BAB DUA PULUH TUJUH
KISAH JACK RENAULD
"Selamat,
Tuan Jack," kata Poirot sambil merema tangan anak muda itu dengan hangat.
Renauld muda
langsung mendatangi kami begitu dia dibebaskan sebelum berangkat ke Merlinville
untuk menggabungkan diri dengan Marthe Daubreuil dan ibunya sendiri. Stonor
menyertainya. Keramahannya berlawanan sekali dengan air mukanya yang pucat.
Tampak jelas bahwa anak muda itu hampir saja mengalami gangguan saraf. Meskipun
dia sudah terlepas dari musibah yang mengancamnya, usaha pembebasannya demikian
menyakitkannya hingga dia tak bisa merasa lega sepenuhnya.
Dia tersenyum
sedih pada Poirot, dan berkata dengan suara rendah, "Saya menjalani semua
ini demi dia, dan sekarang semuanya sia-sia saja."
"Anda tak
bisa berharap gadis itu akan rela bila Anda sampai mengorbankan hidup
Anda," kata Stonor datar. "Begitu dilihatnya Anda terancam kapak pemenggal,
dia langsung tampil."
"Ebrufoil
Anda memang benar-benar terancam!" Poirot menambahkan dengan berkilat.
"Anda bisa saja menjadi penyebab kematian Maitre Grosier karena marahnya
pada Anda kalau Anda terus-menerus begitu."
"Saya rasa
dia bermaksud baik," kata Jack. "Tapi dia sangat membuat saya pusing.
Saya tidak terlalu bisa mempercayakan hati saya padanya. Tapi, ya Tuhan! apa
yang akan terjadi atas diri Belia?"
"Kalau
saya berada di tempat Anda," kata Poirot berterus terang, "saya tidak
akan mau merasa sedih percuma. Pengadilan di Prancis ini sangat lunak pada anak-anak
muda, apalagi yang cantik, yang melakukan kejahatan karena cinta. Seorang
pengacara yang pandai akan bisa mengubah perkara itu hingga meringankan tuduhan
atas dirinya. Bagi Anda memang tidak akan menyenangkan —"
"Saya tak
peduli mengenai hal itu. Bagaimanapun juga, Tuan Poirot, saya tetap merasa
bersalah atas kematian ayah saya. Kalau tidak gara-gara saya dan hubungan saya
dengan Marthe, beliau pasti masih hidup dan sehat sekarang. Tambahan lagi keteledoran
saya dalam mengambil mantel yang salah. Bagaimanapun, saya tetap merasa
bertanggung jawab atas kematian itu. Hal itu akan menghantui saya selamanya!"
"Jangan,
jangan," kataku membujuknya.
"Tentu
saya ngeri membayangkan Belia membunuh ayah saya," lanjut Jack, "tapi
itu karena saya telah memperlakukan gadis itu dengan cara yang memalukan, setelah
saya bertemu dengan Marthe, dan menyadari bahwa saya telah membuat kekeliruan,
seharusnya saya menulis surat dan menyatakan hal itu padanya dengan berterus
terang. Tapi saya takut sekali dia mengamuk, dan takut pula hal itu sampai
dengar Marthe, dan Marthe akan menyangka bahwa hubungan kami lebih daripada
yang sebenarnya. Yah, pokoknya saya memang pengecut, dan terus berharap hal itu
akan mereda sendiri. Saya mengambang saja, tanpa menyadari bahwa dengan
demikian saya telah membuat gadis malang itu putus asa. Bila dia benar-benar
menikam saya, sebagaimana niatnya, itu memang sepantasnya. Dan betapa beraninya
dia tampil menyerahkan dirinya. Kalau saya berada di tempatnya, saya akan
berdiam diri saja — selamanya."
Dia diam
sebentar, lalu melanjutkan celotehnya lagi, "Yang mengherankan saya
adalah, mengapa Ayah berkeliaran dengan hanya berpakaian dalam dan mantel saya
saja malam hari begitu. Mungkin beliau telah berhasil melarikan diri dari
orang-orang asing itu, dan ibu saya pasti keliru mengenai jam itu waktu mereka
datang. Atau — atau, itu semua bukan sekadar isapan jempol saja, ya? Maksud
saya, ibu saya kan tidak menyangka — tak mungkin menyangka — bahwa — bahwa
orang itu adalah saya"
Poirot
cepat-cepat meyakinkannya. "Tidak, tidak Tuan Jack. Jangan kuatir mengenai
hal itu. Mengenai selebihnya, pada suatu hari kelak akan saya jelaskan pada
Anda. Memang agak aneh. Tapi coba Anda ceritakan apa sesungguhnya yang telah
terjadi pada malam yang
mengerikan itu?"
"Sedikit
sekali yang dapat saya ceritakan. Saya kembali dari Cherbourg, sebagaimana yang
sudah saya ceritakan pada Anda, untuk menjumpai Marthe sebelum saya berangkat
ke bagian lain dari dunia ini. Kereta api terlambat, dan saya memutuskan untuk
mengambil jalan pintas melalui lapangan, golf. Dari sana saya akan bisa dengan
mudah masuk ke pekarangan Villa Marguerite. Saya hampir tiba di tempat itu,
waktu —"
Dia berhenti
lalu menelan ludahnya. "Ya?"
"Saya
mendengar suatu teriakan yang mengerikan. Suara itu tak nyaring — seperti suara
orang tercekik, seperti tersekat—tapi membuat saya ketakutan. Saya berdiri terpaku
sebentar. Kemudian saya melewati serumpun semak-semak di sudut. Waktu itu bulan
sedang bersinar. Saya melihat kuburan, dan sesosok tubuh yang terbaring
tertelungkup dengan sebilah pisau belati tertancap di punggungnya. Dan kemudian
— saya melihat dia. Dia melihat saya seolah-olah melihat hantu — pasti
mula-mula dia menyangka saya demikian — air mukanya membetw karena ketakutan.
Lalu dia memekik, dan berbalik lalu lari."
Dia berhenti
dan mencoba mengatasi emosinya.
"Lalu setelah
itu?" tanya Poirot lembut.
"Saya
benar-benar tak tahu apa-apa lagi. Saya berdiri saja di sana sebentar lagi,
terpana,.Kematian saya sadar sebaiknya saya pergi dari situ secepat mungkin.
Saya tak menyangka orang akan mencurigai saya, tapi saya takut saya akan
dipanggil untuk memberikan kesaksian yang memberatkannya. Sebagaimana sudah
saya ceritakan, saya berjalan ke St. Bcauvais, dan menyewa mobil di sana untuk
kembali ke Cherbourg,"
Pintu diketuk
orang, seorang pesuruh masuk membawa sepucuk telegram yang diserahkannya pada
Stonor. Sekretaris itu merobeknya.
"Nyonya
Renauld sudah siuman," katanya.
"Bagus!"
Poirot bangkit dengan melompat. "Mari kita semua segera pergi ke Merlinville!"
Kami semua
cepat-cepat berangkat. Atas permintaan Jack, Stonor bersedia tinggal untuk
mengusahakan apa saja yang bisa membantu Belia. Poirot, Jack Renauld, dan aku
berangkat naik mobil keluarga Renauld. Perjalanan ke sana memerlukan waktu
empat puluh menit lebih sedikit. Waktu kami tiba di jalan masuk ke Villa
Marguerite, Jack Renauld menoleh pada Poirot dengan pandangan bertanya.
"Bagaimana
kalau kita pergi terus dulu — untuk memberi tahu ibu saya bahwa saya sudah
bebas —"
"Anda tentu
ingin memberitahukan hal itu dulu pada Nona Marthe, bukan?" lanjut Poirot,
Jack Renauld tidak menunggu lebih lama lagi. Setelah menghentikan mobil, dia melompat
ke luar, lalu berlari di sepanjang lorong ke pintu depan. Kami melanjutkan
perjalanan kami dengan mobil terus ke Villa Genevieve.
"Poirot,"
kataku, "ingatkah kau bagaimana kita tiba di tempat ini pada hari pertama
itu? Waktu itu kita disambut dengan berita tentang kematian Renauld, bukan?"
"Ya,
benar. Belum begitu lama sebenarnya. Tapi alangkah banyaknya yang telah terjadi
sejak itu — terutama bagimu, mon ami?"
"Poirot,
apa yang telah kaulakukan dalam usahamu untuk menemukan Belia — maksudku
Diilcie?"
"Tenanglah,
Hastings. Semuanya akan kuatur."
"Lama
sekali kau bertindak," gerutuku.
Poirot mengubah
bahan pembicaraan. "Waktu kita datang itu, merupakan awal, kini kita
menjelang akhirnya," katanya, sambil membunyikan lonceng. "Dan
sebagai suatu perkara, akhir perkara itu tidaklah memuaskan."
"Memang
tidak," desahku.
"Kau
mempertimbangkannya dari segi perasaan yang mendalam, Hastings. Bukan begitu
maksudku. Kita harap saja Nona Belia akan diperlakukan dengan lunak, dan
bagaimanapun juga, Jack Renauld tak bisa mengawini kedua gadis itu sekaligus.
Aku berbicara dari sudut pekerjaan. Kejahatan ini bukan kejahatan yang tersusun
rapi dan biasa, sebagaimana yang disukai oleh seorang detektif. Peristiwa penuh
sandiwara yang dirancang oleh Georges Conneau, memang sempurna, tapi kesudahannya
— ah! Seorang laki-laki yang terbunuh tanpa disengaja dalam kemarahan seorang
gadis — ah, susunan dan cara kerja apa itu?"
Sedang aku menertawakan
keanehan kata-kata Poirot itu, pintu dibuka oleh Francoise. Poirot mengatakan
padanya bahwa dia harus segera bertemu dengan Nyonya Renauld, dan palapa itu
figantanya naik ke lantai atas. Aku tinggal di dalam ruang tamu utama. Agak
lama Poirot baru muncul kembali.
"Lihat
saja, Hastings! Bakal ada kekacauan hebat!"
"Apa
maksudmu?" aku berseru.
"Aku
sendiri tidak menyukainya," kata Poirot merenung, "tapi kaum wanita memang
sulit diramalkan,"
"Ini Jack
dan Marthe Daubreuil datang," kataku sambil melihat ke luar jendela. Poirot
berjalan ke luar kamar dengan langkah-langkah panjang, lalu menyambut pajangan
muda itu di tangga luar.
"Jangan
masuk. Sebaiknya jangan. Ibu Anda sedang risau."
"Saya
tahu, saya tahu," kata Jack Renauld. "Saya harus segera naik
menjumpainya."
"Jangan.
Dengarlah kata-kata saya. Sebaiknya jangan."
"Tapi
Marthe dan saya —"
"Bagaimanapun
juga, jangan bawa nona ini serta. Naiklah kalau Anda mau, tapi sebaiknya saya
yang menyertai Anda."
Suatu suara di
tangga membuat kami semua terkejut. "Terima kasih atas jasa baik Anda,
Tuan Poirot, tapi saya ingin menyatakan sendiri isi hati saya."
Kami terbelalak
keheranan dengan dituntun oleh Leonie, Nyonya Renauld menuruni tangga, dengan
kepala masih terbalut. Gadis Prancis itu meratap dan memohon padanya untuk
kembali ke tempat tidur.
"Nyonya
akan membunuh dirinya sendiri. Ini semua melawan perintah dokter!" Tetapi
Nyonya Renauld berjalan terus.
"Ibu,"
seru Jack, sambil bergerak maju. Tapi ibunya mencegahnya mendekat dengan gerak
tangannya.
"Aku bukan
ibumu! Kau bukan anakku! Mulai hari dan jam ini aku tidak lagi
mengakuimu."
"Ibu,"
pekik anak muda itu terperanjat.
Sesaat
kelihatan bahwa wanita itu agak goyah, akan berubah sikap mendengar nada
ketakutan dalam suara anaknya. Poirot menunjukkan sikap akan melerai, tapi
wanita itu segera bisa menguasai dirinya.
"Kau
menginginkan darah ayahmu. Secara moral kau bersalah dalam kematiannya. Kau
membangkang terhadapnya dan melawannya demi gadis ini, dan karena perlakuanmu
yang tanpa tenggang rasa terhadap gadis lain, kau lalu menjadi penyebab
kematian ayahmu. Keluar dari rumahku. Besok aku akan mengambil langkah-langkah
yang tidak akan pernah memungkinkan kau mendapatkan satu penny pun dari
uangnya. Jalanilah hidup di dunia ini sendiri dengan bantuan gadis yang tiada
lain adalah anak musuh bebuyutan ayahmu!"
Kemudian,
perlahan-lahan dan dengan bersusah payah, dia kembali ke lantai atas. Kami
semua terpaku—benar-benar tak siap untuk melihat pemandangan seperti itu. Jack
Renauld yang sudah cukup letih karena semua yang sudah dialaminya, terhuyung
dan hampir jatuh. Poirot dan aku cepat-cepat membantunya.
"Dia
terlalu letih," gumam Poirot pada Marthe. "Ke mana kita bisa
membawanya?"
"Pulang
tentu. Ke Villa Marguerite. Saya akan merawatnya bersama ibu saya. Kasihan
Jack!" Kami bawa anak muda itu ke villa itu, di mana dia menjatuhkan diri
tanpa tenaga ke sebuah kursi dalam keadaan setengah sadar. Poirot meraba kepala
dan tangannya.
"Dia
demam, ketegangan-ketegangan yang terlalu banyak mulai memperlihatkan akibatnya.
Kini ditambah lagi dengan shock ini. Bawa dia ke tempat tidur, Hastings dan
saya akan memanggil dokter."
Kami segera
pergi mencari bantuan dokter. Setelah memeriksa pasiennya, dokter mengatakan
bahwa itu tak lain adalah ketegangan saraf. Dengan istiiahat dan ketenangan sempurna,
anak muda itu akan bisa sehat kembali esok harinya, tapi, bila mengalami
kekacauan lagi, maka dia mungkin mengalami demam otak. Perlu sekali ada
seseorang yang menjaganya sepanjang malam.
Akhirnya,
setelah membantu sebisanya, kami tinggalkan dia di bawah pengawasan Marthe dan
ibunya, dan kami berangkat ke kota. Malam itu sudah lewat waktu makan kami, dan
kami berdua sudah kelaparan. Restoran yang pertama yang kami datangi
menghilangkan rasa lapar kami dengan omelet te yang enak, dan disusul daging
rusuk yang enak sekali.
"Sekarang
mencari tempat untuk menginap," kata Poirot, setelah minum kopi tanpa susu
sebagai penutup makan malam itu. "Mari kita coba teman lama kita, Hotel
des Baines."
Tanpa
berlama-lama kami menuju ke tempat itu.
"Ya,
Tuan-tuan bisa ditampung di dua buah kamar yang menghadap ke laut."
Kemudian Poirot
menanyakan suatu pertanyaan yang membuatku terkejut. "Apakah seorang
wanita Inggris yang bernama Nona Robinson sudah tiba?"
"Sudah,
Tuan. Dia ada diruang tamu kecil"
"Oh!"
"Poirot,"
kataku sambil menyesuaikan langkahku dengan dia ketika dia menjalani lorong
rumah itu, "siapa lagi Nona Robinson itu?"
Poirot
memandangku dengan ramah dan berseri. "Aku kan sudah mengatakan akan
mengatur perkawinan untukmu, Hastings. 'Tapi —"
"Bah!"
kata Poirot, sambil mendorongku dengan lembut melewati ambang pintu.
"Apakah
kau mau aku mendengung-dengungkan nama Duveen di Merlinville ini?!"
Memang benar,
Cinderella-lah yang bangkit menyambut kedatangan kami. Aku menggenggam kedua
belah tangannya. Aku berbicara dengan mataku.
Poirot meneguk
ludahnya."Anak-anakku," katanya, "saat ini kita tak sempat bermesra
– mesraan dulu. Kita harus bekerja! Nona, apakah Anda bisa melaksanakan apa
yang saya instruksikan?"
Sebagai
jawaban, Cinderella mengeluarkan sesuatu yang terbungkus dalam kertas dari
tasnya, dan memberikannya tanpa berkata apa-apa pada Poirot, yang langsung
membuka bungkusan itu. Aku terkejut sekali — karena benda itu adalah pisau
belati dari kawat pesawat terbang yang kusangka sudah dilemparkannya ke dalam
laut.
Aneh, betapa
enggannya kaum wanita memusnahkan benda-benda dan surat – surat yang
kelihatannya tak berarti!
"Tres
bient Gadisku," kata Poirot. "Saya senang sekali padamu. Sekarang
pergilah beristirahat. Hastings dan saya harus bekerja. Besok Anda baru akan bisa
bertemu dengannya."
"Anda akan
ke mana?" tanya gadis itu.
"Besok
Anda akan mendengar semuanya."
"Ke mana
pun Anda akan pergi, saya ikut."
Poirot
menyadari bahwa akan percuma saja membantahnya. "Kalau begitu marilah,
Nona. Tapi ini tidak akan menyenangkan. Mungkin sekali tidak akan terjadi
apa-apa."
Gadis itu tak
menyahut.
Dua puluh menit
kemudian kami berangkat. Sekarang hari sudah gelap sekali, malam itu panas dan
pengap. Poirot berjalan di depan menuju Villa Genevieve. Tapi waktu kami tiba
di Villa Marguerite, dia berhenti sebentar.
"Saya
ingin melihat keadaan Jack Renauld, Mari ikut, Hastings. Nona sebaiknya tinggal
di luar. Mungkin Nyonya Daubreuil akan mengatakan sesuatu yang akan menusuk
perasaan."
Kami membuka
pintu pagar dan berjalan di sepanjang lorong masuk ke rumah. Waktu kami
membelok ke samping rumah, aku menunjukkan pada Poirot suatu jendela di lantai
atas. Pada kerai tampak jelas bayangan tubuh Marthe Daubreuil.
"Oh!"
kata Poirot. "Saya sudah menduga bahwa di situlah kita akan menemui Jack Renauld."
Nyonya
Daubreuil yang membukakan kami pintu. Dijelaskannya bahwa keadaan Jack masih
sama saja, tapi mungkin kami ingin melihatnya sendiri. Dia berjalan mendahului
kami naik ke lantai atas dan masuk ke kamar tidur. Marthe Daubreuil sedang
menyulam di dekat sebuah meja yang ada lampunya. Dia meletakkan telunjuknya ke
bibirnya waktu kami masuk.
Jack Renauld sedang tidur nyenyak tapi gelisah, kepalanya sebentar
ke kiri, sebentar ke kanan, dan mukanya masih merah.
"Apakah
dokter akan datang lagi?" tanya Poirot berbisik.
"Tidak,
kecuali kalau diminta. Dia sedang tidur — itu yang penting. Maman telah
membuatkannya tisane."
Gadis itu duduk
lagi dengan sulamannya waktu kami meninggalkan kamar itu. Nyonya Daubreuil
mengantar kami turun. Sejak aku tahu sejarah masa lalu wanita itu, aku
memperhatikannya dengan perhatian yang lebih besar. Dia berdiri dengan mata
merunduk, dengan senyum kecil yang penuh teka-teki yang masih kuingat. Dan
tiba-tiba aku merasa takut padanya, sebagaimana seseorang merasa takut akan
seekor ular cantik yang berbisa.
"Saya
harap kami tadi tidak menyusahkan Anda, Nyonya," kata Poirot, waktu wanita
itu membukakan kami pintu untuk keluar.
"Sama
sekali tidak, Tuan."
"Omong-omong,"
kata Poirot seolah-olah baru teringat, "Tuan Stonor belum tiba di
Merlinville hari ini ya?"
Aku sama sekali
tak mengerti arah pertanyaan itu. Aku yakin pertanyaan itu sama sekali tak ada
artinya.
Dengan tenang
Nyonya Daubreuil menyahut, "Setahu, saya, belum."
"Apakah
dia belum berbicara dengan Nyonya Renauld?"
"Bagaimana
mungkin saya tahu, Tuan?"
"Benar
juga" kata Poirot. "Saya hanya menduga mungkin Anda ada melihatnya datang
dan pergi lagi. Selamat malam, Nyonya."
"Mengapa —"
aku mulai bertanya.
"Jangan
bertanya, Hastings. Nanti semuanya boleh."
Kami
menggabungkan diri kembali dengan Cinderella dan berjalan ke arah Villa
Genevieve. Sekali lagi Poirot menoleh ke belakang ke jendela kamar yang berlampu,
dan tampak sosok tubuh Marthe yang duduk membungkuk menekuni pekerjaannya.
"Jack
dijaga dengan baik," gumamnya.
Setiba di Villa
Genevieve, Poirot mengambil tempat di balik semak-semak di sebelah kiri jalan
masuk ke rumah. Dari sana kami bisa melihat dengan mudah, sementara kami
sendiri benar-benar tersembunyi. Villa itu sendiri gelap seluruhnya; pasti
semua orang sudah tidur. Kami berada hampir tepat di bawah jendela kamar tidur
Nyonya Renauld, dan kulihat jendelanya terbuka. Kulihat mata Poirot tertuju ke
arah itu terus.
"Apa yang
akan kita perbuat?" bisikku.
"Melihat."
"Tapi
—"
"Selama
sekurang-kurangnya satu jam, atau bahkan dua jam ini, kurasa tidak akan terjadi
apa-apa, tapi —"
Tapi
kata-katanya itu terhenti oleh suatu teriakan panjang, "Tolooong!"
Lampu tiba-tiba
menyala di kamar tingkat atas di sebelah kanan di sisi rumah. Pekik itu berasal
dari situ. Dan kami lalu melihat bayangan pada kerai, bayangbayang dua orang
yang sedang bergumul.
'Terkutuk
benar!" teriak Poirot. "Wanita itu pasti sudah pindah kamar."
Sambil berlari
dia menggedor pintu depan kuat-kuat. Kemudian dia belarian ke pohon yang tumbuh
di bedeng bunga. Dipanjatnya pohon itu selincah kucing. Aku menyusulnya. Dia
melompat melewati jendela yang terbuka. Waktu aku menoleh, kulihat Dulcie sudah
mencapai sebuah cabang di belakangku.
"Hati-hati,"
teriakku.
"Hati-hati
mbahmu!" balas gadis itu. "Ini seperti permainan saja bagiku."
Poirot sudah
berlari melewati kamar yang kosong itu dan menggedor pintu yang menuju ke
lorong rumah.
"Terkunci
dan dipalang dari luar," geramnya. "Ini akan makan waktu yang mendobraknya."
Suara teriakan
minta tolong makin melemah kedengarannya. Aku melihat bayangan putus asa dalam
mata Poirot. Kami berdua menghantamkan bahu kami ke pintu itu. Kemudian dari
dekat jendela terdengar suara Cinderella yang tenang-tenang dan halus,
"Kita akan terlambat. Saya rasa, sayalah satu-satunya yang bisa berbuat
sesuatu."
Sebelum aku
sempat berbuat apa-apa untuk mencegahnya, dia kelihatan seolah – olah melompat
lalu melayang ke angkasa. Aku berlari mengejarnya dan melihat ke luar. Aku
ngeri melihat dia bergantung pada atap, bergerak dengan cara berputar – putar dan sentakan –sentakan ke arah jendela yang
terbuka.
"Oh,
Tuhan! Dia bisa jatuh dan mati," aku berseru.
"Kau lupa.
Dia seorang akrobat kawakan, Hastings. Adalah rahmat Tuhan dia tadi bersikeras
untuk ikut kita malam ini. Aku hanya berdoa semoga dia tak terlambat!"
Suatu teriakan
penuh ketakutan memenuhi suasana malam waktu gadis itu menghilang melalui
jendela di sebelah kanan, kemudian terdengar suara Cinderella berkata dengan
lantang, "Tidak, tidak akan bisa! Kau sudah berada dalam cengkeramanku —
dan genggamanku sekuat baja."
Pada saat yang
sama pintu kamar tempat kami terkurung dibuka dengan berhati-hati oleh Francoise.
Poirot menyingkirkan wanita itu dengan kasar dan berlari di sepanjang lorong
rumah ke tempat di mana pelayan-pelayan yang lain sedang berdiri berkelompok di
dekat pintu di sebelah ujung.
"Terkunci
dari dalam, Tuan."
Dari dalam
terdengar sesuatu yang berat terbanting. Setelah beberapa lamanya anak kunci
berputar dan pintu dibuka perlahan-lahan. Cinderella yang tampak pucat, mengisyaratkan
supaya kami masuk.
"Selamatkah
dia?" tanya Poirot.
"Ya, saya
datang tepat pada waktunya. Beliau keletihan."
Nyonya Renauld
setengah duduk dan setengah terbaring di tempat tidurnya. Dia bernapas
tersengal-sengal.
"Hampir
saja saya mati dicekiknya," gumamnya menahan sakit.
Cinderella
memungut sesuatu dari lantai dan memberikannya pada Poirot. Benda itu adalah
gulungan tali sutera yang sangat halus, tapi kuat sekali.
"Alat
untuk melarikan diri," kata Poirot, "melalui jendela, sementara kita menggedor
pintu. Mana — yang lain?"
Gadis itu
menyingkir sedikit lalu menunjuk. Di lantai tergeletak sesosok tubuh yang
terbungkus dalam bahan berwarna gelap yang wajahnya tertutup oleh lipatan kain
itu.
"Meninggal?"
Gadis itu
mengangguk. "Saya rasa begitu."
Kepalanya pasti
telah terbentur pada tepi pelindung perapian yang terbuat dari batu pualam.
"Siapa
dia?" tanyaku berseru.
"Pembunuh
Tuan Renauld, Hastings. Dan hampir saja menjadi pembunuh Nyonya Renauld."
Dengan rasa
heran dan tak mengerti, aku berlutut, dan setelah mengangkat lipatan kain itu,
tampak olehku wajah cantik Marthe Daubreuil yang sudah meninggal.
Lanjut Ke BAB DUA PULUH DELAPAN
0 comments:
Post a Comment