa itu figantanya naik ke lantai atas. Aku tinggal di dalam ruang tamu utama. Agak lama Poirot baru muncul kembali.
"Lihat saja, Hastings! Bakal ada kekacauan hebat!"
"Apa maksudmu?" aku berseru.
"Aku sendiri tidak menyukainya," kata Poirot merenung, "tapi kaum wanita memang sulit diramalkan,"
"Ini Jack dan Marthe Daubreuil datang,"  kataku sambil melihat ke luar jendela. Poirot berjalan ke luar kamar dengan langkah-langkah panjang, lalu menyambut pajangan muda itu di tangga luar.
"Jangan masuk. Sebaiknya jangan. Ibu Anda sedang risau."
"Saya tahu, saya tahu," kata Jack Renauld. "Saya harus segera naik menjumpainya."
"Jangan. Dengarlah kata-kata saya. Sebaiknya jangan."
"Tapi Marthe dan saya —"
"Bagaimanapun juga, jangan bawa nona ini serta. Naiklah kalau Anda mau, tapi sebaiknya saya yang menyertai Anda."
Suatu suara di tangga membuat kami semua terkejut. "Terima kasih atas jasa baik Anda, Tuan Poirot, tapi saya ingin menyatakan sendiri isi hati saya."
Kami terbelalak keheranan dengan dituntun oleh Leonie, Nyonya Renauld menuruni tangga, dengan kepala masih terbalut. Gadis Prancis itu meratap dan memohon padanya untuk kembali ke tempat tidur.
"Nyonya akan membunuh dirinya sendiri. Ini semua melawan perintah dokter!" Tetapi Nyonya Renauld berjalan terus.
"Ibu," seru Jack, sambil bergerak maju. Tapi ibunya mencegahnya mendekat dengan gerak tangannya.
"Aku bukan ibumu! Kau bukan anakku! Mulai hari dan jam ini aku tidak lagi
mengakuimu."
"Ibu," pekik anak muda itu terperanjat.
Sesaat kelihatan bahwa wanita itu agak goyah, akan berubah sikap mendengar nada ketakutan dalam suara anaknya. Poirot menunjukkan sikap akan melerai, tapi wanita itu segera bisa menguasai dirinya.
"Kau menginginkan darah ayahmu. Secara moral kau bersalah dalam kematiannya. Kau membangkang terhadapnya dan melawannya demi gadis ini, dan karena perlakuanmu yang tanpa tenggang rasa terhadap gadis lain, kau lalu menjadi penyebab kematian ayahmu. Keluar dari rumahku. Besok aku akan mengambil langkah-langkah yang tidak akan pernah memungkinkan kau mendapatkan satu penny pun dari uangnya. Jalanilah hidup di dunia ini sendiri dengan bantuan gadis yang tiada lain adalah anak musuh bebuyutan ayahmu!"
Kemudian, perlahan-lahan dan dengan bersusah payah, dia kembali ke lantai atas. Kami semua terpaku—benar-benar tak siap untuk melihat pemandangan seperti itu. Jack Renauld yang sudah cukup letih karena semua yang sudah dialaminya, terhuyung dan hampir jatuh. Poirot dan aku cepat-cepat membantunya.
"Dia terlalu letih," gumam Poirot pada Marthe. "Ke mana kita bisa membawanya?"
"Pulang tentu. Ke Villa Marguerite. Saya akan merawatnya bersama ibu saya. Kasihan Jack!" Kami bawa anak muda itu ke villa itu, di mana dia menjatuhkan diri tanpa tenaga ke sebuah kursi dalam keadaan setengah sadar. Poirot meraba kepala dan tangannya.
"Dia demam, ketegangan-ketegangan yang terlalu banyak mulai memperlihatkan akibatnya. Kini ditambah lagi dengan shock ini. Bawa dia ke tempat tidur, Hastings dan saya akan memanggil dokter."
Kami segera pergi mencari bantuan dokter. Setelah memeriksa pasiennya, dokter mengatakan bahwa itu tak lain adalah ketegangan saraf. Dengan istiiahat dan ketenangan sempurna, anak muda itu akan bisa sehat kembali esok harinya, tapi, bila mengalami kekacauan lagi, maka dia mungkin mengalami demam otak. Perlu sekali ada seseorang yang menjaganya sepanjang malam.
Akhirnya, setelah membantu sebisanya, kami tinggalkan dia di bawah pengawasan Marthe dan ibunya, dan kami berangkat ke kota. Malam itu sudah lewat waktu makan kami, dan kami berdua sudah kelaparan. Restoran yang pertama yang kami datangi menghilangkan rasa lapar kami dengan omelet te yang enak, dan disusul daging rusuk yang enak sekali.
"Sekarang mencari tempat untuk menginap," kata Poirot, setelah minum kopi tanpa susu sebagai penutup makan malam itu. "Mari kita coba teman lama kita, Hotel des Baines."
Tanpa berlama-lama kami menuju ke tempat itu.
"Ya, Tuan-tuan bisa ditampung di dua buah kamar yang menghadap ke laut."
Kemudian Poirot menanyakan suatu pertanyaan yang membuatku terkejut. "Apakah seorang wanita Inggris yang bernama Nona Robinson sudah tiba?"
"Sudah, Tuan. Dia ada diruang tamu kecil"
"Oh!"
"Poirot," kataku sambil menyesuaikan langkahku dengan dia ketika dia menjalani lorong rumah itu, "siapa lagi Nona Robinson itu?"
Poirot memandangku dengan ramah dan berseri. "Aku kan sudah mengatakan akan mengatur perkawinan untukmu, Hastings. 'Tapi —"
"Bah!" kata Poirot, sambil mendorongku dengan lembut melewati ambang pintu.
"Apakah kau mau aku mendengung-dengungkan nama Duveen di Merlinville ini?!"
Memang benar, Cinderella-lah yang bangkit menyambut kedatangan kami. Aku menggenggam kedua belah tangannya. Aku berbicara dengan mataku.
Poirot meneguk ludahnya."Anak-anakku," katanya, "saat ini kita tak sempat bermesra – mesraan dulu. Kita harus bekerja! Nona, apakah Anda bisa melaksanakan apa yang saya instruksikan?"
Sebagai jawaban, Cinderella mengeluarkan sesuatu yang terbungkus dalam kertas dari tasnya, dan memberikannya tanpa berkata apa-apa pada Poirot, yang langsung membuka bungkusan itu. Aku terkejut sekali — karena benda itu adalah pisau belati dari kawat pesawat terbang yang kusangka sudah dilemparkannya ke dalam laut.
Aneh, betapa enggannya kaum wanita memusnahkan benda-benda dan surat – surat yang kelihatannya tak berarti!
"Tres bient Gadisku," kata Poirot. "Saya senang sekali padamu. Sekarang pergilah beristirahat. Hastings dan saya harus bekerja. Besok Anda baru akan bisa bertemu dengannya."
"Anda akan ke mana?" tanya gadis itu.
"Besok Anda akan mendengar semuanya."
"Ke mana pun Anda akan pergi, saya ikut."
Poirot menyadari bahwa akan percuma saja membantahnya. "Kalau begitu marilah, Nona. Tapi ini tidak akan menyenangkan. Mungkin sekali tidak akan terjadi apa-apa."
Gadis itu tak menyahut.
Dua puluh menit kemudian kami berangkat. Sekarang hari sudah gelap sekali, malam itu panas dan pengap. Poirot berjalan di depan menuju Villa Genevieve. Tapi waktu kami tiba di Villa Marguerite, dia berhenti sebentar.
"Saya ingin melihat keadaan Jack Renauld, Mari ikut, Hastings. Nona sebaiknya tinggal di luar. Mungkin Nyonya Daubreuil akan mengatakan sesuatu yang akan menusuk perasaan."
Kami membuka pintu pagar dan berjalan di sepanjang lorong masuk ke rumah. Waktu kami membelok ke samping rumah, aku menunjukkan pada Poirot suatu jendela di lantai atas. Pada kerai tampak jelas bayangan tubuh Marthe Daubreuil.
"Oh!" kata Poirot. "Saya sudah menduga bahwa di situlah kita akan menemui Jack Renauld."
Nyonya Daubreuil yang membukakan kami pintu. Dijelaskannya bahwa keadaan Jack masih sama saja, tapi mungkin kami ingin melihatnya sendiri. Dia berjalan mendahului kami naik ke lantai atas dan masuk ke kamar tidur. Marthe Daubreuil sedang menyulam di dekat sebuah meja yang ada lampunya. Dia meletakkan telunjuknya ke bibirnya waktu kami masuk.
Jack Renauld sedang tidur nyenyak tapi gelisah, kepalanya sebentar ke kiri, sebentar ke kanan, dan mukanya masih merah.
"Apakah dokter akan datang lagi?" tanya Poirot berbisik.
"Tidak, kecuali kalau diminta. Dia sedang tidur — itu yang penting. Maman telah membuatkannya tisane."
Gadis itu duduk lagi dengan sulamannya waktu kami meninggalkan kamar itu. Nyonya Daubreuil mengantar kami turun. Sejak aku tahu sejarah masa lalu wanita itu, aku memperhatikannya dengan perhatian yang lebih besar. Dia berdiri dengan mata merunduk, dengan senyum kecil yang penuh teka-teki yang masih kuingat. Dan tiba-tiba aku merasa takut padanya, sebagaimana seseorang merasa takut akan seekor ular cantik yang berbisa.
"Saya harap kami tadi tidak menyusahkan Anda, Nyonya," kata Poirot, waktu wanita itu membukakan kami pintu untuk keluar.
"Sama sekali tidak, Tuan."
"Omong-omong," kata Poirot seolah-olah baru teringat, "Tuan Stonor belum tiba di Merlinville hari ini ya?"
Aku sama sekali tak mengerti arah pertanyaan itu. Aku yakin pertanyaan itu sama sekali tak ada artinya.
Dengan tenang Nyonya Daubreuil menyahut, "Setahu, saya, belum."
"Apakah dia belum berbicara dengan Nyonya Renauld?"
"Bagaimana mungkin saya tahu, Tuan?"
"Benar juga" kata Poirot. "Saya hanya menduga mungkin Anda ada melihatnya datang dan pergi lagi. Selamat malam, Nyonya."
"Mengapa —" aku mulai bertanya.
"Jangan bertanya, Hastings. Nanti semuanya boleh."
Kami menggabungkan diri kembali dengan Cinderella dan berjalan ke arah Villa Genevieve. Sekali lagi Poirot menoleh ke belakang ke jendela kamar yang berlampu, dan tampak sosok tubuh Marthe yang duduk membungkuk menekuni pekerjaannya.
"Jack dijaga dengan baik," gumamnya.
Setiba di Villa Genevieve, Poirot mengambil tempat di balik semak-semak di sebelah kiri jalan masuk ke rumah. Dari sana kami bisa melihat dengan mudah, sementara kami sendiri benar-benar tersembunyi. Villa itu sendiri gelap seluruhnya; pasti semua orang sudah tidur. Kami berada hampir tepat di bawah jendela kamar tidur Nyonya Renauld, dan kulihat jendelanya terbuka. Kulihat mata Poirot tertuju ke arah itu terus.
"Apa yang akan kita perbuat?" bisikku.
"Melihat."
"Tapi —"
"Selama sekurang-kurangnya satu jam, atau bahkan dua jam ini, kurasa tidak akan terjadi apa-apa, tapi —"
Tapi kata-katanya itu terhenti oleh suatu teriakan panjang, "Tolooong!"
Lampu tiba-tiba menyala di kamar tingkat atas di sebelah kanan di sisi rumah. Pekik itu berasal dari situ. Dan kami lalu melihat bayangan pada kerai, bayangbayang dua orang yang sedang bergumul.
'Terkutuk benar!" teriak Poirot. "Wanita itu pasti sudah pindah kamar."
Sambil berlari dia menggedor pintu depan kuat-kuat. Kemudian dia belarian ke pohon yang tumbuh di bedeng bunga. Dipanjatnya pohon itu selincah kucing. Aku menyusulnya. Dia melompat melewati jendela yang terbuka. Waktu aku menoleh, kulihat Dulcie sudah mencapai sebuah cabang di belakangku.
"Hati-hati," teriakku.
"Hati-hati mbahmu!" balas gadis itu. "Ini seperti permainan saja bagiku."
Poirot sudah berlari melewati kamar yang kosong itu dan menggedor pintu yang menuju ke lorong rumah.
"Terkunci dan dipalang dari luar," geramnya. "Ini akan makan waktu yang mendobraknya."
Suara teriakan minta tolong makin melemah kedengarannya. Aku melihat bayangan putus asa dalam mata Poirot. Kami berdua menghantamkan bahu kami ke pintu itu. Kemudian dari dekat jendela terdengar suara Cinderella yang tenang-tenang dan halus, "Kita akan terlambat. Saya rasa, sayalah satu-satunya yang bisa berbuat sesuatu."
Sebelum aku sempat berbuat apa-apa untuk mencegahnya, dia kelihatan seolah – olah melompat lalu melayang ke angkasa. Aku berlari mengejarnya dan melihat ke luar. Aku ngeri melihat dia bergantung pada atap, bergerak dengan cara berputar – putar  dan sentakan –sentakan ke arah jendela yang terbuka.
"Oh, Tuhan! Dia bisa jatuh dan mati," aku berseru.
"Kau lupa. Dia seorang akrobat kawakan, Hastings. Adalah rahmat Tuhan dia tadi bersikeras untuk ikut kita malam ini. Aku hanya berdoa semoga dia tak terlambat!"
Suatu teriakan penuh ketakutan memenuhi suasana malam waktu gadis itu menghilang melalui jendela di sebelah kanan, kemudian terdengar suara Cinderella berkata dengan lantang, "Tidak, tidak akan bisa! Kau sudah berada dalam cengkeramanku — dan genggamanku sekuat baja."
Pada saat yang sama pintu kamar tempat kami terkurung dibuka dengan berhati-hati oleh Francoise. Poirot menyingkirkan wanita itu dengan kasar dan berlari di sepanjang lorong rumah ke tempat di mana pelayan-pelayan yang lain sedang berdiri berkelompok di dekat pintu di sebelah ujung.
"Terkunci dari dalam, Tuan."
Dari dalam terdengar sesuatu yang berat terbanting. Setelah beberapa lamanya anak kunci berputar dan pintu dibuka perlahan-lahan. Cinderella yang tampak pucat, mengisyaratkan supaya kami masuk.
"Selamatkah dia?" tanya Poirot.
"Ya, saya datang tepat pada waktunya. Beliau keletihan."
Nyonya Renauld setengah duduk dan setengah terbaring di tempat tidurnya. Dia bernapas tersengal-sengal.
"Hampir saja saya mati dicekiknya," gumamnya menahan sakit.
Cinderella memungut sesuatu dari lantai dan memberikannya pada Poirot. Benda itu adalah gulungan tali sutera yang sangat halus, tapi kuat sekali.
"Alat untuk melarikan diri," kata Poirot, "melalui jendela, sementara kita menggedor pintu. Mana — yang lain?"
Gadis itu menyingkir sedikit lalu menunjuk. Di lantai tergeletak sesosok tubuh yang terbungkus dalam bahan berwarna gelap yang wajahnya tertutup oleh lipatan kain itu.
"Meninggal?"
Gadis itu mengangguk. "Saya rasa begitu."
Kepalanya pasti telah terbentur pada tepi pelindung perapian yang terbuat dari batu pualam.
"Siapa dia?" tanyaku berseru.
"Pembunuh Tuan Renauld, Hastings. Dan hampir saja menjadi pembunuh Nyonya Renauld."
Dengan rasa heran dan tak mengerti, aku berlutut, dan setelah mengangkat lipatan kain itu, tampak olehku wajah cantik Marthe Daubreuil yang sudah meninggal.



0 comments:

Post a Comment