Sunday, 11 October 2015

Agatha Christie - Lapangan Golf Maut - BAB DUA PULUH DUA

BAB DUA PULUH DUA
AKU MENEMUKAN CINTA


Beberapa saat lamanya aku terduduk bagaikan membeku, dengan foto itu masih dalam tanganku. Kemudian, dengan mengumpulkan seluruh tenagaku supaya kelihatan tak apa-apa, foto itu kukembalikan. Aku menyempatkan diri mengerling Poirot, akan melihat apakah dia melihat sesuatu. Aku lega, karena kelihatannya dia tidak memperhatikan aku. Dia pasti tidak melihat sesuatu yang luar biasa pada diriku. Dia bangkit dengan bersemangat.
"Kita tak boleh membuang waktu. Kita harus berangku secepat mungkin. Keadaan sedang baik sekali -laut akan tenang!"
Dalam kesibukan menjelang keberangkatan kami, aku tak sempat berpikir. Tetapi begitu tiba di kapal, setelah merasa yakin bahwa Poirot tidak memperhatikan diriku (sebagaimana biasa dia sedang bersungguh-sungguh menjalankan teori Taverquier yang hebat itu untuk mencegah mabuk lautnya), aku menguatkan diriku dan mulai memikirkan hal-hal itu tanpa semangat.
Berapa banyakkah yang diketahui Poirot? Tahukah dia bahwa Belia Duveen itu sama orangnya dengan kenalanku yang di kereta api dulu? Mengapa dia waktu itu pergi ke Hotel du Phare? Apakah karena aku, menurut dugaanku? Atau apakah itu hanya dugaanku yang bodoh saja? Atau apakah kunjungannya punya tujuan yang lebih mendalam dan lebih banyak rahasianya? Bagaimanapun juga, mengapa dia bertekad untuk menemukan gadis itu? Apakah dia curiga gadis itu telah melihat Jack Renauld melakukan pembunuhan itu? Atau apakah dia curiga — tapi ah, itu tak mungkin! Gadis itu tak punya dendam apa - apa terhadap Renauld tua, tak ada alasan yang memungkinkan dia menginginkan kematian pria itu. Apa yang menyebabkan gadis itu kembali ke tempat kejadian pembunuhan itu? Kenyataan-kenyataan itu kupelaiari dengan teliti.
Gadis itu pasti telah meninggalkan kereta api di Calais, di mana aku berpisah dengannya hari itu. Tak heran aku tak berhasil menemukannya di kapal. Bila dia makan malam di Calais, dan naik kereta api berangkat ke Merlinvilte, dia pasti akan tiba di Villa Genevieve kira-kira tepat pada waktu yang dikatakan Franecoise. Apa yang dilakukannya setelah dia meninggalkan rumah itu pukul sepuluh lewat sedikit? Mungkin pergi ke sebuah hotel, atau jcembali ke Calais. Kemudian? Pembunuhan itu dilakukan pada malam Rabu. Pagi hari Kamis dia ada di Merlinville lagi. Apakah dia sempat meninggalkan Princis? Aku sangat meragukannya. Mengapa dia tetap berada di Prancis? Apakah karena dia berharap akan bertemu dengan Jack Renauld? Aku sudah mengatakan padanya, bahwa anak muda itu sudah berada di lautan luas dalam perjalanannya ke Buenos Ayres. Mungkin dia tahu bahwa
kapal Anzora tidak berlayar. Apakah Poirot mengejarnya karena ingin tahu apakah dia telah menemui Jack? Apakah Jack Renauld, yang kembali lagi untuk menjumpai Marthe Daubreuil, malah bertemu muka dengan Belia Duveen, gadis yang sudah disia-siakannya?
Aku mulai melihat titik terang. Bila demikian halnya, itu akan merupakan alibi yang dibutuhkan Jack. Namun dalam keadaan itu, karena dia bungkam saja, sulitlah untuk menjelaskannya. Mengapa anak muda itu tak mau berbicara berterus terang? Apakah dia takut kalau-kalau hubungan lamanya itu sampai ke telinga Marthe Daubreuil? Aku menggeleng-dengan perasaan tak puas. Persoalannya sebenarnya wajar saja, suatu persoalan antara seorang anak laki - laki yang bodoh dengan seorang gadis. Dan dengan sinis aku berpikir bahwa putra sang jutawan tidak akan mungkin disia-siakan oleh seorang gadis Prancis yang tak punya uang. Apalagi karena gadis itu benar-benar cinta padanya, tanpa alasan lain. Kurasa seluruh persoalan itu benar-benar aneh dan tak memuaskan.
Aku benar-benar tak suka terlibat dengan Poirot dalam mengejar gadis itu.Tapi aku
tak bisa menemukan satu pun jalan untuk menghindarkan diri darinya tanpa membukakan semuanya padanya dan dengan beberapa alasan, aku sama sekali tak mau melakukan hal itu.
Poirot mendarat di Dover dalam keadaan bersemangat dan tersenyum terus, sedang perjalanan kami ke London tak ada istimewanya. Kami tiba pukul sembilan lewat, dan aku menyangka bahwa kami akan langsung kembali ke tempat tinggal kami dan tidak akan berbuat apa-apa sampai esok paginya. Tapi Poirot punya rencana lain.
"Kita tak bisa membuang waktu, mon ami," katanya.
Aku kurang mengerti jalan pikirannya, tapi aku hanya bertanya bagaimana rencananya untuk menemukan gadis itu. "
Apakah kauingat Joseph Aarons, agen teater itu? Tidak? Aku pernah membantunya dalam suatu persoalan dengan seorang pegulat Jepang. Suatu persoalan yang menarik, suatu hari kelak akan kuceritakan padamu. Aku yakin, dia akan bisa memberi kita jalan untuk
menemukan apa yang ingin kita ketahui. Kami membutuhkan waktu agak lama untuk menemukan Tuan Aarons."
Akhirnya, setelah tengah malam kami baru berhasil. Dia menyambut Poirot dengan penuh kehangatan, dan menyatakan dirinya siap untuk membantu kami dengan jalan apa pun juga.
"Tak banyak mengenai profesi ini yang saya tak tahu," katanya dengan ramah dan berseri-seri.
"Eh bien, Tuan Aarons, saya ingin menemukan seorang gadis yang bernama Belia Duveen."
"Belia Duveen. Saya tahu nama itu, tapi pada saat ini saya tak bisa memastikannya. Apa bidangnya?"
"Saya tak tahu — tapi ini fotonya." Tuan Aarons mempelajarinya sebentar, lalu wajahnya berseri.
"Saya tahu sekarang" Dia menepuk pahanya. "The Dulcibella Kids, tentu saja!"
"The Dulcibella Kids?"
"Itulah dia. Mereka itu kakak-beradik. Mereka pemain akrobat, menari dan menyanyi. Hiburan mereka cukup bagus. Saya rasa, mereka sedang berada di suatu tempat di daerah —  mereka tidak sedang beristirahat. Dalam dua atau tiga minggu terakhir ini mereka mengadakan pertunjukan di Paris selama tiga minggu."
"Dapatkah Anda menolong saya untuk menemukannya dengan pasti di mana
mereka berada ?"
"Mudah sekali. Anda pulang saja, dan besok pagi akan saya kirimkan alamat mereka kepada Anda."
Setelah mendapatkan janji itu kami minta diri darinya. Pria itu tidak hanya pandai berbicara, tapi pandai pula bekerja. Kira-kira pukul sebelas esok harinya, kami
menerima surat pendek yang berbunyi:

The Dulcibclla Sisters sedang mengadakan pertunjukan di gedung Palace di Coventry. Semoga Anda berhasil.

Tanpa banyak macam-macam, kami berangkat ke Coventry. Poirot tidak bertanya apa-apa di gedung pertunjukan itu, dia hanya membeli karcis tempat duduk untuk menonton bermacam-macam pertunjukan malam itu.
Pertunjukan-pertunjukannya sangat membosan kan — atau mungkin hanya karena suasana hatiku saja maka kelihatannya seperti itu. Keluarga-keluarga Jepang meniti di titian keseimbangan dengan cermat sekali, kaum pria yang akan menjadi penentu model pakaian yang mengenakan pakaian malam berwarna kehijau - hijauan dan rambut yang tersisir licin, yang tak sudah-sudahnya berceloteh tentang golongan terkemuka dan menari dengan lincah, bintang pentas yang gemuk menyanyi dengan suara yang nyaring sekali, dan seorang pelawak berusaha keras untuk menirukan George Robey, tapi gagal total.
Akhirnya tibalah waktunya orang mengumumkan giliran The Pulcibella Kids. Jantungku berdebar demikian kerasnya, hingga membuatku mual. Itulah dia — itulah mereka berdua, mereka merupakan suatu pasangan, yang seorang berambut pirang, yang seorang lagi rambutnya hitam, sesuai dengan ukurannya. Mereka mengenakan rok pendek yang menggembung dan pita yang besar sekali model.Buster Brown. Mereka seperti sepasang anak-anak yang sangat menggairahkan. Mereka mulai menyanyi. Suara mereka lantang dan bersih, agak halus dan kecil, namun menarik.
Pertunjukan mereka memang benar-benar merupakan angin segar. Mereka menari dengan bagus dan diselingi dengan beberapa gerakan akrobatik. Lirik lagula – gunya tajam dan menarik. Waktu tirai ditutup, terdengar tepuk tangan yang gemuruh. The Dulcibella Kids agaknya telah berhasil.
Aku tiba-tiba merasa bahwa aku tak tahan lagi tinggal lebih lama lagi. Aku ingin keluar mencari udara segar. Kuajak Poirot keluar.
"Pergilah, mon ami, aku masih senang, dan akan tinggal sampai selesai. Aku akan menyusulmu nanti."
Jarak antara gedung kesenian itu dengan hotel kami hanya beberapa langkah. Aku duduk di ruang tamu, memesan wiski-soda, dan meminumnya sambil menatap merenung ke perapian yang kosong. Kudengar pintu dibuka, kusangka Poirot yang datang. Kemudian aku terlompat. Cinderella berdiri di ambang pintu. Dia berbicara dengan terengah, napasnya agak tersengal.
"Aku melihatmu duduk di depan tadi. Kau dan sahabatmu. Waktu kau berdiri akan pergi, aku menunggu di luar dan aku menyusulmu. Mengapa kau berada di sini — di Coventry? Apa yang kaulakukan di gedung kesenian itu tadi? Apakah laki-laki yang bersamamu itu — detektif yang kau ceritakan dulu itu?"
Mantel yang dipakainya untuk menutupi pakaian pentasnya terlepas dari bahunya. Kulihat kulit pipinya yang pucat di balik warna pemerah, dan kudengar nada ketakutan dalam suaranya. Dan saat itu mengertilah aku semuanya — aku mengerti mengapa Poirot mencarinya, dan apa yang ditakutkan gadis ini, dan akhirnya aku pun menyadari hatiku sendiri,
"Ya," kataku dengan lembut. "Apakah dia mencari — aku?" tanyanya setengah berbisik.
Sebelum aku sempat menjawab, dia menjatuhkan dirinya di dekat kursi yang besar, lalu meledaklah tangisnya yang amat sedih. Aku berlutut di sampingnya, kurangkul dia dan kuperbaiki letak rambut yang menutupi wajahnya.
"Jangan menangis, Sayang, demi Tuhan, jangan menangis. Kau aman di sini. Aku akan menjagamu. Jangan menangis, Kekasih, jangan menangis, aku tahu — aku sudah tahu semua."
''Tidak, kau tak tahu apa-apa!"
"Kurasa aku tahu." Dan sebentar kemudian, setelah isak tangisnya agak mereda, aku bertanya, "Kau yang telah mengambil pisau belati itu, bukan?"
"Ya."
"Itukah sebabnya kauminta aku untuk membawamu berkeliling? Dan kau berpura-pura pingsan?"
Dia mengangguk lagi. Suatu pikiran yang aneh timbul dalam diriku pada saat itu. Entah mengapa aku merasa senang bahwa alasannya memang itu — daripada bila itu hanya karena untuk bersenang-senang dan ingin tahu saja, sebagaimana yang kuduga semula. Betapa pandainya dia memainkan perannya hari itu. Padahal di dalam dirinya dia pasti ketakutan dan kacau. Kasihan benar kekasihku ini, dia harus menanggung perasaan yang demikian beratnya.
"Mengapa kauambil pisau belati itu?" tanyaku lagi.
"Karena aku takut ada bekas sidik jari di situ' jawabnya sepolos anak kecil.
"Tapi tidakkah kauingat bahwa kau memakai sarung tangan?"
Dia menggeleng seperti kebingungan, lalu berkata lambat-lambat, "Apakah kau akan menyerahkan aku — kepada polisi?"
"Ya Tuhan, tentu tidak!"
Dia menatapku lama dan serius, kemudian dengan suara halus dan tenang, seolah-olah dia sendiri takut mendengarnya, dia bertanya, "Mengapa tidak?"
Tempat itu rasanya tak pantas untuk menjadi tempat menyatakan cinta — dan demi Tuhan, dalam seluruh anganku, tak pernah kubayangkan cinta akan datang padaku dalam bentuk ini. Namun demikian, dengan sederhana dan wajar, aku menjawab, "Karena aku cinta padamu, Cinderella."
Dia menunduk seolah-olah dia malu, lalu berkata dengan suara terputus-putus, "Tak mungkin — tak bisa — bila kau tahu —" Kemudian, seolah-olah dia telah berhasil mengumpulkan tenaganya, ditatapnya aku tepat-tepat, dan bertanya, "Lalu apa yang kau ketahui?"
"Aku tahu bahwa kau datang menemui Tuan Renauld malam itu. Dia menawarkan selembar cek padamu, tapi cek itu kau sobek dengan marah. Kemudian kaut inggalkan rumah itu —" Aku berhenti.
'Teruskan — lalu apa lagi?"
"Aku tak yakin, apakah waktu itu kau tahu bahwa jack Renauld akan datang malam itu, atau kau hanya menunggu kesempatan saja untuk bertemu dengannya, kau hanya menunggu saja. Mungkin kau sedang kesal, dan berjalan tanpa tujuan — bagaimanapun juga, pukut dua belas kurang sedikit kau masih berada di sekitar tempat itu, dan kau melihat seorang laki-laki di lapangan golf —"
Aku berhenti lagi. Waktu dia masuk ke kamar ini tadi, kebenaran keadaan itu baru merupakan dugaan saja, tetapi kini gambaran itu jadi lebih meyakinkan. Terbayang lagi dengan jelas potongan yang aneh dari mantel pada mayat Tuan Renauld, dan aku teringat bahwa aku terkejut melihat betapa miripnya putranya dengan Tuan Renauld sendiri, hingga waktu anak muda itu masuk ke ruang tamu utama tempat kami berunding, sesaat aku sempat menyangka bahwa si mati telah hidup kembali.
"Teruskan," ulang gadis itu dengan mantap.
"Kurasa dia sedang membelakangimu — tapi kau mengenalinya, atau kau menyangka bahwa kau mengenalinya. Potongan tubuh dan gaya geraknya kau kenal, juga potongan mantelnya." Aku berhenti.
 "Di kereta api dalam perjalanan kita di Paris, kau katakan padaku bahwa dalam tubuhmu mengalir darah It ah, dan bahwa pada suatu kali kau hampir mengalami kesulitan gara-gara darah panas itu. Dalam salah satu suratmu kau mengancam' Jack Renauld. Waktu
kaulihat dia di sana, kemarahan dan rasa cemburumu membuatmu mata gelap — dan kau lain menyerangnya. Sedetik pun aku tak percaya, bahwa kau berniat untuk membunuhnya. Tapi nyatanya kau telah membunuhnya, Cinderella."
Diangkatnya tangannya lalu ditutupinya mukanya, dan dengan suara tersendat, dia berkata, "Kau benar— kau memang benar—bisa kulihat semuanya sebagaimana yang kauceritakan itu." Kemudian dia berbalik padaku dengan kasar.
"Dan kau cinta padaku? Kalau kau sudah tahu semuanya itu, bagaimana kau bisa mencintai diriku?"
"Entahlah," kataku dengan agak lemah. "Kurasa cinta memang begitu — sesuatu yang terjadi tanpa bisa dicegah. Aku sudah mencoba mencegahnya — sejak hari pertama aku bertemu denganmu dulu. Tapi cinta terlalu kuat bagiku."
Kemudian tiba-tiba, tanpa kusangka sama sekali, dia menangis lagi. Dijatuhkannya dirinya ke lantai lalu terisak-isak dengan hebat.
"Aduh, aku tak sanggup!" tangisnya. "Aku tak tahu apa yang harus kuperbuat. Aku tak tahu ke mana aku harus berpaling. Aduh, kasihani aku, kasihanilah aku ini, seseorang, dan katakan apa yang harus kuperbuat!"
Aku berlutut di sampingnya lagi, dan membujuknya sebisa-bisanya."Jangan takut padaku, Belia. Demi Tuhan, jangan takut padaku. Aku cinta padamu, sungguh — dan aku tidak mengharapkan imbalan apa-apa. Hanya beri aku kesempatan untuk membantumu. Tetaplah mencintai dia kalau memang terpaksa, tapi izinkanlah aku membantumu, karena dia tak bisa."
Dia seolah-olah berubah menjadi batu mendengar kata-kataku itu. Diangkatnya wajahnya yang tadi ditutupinya dengan tangannya, lalu ditatapnya aku. "Itukah dugaanmu?" bisiknya. "Kau sangka bahwa aku mencintai Jack Renauld?"
Kemudian, dengan setengah tertawa dan setengah menangis, dirangkulkannya lengannya dengan bernafsu ke leherku, lalu ditekankannya wajahnya yang manis dan basah itu ke mukaku.
"Tidak sebesar cintaku padamu," bisiknya lagi, 'Tidak akan pernah sama dengan cintaku padamu" Bibirnya disapukannya ke pipiku, dan kemudian bibir itu mencari mulutku. Lalu tanpa kusangka, diciuminya aku berulang kali dengan lembut tapi bernafsu. Aku tidak akan lupa kehangatan dan — Keajaibannya selama hidupku! Suatu bunyi di ambang pintu membuat kami berdua mengangkat muka kami. Poirot berdiri di situ memandangi kami.
Aku tak ragu. Dengan suatu lompatan kudatangi Poirot lalu kutekan kedua belah lengannya ke sisinya.
"Cepat" kacaku pada Belia. "Keluar. Cepat. Selagi aku menahannya." Sambil menoleh sekali lagi padaku, gadis itu lari keluar dari kamar itu melewati kami. Poirot kutahan dalam suatu cengkeraman besi.
"Mon ami," kata orang yang kucengkeram itu dengan halus, "pandai sekati kau berbuat begini. Orang kuat menahanku dalam cengkeramannya dan aku tak berdaya bagai anak kecil. Tapi ini tidak menyenangkan dan tak lucu. Coba kita duduk dan tenang-tenang saja."
"Kau tidak akan mengejarnya?"
"Ya Tuhan, tentu tidak! Apakah aku ini Giraud? Lepaskanlah aku, Sahabat." Aku menghargai Poirot karena dia menyadari bahwa aku bukan tandingannya dalam hal kekuatan jasmaniah. Maka, sambil mengawasinya dengan curiga, kulepaskan cengkeraman ku, dan sahabatku itu membenamkan dirinya ke kursi, dan mengelus-elus lengannya dengan lembut.
"Kau jadi punya kekuatan seperti banteng kalau sedang bernafsu, Hastings! Pikir-pikir, baguskah kelakuanmu itu terhadap sahabat lamamu? Aku yang memperlihatkan foto gadis itu padamu dan kau mengenalinya, tapi kau sama sekali tidak berkata sepatah pun."
"Tak ada gunanya kau tahu bahwa aku mengenalinya," kataku dengan nada pahit. Rupanya Poirot selama ini memang sudah tahu. Sedetik pun aku tak bisa  membohonginya.
"Nah, kan! Kau tak tahu bahwa aku tahu. Dan malam ini kaubantu gadis itu lari setelah kita menemukannya dengan begitu bersusah payah! Eh bien! Pokoknya begini — apakah kau masih akan bersama denganku atau melawanku, Hastings?"
Aku tak menjawab beberapa lamanya. Akan sangat menyedihkan kalau aku harus memutuskan hubunganku dengan sahabatku ini. Namun jelas, aku harus menempatkan diriku menentang dia. Apakah akan pernah dia memaafkan aku, pikirku? Selama ini dia begitu tenang, tapi aku tahu, bahwa dia memang memilikikemampuan besar untuk menguasai dirinya.
"Poirot," kataku, "maafkan aku. Kuakui bahwa aku telah berkelakuan buruk terhadapmu dalam hal ini. Tapi kadang-kadang orang tak punya pilihan lain. Dan selanjutnya, aku akan harus mengambil jalanku sendiri."
Poirot mengangguk-angguk. "Aku mengerti," katanya. Di matanya sudah tak tampak lagi bayangan mencemooh, dan dia berbicara dengan tulus dan baik-baik, hingga aku merasa heran. "Yah, kau sudah dilanda cinta, bukan, Sahabatku' — Cinta yang tidak seperti yang kaubayangkan — yang manis, melainkan yang membawa korban. Yah — aku sudah memberikan peringatan. Waktu aku yakin bahwa pasti gadis itulah yang telah mengambil pisau belati itu, aku memperingatkanmu. Mungkin kau ingat. Tapi sudah terlambat. Tapi coba
katakan, berapa banyak yang sudah kau ketahui?"
Kupandangi dia tepat-tepat. "Tak satu pun yang akan kau ceritakan padaku akan mengejutkan aku, Poirot. Harap kau mengerti itu. Tapi bila kau berniat untuk terus mengejar Nona Duveen, harap kau tahu satu hal. Bila kau punya pikiran bahwa dia tersangkut dalam kejahatan itu, atau bahwa dialah wanita misterius yang mengunjungi Tuan Renauld malam itu, kau keliru. Aku sedang dalam perjalanan pulang ke Inggris bersama dia hari itu, dan aku berpisah dengannya di stasiun Victoria malam itu, hingga jelas tidaklah mungkin dia berada di Merlinville."
"Oh!" Poirot memandangku dengan merenung. "Dan maukah kau bersumpah di pengadilan untuk itu nanti ?"
"Tentu aku mau."
Poirot bangkit lalu membungkuk. "Mon ami! Hiduplah cinta! Cinta bisa menciptakan suatu mukjizat. Memang benar-benar hebat cerita karanganmu itu. Hercule Poirot sendiri pun kalah olehnya!"


0 comments:

Post a Comment