BAB SEPULUH
PENAHANAN
Saya menjadi
kesal ketika mendapat jawaban bahwa Poirot tidak ada karena sedang
ke London. Saya terdiam heran dan tidak mengerti. Apa yang
dilakukan Poirot di London? Apakah dia memang sudah merencanakannya sejak lama
atau merupakan keputusan
mendadak? Saya berjalan ke Styles dengan hati panas. Karena tak ada
Poirot, saya tak tahu lagi apa yang harus saya lakukan. Apa dia telah
memperkirakan penahanan ini sebelumnya? Ataukah dia yang menyebabkan penahanan
ini? Saya tak tahu. Tapi sementara ini apa yang harus saya lakukan? Apakah
sebaiknya saya memberitahukan penahanan ini di Styles? Tapi pikiran tentang
Mary Cavendish membuat saya ragu - ragu. Apa tidak akan mengejutkan dia? Untuk
sesaat saya menyingkirkan kecurigaan terhadap dirinya. Dia tak bisa dilibatkan.
Tak ada tanda yang menunjuk ke arah itu.
Tentu saja
penahanan Dr. Bauerstein tidak dapat disembunyikan terlalu lama. Koran pagi
pasti memuat berita itu. Tapi rasanya sulit bagi saya untuk mengatakannya. Seandainya
ada Poirot, saya pasti minta pendapatnya. Mengapa dia pergi ke London begitu
saja? Rasa hormat saya pada Poirot semakin bertambah-tambah. Saya tak akan
mencurigai dokter itu seandainya Poirot tidak menunjukkannya pada saya. Dia
memang pandai. Setelah berpikir sejenak saya memutuskan untuk berbicara dengan
John dan menyerahkan padanya apakah dia mau mengumumkan hal itu atau tidak. Dia
bersiul ketika saya memberitahukan hal itu kepadanya.
"Ah! Kalau
begitu kau benar. Aku tadinya tak percaya."
"Memang
rasanya sulit dipercaya, tapi setelah dipikir-pikir, semuanya cocok. Sekarang
kita mau apa? Besok pagi berita itu pasti sudah ada di koran."
John berpikir. "Tak
apa," katanya. "Kita tak perlu berkata apa-apa sekarang. Tak ada
gunanya. Besok toh semua orang tahu."
Tapi saya menjadi
heran, ketika membuka koran pagi, tak ada berita secuil pun tentang penahanan
itu. Memang ada berita tentang 'Kasus Peracunan di Styles', tapi tidak
menyinggung tentang penahanan kemarin. Saya rasa Japp sengaja menyembunyikan
berita itu. Hal itu agak menguatirkan karena ada kemungkinan akan terjadi
penahanan-penahanan berikutnya.
Setelah
sarapan, saya memutuskan untuk pergi ke desa menemui Poirot. Tapi sebelum berangkat
sebuah wajah yang saya kenal muncul di jendela dan suaranya berkata, "Bon
jour, mon ami"
"Poirot,"
saya berseru lega dan menariknya masuk ke dalam ruangan. "Dengar. Aku belum
memberi tahu siapa-siapa kecuali John. Apa pendapatmu?"
"Hei. Aku
tak tahu apa yang kaukatakan."
"Tentu
saja penahanan Dokter Bauerstein," kata saya tak sabar.
"Kalau
begitu dia ditahan?"
"Apa kau
tidak tahu?"
"Sama
sekali tidak." Dia berpikir sebentar, lalu menambahkan, "Tapi hal itu
tak terlalu mengejutkan. Kita kan hanya empat mil dari pantai."
"Pantai?"
saya bertanya bingung. "Apa hu¬bungannya? "
Poirot mengangkat
bahunya. "Kan sudah jelas!"
"Aku tak
mengerti. Apa hubungan antara pantai dengan pembunuhan Nyonya Inglethorp?"
"Tentu
saja tidak ada," jawab Poirot dengan tersenyum. "Kita kan sedang
bicara tentang penahanan Dokter Bauerstein."
"Ya, dia
kan ditahan karena pembunuhan Nyonya Inglethorp—"
"Apa?"
teriak Poirot dengan heran. "Dokter Bauerstein ditahan karena pembunuhan Nyonya
Inglethorp?"
"Ya."
"Tak
mungkin! Itu lelucon yang tidak lucu! Siapa yang mengatakannya?"
"Sebenarnya
tak ada yang mengatakannya," saya mengaku. "Tapi dia ditahan."
"Oh ya, memang.
Tapi karena spionase, mon ami."
"Spionase?"
tanya saya menahan napas.
"Benar."
"Bukan
karena meracuni Nyonya Inglethorp?"
"Kecuali
kalau si Japp sudah tidak waras," jawab Poirot tenang.
"Tapi—aku
pikir kau berpendapat begitu."
Poirot
memandang saya dengan heran campur kasihan. Saya berkata pelan-pelan, "Jadi
Dokter Bauerstein adalah seorang mata-mata?"
Poirot
mengangguk. "Kau tak pernah mencurigainya?"
"Tak
pernah terpikir olehku."
"Apa kau
tidak curiga kalau seorang dokter terkenal dari London mengubur diri di sebuah
desa kecil seperti ini? Dan punya kebiasaan jalan malam-malam dengan pakaian
lengkap?"
"Tidak,"
saya mengakui. "Tak pernah."
"Tentu
saja dia orang Jerman. Memang dia telah lama di sini sehingga orang menganggapnya
sebagai orang Inggris. Dia menjadi warga negara Inggris lima belas tahun yang
lalu. Seorang jenius—tentu saja. Dia Yahudi."
"Bajingan!"
seru saya.
"Sama
sekali bukan. Sebaliknya, dia adalah patriot. Coba pikirkan apa yang dia relakan
untuk dikorbankan. Aku mengaguminya."
Tapi saya tidak
bisa melihat hal itu dari sudut pandang Poirot. "Dan dengan laki-laki
itulah Nyonya Cavendish berkeliling ke mana-mana!" seru saya kesal.
"Ya. Aku
rasa Bauerstein memanfaatkan hal itu," kata Poirot. "Sepanjang orang
sibuk menggosipkannya dengan Nyonya Cavendish, kelakuan-kelakuannya yang aneh
tak akan diperhatikan orang."
"Kalau
begitu kau menganggap dia sebenarnya tidak serius dengan Nyonya Cavendish?"
tanya saya bersemangat.
"Wah, aku
tak tahu hal itu. Tapi—aku punya pendapat pribadi, Hastings."
"Ya."
"Begini,
Nyonya Cavendish sama sekali tidak peduli pada Dokter Bauerstein!"
"Benarkah?"
Saya tak bisa menyembunyikan kegembiraan saya.
"Aku yakini
hal itu. Aku beritahu kau sebabnya."
"Apa?"
"Karena
dia mencintai orang lain, mon ami."
"Oh!"
Apa maksudnya?
Saya merasakan suatu kehangatan menjalar di dalam tubuh saya. Saya bukanlah
seorang laki-laki yang kurang menarik, dan saya teringat beberapa hal yang
meskipun samar-samar tapi cukup memberi arti.
Kegembiraan
saya terganggu oleh kedatangan Nona Howard. Dia melihat sekeliling untuk
memastikan bahwa tak ada orang lain di situ. Dengan cepat dia mengeluarkan selembar
kertas berwarna coklat yang diberikannya pada Poirot sambil bergumam, "Di
atas lemari baju." Lalu dengan cepat dia meninggalkan kami. Poirot membuka
lembaran kertas itu dengan tidak sabar dan berseru puas. Diletakkannya kertas
itu di atas meja.
"Coba
lihat, Hastings. Ini J. atau L.?"
Kertas itu
berukuran sedang dan agak berdebu, seperti sudah lama. Tapi yang menarik Poirot
adalah labelnya. Di bagian atas ada nama Messrs. Parkson, pemilik kostum teater
yang sangat terkenal dan ditujukan kepada "—Cavendish, Esq.,-Styles Court,
Styles St. Mary, Essex."
"Ini bisa
T. dan bisa L.," jawab saya setelah memperhatikannya. "Tapi jelas
bukan J."
"Bagus,"
jawab Poirot sambil melipat kertas itu lagi. "Aku juga berpendapat sama. Bisa
L."
"Dari mana
kertas itu?" tanya saya ingin tahu. "Apakah penting?"
"Tidak
terlalu, tapi cukup penting untuk memperkuat dugaanku. Aku meminta Nona Howard
untuk mencarinya setelah menarik sebuah deduksi dan dia ternyata
berhasil."
"Apa
maksudnya dengan 'di atas lemari baju'?"
"Dia
menemukannya di atas lemari baju," kata Poirot cepat.
"Tempat
yang aneh untuk selembar kertas coklat," gumam saya.
"Aku rasa
tidak. Bagian atas lemari baju merupakan tempat yang baik untuk kertas coklat
dan dos karton. Aku sendiri menyimpan barang-barang semacam itu di tempat yang
sama. Kalau sudah teratur rapi, tak akan menyulitkan mata."
"Poirot,"
saya berkata dengan serius, "sudah punya putusan tentang tragedi
ini?"
"Ya—maksudku,
aku tahu bagaimana peracunan itu dilakukan."
"Ah!"
"Sayang
aku tak punya bukti untuk dugaan-dugaanku, kecuali!" Tiba-tiba dia mencengkeram
lengan saya dan membawa saya turun tangga sambil berceloteh dalam bahasa
Prancis, "Made¬moiselle Dorcas, Mademoiselle Dorcas, un mo¬ment, s'il vous
plait"
Dorcas yang
mendengar suara-suara bising itu cepat-cepat keluar dari dapur. "Dorcas, aku
memerlukan sesuatu yang mungkin bisa dijadikan bukti! Apakah pada hari Senin,
ingat bukan Selasa tapi Senin sebelum hari naas itu—apakah pada hari itu bel
Nyonya Inglethorp rusak?"
Dorcas
kelihatan heran. "Ya. Benar, Tuan, memang benar. Heran. Bagaimana Tuan
bisa tahu? Ada tikus atau binatang lain yang menggigit kabel bel. Tapi hari Selasa
pagi ada tukang datang dan membetul¬kannya."
Dengan seruan
gembira Poirot menggandeng saya kembali ke ruang lagi. "Lihat. Kita tidak
harus selalu mencari bukti dari luar. Logika yang baik sudah cukup. Ah, Kawan,
aku merasa gembira dan penuh semangat! Aku ingin berlari dan meloncat!"
Memang dia
benar-benar berlari dan meloncat ke kebun melalui jendela yang panjang.
"Ada apa
dengan teman kecil Anda itu?" tanya sebuah suara di belakang saya.
Ternyata Mary
Cavendish. Dia tersenyum dan saya membalasnya.
"Ada apa
sih?"
"Saya
sendiri tak tahu. Dia bertanya kepada Dorcas tentang bel. Dan jawaban Dorcas
membuatnya gembira sehingga dia berlari-lari macam kuda
lumping."
Mary tertawa. "Lucu
sekali! Dia keluar gerbang. Kembali lagi tidak?"
"Saya tak
tahu. Saya tak ingin lagi menebak nebak apa yang akan dilakukannya kemudian."
"Apa dia
sinting, Tuan Hastings?"
"Saya
benar-benar tidak tahu. Kadang-kadang dia memang seperti orang sinting. Tapi dalam
keadaannya yang paling gila sekak pun dia punya suatu cara."
"Hm."
Walaupun
tertawa, Mary kelihatan menyimpan persoalan. Wajahnya kelihatan sedih. Saya
jadi teringat pada persoalan Cynthia. Barangkali ada baiknya kalau saya membicarakan
hal itu dengannya. Tapi, sebelum saya membawa persoalan itu lebih jauh, dia
menyetop saya dengan berkata, "Saya yakin bahwa Anda adalah seorang
pengacara yang hebat, Tuan Hastings, tapi dalam hal ini kemampuan Anda tak ada
gunanya. Cynthia tak akan berani
menghadapi kekejaman saya."
Ucapan saya
menjadi kacau. Mudah-mudahan dia tidak berkata bahwa— sekali lagi kata-kata
yang diucapkannya membuat saya semakin lupa pada Cynthia dan kesulitannya. "Tuan
Hastings, Anda mengira bahwa saya dan suami saya bahagia?"
Saya sangat
terkejut dan bergumam bahwa sebetulnya hal itu bukan urusan saya.
"Baiklah,"
katanya tenang. "Baik itu urusan Anda atau bukan, saya ingin mengatakan
bahwa saya tidak bahagia."
Saya diam saja
karena saya melihat dia belum selesai bicara. Dia berjalan perlahan-lahan,
mondar-mandir dalam ruangan. Kepalanya agak tertunduk dan tubuhnya yang
semampai bergerak dengan luwes. Tiba-tiba dia berhenti dan memandang saya. "Anda
tak tahu apa-apa tentang saya, bukan?" tanyanya. "Dari mana dan siapa
saya sebelum menikah dengan John? Baik, akan saya jelaskan. Saya akan
menganggap Anda pastor penerima pengakuan dosa. Saya rasa Anda baik—ya, saya
yakin Anda baik."
Anehnya, saya
tidak terlalu bergairah lagi. Saya ingat bahwa Cynthia pun menunjukkan rasa
percayanya dengan cara yang sama. Dan lagi, seorang pastor penerima pengakuan
dosa seharusnya seorang tua, bukan orang muda seperti saya.
"Ayah saya
orang Inggris," kata Nyonya Cavendish, "tapi ibu saya Rusia."
"Ah,
pantas—"
"Apanya
yang pantas?"
"Ada
sesuatu yang asing—lain—pada Anda."
"Ibu saya
sangat cantik, saya rasa. Saya tak tahu karena belum pernah melihatnya. Dia meninggal
ketika saya masih kecil sekali. Saya rasa kematiannya merupakan suatu tragedi—dia
salah minum obat tidur—dengan dosis berlebihan. Pokoknya ayah saya patah hati.
Setelah kejadian itu, Ayah bekerja di konsulat dan saya ikut ke mana pun dia
pergi. Ketika saya berumur dua puluh tiga, saya telah menjelajahi hampir
seluruh dunia. Kehidupan yang menyenangkan—saya benar-benar menikmatinya."
Bibirnya
tersenyum, wajahnya cerah. Dia kelihatan sedang mengenangkan hari-hari
indah yang pernah dilaluinya. "Kemudian Ayah meninggal. Saya
tak punya apa-apa. Saya harus tinggal dengan beberapa bibi di Yorkshire."
Badannya
gemetar. "Anda pasti bisa mengerti betapa tersiksa rasanya hidup di sana
setelah saya terbiasa dengan kehidupan yang sama sekali lain dengan Ayah.
Lingkungan yang terbatas, dan cara hidup yang sangat rutin hampir membuat saya
gila."
Dia diam
sesaat, dan kemudian meneruskan dengan suara yang lain, "Kemudian saya bertemu
dengan John Cavendish."
"Terus?"
"Dalam
pandangan bibi-bibi saya, pertemuan saya dengan John merupakan hal yang menguntungkan.
Mereka menganggap saya akan bahagia. Sebenarnya bukan hal ini yang memberatkan
perasaan saya. Bukan, John hanyalah pelarian dari kehidupan sehari-hari yang
monoton itu."
Saya hanya
diam. Setelah itu dia melanjutkan, "Jangan salah mengerti. Saya cukup
jujur. Saya mengatakan hal itu dengan terus terang. Saya sangat menyukai John
dan saya berharap—lama-lama—bisa lebih dari sekadar menyukainya saja, tapi saya
tidak merasa jatuh cinta padanya. Dia mengatakan bahwa hal itu sudah cukup
baginya. Jadi—kami pun menikah."
Dia diam cukup
lama. Dahinya berkerut. Kelihatannya dia merenung, mengenang kembali hari-hari
yang telah lewat. "Saya rasa—saya yakin—mula-mula dia mencintai saya. Tapi
mungkin kami kurang serasi. Sekarang saya merasa bahwa kami semakin jauh.
Dia—ini suatu hal yang tidak menyenangkan saya, tapi merupakan kenyataan dia
menjadi begitu cepat bosan dengan saya."
Saya tidak sadar
dengan apa yang saya gumamkan. Dengan cepat dia berkata, "Oh ya, benar!
Tapi sudahlah. Tak apa-apa. Memang tak lama lagi kami akan berpisah."
"Apa
maksud Anda?"
Dia menjawab
dengan tenang, "Saya tak akan tinggal di Styles."
"Anda dan
John tak akan tinggal di sini?"
"Barangkali
John akan tinggal di sini. Saya tidak."
"Anda akan
meninggalkan dia?"
"Ya."
"Mengapa?"
Dia diam. Tapi
akhirnya berkata, "Barangkali—karena saya ingin—bebas!"
Saya jadi
membayangkan dunia yang luas, hutan rimba yang masih asli, daerah yang belum
terjamah manusia dan suatu realisasi kebebasan bagi seseorang seperti Mary
Cavendish. Saya melihatnya sebagai seorang makhluk yang angkuh, tak terjinakkan
oleh peradaban, bagaikan seekor burung liar. Tiba-tiba dia berseru, "Anda
tidak tahu—tidak tahu—betapa tempat ini seperti penjara rasanya!"
"Saya
mengerti," kata saya, "tapi jangan tergesa-gesa."
"Oh,
tergesa-gesa!" suaranya mengejek.
Tiba-tiba saja
saya mengatakan sesuatu yang tidak ingin saya katakan, "Anda tahu bahwa
Dokter Bauerstein ditahan ?"
Wajahnya
mendadak berubah jadi dingin tanpa ekspresi. "John cukup baik memberi tahu
saya tentang hal itu."
"Bagaimana
pendapat Anda?" tanya saya takut-takut.
"Tentang
apa?"
"Penahanan
itu."
"Apa yang
harus saya pikir? Dia adalah seorang mata-mata Jerman—kata tukang kebun pada
John." Wajah dan suaranya dingin tanpa ekspresi. Apa dia memang tidak
peduli? Dia berjalan satu-dua langkah. Kemudian tangannya memegang salah satu
jambangan bunga. "Bunga ini sudah layu. Saya harus menggantinya. Maaf,
Tuan Hastings, terima kasih,"
Dia berjalan
melewati saya, keluar, dengan anggukan dingin. Pasti dia tidak peduli pada
Bauerstein. Seorang wanita tak akan bisa bersikap sedemikian dingin bila dia
mempunyai perasaan khusus pada seorang laki-laki.
Poirot tidak
muncul keesokan paginya. Juga para petugas Scotland Yard. Tapi pada waktu makan
siang kami mendapatkan sebuah bukti. Selama ini kami berusaha mencari tahu
kepada siapa Nyonya Inglethorp mengirim suratnya yang keempat. Usaha kami
sia-sia sehingga kami tidak lagi memikirkannya. Ternyata hari itu datang sebuah
surat dari penerbit musik Prancis yang menyatakan menerima cek Nyonya
Inglethorp dan meminta maaf karena tidak dapat mencarikan lagu-lagu rakyat Rusia
yang diminta. Jadi harapan terakhir untuk memecahkan misteri melalui surat – surat
Nyonya Inglethorp, terpaksa dilupakan saja.
Sebelum waktu
minum teh, saya berjalan-jalan ke tempat Poirot untuk menceritakan hal
tersebut. Tetapi saya bertambah kecewa karena dia tak ada di tempat.
"Ke London
lagi?"
"Oh,
tidak, Tuan. Dia naik kereta ke Tadminster. Untuk melihat ruang obat, katanya."
"Tolol!"
seru saya. "Sudah diberi tahu kalau hari Rabu Cynthia tidak ada! Tolong beritahu
dia supaya menemui saya besok pagi."
"Baik,
Tuan."
Tapi besok
paginya, Poirot tidak kelihatan. Saya menjadi marah. Dia benar-benar keterlaluan.
Seenaknya sendiri. Setelah makan siang, Lawrence mengajak saya bicara. Dia
bertanya apakah saya akan menemui Poirot.
"Saya rasa
tidak. Dia bisa datang kalau mau menemui kita."
"Oh!"
Lawrence kelihatan ragu-ragu. Saya menjadi curiga karena dia kelihatan gelisah
dan tidak seperti biasa.
"Ada
apa?" tanya saya. "Aku bisa pergi menemuinya kalau perlu."
"Tidak
terlalu penting, tapi—kalau kau bertemu dengan dia katakan bahwa—" dia berbisik—
"rasanya aku telah menemukan cangkir kopi ekstra, itu!"
Saya telah lupa
pesan Poirot yang misterius itu, tapi kini rasa ingin tahu saya muncul
kembali. Karena Lawrence tak mengatakan apa-apa lagi, saya terpaksa
tururi dari tahta keangkuhan saya. Sekali lagi saya berjalan menuju Pondok
Leastways. Kali ini saya disambut dengan senyuman. Tuan Poirot ada di dalam.
Saya pun naik. Poirot sedang duduk di kursi dengan kepala terbenam pada kedua
tangannya. Dia berdiri begitu melihat saya masuk.
"Ada
apa?" tanya saya cemas. "Kau tidak sakit, kan?"
"Tidak,
jangan cemas. Aku sedang membuat keputusan penting."
"Untuk
menangkap pembunuh atau tidak?" kata saya bercanda. Tapi Poirot mengangguk
serius.
"Benar—itulah
persoalannya."
Saya diam saja.
"Kau serius, Poirot?"
"Aku
serius sekali. Karena yang akan kulakukan amat besar pengaruhnya."
"Terhadap apa?"
"Kebahagiaan
seorang wanita, mon ami" katanya dengan suara sedih.
Saya tak tahu
harus berkata apa.
"Waktunya
sudah tiba," kata Poirot. "Tapi aku tak tahu apa yang harus
kulakukan. Apa yang akan kulakukan ini penuh risiko. Tak seorang pun kecuali
saya—Hercule Poirot, akan bisa melakukannya!" Dan dia menepuk dadanya
dengan bangga.
Kami diam
sejenak. Aku tak jngin merusak rasa bangganya. Setelah itu saya menyampaikan pesan
Lawrence.
"Aha! jadi
dia telah menemukan cangkir kopi ekstra itu. Bagus. Ternyata dia seorang yang
cukup cerdas!"
Saya sendiri
tidak menganggap bahwa Lawrence cukup cerdas, tapi saya tak mau
mengeluarkan pendapat yang berlawanan dengan Poirot. Saya mengalihkan
pembicaraan dan mengatakan pada Poirot bahwa saya sudah memberi tahu tentang hari
libur Cynthia.
"Ya—benar.
Aku memang pelupa. Tapi teman Nona Cynthia sangat baik. Dia merasa
kasihan melihatku kecewa. Karena itu dia menunjukkan ruang
obatnya."
"Kalau
begitu kau harus mengajak Cynthia minum teh—kapan-kapan." Saya
menceritakan surat Nyonya Inglethorp.
"Sayang.
Aku berharap bahwa surat itu bisa menjadi kunci yang akan membuka
tragedi ini. Kelihatannya kita harus melihat kembali semuanya dari
dalam," Poirot berkata sambil memukul dahinya. "Semua tergantung pada
sel-sel kelabu kita." Lalu dia menambahkan, "Apa kau mengerti tentang
sidik jari?"
"Tidak.
Aku tahu bahwa tak ada sidik jari yang sama. Itu saja yang kuketahui."
"Benar."
Dia membuka
sebuah laci kecil, mengambil beberapa foto dan diletakkannya di meja. "Telah
kuberi nomor. Satu, dua, tiga. Coba jelaskan."
Saya
memperhatikan foto itu. "Semua sudah diperbesar. Nomor satu adalah sidik
jari seorang laki-laki; ibu jari dan jari telunjuk. Nomor dua adalah sidik jari
seorang wanita, lebih kecil dan berbeda. Nomor tiga— "Saya berpikir sambil
memperhatikan baik-baik "kelihatannya campur aduk. Tapi yang ini jelas
sama dengan yang nomor satu."
'Tumpang
tindih?"
"Ya."
"Kau
yakin?"
"Oh, ya,
yang dua ini identik."
Poirot mengangguk.
Dengan hati-hati dipegangnya foto itu, dimasukkannya ke dalam laci, dan
dikuncinya laci itu.
"Kau pasti
tak akan memberi tahu aku tentang sidik jari itu, kan?"
"Sebaliknya.
Nomor satu adalah sidik jari Tuan Lawrence. Nomor dua milik Nona Cynthia.
Keduanya tidak penting. Aku hanya mengambil untuk perbandingan. Nomor tiga agak
sulit."
"Ya."
"Masih
kabur walaupun sudah diperbesar. Aku tak akan menjelaskan tentang teknik dan
peralatan yang dipakai untuk memperbesar. Polisi biasanya mengenal proses itu. Sekarang
tentang benda yang ada sidik jarinya."
"Teruskan—kedengarannya
sangat menarik."
"Eh bien. Foto
nomor tiga merupakan foto botol kecil yang sudah diperbesar. Botol itu dari
lemari atas ruang obat Nona Cynthia. Botol racun"
"Ya, Tuhan!"
seru saya. "Tapi apa yang dilakukan Lawrence Cavendish? Dia tidak mendekati
lemari racun itu ketika kami mampir ke sana."
"Kau
keliru."
"Tak
mungkin. Kami selalu bersama."
"Ada suatu
saat ketika kau tidak bersama dia. Kalau tidak, pasti kalian tak perlu memanggil
Tuan Lawrence ke balkon."
"Ya, aku
lupa itu," kata saya mengaku. "Tapi itu hanya sebentar."
"Cukup
lama."
"Cukup
lama untuk apa?"
Senyum Poirot
menjadi misterius. "Cukup lama bagi seseorang yang pernah belajar
kedokteran untuk memuaskan rasa ingin tahunya."
Mata kami saling
berpandangan. Poirot kelihatan ragu-ragu. Akhirnya dia berdiri sambil
bersenandung kecil. Saya memandang dengan rasa curiga. "Poirot, apa
sebenarnya yang ada dalam botol itu?"
Poirot
memandang ke luar jendela. "Hydro-chloride strychnine," katanya
sambil lalu, sambil terus bersenandung.
"Ya,
Tuhan," kata saya pelan. Saya tidak heran karena telah memperkirakan
jawaban
itu, "Mereka memakai hydro-chloride strychnine murni sedikit
sekali—hanya untuk pil. Yang sering dipakai adalah yang berbentuk cair. Karena
itu sidik jari ku tak terhapus."
"Bagaimanakau
bisa memperoleh sidik jari ini?"
"Aku
melemparkan topiku dari balkon," kata Poirot. "Tamu tidak
diperbolehkan masuk di bagian bawah pada jam tersebut, jadi teman Nona Cynthia
terpaksa turun mengambil topiku."
"Kalau
begitu kau memang tahu bahwa akan mendapatkan sidik jari ini?"
"Tidak.
Aku hanya melihat kemungkinan bahwa Tuan Lawrence bisa mengambil racun setelah
mendengar ceritamu. Kemungkinan itu harus dikuatkan atau dianggap tidak
ada."
"Poirot,
aku menganggap penemuan ini sangat penting."
"Aku tak
tahu," kata Poirot. "Tapi ada satu hal yang menarik. Dan aku rasa
juga menarik bagimu."
"Apa
itu?"
"Ya—dalam
kasus ini ternyata kita menemukan terlalu banyak strychnine. Ini adalah yang
ketiga. Yang pertama dalam tonik Nyonya Inglethorp. Lalu yang dijual di rumah obat
oleh Mace. Dan sekarang yang ini. Terlalu membingungkan. Dan aku tidak suka hal-hal
yang membingungkan."
Sebelum saya
menjawab, salah seorang Belgia yang tinggal di situ menjengukkan kepalanya dari
pintu. "Ada seorang wanita yang ingin bertemu dengan Tuan Hastings."
"Wanita?"
Saya meloncat,
Poirot mengikuti saya. Ternyata Mary Cavendish berdiri di depan pintu.
"Saya baru
saja menengok seorang wanita tua di desa," katanya. "Karena Lawrence mengatakan
bahwa Anda sedang bertamu ke tempat Tuan Potrot, saya lalu mampir kemari
sebentar."
"Saya kira
Anda mau berkunjung ke tempat saya," kata Poirot.
"Lain
kali," katanya sambil tersenyum.
"Baiklah.
Seandainya Nyonya memerlukan seorang pastor penerima pengakuan dosa,"
—Mary Cavendish kelihatan sedikit kaget— "ingat, ada Pastor Poirot."
Dia memandang
Poirot beberapa menit, seolah-olah ingin tahu apa sebenarnya maksud kata-kata
Poirot. Kemudian dia berbalik. "Mari, Tuan Poirot, Anda bisa ikut kami ke
Styles."
"Dengan
senang hati, Nyonya." Sepanjang jalan ke Styles, Mary bicara banyak dan cepat.
Kelihatannya dia takut pada pandangan mata Poirot. Cuaca sudah berubah. Musim
gugur sudah di ambang pintu. Angin bertiup kencang dan dingin.
Lanjut ke BAB SEBELAS
0 comments:
Post a Comment