Thursday, 1 October 2015

Agatha Christie - Lapangan Golf Maut - BAB DUA BELAS

BAB DUA BELAS
POIROT MENJELASKAN BEBERAPA HAL


"Menga kauukur mantel itu?" tanyaku dengan rasa ingin tahu, sedang kami berjalan di sepanjang jalan putih yang panas dengan langkah-langkah santai.
"Untuk melihat berapa panjangnya tentu," sahut sahabatku itu dengan tenang.
Aku jengkel. Kebiasaan Poirot yang tak hilang hilangnya untuk menjadikan sesuatu yang penting itu suatu misteri, selalu membuatku jengkel. Aku berdiam diri saja mengikuti jalan pikiranku mendiri. Meskipun tadi aku tidak mendengarnya secara khusus kini beberapa kata – kata tertentu yang diucapkan Nyonya Renauld pada putranya teringat olehku, sarat dengan pengertian baru. "Jadi kau tak jadi berlayar?" kata wanita itu, lalu ditambahkannya, "Tapi sudahlah, tak ada artinya lagi — sekarang." Apa maksud kata-katanya itu? Kata-kata itu menimbulkan tanda tanya karena mengandung arti. Apakah mungkin wanita itu tahu lebih banyak daripada yang kami sangka? Dia mengaku tidak mengetahui tugas misterius apa yang telah dipercayakan suaminya pada anaknya. Tapi apakah dia sebenarnya tidak sebuta daripada yang dibuat-buatnya? Apakah sebenarnya dia bisa membantu memberi kami keterangan bila dia mau? Lalu apakah sikap tutup mulutnya itu suatu bagian dari suatu rencana yang sudah dipikirkan dan dipertimbangkannya masak-masak? Makin kupikirkan hal itu, makin yakin aku bahwa aku benar. Nyonya Renauld tahu lebih banyak daripada yang dikatakannya. Dalam keadaan terkejut melihat putranya, tanpa disadarinya dia telah mengkhianati dirinya sendiri. Aku merasa yakin bahwa dia tahu, kalaupun bukan pembunuhnya sendiri, setidak-tidaknya alasan pembunuhan itu. Tetapi dengan alasan yang kuat, dia harus merahasiakan hal itu.
"Kau sedang berpikir dalam sekali, Sahabatku." kata Poirot memecahkan renunganku. "Apa yang begitu mengganggu pikiranmu?"
Karena merasa sudah yakin akan kuatnya dasar pikiranku, kuceritakan padanya, meskipun aku sudah menduga bahwa dia akan menganggap kecurigaanku itu tak masuk akal. Tetapi dia membuatku terkejut, karena dia mengangguk dengan serius.
"Kau memang benar, Hastings. Sejak semula aku sudah yakin bahwa dia menyembunyikan sesuatu. Mula-mula aku curiga bahwa dia, kalaupun tidak mendorong, sekurang-kurangnya membiarkan seseorang melakukan kejahatan."
"Kau mencurigai wanita itu?" Aku berseru.
"Tentu! Dia akan mendapatkan keuntungan besar — bahkan dengan surat wasiat yang baru itu, dia adalah satu-satunya ahli waris. Jadi sejak semula aku sudah memberikan perhatian khusus padanya. Mungkin kau melihat, bahwa pada awal pemeriksaan pun aku sudah memeriksa pergelangan tangannya. Aku ingin melihat apakah terdapat kemungkinan bahwa dia menyumbat mulutnya dan mengikat dirinya sendiri. Eh bien, aku melihat bahwa
ikatan itu tidak dibuat-buat, tali telah benar-benar diikat demikian teriknya sampai menggigit melukai dagingnya. Hal itu menyingkirkan kemungkinan bahwa dia telah melakukan kejahatan itu sendiri. Tapi masih ada kemungkinannya bahwa dia mendiamkan saja hal itu dilakukan, atau menjadi pendorong dalam suatu komplotan. Apalagi, waktu dia mengisahkan kejadiannya, rasanya aku sudah mengenal kejadian serupa itu — orang-orang yang berkedok yang tak dapat dikenalinya, disebutsebutnya suatu 'rahasia' aku pernah mendengar atau membaca semuanya itu. Suatu hal kecil yang khusus, meneguhkan keyakinanku bahwa dia tidak berkata benar. Arloji itu, Hastings, arloji itu"
Lagi-lagi arloji itu. Poirot memandangiku dengan rasa ingin tahu. "Kaulihatkah, mon ami? Mengertikah kau?"
"Tidak," sahutku dengan rasa tak senang. "Aku tak mengerti dan tak paham. Semuanya ini telah kaujadikan suatu misteri yang membingungkan, dan rasanya tak guna memintamu untuk menjelaskannya. Kau selalu suka menyembunyikan sesuatu sampai saat yang terakhir."
"Jangan marah, Sahabatku," kata Poirot sambil tersenyum. "Kalau kau mau, akan kujelaskan. Tapi jangan katakan sepatah pun juga pada Giraud, mengerti? Dia memperlakukan aku seperti seorang tua yang tak ada artinya saja! Kita lihat saja nanti! Demi kepentingan bersama telah kuberi dia petunjuk terselubung. Bila dia tidak mengambil tindakan apa-apa, itu urusannya sendiri."
Kutekankan pada Poirot bahwa dia bisa mempercayai aku. "C'est bicn! Kalau begitu marilah kita menyuruh sel-sel kecil kelabu kita bekerja. Coba katakan, Sahabat, pukul berapa menurut kau, tragedi itu terjadi?"
"Yah, pukul dua atau sekitarnya," kataku terkejut.
"Kau tentu ingat Nyonya Renauld bercerita pada kita bahwa dia mendengar jam berbunyi waktu kedua orang laki laki itu ada di dalam kamar."
"Benar, dan berdasarkan keterangan itu, kau, Hakim Pemeriksa, Bex, dan semuanya yang lain, percaya mengenai jam itu tanpa bertanya lagi. Tapi aku, Hercule Poirot, mengatakan bahwa Nyonya Renauld berbohong. Kejahatan itu dilakukan sekurang  - kurangnya dua jam sebelum itu"
"Tapi dokter-dokter itu —?"
"Setelah memeriksa mayat, mereka menerangkan bahwa dia meninggal antara sepuluh atau tujuh jam sebelumnya, Mon ami, dengan suatu alasan tertentu, amatlah penting supaya kejahatan itu kelihatannya seolah-olah terjadi kemudian dari jam yang sebenarnya. Pernahkah kau membaca tentang jam atau arloji yang sudah hancur tetapi masih bisa memberikan saat kematian yang tepat? Supaya pernyataan Kematiannya tidak akan tergantung pada kesaksian Nyonya Renauld semata-mata, seseorang telah memutar jarum arloji tangan itu ke arah pukul dua, lalu melemparkannya kuat-kuat ke lantai. Tapi sebagaimana yang sering terjadi, cara kerja mereka itu keliru. Kacanya memang hancur, tapi mesin arloji itu tidak rusak, itu suatu tindakan mereka yang merugikan, karena hal itu mereka mengarahkan perhatian kita pada dua hal — pertama bahwa Nyonya Renauld telah berbohong, kedua bahwa pasti ada suatu alasan penting untuk diundurkannya waktu."
"Tapi apa alasan itu?"
"Nah, itulah soalnya. Di situlah letak misteri itu. Untuk sementara aku belum bisa menjelaskannya. Aku hanya melihat adanya satu hal yang berhubungan dengan itu."
"Apa itu?"
"Kereta terakhir meninggalkan Merlinville pukul dua belas lewat tujuh belas menit."
Aku mengikutinya dengan cermat.
"jadi kejahatan yang mungkin dilakukan kira-kira dua jam kemudian, dengan berangkatnya si pembunuh naik kereta api itu, dia akan menemukan alibi yang tak dapat diganggu gugat!"
"Tepat, Hastings! Kau mengerti rupanya!"
Aku melompat. "Tapi kita harus bertanya ke stasiun. Mereka di sana pasti akan dapat mengenali dua orang asing yang berangkat naik kereta api itu! Kita harus segera pergi ke sana!"
"Begitukah pendapatmu, Hastings?"
"Tentu, mari kita pergi ke sana."
Poirot mengurangi semangatku dengan menyentuh tanganku dengan lembut. "Pergilah kalau kau mau, mon ami — tapi bila kau pergi juga, jangan tanyakan khusus tentang dua orang asing."
Aku terbelalak, dan dia berkata dengan agak tak sabaran, "Nah nah, apakah kau percaya pada semua omong kosong itu? Tentang orang-orang yang berkedok dan semua kisah-kisah isapan jempol itu!"
Kata-katanya itu demikian membuatku terkejut, hingga aku hampir tak tau harus bagaimana menjawabnya. Dia melanjutkan dengan tenang, "Bukankah kau sudah mendengar aku berkata pada Giraud, bahwa semua hal-hal kecil dalam kejahatan ini sudah pernah kukenal? Eh bien, hal itu memberikan kemungkinan pada satu dari dua hal, mungkin otak yang merencanakan kejahatan yang dulu itu juga merencanakan kejahatan yang ini, atau setelah membaca tentang pembunuhan yang terkenal itu, peristiwa itu tanpa disadarinya telah melekat dalam ingatan si pembunuh, lalu menirukan cara-cara itu. Aku baru akan bisa menyatakan hal itu dengan pasti, setelah —".
Dia berhenti berbicara dengan mendadak. Dalam otakku bergalau beberapa soal. "Lalu bagaimana dengan surat Tuan Renauld itu? Di situ disebutkan dengan jelas tentang suatu rahasia dan Santiago."
"Memang, pasti ada rahasia dalam hidup Tuan Renauld — hal itu tak dapat diragukan lagi. Sebaliknya, menurut aku, kata Santiago itu hanya merupakan umpan saja, yang terus-menerus ditempatkan ke jalur kisah untuk menyesatkan kita. Mungkin pula hal itu juga dipakai terhadap Tuan Renauld, supaya dia tidak menujukan kecurigaannya ke tempat yang lebih dekat. Yakinlah, Hastings, bahwa bahaya yang mengancamnya bukan di Santiago, bahaya itu dekat saja, di Prancis ini!"
Dia berbicara dengan demikian bersungguh-sungguh, dan dengan keyakinan yang demikian besarnya, hingga aku pun terpengaruh. Tetapi aku masih menemukan suatu keberatan terakhir, "Lalu mengenai batang korek api dan puntung rokok yang ditemukan di dekat mayat itu, bagaimana?"
"Digerakkan di situ! Dengan sengaja diletakkan di situ supaya ditemukan Giraud atau orang-orang semacam dia! Dia memang hebat, si Giraud itu. Banyak akalnya! Sama benar dengan seekor anjing pelacak yang baik. Dia menggabungkan dirinya dengan perasaan amat puas pada dirinya sendiri. Berjam-jam lamanya dia merangkak. 'Lihat apa yang telah kutemukan' katanya. Lalu dikatakannya lagi padaku, 'Apa yang Anda lihat di sini?' Aku hanya menjawab kenyataan apa adanya, 'Tak ada apa-apa' Dan Giraud yang hebat itu tertawa. Pikirnya, 'Oh, goblok benar pak tua ini!' Tapi kita lihat saja nanti."
Tapi pikiranku terarah pada kejadian-kejadian utama. "Jadi semua kisah tentang orang-orang yang berkedok itu —?"
"Bohong belaka!"
"Apa yang terjadi sebenarnya?"
Poirot mengangkat bahunya.
"Hanya seorang yang bisa menceritakannya pada kita — Nyonya Renauld. Tapi dia tak mau berbicara. Mulai dari permohonan, sampai pada ancaman, tidak akan bisa menggerakkannya. Dia seorang wanita yang hebat, Hastings. Segera setelah aku melihatnya, aku terus tahu, bahwa aku harus berurusan dengan seorang wanita yang bersifat istimewa. Sebagaimana telah kukatakan mula-mula, aku cenderung untuk mencurigai dia terlibat dalam kejahatan ini. Tapi setelah itu aku mengubah pendapatku."
"Apa yang membuatmu berubah?"
"Kesedihannya yang tulus dan murni waktu dia melihat mayat suaminya. Aku berani bersumpah bahwa kesedihan dalam ratapannya itu adalah murni."
"Ya," kataku, "kita memang tak bisa keliru dalam hal-hal semacam itu."
"Maaf, Sahabat — orang bisa saja keliru. Ingat saja seorang aktris besar, bila dia memerankan suatu kesedihan, apakah kita tidak akan terbawa dan terkesan akan kesungguhannya? Tidak, betapapun kuatnya kesan dan keyakinanku sendiri, aku membutuhkan bukti lain sebelum aku merasa puas. Penjahat itu bisa saja seorang aktor besar. Keyakinanku pada perkara itu tidak kusadarkan pada pemikiranku sendiri, melainkan atas kenyataan yang tak dapat dibantah, bahwa Nyonya Renauld benar-benar pingsan. Aku membalikkan kelopak matanya dan meraba nadinya. Kejadian itu tak dibuat-buatnya—dia memang benar-benar pingsan. Oleh karenanya aku merasa yakin bahwa kesedihannya memang murni dan tidak dibuat-buat Selain daripada itu, ada lagi suatu
kenyataan kecil yang menarik, Nyonya Renauld tak perlu memamerkan kesedihannya yang mendalam. Dia sudah setengah pingsan waktu mendengar tentang kematian suaminya, dan dia tak perlu lagi berpura-pura mempertunjukkan kesedihan yang begitu hebat pada saat melihat mayatnya. Tidak, Nyonya Renauld bukan pembunuh suaminya. Tapi mengapa dia berbohong? Dia berbohong tentang arloji tangan itu, dia berbohong tentang orang-orang yang berkedok itu — dia juga berbohong tentang -hal yang ketiga. Katakan, Hastings, bagaimana kau menjelaskan tentang pintu yang terbuka itu?"
"Yah," kataku agak kemalu-maluan, "kurasa itu adalah suatu kelengahan. Mereka lupa menutupnya."
Poirot menggeleng dan mendesah. "Itu kan keterangan Giraud. Aku tak bisa menerimanya. Ada suatu makna di balik pintu yang terbuka itu, yang sementara ini belum dapat kupikirkan."
"Aku punya gagasan," teriakku tiba-tiba.
"Nah, bagus! Coba kudengar."
"Dengarkan. Kita sependapat bahwa kisah Nyonya Renauld adalah isapan jempol belaka, jadi tidakkah mungkin, kalau Tuan Renauld meninggalkan rumah untuk memenuhi janji — katakanlah dengan si pembunuh — dengan meninggalkan pintu depan terbuka, untuk dia kembali nantinya. Tapi dia tak kembali, dan esok paginya dia ditemukan, dalam keadaan tertikam di punggungnya."
"Suatu teori yang pantas dikagumi, Hastings, tetapi ada dua kenyataan yang tak kaulihat, hal mana dapat dimaklumi. Pertama, siapakah yang menyumbat mulut Nyonya Renauld dan mengikatnya? Dan untuk apa mereka harus kembali ke rumah untuk melakukan hal itu? Yang kedua, tak ada seorang pun di muka bumi ini yang mau memenuhi janji dengan hanya mengenakan pakaian dalam dan mantel saja. Ada waktu-waktu tertentu di mana orang
mungkin hanya mengenakan piyama dan mantel — tapi kalau pakaian dalam saja tak pernah!"
"Benar," kataku terpukul.
"Tidak," lanjut Poirot, "kita harus mencari penyelesaian mengenai misteri tentang pintu yang terbuka itu di tempat lain. Aku yakin mengenai satu hal — mereka tidak kembali melalui pintu. Mereka melalui jendela."
"Tapi di bedeng bunga di bawahnya tidak terdapat bekas jejak kaki."
"Tidak — padahal seharusnya ada. Dengarkan, Hastings. Kau kan mendengar Auguste, si tukang kebun itu, mengatakan bahwa dia telah menanami kedua buah bedeng itu petang hari sebelumnya. Di salah sebuah bedeng itu banyak terdapat bekas sepatu botnya yang berpaku besar itu — pada bedeng yang sebuah lagi, tak ada satu pun! Mengertikah kau? Seseorang telah melewati bedeng itu, seseorang yang telah melicinkan kembali permukaan bedeng itu dengan sebuah garu, untuk menghilangkan bekas telapak kakinya."
"Dari mana mereka mendapatkan garu itu?"
'Tak ada sulitnya."
"Tapi apa yang membuatmu menduga bahwa mereka keluar dengan melewati bedeng itu? Tentu tidak masuk akal kalau mereka masuk melalui jendela, dan keluar melalui pintu."
"Itu tentu mungkin. Tapi aku punya gagasan kuat bahwa mereka keluar melalui jendela."
"Kurasa kau keliru."
"Mungkin, mon ami.
Aku merenung, memikirkan kemungkinan baru yang telah dikemukakan Poirot. Aku ingat bahwa aku keheranan waktu mendengarkan sindirannya yang tersembunyi mengenai bedeng bunga dan arloji tangan itu di hadapan orang-orang lain. Waktu itu kata-katanya itu kedengarannya sama sekali tak berarti, dan baru sekaranglah aku menyadari betapa hebatnya kemampuannya menguraikan sebagian besar dari misteri yang menyelubungi perkara itu hanya berdasarkan peristiwa-peristiwa kecil. Aku menaruh hormat pada sahabatku itu, meskipun terlambat. Seolah-olah dia bisa membaca pikiranku, dia mengangguk-angguk.
"Cara kerja, ingat itu! Cara kerja! Susun fakta-faktamu! Atur pikiran - pikiranmu. Dan bila ada suatu fakta kecil tak bisa dicocokkan — jangan sia - siakan, tapi telitilah baik-baik. Meskipun menurut kau tampaknya tidak begitu penting, kau harus yakin bahwa itu penting."
"Sementara itu," kataku .setelah berpikir, "meskipun sudah banyak yang kita ketahui, kita masih belum mendekati penyelesaian misteri mengenai siapa yang membunuh Tuan Renauld."
"Memang belum," kata Poirot tetap ceria, "Kita bahkan makin menjauh." Hal itu agaknya menyenangkan hatinya, hingga aku memandangnya dengan tercengang. Dia membalas pandanganku dan tersenyum.
"Tapi lebih baik begitu. Sebelum itu, kelihatannya sudah jelas sekali bagaimana dan oleh siapa kematian itu. Sekarang semuanya itu hilang. Kita berada dalam kegelapan. Beratus-ratus soal yang bertentangan membuat kita bingung dan susah. Itu baik. Itu baik sekali. Dari kekacauan itu akan muncul hal-hal yang memberi harapan. Tapi kalau sejak semula kita sudah menemukan hal-hal yang memberikan harapan, bila suatu kejahatan kelihatan sederhana dan jelas, maka hal itu tak dapat dipercaya? Maka keadaan kita jadi seperti — apa yang dikatakan orang — bak makan pisang berkubak! Penjahat yang ulung
biasanya sederhana — tapi sedikit sekali penjahat yang benar-benar ulung. Dalam usahanya untuk menutupi jejaknya, mereka biasanya membuka rahasia sendiri. Ah, mon ami, ingin benar aku bertemu dengan seorang penjahat yang benar-benar ulung pada suatu hari — seseorang yang melakukan kejahatannya, Ulu — tidak berbuat apa-apa lagi! Maka aku, Hercule Poirot sekalipun, akan gagal menangkapnya."
Tetapi aku tidak mengikuti kata-katanya itu. Aku mulai melihat titik terang. "Poirot! Nyonya Renauld! Sekarang aku sadar! Dia pasti melindungi seseorang."
Melihat betapa tenangnya Poirot menyambut kata-kataku itu, aku tahu bahwa gagasan itu sudah ada pula padanya.
"Ya," katanya dengan merenung. "Melindungi seseorang—atau menyembunyikan seseorang. Salah satu."
Aku melihat perbedaan kecil sekali antara kedua perkataan itu, tapi aku mengembangkan pokok pikiranku dengan bersungguh-sungguh. Poirot mengambil sikap yang benar-benar tak dapat dipahami, dia berulangkah berkata, "Mungkin — ya, mungkin. Tapi sampai sekarang aku belum tahu! Ada sesuatu yang tersembunyi dalam sekali di bawah semuanya ini. Kau lihat saja nanti. Sesuatu yang dalam."

Kemudian, waktu kami memasuki hotel, dia mengisyaratkan supaya aku diam.

Lanjut ke BAB TIGA BELAS

0 comments:

Post a Comment