Sunday, 4 October 2015

Agatha Christie - Lapangan Golf Maut - BAB LIMA BELAS

BAB LIMA BELAS
SEBUAH FOTO


Kata - kata dokter itu demikian mengejutkan, hingga kami semua terpana seketika. Laki-laki ini telah ditikam dengan sebilah pisau belati, yang sepanjang pengetahuan kami dicuri dua puluh empat jam sebelumnya namun Dokter Durand menerangkan dengan pasti bahwa dia sudah mati sekurang-kurangnya empat puluh delapan. Semuanya itu sangat mengherankan.
Belum lagi kami pulih dari kejutan gara-gara pemberitahuan dokter itu, datang pula sepucuk telegram untukku. Telegram itu diteruskan oleh pihak hotel ke villa. Kusobek telegram itu. Ternyata dari Poirot, yang memberitahukan bahwa dia akan kembali naik kereta api, dan akan tiba di Merlinville pukul dua belas lewat dua puluh delapan menit. Aku melihat ke arlojiku dan menyadari bahwa bila aku ingin pergi ke stasiun untuk menjemputnya tanpa tergesa-gesa, aku harus segera berangkat. Aku merasa bahwa dia perlu sekali segera mengetahui tentang perkembangan-perkembangan baru yang mengejutkan dalam perkara itu.
Rupanya, pikirku, Poirot tidak mengalami kesulitan dalam menemukan apa yang dicarinya di Paris. Kedatangannya kembali dengan cepat membuktikan hal itu. Beberapa jam saja sudah cukup. Aku ingin tahu, bagaimana dia menanggapi berita hangat yang akan kusampaikan. Ketera api terlambat beberapa menit, dan aku berjalan santai hilir-mudik tanpa tujuan di peron. Tiba-tiba aku berpikir, sebaiknya kumanfaatkan waktu itu dengan menanyakan beberapa pertanyaan, siapa yang telah berangkat dari Merlinville naik kereta api terakhir pada malam hari tragedi itu terjadi.
Kudatangi kepala petugas pengangkut barang, seseorang yang kelihatan cerdas. Tanpa susah-payah aku berhasil membujuknya untuk membicarakan soal itu. Sungguh sesuatu yang memalukan kepolisian, katanya dengan berapi-api, bahwa pembunuh itu bisa berkeliaran tanpa dihukum. Kukatakan bahwa ada kemungkinannya mereka berangkat naik kereta api tengah malam, tapi dia membantah gagasan itu dengan tegas. Dia pasti bisa mengenali dua orang asing dia yakin akan hal itu. Hanya kira-kira dua puluh orang yang berangkat dengan kereta api, dan dia tak mungkin gagal mengenalinya.
Aku tak tahu bagaimana aku sampai mendapatkan gagasan itu  mungkin karena rasa takut yang mendalam yang terdengar di suara Marthe Daubreuil tapi aku lalu tiba-tiba bertanya, "Bagaimana dengan Tuan muda Renauld — dia tidak berangkat naik kereta api, bukan?"
"Ah, tidak, Tuan. Datang dan berangkat lagi  hanya dalam jangka waktu setengah jam, tak masuk akal, bukan?"
Aku terbelalak memandang laki-laki itu. Aku hampir-hampir tak mengerti kata - katanya. Kemudian barulah mataku terbuka.
"Maksud Anda," kataku, dengan hati yang agak berdebar, "bahwa Tuan Jack Renauld tiba di Merlinville pada malam itu juga?"
"Benar, Tuan. Naik kereta api yang terakhir, yang tiba pukul sebelas lewat empat puluh menit."
Otakku berputar. Rupanya itulah alasan dari ketakutan Marthe yang amat sangat. Jack Renauld ada di Merlinville pada malam hari kejahatan itu terjadi! Tapi mengapa dia tidak mengatakannya? Mengapa kami sebaliknya disuruhnya percaya, bahwa dia ada di Cherbourg? Membayangkan wajahnya yang jujur yang kekanakan, aku rasanya tak bisa menduga bahwa dia ada hubungan dengan kejahatan itu. Namun, mengapa dia menutup mulut mengenai soal yang begitu penting? Satu hal sudah jelas. Marthe selama ini sudah tahu. Karena itu dia begitu takut, dan dengan sangat ingin tahu bertanya pada Poirot apakah ada seseorang yang dicurigai.
Renunganku terganggu oleh kedatangan kereta api, dan sesaat kemudian aku sudah menyalami Poirot. Pria kecil itu umpak berseri-seri. Dia ceria sekali dan berceloteh dengan riang. Dia merangkulku dengan hangat di peron, dia lupa bahwa sebagai orang Inggris, aku tak menyukai hal itu.
 "Mo n cber ami, aku telah berhasil — berhasil luar biasa."
"Begitukah? Aku senang mendengarnya. Sudahkah kau mendengar berita yang terakhir di sini?"
"Bagaimana aku bisa mendengar apa-apa? Apakah ada perkembangan – perkembangan baru? Apakah Giraud yang jagoan itu telah menahan seseorang? Atau beberapa orang barangkali. Aku akan membuat orang itu merasa malu! Tapi, akan kaubawa ke mana aku ini, Sahabatku? Apakah kita tidak akan pergi ke hotel? Aku masih perlu mengurus kumisku — kumis ini sudah menjadi layu sekali gara-gara panasnya dalam perjalanan tadi. Dan, jasku tentu penuh debu. Lalu dasiku pun tentu perlu diperbaiki letaknya." Celotehnya tentang pakaiannya itu kupotong.
"Poirot yang baik — biarkanlah semuanya itu. Kita harus segera pergi ke villa. Di sana telah ter jadi suatu pembunuhan lagi"
Aku sering mengalami kekecewaan bila aku menyangka bahwa aku telah memberikan berita penting pada sahabatku itu. Biasanya berita itu sudah diketahuinya atau berita itu disisihkannya saja, karena dianggapnya tak ada hubungannya dengan soal yang utama — dan dalam keadaan yang terakhir, keadaan biasanya membuktikan bahwa dia memang benar. Tetapi kali ini aku tak kecewa. Tak pernah aku melihat orang lebih terkejut dari dia. Dia ternganga. Semua keceriaan lenyap dari dirinya. Dia menatapku dengan terbelalak.
"Apa katamu? Suatu pembunuhan lagi? Aduh, kalau begitu aku keliru. Aku telah gagal. Giraud bisa mencemoohkan aku — dia akan punya alasan untuk itu."
"Jadi kau tidak tahu hal itu terjadi?"
"Aku? Sama sekali tidak. Kejadian itu merobohkan teoriku — menghancurkan segala-galanya — aduh, tidak!" Dia tiba-tiba berhenti, meninju dadanya. "Tak mungkin. Aku tak mungkin keliru! Fakta-fakta yang telah kukumpulkan dengan begitu teratur dan dengan urut-urutan yang begitu baik, hanya mungkin punya satu penyelesaian. Aku harus benar! Aku memang benar!"
"Tapi lalu —"
Dia menyelaku.
"Tunggu, Sahabatku. Aku harus benar, oleh karenanya pembunuhan yang baru terjadi itu tak mungkin, kecuali — kecuali — ah, tidak. Kuminta, jangan kaukatakan apa-apa —
Beberapa menit lamanya dia diam saja, lalu, dengan sikapnya yang seperti biasa lagi, dia berkata dengan tenang dan dengan suara penuh keyakinan.
"Si korban adalah seorang laki-laki setengah baya. Mayatnya ditemukan dalam gudang yang terkunci, di dekat tempat kejadian kejahatan yang pertama, dan dia sekurang-kurangnya sudah empat puluh delapan jam meninggal. Dan mungkin sekali, dia ditikam dengan cara yang sama seperti Tuan Renauld, meskipun tak perlu di punggung."
Kini giliranku untuk ternganga — sungguh-sungguh ternganga. Selama aku mengenal Poirot, tak pernah dia melakukan sesuatu yang begitu gemilang. Dan mau tak mau, timbullah keraguan dalam pikiranku.
"Poirot," teriakku, "kau mempermainkan aku. Kau sudah mendengar segalagalanya."
Dia memandangi aku dengan serius, seperti menegur. "Apakah aku mau berbuat begitu? Sungguh, aku sama sekali tidak mendengar apa - apa. Tak kaulihat-Kah betapa terkejutnya aku mendengar beritamu tadi?"
'"Tapi, demi Tuhan, bagaimana kau bisa tahu semuanya itu?"
"Jadi dugaanku tadi benar? Aku sudah tahu. Sel-sel kecil yang kelabu, Sahabatku, sel-sel kecil yang kelabu! Sel-sel itulah yang memberi tahu aku. Dengan cara itu, dan tak mungkin dengan cara lain, kematian kedua itu bisa terjadi. Nah, sekarang ceritakanlah semuanya padaku. Bila kita membelok ke sebelah kiri di sini, kita bisa lewat jalan pintas melalui lapangan golf, supaya kita bisa sampai di belakang Villa Genevieve jauh lebih cepat."
Sambil kami berjalan, dengan mengambil jalan yang dianjurkannya, kuceritakan semua yang kuketahui, Poirot mendengarkan dengan saksama.
"Pisau belatinya ada di lukanya katamu? Sungguh aneh. Yakinkah kau bahwa pisau belati itu pisau yang sama?"
"Yakin sekali. Itulah yang menjadikan hal itu rasanya tak mungkin."
'Tak ada satu pun yang tak mungkin. Mungkin ada dua buah pisau belati yang serupa."
Alisku terangkat.
"Itu kan sama sekali tak mungkin? Itu akan merupakan suatu kebetulan yang luar biasa."
"Seperti biasanya, kau berbicara tanpa berpikir, Hastings. Dalam beberapa hal, dua buah senjata yang serupa, mungkin sekali. Tapi dalam hal ini tidak. Senjata khusus ini adalah tanda mata yang dibuat atas pesanan Jack Renauld. Tapi kalau dipikir - pikir , rasanya tak mungkin dia hanya menyuruh membuat sebuah. Besar kemungkinannya dia menyuruh membuat sebuah lagi untuk dipakainya sendiri."
"'Tapi tak seorang pun berkata demikian," kataku menyatakan keberatanku.
Terdengar nada bicara seorang penceramah, waktu Poirot berkata lagi.
"Sahabatku, dalam menangani suatu perkara, kita tidak hanya mempertimbangkan hal-hal yang disebut orang saja. Tak ada alasan orang mengucapkan apa-apa yang mungkin penting. Demikian pula, sering kali ada alasan penting untuk t idak mengatakannya. Kita tinggal memilih motif yang mana,"
Aku terdiam, aku harus mengakui bahwa aku terkesan. Beberapa menit kemudian kami tiba di gudang itu. Kami menemukan semua teman kerja kami di sana, dan setelah saling menyampaikan basa-basi sopan-santun, Poirot memulai pekerjaannya. Setelah melihat cara kerja Giraud tadi, aku jadi sangat tertarik. Poirot hanya melihat seperlunya saja ke keadaan sekitarnya. Satu-satunya barang yang diperiksanya adalah jas dan celana yang kumal yang tergumpal di dekat pintu. Tampak senyum cemooh menghiasi bibir Giraud, dan seolah-olah melihat hal itu, Poirot melemparkan buntalan itu kembali.
"Apakah itu pakaian tua tukang kebun?" tanyanya.
"Tentu saja," kata Giraud.
Poirot berlutut di dekat mayat. Jari-jarinya bergerak cepat namun penuh keahlian. Diselidikinya jenis Bahan pakaiannya, dan dia kelihatan merasa puas, karena tak ada bekas-bekasnya. Sepatu botnya diselidikinya dengan teliti pula, demikian pula kuku jari tangan yang patah-patah dan kotor. Sambil memeriksa kuku-kuku itu, dia bertanya dengan cepat pada Giraud,
"Apakah Anda lihat ini?"
"Ya, saya lihat," sahut yang ditanya. Wajahnya tetap tenang. Tiba-tiba Poirot menjadi tegang.
"Dokter Durand!"
"Ya?" Dokter itu maju.
"Ada busa di bibirnya. Apakah Anda lihat itu ?"
"Harus saya akui bahwa saya tidak melihatnya 'Tapi sekarang Anda melihatnya, bukan?"
"Oh, ya, tentu,"
Poirot melemparkan pertanyaan pada Giraud."Anda pasti sudah melihatnya, bukan?" Yang ditanya tak menyahut. Poirot melanjutkan pekerjaannya. Pisau belati sudah dicabut dari lukanya. Benda itu terletak dalam sebuah stoples gelas di sisi mayat itu. Poirot menyelidiki pisau belati itu, lalu melihat lukanya dengan teliti. Waktu dia mengangkat mukanya, matanya tampak berapi-api, dan warna hijau yang begitu kukenal bersinar di mata itu
"Luka ini aneh! Tak ada darahnya. Tak pula ada bekasnya pada pakaiannya. Mata pisau belati itu. hanya berbekas darah sedikit sekali. Bagaimana pendapat Anda Dokter?"
"Saya hanya bisa berkata bahwa itu sangat tak wajar."
"Itu sama sekali tak wajar. Dan amat sederhana. Laki-laki itu ditikam, sesudah dia meninggal"
Lalu, sambil menenangkan paduan suara terkejut dari semua yang hadir, dengan mengangkat tangannya, Poirot berpaling pada Giraud, dan menambahkan, "Tuan Giraud sependapat dengan saya, bukan?"
Apa pun yang sebenarnya dipikirkan Giraud, dia mengakui kebenaran itu tanpa ada perubahan sedikit pun pada otot mukanya. Dengan tenang dan hampir dengan nada cemooh, dia menjawab, 'Tentu saya sependapat."
Terdengar lagi suara dengung keheranan dan penuh perhatian. "Pikiran apa itu!" seru Tuan Hautet "Menikam seseorang setelah dia meninggal! Tak beradab sekali! Tak pernah kita mendengar perbuatan seperti itu. Pembalasan dendam yang tak terperkirakan mungkin."
"Bukan, Pak Hakim," kata Poirot. "Saya rasa itu dilakukan dengan darah dingin — untuk menciptakan suatu kesan tertentu."
"Kesan apa?"
"Kesan yang memang diciptakan," sahut Poirot. Para pendengarnya sulit memahaminya.
Tuan Bex sedang berpikir. "Jadi bagaimana laki-laki itu terbunuh?"
"Dia tidak dibunuh. Dia meninggal. Dia meninggal, Pak Hakim, kalau saya tidak terlalu keliru, karena serangan sakit ayan!"
Pernyataan Poirot itu menimbulkan kekacauan cukup besar lagi. Dokter Durand berlutut lagi, lalu mengadakan pemeriksaan menyeluruh sekali lagi. akhirnya dia bangkit.
"Bagaimana, Pak Dokter?"
"Tuan Poirot, saya harus mengakui bahwa pernyataan Anda memang benar. Saya semula salah duga. Pendapat umum yang seolah-olah tak dapat dibantah lagi, bahwa laki-laki itu telah ditikam, telah mengalihkan perhatian saya dari semua petunjuk-petunjuk yang lain. "
Pada saat itu Poirot merupakan pahlawan. Hakim iemeriksa memuji-mujinya terus. Poirot menanggapinya dengan luwes, lalu minta diri dengan alasan bahwa kami berdua belum sempat makan siang dan bahwa dia ingin menghilangkan letihnya akibat perjalanannya.
Baru saja kami akan meninggalkan gudang itu, Giraud mendatangi kami "Satu faal lagi, Tuan Poirot," katanya, dengan suaranya yang mencemooh dengan halus.  "Kami menemukan ini terlilit pada gagang pisau belati. Ini rambut seorang wanita."
"Oh!" kaca Poirot. "Rambut seorang wanita? Saya ingin tahu, rambut wanita mana ya?"
"Saya juga ingin tahu," kata Giraud. Kemudian dia meninggalkan kami, setelah membungkuk.
"Dia tetap berkeras, Giraud kita yang hebat itu," kata Poirot sambil merenung, dalam perjalanan kami ke hotel. "Aku ingin tahu ke arah mana dia ingin menyesatkan aku? Rambut seorang wanita — hm!"
Kami makan siang dengan enak, namun Poirot tampak agak linglung dan kurang perhatian. Setelah itu kami pergi ke ruang duduk, dan di sana kuminta dia untuk menceritakan padaku tentang perjalanannya ke Paris yang misterius itu.
"Dengan senang hati, Sahabatku. Aku pergi ke Paris untuk menemukan ini." Dari sakunya dikeluarkannya selembar guntingan surat kabar yang sudah kabur. Guntingan itu merupakan foto seorang wanita. Foto itu diberikannya padaku. Aku menyerukan kata seru.
"Kau kenal kan, Sahabatku?"
Aku mengangguk. Meskipun foto itu kelihatannya sudah lama sekali dibuat, dan rambutnya ditata dengan gaya yang lain, keserupaannya tak dapat dibantah.
"Nyonya Daubreuil!" aku berseru.
Poirot menggeleng sambil tersenyum.
"Kurang tepat, Sahabatku. Bukan itu namanya waktu itu.Itu adalah foto Madame Beroldy yang terkenal jahat itu “
Madame Beroldy! Sekilas semuanya kuingat kembali. Sidang pembunuhan yang telah
menarik begitu banyak perhatian.
Perkara Beroldy.

Lanjut ke BAB ENAM BELAS

0 comments:

Post a Comment