BAB LIMA
BUKAN STRYCHNINE, KAN ?
"Dari mana
ini?" tanya saya pada Poirot, ingin tahu.
"Dari
keranjang sampah. Kau kenal tulisan tangan ini?"
"Ya.
Tulisan Nyonya Inglethorp. Tapi apa artinya?"
Poirot
mengangkat bahu.
"Aku tak
tahu—tapi agak mencurigakan."
Sebuah
kekuatiran hinggap di benak saya. Mungkinkah Nyonya Inglethorp sakit jiwa? Atau
dikuasai roh jahat? Kalau demikian, bukankah ada kemungkinan bahwa dia
sendirilah yang mengakhiri hidupnya? Pendapat itu baru saja akan saya beri
tahukan pada Poirot ketika dia berkata, "Ayo kita periksa cangkir-cangkir
kopi itu!"
"Poirot,
apa gunanya kita melakukan hal itu? Kita kan sudah menemukan coklat itu?"
"Oh, la
la. Coklat itu!" seru Poirot dengan santai. Dia tertawa geli sambil
mengangkat tangan ke atas seolah-olah mengejek saya. Huh, seleranya rendah
sekali.
"Dan
lagi," kata saya dengan nada dingin, "kan Nyonya Inglethorp sendiri
yang membawa kopinya ke atas, rasanya tak ada lagi vang bisa kita temukan,
kecuali kalau kau menganggap ada kemungkinan besar kita menemukan sebungkus
strychnine di atas nampan!"
Poirot seketika
jadi tenang. "Baiklah, Kawan," katanyasambil menyelipkan tangannya di
lengan saya. "Ne vous fdcbez pas! Biarlah aku memeriksa cangkir kopi itu.
Kau boleh meneruskan ide coklatmu itu, setuju?"
Dia bicara
begitu lucu sehingga saya terpaksa tertawa. Kami ke ruang keluarga bersama-sama,
cangkir-cangkir kopi dan nampannya masih tetap tak berubah, seperti waktu kami
tinggalkan. Poirot meminta saya menceritakan kembali kejadian kemarin malam.
Dia mendengarkan dengan penuh perhatian sambil memperjelas letak masing-masing cangkir.
"Jadi
Nyonya Cavendish berdiri di dekat nampan—dan menuang kopi. Ya. Kemudian dia
berjalan ke jendela ke dekat tempatmu duduk dengan Cynthia. Ya. Ini ada tiga cangkir.
Dan ada cangkir yang di atas perapian, yang isinya tinggal separuh. Tentunya ini
kopi Tuan Lawrence Cavendish. Dan satu cangkir yang ada di nampan?"
"Cangkir
John Cavendish. Aku melihatnya meletakkan cangkir itu di situ."
"Bagus.
Satu, dua, tiga, empat, lima—lho, mana cangkir kopi Tuan Inglethorp"
"Dia tidak
minum kopi."
"Kalau
begitu semua sudah terhitung. Sebentar, Kawan."
Dengan sangat
hati-hati dia mengambil contoh kopi dari setiap cangkir dan dimasukkannya ke
dalam tabung-tabung kecil setelah dicicipinya. Wajahnya berubah, kelihatan
setengah heran setengah lega.
"Bien!"
akhirnya dia berkata. "Sudah terbukti! Ideku ternyata keliru. Ya, aku membuat
kekeliru-an. Tapi aneh. Tak apalah!"
Sambil
mengangkat bahu dengan gayanya yang khas dia membicarakan hal-hal yang membuatnya
kuatir. Saya sebenarnya ingin mengatakan kepadanya bahwa persoalan kopi itu tak
akan membawanya ke mana-mana, tapi saya berusaha menahan diri. Walaupun kini
sudah tua, dulu Poirot adalah seorang detektif ulung.
"Sarapan
sudah siap," kata John Cavendish sambil berjalan masuk. "Anda
bersedia makan bersama kami, Tuan Poirot?"
Poirot setuju.
Saya memperhatikan John. Kelihatannya dia telah kembali seperti biasa. Kejutan
kemarin malam hanya membuatnya bingung sebentar. Sekarang dia telah normal
kembali. John memang seorang lelaki yang hanya memiliki sedikit imajinasi.
Sangat berbeda dengan Lawrence yang mungkin justru punya terlalu banyak. Sejak
pagi John telah sibuk mengirim telegram salah satu di antaranya untuk Evelyn
Howard—menulis pemberitahuan di koran, dan menyiapkan segala sesuatu lainnya
yang biasa dilakukan kalau ada kematian.
"Apa boleh
saya tanya bagaimana hasil penyelidikan Anda?" katanya. "Apa penyelidikan
itu mengarah pada kesimpulan bahwa ibu saya meninggal secara wajar—atau—atau—apa
sebaik¬nya kita bersiap dengan hal yang paling buruk?"
"Tuan
Cavendish," kata Poirot dengan nada suara yang hati-hati, "saya rasa
sebaiknya Anda tidak menenggelamkan diri dalam buaian harapan palsu. Apa Anda
bisa menceritakan pada saya tentang pendapat para anggota keluarga yang
lain?"
"Adik saya
Lawrence sangat yakin bahwa kita ini hanya mengada-ada. Dia mengatakan bahwa
yang dialami Ibu adalah kasus serangan jantung yang sederhana saja."
"Ah,
begitukah ? Sangat menarik sangat menarik," gumam Poirot lembut. "Dan
Nyonya Cavendish?"
Wajah John
menjadi suram. "Saya sama sekali tidak tahu apa pendapat istri saya tentang
hal ini." Dia menjawab dengan suara kaku. Tapi kemudian berusaha untuk
tidak terdengar kaku dengan membelokkan pembicaraan, "Saya telah
memberitahukan bahwa Tuan Inglethorp telah kembali, bukan?"
Poirot
menganggukkan kepalanya.
"Kami
semua jadi serba salah. Tentu saja kami harus memperlakukan dia seperti biasa—tapi,
Anda mengerti bukan, bagaimana rasanya harus duduk dan makan bersama orang yang
mungkin adalah seorang pembunuh!"
Poirot
mengangguk penuh pengertian. "Saya mengerti. Memang merupakan posisi yang
menyulitkan bagi Anda, Tuan Cavendish. Saya ingin menanyakan satu hal. Alasan
Tuan Inglethorp tidak pulang kemarin malam adalah karena kuncinya ketinggalan,
bukan?"
"Ya."
"Anda yakin
bahwa kunci itu memang ketinggalan? Bahwa memang dia sengaja
tidak membawanya?"
"Saya tak
tahu. Saya tak pernah mengecek. Kami selalu menyimpannya di laci ruang depan.
Akan saya lihat kalau begitu apa kunci itu ada di situ."
Poirot mengacungkan
tangannya sambil tersenyum. "Tak perlu, Tuan Cavendish. Sudah terlambat
sekarang. Saya yakin bahwa Anda pasti akan melihat kunci itu di situ.
Seandainya Tuan Inglethorp membawa kunci itu, dia punya banyak waktu untuk
mengembalikannya.
"Tapi,
apakah Anda pikir—"
"Saya
tidak memikirkan apa-apa. Seandainya ada yang melihat laci itu pagi tadi sebelum
dia kembali, dan kunci itu ada di sana, maka itu akan sangat menguatkan alasan
Tuan Inglethorp. Itu saja."
John kelihatan
bingung.
"Jangan
kuatir," kata Poirot lembut. "Jangan dipikirkan lagi. Karena Anda
sudah begitu baik, kita mulai saja sarapan pagi."
Semua berkumpul
di ruang makan. Tentu saja tak seorang pun berwajah gembira. Reaksi setelah
adanya suatu kejutan memang kelihatan. Dan kami semua merasakannya. Tapi saya
tak yakin apakah penguasaan diri yang menyebabkan tak seorang pun dari kami
yang bermata merah atau bermuka sedih. Yang saya ketahui, Dorcaslah
satu-satunya orang yang merasakan tragedi ini secara pribadi. Saya perhatikan
Alfred Inglethorp yang sedang memainkan peranan seorang suami yang ditinggal
mati istrinya. Sikapnya yang munafik itu sangat menyebalkan. Saya tak tahu
apakah dia merasa bahwa kami mencurigainya. Tentunya dia bisa melihatnya dengan
jelas. Apakah dia merasakan suatu ketakutan? Atau justru merasa yakin bahwa perbuatan jahatnya akan berlalu dengan aman
tanpa hukuman? Tentunya suasana di sekitarnya cukup memberi tanda bahwa dirinya
merupakan orang yang dicurigai. Tapi apakah setiap orang mencurigainya?
Bagaimana dengan Nyonya Cavendish? Dia duduk di ujung meja dengan sikap yang
luwes, anggun, dan misterius. Dengan gaun abu-abu berhias renda putih di ujung
tangannya yang ramping itu, dia kelihatan sangat cantik. Tetapi dia juga bisa
bersikap seperti sphinx yang misterius itu. Dia tak banyak bicara, hampir tak
pernah membuka mulut. Namun demikian, anehnya aku merasa bahwa kekuatan
pribadinya seolah-olah mendominasi kita semua. Dan Cynthia? Apakah dia
mencurigai seseorang? Gadis itu kelihatan kurang sehat dan lelah. Saya bertanya
apakah dia sakit, dan dia menjawab, "Ya, kepalaku pusing sekali."
"Mau
tambah lagi kopinya?" kata Poirot penuh perhatian. "Akan lebih
menyegarkan. Tidak sama dengan mal de tete." Poirot segera berdiri dan
mengambil cangkir Cynthia.
"Tidak
pakai gula," kata Cynthia sambil memperhatikan Poirot yang sedang memegang
penjepit gula.
"Tidak
pakai gula? Anda tidak memakainya lagi dalam masa perang ini?"
"Tidak.
Saya memang tidak pernah minum kopi dengan gula."
"Sacre"
Poirot bergumam sendiri ketika membawa cangkir kopi Cynthia.
Hanya sayalah
yang mendengar perkataannya. Dengan agak curiga saya pandangi wajahnya yang
kelihatan menyimpan suatu rahasia. Matanya sehijau mata kucing. Apakah dia
mendengar atau melihat sesuatu yang sangat mencurigakan? Tapi apakah itu? Saya
merasa bahwa saya bukan orang tolol. Tapi saya akui bahwa tak ada sesuatu yang
luar biasa yang menarik perhatian saya. Pintu terbuka dan Dorcas masuk.
"Tuan
Wells ingin bertemu, Tuan," katanya pada John,
Saya ingat
bahwa dia adalah pengacara Nyonya Inglethorp. John segera berdiri. "Antarkan
beliau ke ruang kerjaku,"
Kemudian dia
berkata kepada kami, "Pengacara Ibu," katanya menerangkan. Dan dengan
suara rendah menambahkan, "Dia juga seorang Coroner. Barangkali Anda ingin
bicara dengannya?"
Kami setuju dan
mengikutinya keluar ruang makan. John berjalan di depan dan saya menggunakan
kesempatan itu untuk bertanya kepada Poirot, "Kalau begitu akan ada
pemeriksaan?" Poirot mengangguk linglung. Kelihatannya ada yang sedang dipikirkannya.
Saya jadi ingin tahu.
"Ada apa?
Kau tidak memperhatikan pertanyaanku?"
"Benar,
Kawan. Aku sedang kuatir."
"Mengapa?"
"Karena
Nona Cynthia tidak minum kopi dengan gula."
"Apa kau
serius?"
"Tentu
saja. Ah, ada sesuatu yang tak kumengerti. Instingku memang benar."
"Insting
apa?"
"Insting
yang membuatku memeriksa cangkir-cangkir itu, Sudahlah!"
Kami mengikuti
John masuk ke dalam ruang kerjanya. Dia menutup pintu. Tuan Wells adalah
seorang lelaki setengah baya yang menyenangkan, bermata tajam dan bermulut
seperti kebanyakan pengacara lainnya. John memperkenalkan kami dan menerangkan
alasan kehadiran kami. "Kuharap kau mengerti, Wells, bahwa ini semua
dilakukan dengan diam-diam. Kami masih berharap agar tak perlu ada
pemeriksaan,"
"Benar.
Benar," kata Tuan Wells dengan simpatik. "Mudah-mudahan saja kami tak
perlu melakukan pemeriksaan dan tak perlu ada publisitas apa-apa. Tapi memang
tak bisa dihindarkan kalau tak ada surat keterangan dari dokter."
"Ya,
memang begitu."
"Bauerstein
memang luar biasa. Aku dengar dia menguasai bidang toksikologi."
"Ya,"
jawab John dengan kaku. Lalu dia menambahkan dengan ragu-ragu, "Apa kami harus
hadir sebagai saksi? Maksudku kami semua?"
"Yang
pasti kau—dan ah—er—Tuan—er— Inglethorp."
Setelah diam
sejenak, pengacara itu melanjutkan dengan sikap menghibur, "Bukti lainnya
akan sangar menguatkan."
"Hm,
begitu."
Wajah John
menjadi lega. Aku sendiri heran melihat sikapnya karena nampaknya dia sama
sekali tak terpengaruh.
"Kalau kau
tak keberatan, aku merencanakan pemeriksaan itu hari Jumat nanti, supaya kami
bisa mempelajari laporan dokter. Pemeriksaan mayat akan dilakukan malam ini,
bukan?"
"Ya."
"Kalau
begitu kau bisa menyetujui rencana kami?"
"Ya."
"Aku
sendiri ikut sedih dengan peristiwa ini, John."
"Apa Anda
bisa membantu kami memecahkan persoalan ini?" tanya Poirot.
"Saya?"
"Ya. Kami
dengar Nyonya Inglethorp menulis surat kepada Anda kemarin malam. Tentunya
surat itu telah Anda terima tadi pagi."
"Benar.
Tapi tidak ada isinya. Hanya mengatakan agar saya menemuinya pagi ini karena
dia memerlukan nasihat saya."
"Apa tidak
ada—petunjuk, barangkali. Kira-kira tentang hal apa."
"Sayang
sekali tidak ada."
"Ah,
sayang," kata John.
"Ya,
sayang sekali," kata Poirot kaku.
Kami diam.
Poirot diam berpikir beberapa saat. Akhirnya dia bertanya lagi pada pengacara
itu. "Tuan Wells, ada hal yang ingin saya tanyakan—kalau ini tidak
menyalahi etika profesi Anda. Dengan kematian Nyonya Inglethorp, siapa yang
akan mewarisi kekayaannya?"
Pengacara itu
ragu-ragu sejenak, lalu menjawab, "Hal ini akan segera diketahui umum.
Jadi kalau Tuan Cavendish tak keberatan—"
"Sama
sekali tidak," kata John. "Saya tak punya alasan untuk tidak menjawab
pertanyaan Anda. Surat wasiat Nyonya Inglethorp yang terakhir, tertanggal bulan
Agustus tahun lalu, menyatakan bahwa setelah memberikan beberapa peninggalan kepada
para pembantu dan sebagainya, dia mewariskan semuanya kepada anak tirinya, Tuan
John Cavendish."
"Bukankah
itu—maafkan perkataan saya, Tuan Cavendish—agak kurang adil untuk Tuan Lawrence
Cavendish?"
"Saya rasa
tidak. Karena dalam wasiat ayah mereka ada pernyataan bahwa apabila ibu mereka
meninggal, maka John akan menerima rumah dan perkebunan, sedangkan Lawrence akan
menerima sejumlah uang yang cukup banyak. Nyonya Inglethorp mewariskan uangnya
pada John karena tahu bahwa dia memerlukannya untuk pemeliharaan rumah dan
kebun. Menurut saya, pembagian itu sangat adil."
Poirot
mengangguk sambil berpikir.
"Baik.
Tapi bukankah hukum Inggris menyatakan bahwa surat wasiat tersebut akan batal
secara otomatis apabila Nyonya Inglethorp menikah lagi?"
Tuan Wells
menganggukkan kepalanya.
"Sebenarnya
saya akan melanjutkan dengan hal ini, Tuan Poirot. Memang dokumen tadi menjadi
tak berarti."
"Hem"
seru Poirot. Dia diam sejenak, kemudian bertanya," Apakah Nyonya Inglethorp
mengerti akan hal tersebut?"
"Saya tak
tahu. Mungkin, dia tahu."
"Dia
tahu," kata John tanpa diduga. "Kami membicarakan hal itu
kemarin."
"Ah! Satu
pertanyaan lagi, Tuan Wells. Anda tadi mengatakan wasiatnya yang terakhir .
Apakah Nyonya Inglethorp beberapa kali membuat surat wasiat?"
"Rata-rata
dia membuat surat wasiat setahun sekali," jawab Tuan Wells dengan tenang.
"Dia memang sering berubah pendapat. Kali ini menguntungkan satu anggota keluarga,
kali lain yang lainnya lagi."
"Seandainya,"
kata Poirot melanjutkan, "tanpa Anda ketahui, tiba-tiba dia membuat surat
wasiat yang menguntungkan orang lain—yang tidak ada hubungan keluarga dengannya—misalnya
saja, untuk Nona Howard—apakah Anda akan terkejut?"
"Sama
sekali tidak."
"Ah!"
Poirot kelihatannya mengakhiri pertanyaan-pertanyaannya. Saya mendekatinya
ketika John dan pengacara itu sedang asyik bicara untuk memeriksa dokumen
Nyonya Inglethorp.
"Apa
kaupikir Nyonya Inglethorp membuat surat wasiat yang mewariskan hartanya untuk
Nona Howard?" bisik saya pada Poirot penuh rasa ingin tahu.
Poirot tersenyum.
"Tidak."
"Kalau
begitu, kenapa kautanyakan?"
"Ssst!"
J ohn Cavendish
berpaling, ke Poirot. , "Anda mau ikut kami, Tuan Poirot? Kami akan
memeriksa dokumen-dokumen Ibu. Tuan Inglethorp bersedia menyerahkan hal itu
pada Tuan Wells dan saya."
"Itu akan
memudahkan," kata Tuan Wells. "Secara teknis dia berhak—" Dia
tidak melanjutkan kalimatnya.
"Kita
periksa meja yang ada di ruang kerjanya dulu," kata John. "Setelah
itu yang ada di.kamar tidurnya. Ibu biasa menyimpan surat-surat penting dalam
tas kerjanya."
"Ya.
Mungkin ada sebuah surat wasiat yang lebih baru daripada yang saya
pegang," kata Tuan Wells.
"Memang
ada" terdengar suara Poirot.
"Apa?"
John dan pengacara itu terkejut.
"Atau,
lebih tepatnya," kata kawan saya dengan tenang, "pernah ada."
"Apa
maksud Anda—pernah ada? Di mana sekarang?"
"Dibakar!"
"Dibakar?"
"Ya. Lihat
ini." Dia mengambil potongan kertas yang terbakar yang ditemukannya di perapian
dalam kamar Nyonya Inglethorp. Diulurkannya benda itu pada Tuan Wells sambil
menjelaskan dengan singkat di mana dan kapan dia menemukannya.
"Mungkin
ini sebuah surat wasiat lama."
"Saya rasa
tidak. Saya yakin bahwa surat wasiat itu dibuat kemarin siang."
"Apa?"
"Tak
mungkin!" Kedua pernyataan itu keluar hampir bersamaan.
Poirot
memandang John.
"Kalau
Anda tak berkeberatan memanggil tukang kebun Anda, saya akan membuktikannya."
"Oh, tentu
saja—tapi saya tidak mengerti—" Poirot mengangkat tangannya. "Lakukan
saja apa yang saya minta. Setelah itu Anda bisa menanyakan apa saja yang Anda
mau."
"Baiklah."
Dia membunyikan bel. Dorcas muncul tak lama kemudian. "Dorcas, tolong
panggilkan Manning kemari."
"Ya,
Tuan." Dorcas keluar.
Kami menunggu
dengan perasaan tegang. Poirot sendiri kelihatan santai. Dia membersihkan debu
di sudut lemari buku. Suara debam sepatu bot di atas kerikil di luar menandakan
kedatangan Manning. John memandang Poirot dengan penuh pertanyaan. Poirot hanya
mengangguk.
"Masuklah,
Manning. Aku ingin bicara denganmu," kata John.
Manning masuk
perlahan-lahan dan dengan ragu-ragu, lalu berdiri dekat jendela. Topinya
dilepas dan dipegangnya sambil diputar-putar. Punggungnya bongkok, walaupun
umurnya mungkin tidak setua penampilannya. Matanya tajam dan kelihatan cerdas. Bicaranya
pelan dan hati-hati.
"Manning,"
kata John. "Tuan ini ingin menanyakan beberapa pertanyaan padamu. Jawablah
pertanyaan-pertanyaan itu dengan baik."
"Ya,
Tuan," katanya bergumam.
Poirot
melangkah ke depan dengan cepat. Manning memandangnya sekilas dengan pandangan
agak merendahkan.
"Kemarin
siang engkau menanam begonia di sisi selatan rumah, bukan?"
"Ya, Tuan.
Saya dan William."
"Dan
Nyonya Inglethorp datang ke jendela dan memanggilmu, bukan?"
"Ya, Tuan.
Benar."
"Coba
ceritakan dengan kata-katamu sendiri apa yang terjadi setelah itu."
"Tak
banyak, Tuan. Beliau menyuruh William ke desa dengan sepedanya untuk membeli
formulir surat wasiat atau apa—saya tak tahu apa tepatnya—Nyonya menuliskannya
untuk William."
"Lalu?"
"Lalu dia
pergi."
"Setelah
itu apa yang terjadi?"
"Kami
melanjutkan menanam begonia, Tuan."
"Apa
Nyonya Inglethorp tidak memanggilmu lagi?"
"Ya, Tuan.
Nyonya memanggil William dan saya."
"Kemudian?"
"Nyonya
menyuruh kami masuk, dan menandatangani nama kami di bagian bawah kertas yang
panjang—di bawah tanda tangan Nyonya."
"Apa kau
membaca sesuatu yang ada di atas tanda tangannya?" tanya Poirot tajam.
"Tidak,
Tuan. Bagian itu ditutup dengan kertas pengering."
"Dan kau
menandatangani di tempat yang diperintahkan?"
"Ya, Tuan.
Saya dulu, lalu William."
"Apa yang
dilakukan Nyonya setelah itu?"
"Nyonya
memasukkan kertas itu ke dalam amplop panjang, lalu memasukkannya ke dalam tas
ungu di atas meja."
"Jam
berapa ketika Nyonya memanggilmu pertama kali?"
"Kira-kira
jam empat, Tuan."
"Tidak
lebih siang? Bukan jam setengah empat?"
"Saya kira
tidak. Mungkin lebih dari jam empat. Tapi tidak sebelumnya."
"Baiklah.
Terima kasih, Manning," kata Poirot ramah.
Tukang kebun
itu memandang tuannya. John mengangguk dan Manning menempelkan sebuah jari di
dahinya sambil menggumamkan sesuatu, lalu dia keluar. Kami saling berpandangan.
"Ya,
Tuhan!" seru John. "Suatu kebetulan yang luar biasa."
"Apa—kebetulan?"
"Bahwa Ibu
membuat surat wasiat pada hari kematiannya!"
Tuan Wells
berdehem dan berkata, "Anda yakin bahwa hal itu merupakan suatu kebetulan,
Tuan Cavendish?"
"Apa
maksud Anda?"
"Anda
pernah mengatakan bahwa Ibu Anda bertengkar hebat dengan seseorang kemarin
siang—"
"Apa
maksud Anda?" seru John. Suaranya bernada takut dan wajahnya menjadi
pucat.
"Karena
pertengkaran itu, ibu Anda lalu membuat surat wasiat dengan tergesa-gesa. Isi
surat wasiat itu tak seorang pun tahu. Dia tak mengatakannya kepada orang lain.
Seandainya ada kesempatan, pasti pagi ini dia membicarakannya dengan saya.
Surat wasiat itu lenyap, dan dia membawa rahasia itu ke kuburnya. Cavendish,
saya rasa tak ada unsur kebetulan di sini. Tuan Poirot, apa Anda sependapat
dengan saya bahwa fakta-fakta itu mencurigakan?"
"Mencurigakan
atau tidak," sela John, "kami sangat berterima kasih pada Tuan Poirot
yang telah menjelaskan persoalan ini. Apa Anda keberatan kalau saya ingin tahu
apa yang membuat Anda mencurigai hal tersebut?"
Poirot
tersenyum dan menjawab, "Suatu coretan di atas amplop tua dan begonia yang
baru ditanam."
John pasti akan
mempertanyakan hal tersebut lebih lanjut seandainya tidak terdengar gemuruh
suara mobil yang melewati jendela.
"Evie!"
seru John. "Maaf, Wells," katanya sambil bergegas ke luar.
Poirot
memandang saya dengan mata bertanya.
"Nona
Howard," kata saya menjelaskan.
"Ah,
syukurlah dia datang. Ada juga wanita yang punya hati dan pikiran. Sayang Tuhan
tidak menganugerahinya kecantikan."
Saya mengikuti
John ke luar ruangan menemui Nona Howard. Saya merasa sangat bersalah ketika
matanya memandang saya. Inilah wanita yang pernah memperingatkan saya, namun
yang kata-katanya tak pernah saya perhatikan. Begitu cepat saya melupakan dan
begitu ringan saya anggap pesan-pesannya. Dan sekarang ketika apa yang
ditakutkannya menjadi kenyataan, saya merasa amat malu. Dia mengenal Alfred
Inglethorp dengan baik. Saya tak tahu apakah bila dia tetap tinggal di sini,
tragedi itu tak akan pernah terjadi. Barangkali saja laki-laki itu takut pada matanya
yang selalu awas.
Saya merasa lega
ketika dia menyalami saya dengan genggaman yang kuat dan agak menyakitkan. Mata
yang menatap mata saya memang sedih tetapi tidak membenci. Dari matanya yang
merah kelihatan bahwa dia baru saja menangis. Namun sikapnya tetap kasar.
"Begitu
dapat telegram, langsung menyewa mobil. Supaya cepat sampai. Untung sedang
tidak tugas."
"Kau sudah
makan, Evie?" tanya John.
"Belum."
"Makanlah
dulu kalau begitu. Makan pagi masih belum disingkirkan. Mereka akan membuatkan
teh segar untukmu." John berpaling kepada saya. "Tolong temani dia,
Hastings, Wells menungguku. Oh, ini dia Tuan Poirot. Beliau membantu kami, Evie."
Nona Howard
bersalaman dengan Poirot, tetapi melemparkan pandangan curiga ke arah John. "Apa
maksudmu—membantu kami?"
"Membantu
menyelidik."
"Tak ada
yang perlu diselidiki. Apa mereka sudah membawanya ke penjara?"
"Membawa
siapa?"
"Siapa?
Tentu saja, Alfred Inglethorp!"
"Evie,
hati-hati. Lawrence saja berpendapat bahwa Ibu meninggal karena serangan jantung."
"Lawrence
memang tolol," sahut Evie marah. "Pasti si Alfred itu yang membunuh Emily—aku
selalu mengatakan hal itu."
"Evie,
jangan berteriak seperti itu. Apa pun yang kita pikirkan atau curigai,
sebaiknya tidak perlu kita katakan untuk sementara. Pemeriksaan baru akan
dilakukan hari Jumat"
"Mengapa
menunggu sampai kiamat?" sahut Evie dengan marah. "Kalian semua apa sudah
tidak bisa berpikir lagi? Laki-laki itu nanti pasti sudah kabur ke luar negeri.
Kalau dia punya otak, dia tak akan enak-enakan diam di sini menunggu tiang gantungan."
John Cavendish memandang Evie tanpa daya.
"Aku tahu
sebabnya," katanya kepada John. "Kau pasti mengikuti perintah dokter!
Jangan sekali-kali dengarkan mereka. Apa sih yang mereka tahu? Tak ada. Aku
tahu karena ayahku adalah dokter. Dan si Wilkins itu tak lebih dari orang
tolol. Serangan jantung! Itu pasti yang dikatakannya. Siapa pun yang berpikiran
waras akan segera melihat bahwa suaminyalah yang telah meracunnya. Aku selalu
bilang bahwa dia akan membunuh Emily di tempat tidurnya. Sekarang dia sudah
melakukannya. Dan yang kalian lakukan hanyalah menggumamkan hal-hal tolol seperti
'serangan jantung', 'pemeriksaan pada hari Jumat', Seharusnya kau merasa malu,
John Cavendish."
"Aku
kausuruh harus bagaimana?" tanya John sambil tersenyum kecil.
"Persetan, Evie. Aku kan tidak bisa melemparnya ke kantor polisi dengan
borgol- di lehernya."
"Ya—pokoknya
kau harus berbuat sesuatu. Selidiki bagaimana dia melakukannya."
Rasanya
mengakurkan Nona Howard dan Alfred Inglethorp di bawah satu atap merupakan
pekerjaan yang luar biasa. Dan saya tidak iri pada John. Saya tahu bahwa dia
menyadari hal itu. Yang dilakukannya saat itu adalah mundur dan ke luar
ruangan. Dorcas membawa masuk secangkir teh segar. Setelah dia ke luar, Poirot
mendekati Nona Howard.
"Nona,"
katanya dengan nada datar, "saya ingin menanyakan sesuatu."
"Tanyakan
saja," katanya dengan mata yang menunjukkan rasa kurang senang pada
Poirot.
"Saya
ingin mendapat bantuan Anda."
"Saya akan
dengan senang hati membantu Anda menggantung Alfred," jawabnya dengan
kasar. "Gantungan terlalu bagus untuknya. Seharusnya ditenggelamkan atau direjam
seperti zaman dulu."
"Kalau
begitu kita sependapat. Karena saya juga ingin menggarfrimg pembunuh itu."
"Alfred
Inglethorp?"
"Dia, atau
yang lainnya."
"Tak ada
yang lain. Tak ada yang membunuh Emily sampai dia datang. Saya tidak mengatakan
bahwa Emily tidak dikelilingi ikan hiu. Tapi hiu-hiu n u hanyalah mengincar
dompetnya. Hidupnya tetap aman. Tetapi setelah kedatangan Tuan Alfred Inglethorp—dalam
dua bulan—hek!"
"Percayalah,
Nona Howard," kata Poirot bersungguh-sungguh. "Kalau memang Tuan Inglethorp
orangnya, dia tak akan iuput dari tangan saya. Saya akan menggantungnya
setinggi mungkin."
"Bagus,"
kata Nona Howard dengan antusias.
"Tetapi
saya terpaksa minta agar Anda mempercayai saya. Bantuan Anda mungkin sangat
berarti bagi saya. Akan saya beritahu sebabnya. Karena dari semua orang yang sedang
berkabung di rumah ini, hanya mata Anda yang menangis."
Nona Howard
mengedip-ngedipkan matanya. Sebuah nada baru terdengar dalam suaranya yang
kasar. "Kalau yang Anda maksud adalah saya sayang pada Emily—ya, memang
benar. Emily adalah seorang wanita tua yang sangat egois. Dia memang murah
hati, tapi dia mau kita mengembalikan kebaikannya. Dia tidak pernah membiarkan
orang lupa pada apa yang telah diberikannya kepada mereka. Dengan cara seperti
itu—dia kehilangan
cinta. Saya rasa dia tidak sadar akan hal itu. Tapi saya lain. Dari
pertama kali saya tegas. Saya dibayar sekian sebagai imbalan pekerjaan saya.
Tapi saya tak mau menerima apa-apa lagi sebagai pemberian sampingan—tidak
sepasang sarung tangan, tidak juga selembar karcis bioskop. Dia tidak mengerti
dan kadang-kadang marah. Saya dikatainya tolol dan sombong. Bukannya saya demikian—tapi
saya tak bisa menerangkan. Bagaimanapun saya menjaga harga diri saya. Dengan
demikian sayalah satu-satunya orang yang bisa merasa sayang padanya. Saya jaga
dia. Saya lindungi dia. Tapi tiba-tiba saja ada seorang bajingan datang, dan
puh! Semua pengabdian saya sia-sia."
Poirot
mengangguk penuh pengertian.
"Saya
mengerti, Nona. Saya mengerti apa yang Anda rasakan. Itu sangat wajar. Dan Anda
mengira bahwa kami santai-santai saja—bahwa kami tidak punya enerji— sebenarnya
tidaklah demikian."
Pada saat itu
John menjengukkan kepalanya ke dalam dan mengundang kami untuk datang ke kamar
Nyonya Inglethorp karena dia dan Tuan Wells telah selesai memeriksa
dokumen-dokumen penting di ruang kerja Nyonya Inglethorp. Ketika kami naik,
John memandang kembali ke pintu ruang makan dan berkata dengan suara rendah, "Apa
yang akan terjadi kalau mereka bertemu?"
Saya
menggelengkan kepala tanpa daya.
"Aku telah
mengatakan pada Mary supaya memisahkan mereka kalau bisa."
"Apa dia
bisa?"
"Tak
tahulah. Tapi Inglethorp sendiri tak akan senang, bertemu dengan dia."
"Kau masih
menyimpan kunci kamar itu, bukan, Poirot?" kata saya ketika kami sampai di
pintu kamar yang terkunci.
John menerima
kunci dari Poirot, membuka nya, dan kami pun masuk. Pak Pengacara langsung
menuju ke meja dan John mengikutinya.
"Ibu
menyimpan dokumen-dokumen penting dalam tas ini," kata John.
Poirot
mengeluarkan rentengan kunci dari sakunya. "Maaf, saya menguncinya tadi
pagi."
"Tapi ini
tidak dikunci."
"Tak
mungkin!"
"Lihat."
Dan John membuka tutupnya.
"Milies
toftnerres!" seru Poirot kaget. "Dan saya—menyimpan kedua kuncinya
dalam saku saya!" Dia mengambil tas itu. Tiba-tiba dia menjadi kaku.
"Kunci ini dirusak!"
"Apa?"
Poirot
meletakkan tas itu kembali
"Tapi
siapa yang melakukannya? Mengapa? Kapan? Bukankah pintu dikunci?"
Pertanyaan-pertanyaan itu keluar dari mulut kami berganti-ganti.
Poirot menjawab
dengan otomatis dan tersusun. "Siapa? Itulah pertanyaannya. Mengapa? Ah,
seandainya saya tahu. Kapan? Sejak saya keluar dari sini, berarti satu jam yang
lalu. Pintu kamar memang terkunci, tapi kuncinya kunci biasa. Barangkali kunci
kamar lain bisa dipakai,"
Kami saling
berpandangan. Poirot berjalan menuju perapian. Dari luar dia kelihatan tenang.
Tapi saya bisa melihat bahwa perasaannya guncang. Tangannya yang membetulkan
letak vas-vas yang tergeletak di atas perapian itu gemetar.
"Mungkin
begini," katanya. "Ada sesuatu di dalam tas itu—mungkin suatu tanda bukti.
Barangkali tidak terlalu jelas, tapi bisa menunjuk ke arah si pembunuh. Karena itu,
bagaimana pun juga harus dihancurkan sebelum ditemukan oleh orang lain. Ketika
diketahui bahwa tas ini terkunci dia terpaksa membukanya dengan paksa walaupun
hal itu akan menunjukkan kehadirannya di tempat ini. Dokumen itu pasti sangat
berarti karena risiko yang diambilnya cukup besar."
"Tapi
dokumen apa itu?"
"Ah!"
seru Poirot dengan marah. "Itu saya tak tahu! Barangkali kertas yang dilihat
Dorcas sedang di pegang Nyonya Inglethorp kemarin siang. Dan saya—" Kemarahannya
tak terbendung lagi! — "benar-benar tolol. Tak terpikir akan begini jadinya!
Seharusnya tas itu tidak saya geletakkan di sini begitu saja. Seharusnya saya bawa
ke mana pun saya pergi. Tapi dasar bodoh! Dokumen itu sekarang tak ada lagi. Sudah
dihancurkan—tapi benarkah dokumen itu telah dihancurkan? Apakah tak ada lagi
kesempatan untuk mendapatkannya?"
Dia berlari ke
luar kamar dan saya mengikutinya seperti orang yang baru sadar. Tetapi ketika
saya sampai di puncak tangga, Poirot sudah lenyap. Mary Cavendish berdiri di
tangga yang bercabang, memandang ke bawah, ke arah Poirot menghilang.
"Ada apa
dengan teman Anda, Tuan Hastings? Dia melewati saya seperti kerbau gila."
"Dia agak
bingung," kata saya. Saya sendiri tak tahu apakah Poirot tak berkeberatan bila
saya memberitahukan hal yang terjadi. Ketika saya melihat senyum samar pada bibir
Nyonya Cavendish, saya mencoba membelokkan percakapan dengan bertanya, "Mereka
belum bertemu, bukan?"
"Siapa?"
"Tuan
Inglethorp dan Nona Howard?" Dia memandang saya dengan sikap bingung.
"Anda
pikir akan terjadi perang bila mereka bertemu?"
"Yah—bagaimana
pendapat Anda?" tanya saya agak terkejut.
"Tidak,"
katanya sambil tersenyum samar. "Saya lebih suka melihat perang itu. Rasanya
akan menormalkan situasi kembali. Sekarang ini kita terlalu banyak berpikir dan
kurang bicara."
"Saya rasa
John tidak berpendapat begitu. Dia ingin agar keduanya tidak usah bertemu."
"Oh,
John!"
Ada sesuatu
pada nada suaranya yang membuat saya marah dan langsung berkata, "John
selalu baik."
Dia memandang
saya sesaat lalu berkata—kata-katanya membuat saya kaget. "Anda adalah
teman yang setia. Saya sangat menghargai hal itu."
"Apa Anda
bukan teman saya juga?"
"Saya bukan
teman yang baik."
"Mengapa
Anda berkata begitu?"
"Karena
memang begitu. Saya baik pada teman-teman saya pada suatu waktu, lalu saya melupakan
mereka pada saat yang lain."
Saya tak tahu
apa yang mendorong saya untuk mengatakan hal itu. Tapi perkataan itu nyerocos
keluar begitu saja seperti perkataan orang tolol, "Tapi Anda kelihatan
baik sekali pada Dokter Bauerstein!"
Saya menyesal
setelah mengucapkan kalimat itu. Wajah Mary berubah jadi kaku. Saya merasa ada
sebuah tirai baja menutupi pribadinya yang asli. Tanpa berkata apaapa dia
berbalik, dan naik ke atas dengan cepat. Saya sendiri bingung seperti orang tolol.
Tiba-tiba saya mendengar suara ribut Poirot. Rupanya dia tidak mempercayai
siapa pun di rumah itu dan diplomasi saya sia-sia saia. Saya benar-benar
menyesalkan sikap Poirot yang seperti orang kehilangan keseimbangan itu.
Cepat-cepat saya menuruni tangga. Dia menjadi agak reda setelah melihat saya.
Saya tarik dia ke samping, "Apa kau menganggap tindakan ini
bijaksana?" tanya saya.
"Kau ingin
agar semua orang tahu apa yang terjadi? Kau gegabah sekali."
"Kau
berpikir begitu, Hastings?"
"Aku yakin
akan hal itu."
"Baiklah
kalau begitu, aku akan ikuti nasihatmu."
"Bagus.
Sayang sekarang sudah terlambat."
"Ya."
Dia kelihatan
begitu menyesal dan saya merasa sangat kasihan melihatnya walaupun saya tahu
bahwa peringatan saya itu penting. "Kalau begitu, kita pergi saja, mon ami"
"Kau telah
selesai di sini?"
"Untuk
saat ini, ya. Kau mau berjalan bersamaku kembali ke desa?"
"Ya."
Dia mengambil
tasnya dan kami ke luar melalui pintu kaca ruang keluarga yang terbuka. Cynthia
Murdock baru saja masuk dan Poirot minggir memberi jalan.
"Maaf
Nona, sebentar saja."
"Ya?"
tanyanya ingin tahu.
"Apa Anda
pernah meramu obat untuk Nyonya Inglethorp?"
Wajahnya
berubah menjadi merah dan dengan agak tegang dia menjawab, "Tidak."
"Hanya
obat bubuknya saja?"
Wajah Cynthia
bertambah merah lalu berkata, "Oh, ya. Saya pernah membuat obat tidur
berbentuk bubuk untuk dia."
"Ini?"
Poirot mengeluarkan dos obat berisi bubuk. Dia mengangguk.
"Apa yang
ada di dalamnya? Sulphonal? Veronal?"
"Bukan.
Bubuk bromida."
"Ah!
Terima kasih, Nona. Selamat pagi."
Sambil berjalan
ke luar dengan cepat, saya melirik Poirot beberapa kali. Saya tahu bahwa
apabila ada sesuatu yang mendebarkan hatinya, matanya akan berubah menjadi hijau
seperti mata seekor kucing. Dan mata itu bersinar seperti zamrud sekarang ini.
"Kawan,
aku punya sebuah ide—yang aneh, dan barangkali tak masuk akal. Tetapi ide
itu—cocok," katanya.
Saya hanya
mengangkat bahu. Saya sendiri berpendapat bahwa Poirot terlalu banyak dipenuhi
oleh ide-ide fantastis. Dan dalam kasus ini hal itu menonjol dengan jelas.
"Jadi
itulah keterangan label tak bernama di dos obat itu," jawab saya.
"Sangat sederhana—seperti yang kaukatakan. Aku sendiri heran kenapa hal
itu tak pernah terpikir olehku." Poirot kelihatannya tak mendengarkan
perkataan saya.
"Mereka
telah mendapat penemuan lagi, labast" katanya sambil mengacungkan ibu jarinya
ke arah Styles. "Tuan Wells mengatakannya padaku ketika kami menaiki tangga."
"Tentang
apa?"
"Surat
wasiat Nyonya Inglethorp yang bertanggal sebelum pernikahannya, mewariskan
semua hartanya pada Alfred Inglethorp. Pasti dibuat ketika mereka masih bertunangan.
Surat wasiat itu disimpan dalam laci terkunci, dalam ruang kerja Nyonya
Inglethorp. Surat wasiat itu membuat Wells heran—juga John Cavendish. Tertulis
dalam formulir surat wasiat cetakan, dan disaksikan oleh dua orang pembantu,
tapi bukan Dorcas."
"Apa Tuan
Inglethorp tahu?"
"Katanya
tidak."
"Bisa jadi
surat wasiat itu ada karena garam itu," kata saya dengan skeptis.
"Surat wasiat itu sangat membingungkan. Coba jelaskan bagaimana coretan di
amplop itu memban-tumu mengambil kesimpulan bahwa ada sebuah surat wasiat yang
dibuat kemarin siang?"
Poirot
tersenyum. "Mon ami, pernahkah kau mengalami, pada waktu menulis surat,
kau tidak tahu atau tidak yakin akan ejaan beberapa kata?"
"Ya,
sering, Aku rasa setiap orang pernah mengalaminya."
"Tepat.
Dan bukankah yang kita lakukan pada waktu menghadapi situasi begitu adalah mencoret-coret
ejaan yang kira-kira tepat di selembar kertas lain? Nah, itulah yang dilakukan
Nyonya Inglethorp. Pertama-tama dia menulis kata 'possessed' dengan satu s.
Lalu dengan dua s. Untuk meyakinkan diri, dia menuliskannya dalam sebuah
kalimat. Nah, apa artinya hal itu? Nyonya Inglethorp telah menuliskan kata 'possessed'
pada sore itu. Karena aku menemukan potongan kertas yang hampir jadi abu di
perapian itu, maka aku memikirkan adanya kemungkinan pembuatan surat wasiat—(atau
sebuah dokumen yang meng¬gunakan kata itu). Kemungkinan itu dikuatkan lagi oleh
situasi yang lain. Karena ada kejadian yang membuat kacau itu, ruang tamu
Nyonya Inglethorp rupanya tak sempat disapu, pagi tadi. Aku melihat bekas-bekas
kotoran tanah di dekat meja. Padahal cuaca sangat bagus beberapa hari ini, dan
sepatu bot yang biasa pasti tak akan meninggalkan kotoran seperti itu. Lalu aku
berjalan ke jendela, dan kulihat ada beberapa bedeng bunga begonia yang baru
ditanam. Tanah yang ditanami bunga begonia itu sama dengan kotoran yang ada di
dekat meja. Aku juga tahu darimu bahwa bunga itu baru ditanam kemarin sore.
Jadi aku bertambah yakin bahwa salah seorang atau kedua orang tukang kebun—
karena ada dua pasang jejak kaki di tanah
yang baru ditanami itu—telah masuk ke ruangan Nyonya Inglethorp, karena kalau Nyonya
Inglethorp hanya ingin bicara kepada mereka, dia cukup berdiri di jendela dan
tidak perlu menyuruh tukang kebunnya masuk. Aku menjadi yakin bahwa dia telah
membuat sebuah surat wasiat baru dan menyuruh tukang kebunnya menjadi saksi.
Dan keyakinanku itu ternyata benar."
"Itu
sangat luar biasa," saya mengakui ketajaman cara berpikir Poirot.
"Terus terang saja kesimpulanku tentang coretan di amplop itu
keliru."
Dia tersenyum. "Karena
kau terlalu mengekang imajinasimu. Imajinasi adalah pelayan yang baik, tetapi
tuan yang buruk. Penjelasan yang paling sederhana merupakan kemungkinan yang
paling besar."
"Satu hal
lagi—bagaimana kau tahu bahwa kunci tas Nyonya Inglethorp pernah hilang?"
"Sebetulnya
aku tak tahu. Hanya prasangka saja, tapi ternyata benar. Kaulihat sendiri bahwa
ada sepotong kawat terpilin pada handelnya. Kemungkinan pernah dibuka dengan
kawat tipis. Seandainya kunci itu hilang dan ditemukan lagi, Nyonya Inglethorp
pasti akan memasukkannya dalam rentengan kuncinya. Tapi dalam rentengan kunci
itu yang ada hanyalah duplikatnya saja— baru dan masih bagus. Jadi pasti ada
orang lain yang meletakkan kunci itu ke lubang kunci tas tersebut."
"Ya. Pasti
Alfred Inglethorp," kata saya.
Poirot
memandang saya dengan rasa ingin tahu. "Kau yakin dia bersalah?"
"Yah—siapa
lagi. Semua bukti kelihatannya menunjuk ke hidungnya."
"Sebaliknya,"
kata Poirot dengan tenang, "ada hal-hal yang menguntungkan posisinya."
"Ah—yang
benar!"
"Ya."
"Aku hanya
tahu satu hal."
"Apa
itu?"
"Bahwa dia
tidak di rumah kemarin malam."
"Wah,
kebalikannya. Kau memilih satu hal yang menurutku justru memberatkan dirinya."
"Kenapa
begitu?"
"Karena
kalau Tuan Inglethorp tahu bahwa istrinya akan diracuni kemarin malam, dia pasti
merencanakan untuk tidak ada di rumah. Alasan¬nya jelas dibuat-buat. Hal itu memberikan
dua kemungkinan yaitu, bahwa dia memang tahu apa yang akan terjadi atau dia
punya alasan sendiri untuk tidak berada di rumah."
"Dan
alasan itu?" tanya saya skeptis.
Poirot
mengangkat bahunya. "Bagaimana aku tahu? Jelas tak bisa dipercaya. Tuan
Inglethorp ini memang agak bajingan—tapi hal itu tidak mesti membuatnya menjadi
seorang pembunuh."
Saya
menggelengkan kepala tidak yakin.
"Kita
berbeda pendapat, eh?" kata Poirot.
"Tak
apalah. Nanti juga akan ketahuan siapa yang benar. Sekarang kita lihat
aspek-aspek lain dari kasus ini. Apa pendapatmu tentang fakta bahwa semua pintu
kamar tidur Nyonya Inglethorp terkunci dari dalam?"
"Aku rasa
kita harus melihatnya secara logis."
"Benar."
"Pintu-pintu
itu memang terkunci—mata kita telah melihatnya sendiri—tetapi tetesan lilin di
lantai dan pemusnahan surat wasiat itu merupakan bukti bahwa ada seseorang yang
masuk ke situ malam itu. Kau setuju sampai di sini?"
"Bagus.
Aku setuju. Teruskan."
"Karena
orang yang masuk tadi tidak melalui jendela, maka pintu itu pasti dibuka dari dalam
oleh Nyonya Inglethorp sendiri. Itu menguatkan kecurigaan bahwa orang tersebut
adalah suaminya, jelas dia akan membukakan pintu untuk suaminya."
Poirot
menggelengkan kepalanya. "Kenapa begitu? Dia kan yang mengunci pintu ke
kamar suaminya—itu merupakan hal yang aneh—tapi sore harinya dia memang
bertengkar hebat dengan suaminya. Tidak. Aku rasa dia tak ingin melihat
suaminya lagi malam itu."
"Tapi kau
sependapat bahwa pintu itu dibuka oleh Nyonya Inglethorp sendiri?"
"Ada
kemungkinan lain. Mungkin dia lupa mengunci pintu dekat koridor ketika tidur dan
setelah terbangun baru dia menguncinya."
"Poirot,
apa kau serius?"
"Aku tak
mengatakan bahwa itu suatu kepastian. Tapi merupakan suatu kemungkinan.
Sekarang hal lainnya. Kau masih ingat tentang percakapan yang kaudengar antara
Nyonya Cavendish dengan ibu mertuanya?"
"Aku telah
lupa," kata saya mencoba mengingat.
"Sangat
misterius. Rasanya aneh kalau seorang wanita seperti Nyonya Cavendish—yang
angkuh dan pendiam itu— begitu ingin tahu hal yang bukan urusannya."
"Tepat.
Memang mengherankan, apalagi untuk wanita berpendidikan seperti dia."
"Dan
mencurigakan. Namun aku rasa tidak begitu penting dalam hal ini."
Poirot
mengeluh. "Apa yang selalu kukatakan padamu? Segala sesuatu harus kita
perhitungkan. Kalau fakta tidak cocok dengan teori—tinggalkan saja
teorinya."
"Ya—baiklah,"
kata saya menyerah.
"Baik.
Akan kita lihat nanti."
Kami telah
sampai di Pondok Leastways, tempat Poirot dan kawan-kawannya tinggal. Poirot
mengajak saya naik ke kamarnya. Dia menawarkan rokok Rusia yang jarang diisapnya.
Saya heran melihat dia menyimpan korek api bekas di sebuah jambangan. Kemarahan
sesaat saya hilang. Poirot meletakkan kursi kami di depan jendela yang menghadap
jalan di desa. Udara segar yang hangat berhembus dari luar. Kelihatannya hari
itu akan panas. Tiba-tiba saya melihat seorang laki-laki muda yang berlari-lari
dengan tergesa. Wajahnya penuh rasa takut dan dia kelihatan gelisah.
"Lihat,
Poirot!" kata saya.
Dia membungkuk
ke depan. "Tiensl" katanya. "Itu Tuan Mace, dari toko obat. Dia
datang kemari."
Laki-laki itu
berhenti di depan Pondok Leastways. Setelah ratu-ragu sejenak, dia mengetuk
pintu keras-keras.
"Sebentar,"
seru Poirot dari jendela. "Saya turun."
Sambil memberi
tanda agar mengikuti dia, Poirot berlari turun tangga. Tuan Mace segera
nyerocos, "Oh, Tuan Poirot. Maaf mengganggu. Saya dengar Anda baru saja
datang dari sana?"
"Ya,
benar."
Orang muda itu
membasahi bibirnya yang kering. Wajahnya penuh rasa ingin tahu. "Kami di
desa mendengar bahwa Nyonya Inglethorp tiba-tiba saja meninggal. Mereka mengatakan—"
dia berkata dengan berbisik— "keracunan?"
Wajah Poirot
tidak berubah. "Hanya dokter yang bisa memastikan hal itu, Tuan
Mace."
"Ya—tentu—"
Laki-laki itu ragu-ragu. Tapi kegelisahannya mengalahkan keraguannya. Dia
mencengkeram lengan Poirot dan berbisik, 'Tapi bukan strychnine, kan?"
Saya tak
mendengar apa yang dikatakan Poirot. Tetapi pasti sesuatu yang bukan kepastian.
Laki-laki muda itu kemudian pergi. Poirot memandang saya sambil menutup pintu.
"Ya,"
katanya dengan muka suram. "Dia akan memberikan bukti pada waktu pemeriksaan."
Pelan-pelan
kami naik kembali ke kamar. Saya baru saja akan membuka mulut ketika Poirot
mengangkat tangan sambil berkata, "Tidak sekarang, mon ami, Aku perlu
waktu untuk berpikir. Pikiranku sedang kacau—tidak baik."
Kurang lebih
sepuluh menit lamanya dia duduk membisu. Hanya alis matanya yang kadang-kadang
bergerak. Bertambah lama matanya bertambah hijau. Akhirnya dia menarik napas
panjang. "Sudah baik. Waktu yang gawat telah lewat. Semua telah tersusun
sekarang dan diklarifikasi. Kita tak boleh kacau. Kasus ini belum jelas, Sangat
kompleks. Membingungkan aku. Aku, si Hcrcule Poirot! Ada dua hal yang
penting."
"Apa itu?"
"Yang
pertama adalah cuaca kemarin. Itu sangat penting."
"Lho,
kemarin kan udara cerah? Jangan main-main, Poirot!" seru saya.
"Sama
sekali tidak. Termometer mencatat 80 Jangan lupa hal itu, Kawan. Karena merupakan
kunci teka-teki."
"Dan hal
kedua?" tanya saya.
"Fakta
bahwa Tuan Inglethorp mengenakan pakaian yang aneh, berjenggot hitam, dan memakai
kaca mata."
"Poirot,
benarkah kau serius?"
"Tentu
saja."
"Ini sih
permainan anak-anak!"
"Sama
sekali bukan."
"Seandainya
juri memutuskan Pembunuhan Kejam oleh Alfred Inglethorp, bagaimana dengan
teori-teorimu?"
"Teori-teori
itu tak akan goyah karena dua belas orang bodoh telah membuat kekeliruan! Tapi
hal itu tak akan terjadi. Karena juri desa tak akan mengambil tanggung jawab
sendiri dan Tuan Inglethorp berada di bawah mereka. Dan lagi, aku tak akan
membiarkan hal itu terjadi begitu saja."
"Kau, tak
akan membiarkannya?"
"Tidak."
Saya memandang
laki-laki kecil luar biasa itu dengan rasa gemas bercampur heran. Dia begitu
yakin pada dirinya sendiri. Seolah-olah dapat membaca pikiran saya, Poirot
mengangguk pelahan."Oh ya, mon ami, aku akan melakukannya." Dia
berdiri dan meletakkan tangannya di bahu saya. Wajahnya berubah sedih, matanya
berkaca-kaca. "Aku memikirkan Nyonya Inglethorp yang malang itu. Tak ada
yang mencintainya. Tapi dia sangat baik kepada kami bangsa Belgia—aku merasa
berhutang budi."
Saya berusaha
untuk menyela, tapi Poirot meneruskan kata-katanya. "Dengarlah, Hastings.
Dia tak akan memaafkanku seandainya aku membiarkan Alfred Inglethorp, suaminya,
ditahan sekarang—karena dengan satu kalimat aku masih bisa menyelamatkannya"
Lanjut ke BAB ENAM
0 comments:
Post a Comment