Monday, 26 October 2015

Agatha Christie - Misteri di Styles - BAB EMPAT

BAB EMPAT
POIROT MENYELIDIK



Rumah yang ditempati orang-orang Belgia itu terletak di dekat pintu gerbang perkebunan. Kita bisa mencapainya lebih cepat dengan berjalan di jalan setapak, di antara rerumputan yang tinggi daripada mengikuti jalan licin yang berkelok-kelok. Jadi saya pun mengambil jalan pintas itu. Ketika berada di dekat rumah itu saya melihat seseorang berlari -lari ke arah saya. Ternyata Tuan , Inglethorp. Dari mana dia? Bagaimana dia akan memberikan alasan atas ketidakhadirannya? Dia mendatangi saya.
"Ya, Tuhan! Mengerikan sekali! Istriku yang malang! Aku baru saja mendengar berita itu."
"Anda dari mana?" tanya saya.
"Denby menahanku tadi malam. Kami baru selesai jam satu. Saya baru sadar bahwa saya tidak membawa kunci. Saya tak ingin mengganggu orang di rumah. Jadi saya tidur di tempat Denby."
"Bagaimana Anda tahu apa yang terjadi?" tanya saya.
"Wilkins mengetuk rumah Denby dan memberi tahu dia. Kasihan Emily. Dia begitu baik—suka berkorban. Dia bekerja melebihi kekuatannya."
Saya merasa sebal. Alangkah munafiknya laki-laki ini. "Saya terburu-buru, maaf," kata saya cepat dan bersyukur karena dia tidak menanyakan tujuan saya.
Beberapa menit kemudian saya mengetuk pintu rumah orang-orang Belgia itu, yaitu Pondok, Leastways. Karena tak ada jawaban, saya mengulangi ketukan dengan tidak sabar. Sebuah jendela di atas saya dibuka dengan hati-hati. Poirot melongokkan kepalanya. Dia berseru heran melihat saya. Dengan cepat saya ceritakan tragedi yang terjadi dan bahwa saya memerlukan bantuannya.
"Tunggu, Kawan, aku akan membukakan pintu. Kau bisa bercerita sambil menungguku berpakaian."
Sebentar kemudian dia membuka palang pintu dan saya mengikutinya ke atas. Dia menyuruh saya duduk di kursi dalam kamarnya dan menceritakan segala sesuatu tanpa menghilangkan detil-detilnya. Dia sendiri mulai berdandan. Saya ceritakan bagaimana saya terbangun, kata-kata terakhir Nyonya Inglethorp, ketidakhadiran suaminya, pertengkaran yang terjadi, potongan percakapan yang sempat saya dengar antara Mary dengan ibu mertuanya, pertengkaran Nyonya Inglethorp dengan Evelyn Howard, dan sindiran-sindiran Nona Evelyn. Saya merasa tidak bisa bercerita sejelas yang saya inginkan. Saya mengulangi hal yang sama dan kadang-kadang harus kembali karena ada yang ketinggalan. Poirot hanya tersenyum.
"Pikiranmu sedang kacau. Pelan-pelan saja, mon ami. Engkau merasa bingung, gelisah—itu bisa dimengerti. Kalau pikiran kita lebih tenang, kita akan bisa menyusun fakta dengan rapi dan pada tempatnya. Kita periksa, kita tolak, dan yang penting kita sisihkan. Yang tidak penting— buh!" Dia mengembangkan pipinya dan menghembuskannya dengan lucu.
"Itu memang bagus," kata saya, "tapi bagaimana kita tahu yang ini penting dan yang itu tidak? Sulit bagiku menentukannya."
Poirot menggelengkan kepala kuat-kuat. Dia sekarang merapikan kumisnya dengan hati-hati.
"Tidak begitu. Sebuah fakta akan menggiring kita ke fakta lainnya—jadi begitulah terus-menerus. Apa fakta berikutnya cocok? Amerveille! Bagus! Bisa kita teruskan. Fakta kecil berikutnya ini—sebuah mata rantai dari rantai itu tak ada di sini. Kita periksa. Kita selidiki. Dan fakta kecil yang mencurigakan itu, detil kecil yang remeh itu kita tempatkan di sini!" Dia membuat suatu gerakan dengan tangannya. "Kelihatan jelas! Luar biasa!"
"Y—a—"
"Ah!" Poirot menggoyang-goyangkan telunjuknya dengan kencang di depan saya sampai saya gemetar. "Awas! Bahaya bila seorang detektif berkata, 'Ah, kecil—tak penting. Tak ada hubungannya. Lupakan saja.' Di situlah letak kesulitannya! Segala sesuatu itu penting!"
"Ya, aku tahu. Kau selalu mengatakan hal itu. Karena itulah aku menceritakan semua
detil, baik yang kelihatan relevan maupun yang tidak, kepadamu."
"Dan aku senang sekali. Ingatanmu tajam dan semua kauceritakan. Mengenai urutan ceritamu, aku tak mau berkomentar, karena menyedihkan! Tapi aku mengerti—kau sedang bingung! Karena itu kau melupakan satu hal yang sangat penting."
"Apa itu," tanya saya.
"Kau belum memberi tahu apakah Nyonya Inglethorp makan dengan enak tadi malam."
Saya memandang Poirot dengan kasihan. Pasti peran yang kejam itu telah mempengaruhi otaknya. Dengan tenang dia menyikat mantelnya sebelum mengenakannya.
"Aku tak ingat," jawab saya. "Dan lagi rasanya kok—"
"Kok tidak ada hubungannya? Itu sangat penting."
"Aku tidak mengerti," kata saya dengan keras kepala. "Seingatku dia tidak makan terlalu banyak. Dia sedang bingung dan sedih, karena itu tidak terlalu berselera untuk makan. Itu wajar."
"Ya," kata Poirot merenung. "Itu wajar."
Dia membuka laci mejanya, mengeluarkan sebuah tas kecil dan berkata kepada saya. "Aku siap sekarang. Kita ke sana melihat tempat itu. Maaf, mon ami, kau tadi pasti tergesa-gesa. Dasimu miring. Maaf." Dengan cekatan jarinya mengatur dasi saya.
"Qa yest! Kita berangkat sekarang?"
Kami bergegas berjalan, dan akhirnya sampai di gerbang perkebunan. Poirot berhenti sejenak, memandang sedih pada kebun yang membentang luas, berkilauan embunnya kena cahaya pagi.
"Begitu indah. Sangat indah. Tapi keluarga itu sedang berkabung, tenggelam dalam
kesedihan."
Dia memandang saya dengan tajam waktu berbicara, dan saya sadar bahwa wajah saya memerah di bawah tatapannya. Apakah keluarga itu tenggelam dalam kesedihan? Apakah mereka sangat kehilangan? Saya sadar bahwa tidak ada perasaan seperti itu pada mereka. Wanita yang telah meninggal itu tidak memiliki cinta. Kematiannya memang mengejutkan, tapi tak seorang pun merasa kehilangan dia. Poirot kelihatannya mengetahui pikiran saya. Dia mengangguk dengan sedih.
"Kau benar," katanya. "Memang tak ada ikatan darah. Dia memang baik dan murah hati pada kedua kakak beradik Cavendish, tapi dia bukanlah ibu mereka. Darah memang menunjukkan— ingatlah hal itu—darah menunjukkan."
"Poirot," kata saya, "mengapa tadi kau bertanya apakah Nyonya Inglethorp makan enak tadi malam? Aku telah berpikir-pikir dari tadi tapi tidak mengerti mengapa kau menanyakan hal itu."
Dia diam sejenak sambil terus berjalan. Tapi akhirnya dia berkata, "Aku tak keberatan mengatakannya padamu, walaupun aku tak biasa menjelaskan sesuatu sebelum semuanya selesai. Anggapan yang berlaku sekarang adalah Nyonya Inglethorp meninggal karena keracunan strychnine yang mungkin dimasukkan ke dalam cangkir kopinya."
"Ya?"
"Jam berapa kopi disuguhkan?"
"Kira-kira jam delapan."
"Kalau begitu dia meminumnya antara setengah delapan sampai jam delapan—tak lebih dari itu. Nah, strychnine adalah racun yang bekerja cepat. Efeknya akan segera terasa, barangkali dalam waktu satu jam. Tapi dalam kasus Nyonya Inglethorp, tanda - tanda itu tidak terlihat sampai pukul lima pagi, sembilan jam! Tetapi apabila dia makan banyak, maka itu bisa memperlambat kerjanya racun, walaupun tidak akan selama itu. Walaupun begitu kemungkinan tersebut masih perlu diperhatikan. Tapi tadi kau mengatakan bahwa dia hanya makan sedikit, sedangkan tanda-tanda itu terlihat pada jam lima pagi! Ini adalah situasi yang mencurigakan, Kawan. Mungkin ada sesuatu yang bisa dijelaskan dalam otopsi nanti. Sekarang, ingat-ingat saja hal itu,"
Ketika kami berada di dekat rumah, John keluar menemui kami. Wajahnya kelihatan
capek dan kusut, "Ini benar-benar hal yang tidak menyenangkan, Tuan Poirot," katanya. "Apa Hastings telah memberi tahu Anda bahwa kami tidak menginginkan publisitas?"
"Saya mengerti."
"Sejauh ini, soal itu hanya merupakan suatu kecurigaan."
"Tepat. Ini hanya untuk berjaga-jaga saja."
John berpaling kepada saya, mengeluarkan kotak rokoknya, dan menyalakan sebatang. "Kau tahu si Inglethorp telah kembali?"
"Ya, Aku ketemu tadi."
John melempar korek api bekasnya ke bedeng tanaman. Pasti ini sangat menyakitkan hati Poirot. Dia mencari korek itu dan ditanamnya dengan rapi.  "Aku tak tahu bagaimana harus memperlakukan dia."
"Kesulitan itu tak akan lama," kata Poirot tenang.
John kelihatan bingung dan tidak mengerti arti pernyataan yang penuh teka-teki itu. Dia menyerahkan pada saya kedua kunci yang diberikan oleh Dr. Bauerstein tadi. "Tunjukkan pada Tuan Poirot apa saja yang ingin diketahuinya."
"Kamar-kamar itu dikunci?" tanya Poirot.
"Dr. Bauerstein berpendapat sebaiknya begitu."
Poirot mengangguk sambil merenung. "Kalau begitu dia sangat yakin. Ya, itu akan mempermudah kita."
 Kami naik ke atas bersama-sama dan masuk ke dalam kamar. Supaya lebih jelas, saya gambar denah kamar itu dan barang-barang yang ada di dalamnya.

KAMAR NYONYA INGLETHORP
A. PINTU KE LORONG
B. PINTU KE KAMAR ALFRED INGLE THORP
C. PINTU Ke KAMAR CYNTHIA MURDOCK
Poirot mengunci pintu dari dalam, lalu memeriksa kamar dengan teliti. Dia berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan lincah seperti belalang. Saya hanya berdiri di dekat pintu, takut menghapus suatu petunjuk. Tetapi kelihatannya Poirot tidak berterima kasih kepada saya dengan kesabaran saya itu.
"He, kenapa kau berdiri saja di situ seperti— seperti babi dirantai?" serunya.
Saya jelaskan bahwa saya takut jangan-jangan saya menghapus jejak kaki.
"jejak kaki? Wah! Kelihatannya sudah ada sepasukan orang masuk ke tempat ini! Jejak kaki yang mana yang kita perlukan? Ke sini sajalah membantu-bantu aku. Aku akan meletakkan tasku di sini saja."
Dia meletakkan tasnya di atas sebuah meja bulat di dekat jendela. Tapi rupanya sedang sial, daun meja itu bergoyang dan miring, lalu menjatuhkan tas Poirot.
"el voila une table"  teriaknya. "Ah. Belum tentu tinggal di rumah besar menyenangkan."
Setelah itu dia meneruskan penyelidikannya. Dia tertarik pada sebuah tas kecil berwarna ungu dengan kunci yang masih menempel. Tas itu terletak di atas meja tulis. Dia mengambil kunci tas itu dan menyuruh saya untuk memeriksanya. Tapi saya tidak melihat sesuatu yang aneh. Kunci itu kunci Yale yang biasa saja. Pada kepalanya terdapat sebuah kawat kecil yang agak bengkok.
Kemudian dia memeriksa kerangka pintu yang kami dobrak sambil mencek apakah kuncinya benar – benar mengunci. Kemudian dia pergi ke pintu yang menuju kamar Cynthia. Pintu itu juga terkunci, seperti telah saya ceritakan. Tetapi dia membuka kunci pintu itu dan menutupnya lagi. Dia lakukan hal itu beberapa kali dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Tiba-tiba sesuatu pada gerendel kunci itu mengalihkan perhatiannya. Dia memeriksanya dengan hati-hati, kemudian dia mengambil penjepit dari tasnya dan menjepit sebuah benda yang amat kecil yang dengan hati-hati dimasukkannya kc dalam sebuah amplop kecil.
Di atas sebuah lemari berlaci ada sebuah nampan dengan lampu minyak dan sebuah
panci kecil di atasnya. Dalam panci itu terdapat cairan hitam, dan sebuah cangkir yang telah kosong bekas diminum berdiri di dekatnya. Saya merasa kesal pada diri saya sendiri karena saya tidak teliti dan baru melihat benda-benda tersebut saat itu. Ini pasti merupakan petunjuk yang amat penting. Poirot mencelupkan sebuah jarinya ke dalam panci kecil dan mencicipnya sedikit dengan agak takut-takut. Dia menyeringai.
"Coklat—campur—kelihatannya—harum."
Dia melewati pecahan barang-barang di lantai, di dekat meja yang terguling tadi. Lampu baca, buku-buku, korek api, serenceng kunci, dan pecahan cangkir kopi terserak di situ.
"Ah, ini mencurigakan," katanya.
'Terus terang saja aku tidak berpikir ada yang mencurigakan di sini."
"Tidak? Coba perhatikan. Lampu baca ini— semprongnya pecah, pecahannya berserakan di situ waktu benda itu jatuh. Tapi lihat, cangkir kopi ini remuk menjadi bubuk."
"Ah," kata saya capek. "Pasti ada orang yang menginjaknya."
"Tepat," kata Poirot dengan suara aneh. "Seseorang telah menginjaknya."
Dia berdiri, kemudian berjalan ke perapian. Dia memegang-megang benda pajangan yang ada di atas perapian itu sambil merenung. "Mon ami" katanya, "orang itu menginjak cangkir kopi sampai remuk karena cangkir itu mengandung strychnine—atau—yang lebih gawat lagi—karena cangkir itu tidak mengandung strychnine!"
Saya hanya diam. Saya bingung tapi saya tahu tak ada gunanya meminta dia supaya menerangkannya.
Sesaat kemudian dia bergerak lagi dan melanjutkan penyelidikannya. Dia mengambil rencengan kunci itu dari lantai dan mengamatinya. Dipilihnya sebuah yang masih baru dan dimasukkannya ke lubang kunci tas berwarna ungu itu. Ternyata cocok. Dia membuka tas itu. Tetapi setelah ragu-ragu sejenak dia menutup dan menguncinya kembali. Dia memasukkan rencengan kunci dan kunci tas itu sendiri ke dalam sakunya.
"Aku tak punya hak untuk membuka-buka dokumen ini. Tapi harus dibuka juga suatu saat!"
Kemudian dia memeriksa laci bak cuci dengan sangat hati-hati. Di dekat jendela sebelah kiri setitik noda di atas karpet berwarna coklat yang menarik perhatiannya. Dia berjongkok dan memeriksanya dengan teliti—bahkan mencium noda itu. Akhirnya dia memasukkan beberapa tetes coklat ke dalam tabung kecil dan menutupnya dengan hati-hati. Kemudian dia mengeluarkan catatan kecilnya.
"Kita temukan dalam kamar ini," katanya sambil menulis "enam hal yang menarik. Perlu aku sebutkan—atau kau yang akan menyebutkan?"
"Oh, kau saja," kata saya cepat-cepat.
"Baik kalau begitu! Satu, sebuah cangkir kopi yang hancur-lebur; dua, sebuah tas kecil dengan kuncinya, tiga, noda di atas lantai."
"Mungkin juga noda itu sudah lama di situ," sela saya.
"Tidak, karena masih lembab dan berbau kopi. Empat, secarik kain berwarna hijau tua—hanya terdiri dari dust—tiga helai benang, tapi jelas kelihatan."
"Ah!" seru saya. "Itu yang kau masukkan ke dalam amplop, bukan?"
"Ya. Barangkali cuma sobekan baju Nyonya Inglethorp sendiri dan tidak berarti apa - apa. Tapi kita lihat saja. Kelima, ini" Dengan gerakan dramatis dia menunjuk ke tetesan lilin di atas lantai di dekat meja tulis. "Pasti terjadi kemarin, karena pembantu akan membersihkannya kalau sudah ada di situ sebelumnya."
"Bisa jadi tadi malam. Kami semua sangat bingung. Atau mungkin Nyonya Inglethorp sendiri yang membuat tetesan itu."
"Kalian hanya membawa sebuah lilin waktu masuk kamar?"
"Ya, Lawrence Cavendish yang membawanya. Tapi dia sangat bingung dan kacau. Dia seolah-olah melihat sesuatu di situ yang membuatnya lumpuh," kata saya sambil menunjuk perapian.
"Menarik sekali," kata Poirot dengan cepat. "Ya, agak mencurigakan—" Matanya memandang ke seluruh bagian dinding "tapi ini bukan tetesan lilinnya, karena lilin ini putih, sedang lilin Tuan Lawrence yang masih terletak di meja rias itu berwarna merah muda. Sebaliknya, Nyonya Inglethorp tidak punya tempat lilin karena tidak memakai lilin. Dia memakai lampu baca."
"Lalu apa kesimpulanmu?" tanya saya.
Kawan saya hanya memberikan jawaban yang menyebalkan karena dia menyuruh saya berpikir sendiri.
"Dan yang keenam? Apa contoh coklat itu?" tanya saya.
"Bukan," jawab Poirot sambil berpikir-pikir. "Sebenarnya aku mau memasukkannya pada daftar keenam, tapi tak jadi. Hal yang keenam aku simpan saja dulu." Dia memperhatikan kamar itu dari ujung ke ujung dengan cepat. "Rasanya tak ada lagi yang bisa kita lakukan di sini, kecuali—" Dia memperhatikan abu yang ada di tungku perapian. "Api itu menyala—dan membakar. Tapi barangkali—coba kita lihat."
Dengan cekatan dan sangat hati-hati tangannya mengorek abu di perapian. Tiba-tiba dia berseru, "Penjepit, Hastings!"
Dengan cepat saya ulurkan benda yang dimintanya. Dia mengambil sepotong kecil kertas yang hampir gosong.
"Nah, mon amil" katanya. "Apa pendapatmu?" 
Saya memperhatikan dengan teliti. Inilah reproduksinya:
Saya bingung. Kertas itu tebal, tidak seperti kertas biasa. Tiba-tiba saya berseru, "Poirot! Ini kan potongan surat wasiat!"
"Memang."
Saya memandangnya dengan tajam. "Kau tidak heran?"
"Tidak. Aku memang mengharapkannya," katanya dengan sedih.
Saya melepaskan kertas itu dan Poirot menyimpannya dengan hati-hati dan sangat rapi di dalam tasnya. Pikiran saya berputar. Apa yang terjadi dengan surat wasiat ini? Siapa yang membakarnya? Orang yang meneteskan lilin di lantai? Kelihatannya begitu. Tapi bagaimana dia bisa masuk? Semua pintu terkunci dari dalam.
"Sekarang kita pergi dari sini," kata Poirot cepat. "Aku ingin menanyai pelayan kamar— Dorcas ya, namanya?"
Kami masuk ke kamar Alfred Inglethorp, dan Poirot berhenti untuk menelitinya. Kami keluar dari kamar Alfred dan mengunci kembali pintunya serta pintu kamar Nyonya Inglethorp. Kami turun dan masuk ke ruang kerja Nyonya Inglethorp karena Poirot ingin melihatnya. Kemudian saya keluar mencari Dorcas. Ketika saya kembali dengan Dorcas, ruangan itu kosong.
"Poirot, di mana kau?" seru saya.
"Aku di sini."
Rupanya dia berada di luar, di teras, berdiri menikmati dan mengagumi kebun bunga
di luar. "Mengagumkan!" katanya. "Sangat mengagumkan. Begitu simetris! Lihat lengkungan itu, dan bentuk wajik itu—rapi sekali. Jaraknya juga sempurna."
"Ya. Kelihatannya mereka mengerjakannya kemarin sore. Tapi masuklah—Dorcas
ada disini."
"Eh bien, Jangan mengganggu, aku sedang menikmati pemandangan indah ini."
"Ya, tapi kejadian ini kan lebih penting."
"Apa kau yakin bahwa begonia yang indah itu tidak sama pentingnya?"
Saya hanya mengangkat bahu. Tak ada gunanya berargumentasi dengan dia kalau pandangannya sudah begitu.
"Kau tidak setuju? Tapi hal-hal semacam itu pernah terjadi. Baiklah, aku akan bicara dengan Dorcas yang tabah itu."
Dorcas berdiri di kamar kerja itu. Tangannya dilipat di depan. Rambut abu-abunya berombak kaku di bawah topi putihnya. Dia memang merupakan model dan gambaran yang tepat dari seorang pelayan yang kuno.Sikapnya terhadap Poirot cenderung curiga, tetapi dengan cepat Poirot mematahkan sikap itu. Dia mendorong sebuah kursi.
"Silakan duduk, Nona."
"Terima kasih, Tuan."
"Kau telah lama bekerja di sini, bukan?"
"Sepuluh tahun, Tuan."
"Wah, sudah lama sekati. Kau benar-benar setia. Tentunya kau dekat dengan Nyonya, ya?"
"Beliau sangat baik, Tuan."
"Kalau begitu kau tak akan keberatan menjawab beberapa pertanyaan. Aku mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini dengan izin Tuan Cavendish,"
"Oh, tentu, Tuan,"
"Baik. Aku akan mulai dengan kejadian kemarin. Apa Nyonya Inglethorp bertengkar?"
"Ya, Tuan, Tapi saya tak tahu apakah saya—" Dorcas ragu-ragu, Poirot memandangnya dengan tajam.
"Dorcas, aku perlu mengetahui semuanya secara mendetil. Jangan berpikir bahwa kau mengkhianati nyonyamu. Beliau sekarang telah meninggal, dan kita perlu mengetahui segalanya kalau kita mau menuntut bela untuknya. Memang tak akan ada sesuatu yang bisa membuatnya hidup kembali, tapi seandainya ada hal-hal yang tidak beres, kita perlu tahu siapa pelakunya."
"Mudah-mudahan," kata Dorcas tegas. "Dan tanpa menyebut nama, memang ada seseorang di rumah ini yang tidak disukai siapa pun di sini! Dan sejak kedatangannya tak ada hal yang beres di sini."
Poirot dengan sabar menunggu sampai rasa marah Dorcas berkurang. Kemudian dengan tegas dia berkata, "Dan tentang pertengkaran itu? Apa yang kaudengar pertama kali?"
"Kebetulan kemarin sore—saya berada di koridor—"
"Jam berapa itu?"
"Saya tak ingat tepatnya, Tuan. Tapi tidak lama sebelumwaktu minum teh. Barangkali jam empat. Atau lebih. Saya kebetulan lewat ruangan ini kemarin dan saya mendengar suara keras dan ribut di sini. Saya tak bermaksud mendengarkan pembicaraan itu, tapi—saya berhenti. Pintu itu tertutup. Tapi Nyonya bicara dengan suara keras dan nyaring. Saya bisa mendengar dengan jelas suaranya, 'Kau membohongiku dan menipuku.' Saya tak mendengar jawaban Tuan Inglethorp karena dia bicara dengan suara rendah. Kemudian Nyonya berkata lagi, 'Kau memang keterlaluan. Sudah dihidupi, diberi makan dan pakaian, tapi apa balasmu? Membuat aku malu!' Saya tidak mendengar apa yang dikatakan Tuan Inglethorp. Tapi Nyonya melanjutkan, Tak ada gunanya apa yang kaukatakan itu. Aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku sudah menentukan sikap. Aku tak peduli dengan publisitas apa pun yang akan tersebar karena skandal suami istri ini.' Saya cepat-cepat pergi karena kelihatannya mereka akan keluar."
"Kau yakin bahwa yang kaudengar itu adalah suara Tuan Inglethorp?"
"Oh ya, Tuan. Siapa lagi kalau bukan dia?"
"Lalu apa yang terjadi kemudian?"
"Beberapa saat kemudian saya kembali ke koridor itu, tapi suasana sepi sekali. Jam lima Nyonya Inglethrop membunyikan bel dan menyuruh saya membawa secangkir teh—tanpa kue—ke kamar kerja beliau. Wajahnya sangat mencemaskan—pucat dan gelisah. 'Dorcas,' kata¬nya, 'ada hal yang mengejutkanku.' 'Sebaiknya Nyonya minum secangkir teh panas dulu. Supaya merasa enak.' Tangan Nyonya memegang sesuatu. Saya tak tahu apakah itu surat atau selembar kertas biasa, tapi ada tulisannya, dan Nyonya memandang kertas itu terus-menerus, seolah-olah tak percaya dengan apa yang tertulis di situ. Nyonya berbisik sendiri seolah-olah lupa bahwa saya ada di situ. 'Kata-kata ini—semuanya berubah.' Dan kemudian beliau berkata pada saya, 'Jangan percaya pada lelaki, Dorcas. Tak ada gunanya!' Saya cepat-cepat keluar, mengambil secangkir teh kental. Nyonya berterima kasih dan berkata bahwa Nyonya akan merasa lebih enak setelah minum teh itu. 'Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan,' katanya. 'Skandal antara suami-istri sangat mengerikan, Dorcas. Rasanya aku lebih suka menutupinya kalau bisa.' Kemudian Nyonya Cavendish masuk, jadi Nyonya tidak bicara apa-apa lagi."
"Apa surat atau kertas itu masih dipegangnya?"
"Ya, Tuan."
"Kira-kira apa yang akan dilakukannya dengan kertas itu?"
"Saya tak tahu, Tuan. Saya rasa Nyonya akan menyimpannya dalam tas ungunya."
"Apakah beliau biasanya menyimpan surat-surat penting di situ?"
"Ya, Tuan. Beliau biasanya membawa turun tas itu kalau pagi, dan membawanya ke atas kalau malam."
"Kapan kunci tas itu hilang?"
"Kunci itu hilang kemarin pada waktu makan siang, Tuan, dan Nyonya menyuruh saya agar menjaganya dengan hati-hati. Beliau sangat bingung."
"Tapi beliau punya kunci duplikat, kan?"
"Oh, ya, Tuan."
Dorcas memandang Poirot dengan curiga. Saya pun sebenarnya ingin tahu. Kenapa
dia menanyakan kunci yang hilang itu? Poirot tersenyum.
"Jangan kuatir, Dorcas. Pekerjaanku mengharuskan aku untuk mengetahui banyak hal. Apakah kunci ini yang hilang?" Dia mengeluarkan kunci yang ditemukannya di tas ungu itu dari sakunya. Mata Dorcas seolah-olah akan copot.
"Benar, Tuan. Memang itu kuncinya. Tuan dapat dari mana? Saya sudah mencarinya
di mana-mana."
"Tapi kunci itu tidak di tempat yang sama seperti kemarin pada waktu kutemukan. Nah, aku ingin bertanya lagi. Apa Nyonya punya baju berwarna hijau tua?"
Dorcas agak terkejut dengan pertanyaan yang tak terduga itu. "Tidak, Tuan."
"Kau yakin?"
"Ya, Tuan."
"Apa ada seseorang di rumah ini yang punya gaun berwarna hijau?" Dorcas mengingat – ingat.
"Nona Cynthia punya gaun malam berwarna hijau."
"Hijau muda atau tua?"
"Hijau muda, Tuan. Dari sifon."
"Ah, itu bukan yang aku maksud. Tak ada lagi yang punya gaun hijau?"
"Tidak, Tuan—setahu saya tidak." Wajah Poirot tidak menunjukkan perasaannya. Dia
hanya berkata, "Baik, Kita teruskan dengan hal yang lain. Apa kau tahu bahwa Nyonya makan bubuk obat tidur tadi malam?"
"Bukan tadi malam, Tuan. Saya tahu benar."
"Bagaimana kamu bisa yakin?"  
"Karena tempatnya kosong. Terakhir kali beliau makan dua hari yang lalu,dan belum membeli lagi"
"Kau yakin akan hal itu?"
"Yakin sekali."
"Baiklah. Apa Nyonya menyuruhmu menandatangani sesuatu kemarin?"
"Menandatangani? Tidak, Tuan."
"Ketika Tuan Hastings dan Tuan Lawrence datang kemarin malam, Nyonya sedang sibuk menulis surat. Apa kau tahu kepada siapa saja surat itu ditujukan?"
"Saya tidak tahu, Tuan. Kemarin malam saya keluar. Barangkali Annie bisa memberi tahu. Tapi dia agak ceroboh. Tidak membersihkan cangkir-cangkir kopi tadi malam. Selalu begitu kalau tak ada saya. Tak ada yang beres."
Poirot mengangkat tangannya. "Karena belum dibersihkan, biarkan dulu cangkir-cangkir itu, Dorcas. Aku ingin memeriksanya."
"Baik, Tuan."
"Jam berapa kau keluar kemarin malam?"
"Kira-kira jam enam, Tuan."
"Terima kasih, Dorcas. Itu dulu pertanyaanku." Dia berdiri dan mondar-mandir di dekat jendela. "Aku mengagumi kebun bunga itu. Berapa tukang kebun yang bekerja di sini?"
"Hanya tiga, Tuan. Ada lima sebelum perang. Ketika rumah ini masih dipelihara dengan baik seperti seharusnya rumah orang yang terhormat. Seandainya Tuan bisa melihat saat itu—ah, indah sekali. Tapi sekarang hanya ada Pak Tua Manning dan si William, dan seorang tukang kebun wanita yang modern dan memakai celana panjang. Ah, ini memang bukan masa yang menyenangkan!"
"Masa yang menyenangkan akan datang lagi, Dorcas. Setidak-tidaknya kita harapkan
demikian. Coba sekarang tolong panggilkan Annie."
"Ya, Tuan. Terima kasih, Tuan."
"Bagaimana kau tahu bahwa Nyonya Inglethorp makan bubuk obat tidur?" tanya
saya ingin tahu ketika Dorcas telah keluar. "Dan tentang kunci yang hilang dan duplikatnya?"
"Satu per satu kalau bertanya. Tentang obat itu aku tahu dari ini." Tiba-tiba dia mengeluarkan sebuah dos kecil yang biasa di pakai di toko-toko obat.
"Dari mana benda itu?"
"Dari laci bak cuci dalam kamar Nyonya Inglethorp. Ini adalah benda keenam yang kutemukan di sana."
"Tapi tidak penting lagi, kan? Isinya sudah habis dua hari yang lalu."
"Barangkali tidak. Tapi apakah kau melihat sesuatu yang aneh pada kotak ini?"
Saya memeriksanya. "Rasanya tidak ada."
"Lihatlah labelnya."
Saya membaca label itu dengan teliti, " 'Satu bungkus sebelum tidur, kalau perlu. Nyonya Inglethorp'. Tak ada yang aneh," kata saya.
"Tidak aneh kalau tak ada nama tokonya?"
"Ah! Ya, benar!"
"Kau sudah pernah melihat seorang ahli obat yang mengeluarkan obat tanpa membubuhkan nama tokonya?"
"Belum"
Saya jadi bersemangat. Tetapi Poirot meredakan perasaan saya dengan berkata, "Penjelasannya sederhana saja. Jangan berpikir terlalu jauh."
Suara langkah Annie terdengar mendekat. Jadi saya tak berkata apa-apa. Annie adalah seorang gadis yang manis. Kelihatannya dia justru menikmati kegemparan karena tragedi yang terjadi di dekatnya. Poirot menanyainya dengan tegas tanpa membuang waktu.
"Kau kupanggil karena mungkin kau bisa memberi tahu aku tentang surat-surat yang ditulis Nyonya Inglethorp kemarin malam. Ada berapa surat dan tahukah kau nama - nama dan alamat penerimanya?"
Annie berpikir. "Ada empat surat, Tuan, Satu untuk Nona Howard, dan satu untuk Tuan Wells, pengacara Nyonya. Dua surat yang lain tidak saya ingat—oh ya, satu untuk Ross's, pemilik katering di Tadminster, yang satu lagi saya tidak ingat."
"Coba diingat-ingat dulu," desak Poirot.
Annie mencoba berpikir keras. "Maafkan, Tuan. Saya tidak ingat. Saya rasa saya tidak membacanya."
"Baiklah, tak apa-apa," kata Poirot tanpa menunjukkan kekecewaannya. "Aku ingin menanyakan hal lainnya. Ada sebuah panci kecil di kamar Nyonya Inglethorp yang berisi coklat. Apa dia biasa minum coklat setiap malam?"
"Ya, Tuan. Kami selalu menyediakannya di kamar setiap malam. Nyonya akan menghangatkan sendiri kalau ingin minum."
"Apa isi panci itu? Coklat saja?"
"Ya, Tuan, Dicampur dengan susu, satu sendok teh gula, dan dua sendok teh rum."
"Siapa yang membawanya ke kamar?
"Saya, Tuan."
"Selalu?"
"Ya, Tuan."
"Jam berapa?"
"Kira-kira saat saya masuk untuk menutup gorden."
"Apa kau selalu membawanya langsung dari dapur?"
"Tidak Tuan. Kompor tidak cukup banyak, Jadi juru masak membuatnya dulu sebelum masak sayur untuk makan malam. Lalu saya membawanya ke atas dan meletakkannya di atas meja di dekat pintu ayun untuk sementara. Saya membawanya masuk kemudian."
"Pintu ayun itu ada di bagian kiri rumah, kan?"
"Betul, Tuan."
"Dan meja itu, apa ada di sebelah sini, atau di sebelah sana, dekat ruang pelayan?"
"Di sebelah sini, Tuan."
"Jam berapa kau membawanya ke atas tadi malam?"
"Kira-kira jam tujuh seperempat, Tuan."
"Dan jam berapa kau membawanya masuk?"
"Kira-kira jam delapan. Nyonya Inglethorp sudah siap akan tidur sebelum saya selesai
menutup gorden."
"Jadi, kalau begitu coklat itu ada di meja di sayap kiri antara jam tujuh seperempat sampai jam delapan?"
"Ya, Tuan." Wajah Annie bertambah merah. Tiba-tiba tanpa diduga dia berkata, "Dan kalau di dalamnya ada garam, bukan saya yang menaruhnya. Saya tak pernah meletakkan garam itu di dekatnya."
"Kenapa kau mengatakan ada garam di dalamnya?" tanya Poirot.
"Karena saya melihatnya di nampan, Tuan."
"Kau melihat garam di nampan?"
"Ya. Garam dapur yang kasar kelihatannya. Saya tidak melihatnya ketika membawa nampan itu ke atas, tapi ketika membawanya masuk ke kamar Nyonya, baru saya melihatnya. Seharusnya saya membawanya turun dan minta juru masak membuatkan lagi. Tapi saya terburu-buru sebab Dorcas tidak ada. Saya pikir coklat itu tidak apa-apa dan garam itu hanya mengotori nampan saja. Jadi saya bersihkan garam itu dengan celemek saya."
Hampir saja saya tak bisa mengendalikan emosi. Tanpa dia sadari, Annie telah memberikan sebuah bukti yang amat penting. Dia pasti terkejut kalau tahu bahwa garam dapur kasarnya itu adalah strychnine, salah satu racun paling berbahaya. Saya memandang Poirot yang kelihatan tenang-tenang saja. Kontrol dirinya memang luar biasa. Saya menunggu pertanyaannya yang berikut dengan tidak sabar. Tapi saya kecewa setelah mendengarnya.
"Ketika kamu masuk kamar Nyonya Inglethorp, apa pintu yang menghubungkan kamar Nona Cynthia terkunci?"
"Oh! Ya, Tuan, selalu. Pintu itu tak pernah dibuka."
"Dan pintu ke kamar Tuan Inglethorp? Apa kau melihat pintu itu dikunci?" Annie ragu-ragu.
 "Saya tak bisa mengatakannya, Tuan, pintu itu ditutup tapi saya tidak tahu apakah
dikunci atau tidak."
"Ketika kamu keluar dari kamar, apakah Nyonya Inglethorp langsung mengunci pintunya?"
"Tidak, Tuan. Tapi Nyonya pasti menguncinya kemudian. Biasanya beliau mengunci pintu itu pada malam hari. Maksud saya, pintu yang ke koridor."
"Apa kau melihat bekas tetesan lilin pada waktu membersihkan kamar kemarin?"
'Tetesan lilin? Oh, tidak Tuan. Nyonya Inglethorp tak punya lilin. Beliau memakai lampu baca."
"Kalau begitu, seandainya ada tetesan lilin di atas lantai, kau pasti melihatnya?"
"Ya, Tuan. Dan pasti akan saya bersihkan."
Lalu Poirot mengulangi pertanyaan yang tadi ia tujukan pada Dorcas, "Apakah Nyonya punya gaun berwarna hijau?"
'Tidak, Tuan."
"Atau mantel atau baju hangat?"
"Tak ada yang hijau, Tuan."
"Mungkin orang lain di rumah ini?" Annie berpikir.
"Tidak, Tuan."
"Kau yakin?"
"Sangat yakin."
"Bien! Itu saja yang ingin kuketahui. Terima kasih."
Dengan agak gugup Annie keluar. Emosi saya meledak. "Poirot," seru saya. "Selamat! Benar-benar penemuan besar."
"Penemuan besar apa?"
"Bahwa coklatnya, dan bukan kopinya yang diracuni. Pantas! Tentu saja pengaruhnya baru kelihatan di pagi hari, karena coklatnya baru diminum sekitar tengah malam."
"Jadi kau berpikir bahwa coklat itu—perhatikan kata-kataku, Hastings—cokat itu yang mengandung racun?"
"Tentu saja! Garam di nampan itu, apa lagi kalau bukan strychnine?"
"Barangkali juga memang garam," kata Poirot tenang.
Saya hanya mengangkat bahu. kalau dia sudah berpendapat begitu, tak ada gunanya berdebat dengan dia. Pikiran bahwa Poirot tua itu memang bertambah tua, berkali-kali muncul di kepala saya. Dan diam-diam saya berpikir dia beruntung karena bisa bertukar pikiran dengan orang-orang yang bisa menerima idenya dengan baik. Poirot memandang saya dengan mata bersinar.
"Kau tidak senang denganku, rnon ami"
"Poirot, aku kan tidak mendiktemu. Kau dan aku sama-sama punya hak untuk berpendapat."
"Pendapat yang bagus," katanya. "Aku sudah selesai dengan ruangan ini. Meja kecil
itu meja siapa?"
"Tuan Inglethorp."
"Ah!" Dia mencoba membuka tutupnya. 'Terkunci. Tapi barangkali salah satu kunci Nyonya Inglethorp bisa dipakai." Dia mencoba beberapa kunci dengan cekatan. Akhirnya dia berseru dengan keras, "Voila! Bukan kunci. Meja ini akan membuka kalau ditekan." Dia membuka meja itu dan tangannya yang cekatan membuka - buka dokumen yang tertumpuk rapi. Saya heran karena Poirot tidak memeriksa dokumen – dokumen itu, tetapi hanya berkata, "Tuan Inglethorp memang orang yang punya metode." Dalam kamus Poirot, 'orang yang punya metode' merupakan pujian yang paling tinggi bagi seseorang.
Sekali lagi saya merasa bahwa Poirot yang sekarang bukanlah Poirot yang dulu ketika dia bergumam sendiri, "Tidak ada perangko di meja ini. Tapi barangkali sebelumnya ada, eh, mon ami Mungkin sebelumnya ada. Ya," Matanya memandang berkeliling ruangan— "tak ada lagi yang bisa diceritakan oleh ruangan ini kepada kita. Kecuali ini." Dia mengeluarkan segumpal amplop dari sakunya dan mencoba meluruskannya sambil menyodorkannya kepada saya. Amplop itu agak aneh. Amplop biasa yang kelihatan kotor dengan kata-kata yang tertulis tidak karuan seperti ini:

Lanjut ke BAB LIMA



0 comments:

Post a Comment