Saturday, 19 September 2015

Agatha Christie - Lapangan Golf Maut - BAB SATU

BAB SATU
TEMAN SEPERJALANAN

Lapangan Golf Maut

Ada sebuah lelucon terkenal mengenai seorang pengarang muda. Dia bertekad untuk membuat awal ceritanya menarik dan lain dari yang lain, dalam usahanya untuk menarik dan mencengkam perhatian para editor yang paling cerewet. Untuk itu dia telah menulis di awal ceritanya itu, kalimat berikut:
“Sialan,kata wanita bangsawan itu"
Anehnya, kisahku ini diawali dengan cara yang sama. Bedanya, wanita yang mengucapkan kata itu bukan wanita bangsawan.
Hari itu adalah suatu hari di awal bulan Juni. Aku baru saja menyelesaikan suatu urusan di Paris, dan sedang berada dalam kereta api pagi dalam perjalananku ke London, di mana aku masih tinggal sekamar dengan sahabat lamaku, seorang Belgia bekas detektif, Hercule Poirot.
Kereta api ekspres Calais boleh dikatakan kosong dalam gerbongku bahkan hanya ada seorang penumpang lain. Aku berangkat dari hotel agak tergesa – gesa dan ketika aku sibuk memeriksa apakah semua barangku sudah terkumpul, kereta api pun berangkat. Selama kesibukanku itu aku hampir – hampir tak melihat teman segerbongku, tetapi kini aku benar-benar menyadari kehadirannya. Sambil melompat dari tempat duduknya, diturunkannya jendela lalu diulurkannya kepalanya ke luar. Sebentar kemudian ditariknya kembali kepalanya sambil berseru dengan keras, "Sialan!"
Aku ini orang kolot. Aku berpendirian bahwa seorang wanita harus bersikap kewanitaan. Aku tak sabaran melihat gadis modern yang gila-gilaan, yang berdansa dari pagi sampat malam, yang merokok tanpa berhenti, dan menggunakan bahasa yang akan membuat seorang wanita nelayan tersipu-sipu. Maka aku mengangkat mukaku dengan agak mengerutkan dahiku. Terpandang olehku seraut wajah cantik yang menantang tanpa malu. Dia memakai topi kecil yang molek berwarna merah. Seuntai rambut ikal yang berwarna hitam menutupi kedua belah telinganya. Menurut perkiraanku, umurnya baru tujuh belas tahun lebih sedikit. Tanpa malu-malu dia membalas pandanganku, lalu meringis.
"Aduhai, kita telah membuat Bapak yang baik hati itu terkejut!" katanya pada seseorang yang sebenarnya tak ada. "Maafkan bahasa saya yang buruk. Sangat tak pantas bagi seorang wanita terhormat, saya tahu itu, tapi saya punya alasan untuk itu. Saya telah kehilangan satu-satunya saudara perempuan saya."
"Begitukah?" kataku dengan sopan. "Malang benar Anda."
"Beliau tak suka!" kata wanita itu "Beliau benar-benar tak suka padaku dan pada saudara perempuanku. Sungguh tak adil untuk tidak menyukai kakakku itu, karena beliau belum melihatnya!"
Aku membuka mulutku, tetapi dia sudah menda huluiku. "Tak usah berkata apa-apa! Tak seorang pun suka pada saya! Biarlah saya menelan kekecewaan ini. Saya memang tak beres."
Dia menyembunyikan dirinya di balik sebuah surat kabar komik berbahasa Prancis yang besar. Sebentar kemudian kulihat matanya mengintip padaku dari tepi atas surat kabar itu. Aku tak dapat menahan senyumku. Dia langsung melemparkan surat kabar itu, lalu tertawa ceria.
"Saya sudah menduga bahwa Anda tidaklah segoblok yang saya sangka semula," katanya berseru.
Tawanya menulari diriku, dan mau tak mau aku ikut-ikutan, meskipun aku tak senang mendengar kata 'goblok' tadi. Gadis itu benar benar tipe gadis yang paling tak kusukai, tapi tak ada alasan mengapa aku lalu harus bersikap tak wajar. Aku mau mengalah. Apalagi dia benar-benar cantik.
"Nah, sekarang kita bersahabat!" kata gadis nakal itu. "Katakan bahwa Anda kasihan pada kakakku tadi —“
"Aku kasihan?"
"Begitu sebaiknya!"
"Aku belum selesai. Aku ingin menambahkan bahwa meskipun aku kasihan padanya, aku sama sekali tidak keberatan dia tak hadir di sini." Aku agak membungkuk. Tetapi wanita yang aneh itu mengerutkan alis matanya lalu menggeleng.
"Jangan begitu. Aku lebih suka sikap tak suka yang terselubung seperti tadi itu. Bukan main stanmu tadi. Wajah itu seolah-olah berkata, Dia bukan orang yang pantas masuk golonganku, memang benar zaman sekarang ini sukar kita membedakannya. Tak semua orang bisa membedakan antara seorang wanita setandan seorang wanita bangsawan. Nah, mungkin aku telah membuatmu terkejut lagi. Kau kelihatannya berpendirian kolot. Tapi biarlah, dunia bahkan akan lebih baik kalau ada beberapa orang lagi seperti kau. Aku benci sekali pada laki-laki yang tak sopan. Aku jadi marah dibuatnya.” Dia menggeleng kuat-kuat.
 "Bagaimana kau kalau sedang marah, ya?" tanyaku dengan tersenyum.
"Aku jadi benar-benar seperti setan! Tak peduli aku apa yang kukatakan dan apa yang kulakukan! Aku pernah hampir membunuh seorang laki-laki. Ya, sungguh. Dia memang pantas dibunuh. Aku ini berdarah. Aku kuatir, suatu hari kelak, aku akan mengalami kesulitan."
"Pokoknya, jangan marah padaku," pintaku.
“Tidak akan. Aku suka padamu sudah sejak pertama kali aku melihatmu. Tapi kau kelihatan benci, hingga kupikir kita tidak akan pernah bisa bersahabat."
"Nyatanya, kita sekarang sudah bersahabat. Ceritakan sesuatu tentang dirimu."
"Aku seorang aktris. Bukan aktris seperti yang kau bayangkan, yang makan siang di Hotel Savoy dengan bertaburkan perhiasan, dan yang fotonya terpampang di setiap surat kabar dan mengatakan bahwa mereka sangat menyukai krem muka buatan Nyonya Anu. Aku berada di atas pentas sejak aku berumur enam tahun kerjaku jempahtan."
"Apa katamu?" tanyaku heran.
"Tak pernahkah kau melihat akrobat-akrobat cilik?"
"Oh itu, aku mengerti."
"Aku lahir di Amerika, tapi sebagian besar dari hidupku kuhabiskan di Inggris.
Sekarang kami sedang mengadakan pertunjukan baru —"
"Kami?"
Kakakku dan aku. Pertunjukan kami adalah semacam tari dan nyanyi, main sulap sedikit, dan dicampur pula dengan pertunjukan model lama. Penonton selalu suka pertunjukan macam itu. Lagi pula mendatangkan uang.
Kenalan baruku itu duduk dengan agak membungkuk, lalu- bercerita dengan panjang iebar dengan menggunakan istilah-istilah yang kebanyakan tak dapat kumengerti. Namun aku merasa makin menaruh perhatian padanya. Dia merupakan campuran yang aneh antara kanak-kanak dan wanita dewasa. Meskipun dia kelihatan benar-benar banyak tahu mengenai dunia, dan seperti dikatakannya sendiri, mampu menjaga dirinya sendiri, namun ada suatu ketulusan yang aneh dalam sikapnya menghadapi kehidupan, serta keyakinannya yang penuh untuk berbuat baik.
Bayangan dunia yang tak kukenal itu punya daya tarik terhadap diriku, dan aku suka melihat wajah kecilnya yang hidup dan berapi-api bila sedang berbicara. Kami melewati Amiens. Nama itu menimbulkan kenangan lama. Temanku itu rupanya punya naluri yang memungkinkannya mengetahui apa yang ada dalam benakku.
"Kau sedang teringat akan perang, rupanya?" Aku mengareguk.
"Kurasa kau terlibat dalam peperangan itu, ya?"
"Benar-benar terlibat. Aku luka dan aku jadi cacat, ku menjabat pekerjaan
setengah tentara. Sekarang aku menjadi sekretaris pribadi seorang anggota
Parlemen."
"Bukan main! Itu pekerjaan orang pintar!"
"Bukan. Sebenarnya sedikit sekali yang harus dikerjakan. Biasanya dalam beberapa jam sehari saja aku sudah bisa menyelesaikan pekerjaanku. Pekerjaan itu juga membosankan. Terus terang, aku tak tahu apa yang harus kulakukan, bila tak ada sesuatu tempatku mengalihkan pikiranku."
"Mudah-mudahan saja pekerjaan sampmganmu itu bukan mengumpulkan
serangga!"
"Tidak. Aku tinggal sekamar bersama seorang pria yang menarik. Dia berkebangsaan Belgia  seorang bekas detektif. Dia sekarang menetap di London sebagai detektif swasta, dan usahanya maju sekali. Dia seorang pria kecil yang benar-benar luar biasa. Sering-sering dia membuktikan dirinya benar padahal polisi yang bertugas mengalami kegagalan."
Teman seperjalananku mendengarkan dengan mata lebar.
"Menarik sekati. Aku suka sekali akan kejahatan. Aku selalu nonton film-film
misteri. Dan bila ada berita pembunuhan, kulahap berita dalam surat kabar itu."
"Apakah kau ingat 'Peristiwa Styles"?" tanyaku.
"Coba kuingat-ingat dulu. Bukankah peristiwa mengenai wanita tua yang
diracun itu ? Di suatu tempat di Essex?"
Aku mengangguk. "Itulah perkara besar yang pertama yang diselesaikan oleh
Potrot. Kalau bukan karena dia, pembunuhnya pasti sudah bebas lefres Itu
memang suatu karya detektif yang hebat."
Karena sudah mulai dengan bahan itu, aku terus menceritakan tentang peristiwa itu, sampai pada penyelesaiannya yang gemilang yang tak disangkasangka. Gadis itu mendengarkan dengan terpesona. Kami berdua bahkan demikian asyiknya, hingga tanpa kami sadari, kereta sudah masuk ke stasiun Calais.
"Astaga!" seru temanku itu. "Mana kotak bedakku, ya?"
Dia lalu membedaki wajahnya, kemudian memoles bibirnya, sambil melihat hasilnya di cermin saku yang kecil. Setelah selesai, dia tersenyum puas, lalu menyimpan cermin dan kotak alat-alat kecantikannya ke dalam tasnya.
"Sekarang lebih baik," katanya. "Menjaga penampilan itu cukup melelahkan, tapi bila seorang gadis punya harga diri, dia tak boleh membiarkan dirinya acak-acakan,"
Aku berurusan dengan beberapa orang pekerja stasiun, lalu kami turun ke
peron. Temanku itu mengulurkan tangannya.
"Selamat berpisah, lain kali aku akan menggunakah bahasa yang baik."
"Ah, tapi aku kan boleh mengawasimu di kapal nanti?"
"Mungkin aku tidak akan berada di kapal. Aku harus melihat apakah kakakku
ternyata naik kereta itu juga tadi. Tapi terima kasih."
"Ah, tapi bukankah kita masih akan bertemu? Aku —", aku ragu. "Aku ingin
bertemu dengan kakakmu." Kami berdua tertawa.
"Kau baik. Akan kusampaikan padanya apa yang telaH kaukatakan. Tapi kurasa kita tidak akan bertemu lagi. Kau baik sekali selama dalam perjalanan, terutama karena aku telah begitu tak sopan terhadapmu. Tapi apa yang terungkap di wajahmu mula-mula tadi itu memang benar. Aku memang bukan seseorang dari golonganirm. Dan itu akan menimbulkan kesulitan — aku tahu betul itu." Wajahnya berubah. Sesaat semua keceriaannya sirna. Wajah itu membayangkan amarah dan dendam.
"Jadi, selamat berpisah," katanya akhirnya dengan nada yang lebih ringan.
"Tidakkah kau akan memberitahukan namamu padaku?" tanyaku waktu dia
berbalik. Dia menoleh ke arahku. Terlihat lesung pipit di kedua belah pipinya. Dia tak
ubahnya suatu lukisan indah.
"Cinderella," katanya, lalu tertawa. Aku sama sekali tak menyangka kapan dan dengan cara bagaimana aku akan bertemu lagi dengan Cinderella.

Lanjut ke BAB DUA

0 comments:

Post a Comment