BAB EMPAT
POIROT MENYELIDIK
Rumah yang
ditempati orang-orang Belgia itu terletak di dekat pintu gerbang perkebunan.
Kita bisa mencapainya lebih cepat dengan berjalan di jalan setapak, di antara
rerumputan yang tinggi daripada mengikuti jalan licin yang berkelok-kelok. Jadi
saya pun mengambil jalan pintas itu. Ketika berada di dekat rumah itu saya melihat
seseorang berlari -lari ke arah saya. Ternyata Tuan , Inglethorp. Dari mana
dia? Bagaimana dia akan memberikan alasan atas ketidakhadirannya? Dia mendatangi
saya.
"Ya,
Tuhan! Mengerikan sekali! Istriku yang malang! Aku baru saja mendengar berita itu."
"Anda dari
mana?" tanya saya.
"Denby
menahanku tadi malam. Kami baru selesai jam satu. Saya baru sadar bahwa saya
tidak membawa kunci. Saya tak ingin mengganggu orang di rumah. Jadi saya tidur
di tempat Denby."
"Bagaimana
Anda tahu apa yang terjadi?" tanya saya.
"Wilkins
mengetuk rumah Denby dan memberi tahu dia. Kasihan Emily. Dia begitu baik—suka
berkorban. Dia bekerja melebihi kekuatannya."
Saya merasa sebal.
Alangkah munafiknya laki-laki ini. "Saya terburu-buru, maaf," kata
saya cepat dan bersyukur karena dia tidak menanyakan tujuan saya.
Beberapa menit
kemudian saya mengetuk pintu rumah orang-orang Belgia itu, yaitu Pondok,
Leastways. Karena tak ada jawaban, saya mengulangi ketukan dengan tidak sabar. Sebuah
jendela di atas saya dibuka dengan hati-hati. Poirot melongokkan kepalanya. Dia
berseru heran melihat saya. Dengan cepat saya ceritakan tragedi yang terjadi
dan bahwa saya memerlukan bantuannya.
"Tunggu,
Kawan, aku akan membukakan pintu. Kau bisa bercerita sambil menungguku
berpakaian."
Sebentar
kemudian dia membuka palang pintu dan saya mengikutinya ke atas. Dia menyuruh
saya duduk di kursi dalam kamarnya dan menceritakan segala sesuatu tanpa
menghilangkan detil-detilnya. Dia sendiri mulai berdandan. Saya ceritakan
bagaimana saya terbangun, kata-kata terakhir Nyonya Inglethorp, ketidakhadiran
suaminya, pertengkaran yang terjadi, potongan percakapan yang sempat saya
dengar antara Mary dengan ibu mertuanya, pertengkaran Nyonya Inglethorp dengan
Evelyn Howard, dan sindiran-sindiran Nona Evelyn. Saya merasa tidak bisa
bercerita sejelas yang saya inginkan. Saya mengulangi hal yang sama dan
kadang-kadang harus kembali karena ada yang ketinggalan. Poirot hanya
tersenyum.
"Pikiranmu
sedang kacau. Pelan-pelan saja, mon ami. Engkau merasa bingung, gelisah—itu
bisa dimengerti. Kalau pikiran kita lebih tenang, kita akan bisa menyusun fakta
dengan rapi dan pada tempatnya. Kita periksa, kita tolak, dan yang penting kita
sisihkan. Yang tidak penting— buh!" Dia mengembangkan pipinya dan
menghembuskannya dengan lucu.
"Itu
memang bagus," kata saya, "tapi bagaimana kita tahu yang ini penting
dan yang itu tidak? Sulit bagiku menentukannya."
Poirot
menggelengkan kepala kuat-kuat. Dia sekarang merapikan kumisnya dengan hati-hati.
"Tidak
begitu. Sebuah fakta akan menggiring kita ke fakta lainnya—jadi begitulah
terus-menerus. Apa fakta berikutnya cocok? Amerveille! Bagus! Bisa kita
teruskan. Fakta kecil berikutnya ini—sebuah mata rantai dari rantai itu tak ada
di sini. Kita periksa. Kita selidiki. Dan fakta kecil yang mencurigakan itu,
detil kecil yang remeh itu kita tempatkan di sini!" Dia membuat suatu
gerakan dengan tangannya. "Kelihatan jelas! Luar biasa!"
"Y—a—"
"Ah!"
Poirot menggoyang-goyangkan telunjuknya dengan kencang di depan saya sampai
saya gemetar. "Awas! Bahaya bila seorang detektif berkata, 'Ah, kecil—tak
penting. Tak ada hubungannya. Lupakan saja.' Di situlah letak kesulitannya!
Segala sesuatu itu penting!"
"Ya, aku
tahu. Kau selalu mengatakan hal itu. Karena itulah aku menceritakan semua
detil, baik yang kelihatan relevan maupun yang tidak,
kepadamu."
"Dan aku
senang sekali. Ingatanmu tajam dan semua kauceritakan. Mengenai urutan ceritamu,
aku tak mau berkomentar, karena menyedihkan! Tapi aku mengerti—kau sedang
bingung! Karena itu kau melupakan satu hal yang sangat penting."
"Apa
itu," tanya saya.
"Kau belum
memberi tahu apakah Nyonya Inglethorp makan dengan enak tadi malam."
Saya memandang
Poirot dengan kasihan. Pasti peran yang kejam itu telah mempengaruhi otaknya.
Dengan tenang dia menyikat mantelnya sebelum mengenakannya.
"Aku tak
ingat," jawab saya. "Dan lagi rasanya kok—"
"Kok tidak
ada hubungannya? Itu sangat penting."
"Aku tidak
mengerti," kata saya dengan keras kepala. "Seingatku dia tidak makan terlalu
banyak. Dia sedang bingung dan sedih, karena itu tidak terlalu berselera untuk makan.
Itu wajar."
"Ya,"
kata Poirot merenung. "Itu wajar."
Dia membuka
laci mejanya, mengeluarkan sebuah tas kecil dan berkata kepada saya. "Aku
siap sekarang. Kita ke sana melihat tempat itu. Maaf, mon ami, kau tadi pasti
tergesa-gesa. Dasimu miring. Maaf." Dengan cekatan jarinya mengatur dasi
saya.
"Qa yest!
Kita berangkat sekarang?"
Kami bergegas
berjalan, dan akhirnya sampai di gerbang perkebunan. Poirot berhenti sejenak,
memandang sedih pada kebun yang membentang luas, berkilauan embunnya kena
cahaya pagi.
"Begitu
indah. Sangat indah. Tapi keluarga itu sedang berkabung, tenggelam dalam
kesedihan."
Dia memandang
saya dengan tajam waktu berbicara, dan saya sadar bahwa wajah saya memerah di
bawah tatapannya. Apakah keluarga itu tenggelam dalam kesedihan? Apakah mereka
sangat kehilangan? Saya sadar bahwa tidak ada perasaan seperti itu pada mereka.
Wanita yang telah meninggal itu tidak memiliki cinta. Kematiannya memang
mengejutkan, tapi tak seorang pun merasa kehilangan dia. Poirot kelihatannya
mengetahui pikiran saya. Dia mengangguk dengan sedih.
"Kau
benar," katanya. "Memang tak ada ikatan darah. Dia memang baik dan
murah hati pada kedua kakak beradik Cavendish, tapi dia bukanlah ibu mereka.
Darah memang menunjukkan— ingatlah hal itu—darah menunjukkan."
"Poirot,"
kata saya, "mengapa tadi kau bertanya apakah Nyonya Inglethorp makan enak
tadi malam? Aku telah berpikir-pikir dari tadi tapi tidak mengerti mengapa kau menanyakan
hal itu."
Dia diam
sejenak sambil terus berjalan. Tapi akhirnya dia berkata, "Aku tak
keberatan mengatakannya padamu, walaupun aku tak biasa menjelaskan sesuatu
sebelum semuanya selesai. Anggapan yang berlaku sekarang adalah Nyonya Inglethorp
meninggal karena keracunan strychnine yang mungkin dimasukkan ke dalam cangkir
kopinya."
"Ya?"
"Jam
berapa kopi disuguhkan?"
"Kira-kira
jam delapan."
"Kalau
begitu dia meminumnya antara setengah delapan sampai jam delapan—tak lebih dari
itu. Nah, strychnine adalah racun yang bekerja cepat. Efeknya akan segera terasa,
barangkali dalam waktu satu jam. Tapi dalam kasus Nyonya Inglethorp, tanda - tanda
itu tidak terlihat sampai pukul lima pagi, sembilan jam! Tetapi apabila dia makan
banyak, maka itu bisa memperlambat kerjanya racun, walaupun tidak akan selama
itu. Walaupun begitu kemungkinan tersebut masih perlu diperhatikan. Tapi tadi
kau mengatakan bahwa dia hanya makan sedikit, sedangkan tanda-tanda itu terlihat
pada jam lima pagi! Ini adalah situasi yang mencurigakan, Kawan. Mungkin ada
sesuatu yang bisa dijelaskan dalam otopsi nanti. Sekarang, ingat-ingat saja hal
itu,"
Ketika kami
berada di dekat rumah, John keluar menemui kami. Wajahnya kelihatan
capek dan kusut, "Ini benar-benar hal yang tidak menyenangkan,
Tuan Poirot," katanya. "Apa Hastings telah memberi tahu Anda bahwa
kami tidak menginginkan publisitas?"
"Saya mengerti."
"Sejauh
ini, soal itu hanya merupakan suatu kecurigaan."
"Tepat.
Ini hanya untuk berjaga-jaga saja."
John berpaling
kepada saya, mengeluarkan kotak rokoknya, dan menyalakan sebatang. "Kau
tahu si Inglethorp telah kembali?"
"Ya, Aku
ketemu tadi."
John melempar
korek api bekasnya ke bedeng tanaman. Pasti ini sangat menyakitkan hati Poirot.
Dia mencari korek itu dan ditanamnya dengan rapi. "Aku tak tahu bagaimana harus
memperlakukan dia."
"Kesulitan
itu tak akan lama," kata Poirot tenang.
John kelihatan
bingung dan tidak mengerti arti pernyataan yang penuh teka-teki itu. Dia
menyerahkan pada saya kedua kunci yang diberikan oleh Dr. Bauerstein tadi. "Tunjukkan
pada Tuan Poirot apa saja yang ingin diketahuinya."
"Kamar-kamar
itu dikunci?" tanya Poirot.
"Dr.
Bauerstein berpendapat sebaiknya begitu."
Poirot
mengangguk sambil merenung. "Kalau begitu dia sangat yakin. Ya, itu akan
mempermudah kita."
Kami naik ke atas bersama-sama dan masuk ke
dalam kamar. Supaya lebih jelas, saya gambar denah kamar itu dan barang-barang
yang ada di dalamnya.
KAMAR NYONYA INGLETHORP
A. PINTU KE LORONG
B. PINTU KE KAMAR ALFRED INGLE THORP
C. PINTU Ke KAMAR CYNTHIA MURDOCK
Poirot mengunci
pintu dari dalam, lalu memeriksa kamar dengan teliti. Dia berpindah dari
satu tempat ke tempat lain dengan lincah seperti belalang. Saya hanya berdiri
di dekat pintu, takut menghapus suatu petunjuk. Tetapi kelihatannya Poirot
tidak berterima kasih kepada saya dengan kesabaran saya itu.
"He,
kenapa kau berdiri saja di situ seperti— seperti babi dirantai?" serunya.
Saya jelaskan
bahwa saya takut jangan-jangan saya menghapus jejak kaki.
"jejak
kaki? Wah! Kelihatannya sudah ada sepasukan orang masuk ke tempat ini! Jejak
kaki yang mana yang kita perlukan? Ke sini sajalah membantu-bantu aku. Aku akan
meletakkan tasku di sini saja."
Dia meletakkan
tasnya di atas sebuah meja bulat di dekat jendela. Tapi rupanya sedang
sial, daun meja itu bergoyang dan miring, lalu menjatuhkan tas Poirot.
"el voila
une table" teriaknya. "Ah.
Belum tentu tinggal di rumah besar menyenangkan."
Setelah itu dia
meneruskan penyelidikannya. Dia tertarik pada sebuah tas kecil berwarna ungu
dengan kunci yang masih menempel. Tas itu terletak di atas meja tulis. Dia
mengambil kunci tas itu dan menyuruh saya untuk memeriksanya. Tapi saya tidak
melihat sesuatu yang aneh. Kunci itu kunci Yale yang biasa saja. Pada kepalanya
terdapat sebuah kawat kecil yang agak bengkok.
Kemudian dia
memeriksa kerangka pintu yang kami dobrak sambil mencek apakah kuncinya benar –
benar mengunci. Kemudian dia pergi ke pintu yang menuju kamar Cynthia. Pintu
itu juga terkunci, seperti telah saya ceritakan. Tetapi dia membuka kunci pintu
itu dan menutupnya lagi. Dia lakukan hal itu beberapa kali dengan sangat
hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Tiba-tiba sesuatu pada gerendel kunci
itu mengalihkan perhatiannya. Dia memeriksanya dengan hati-hati, kemudian dia
mengambil penjepit dari tasnya dan menjepit sebuah benda yang amat kecil yang
dengan hati-hati dimasukkannya kc dalam sebuah amplop kecil.
Di atas sebuah
lemari berlaci ada sebuah nampan dengan lampu minyak dan sebuah
panci kecil di atasnya. Dalam panci itu terdapat cairan hitam, dan
sebuah cangkir yang telah kosong bekas diminum berdiri di dekatnya. Saya merasa
kesal pada diri saya sendiri karena saya tidak teliti dan baru melihat benda-benda
tersebut saat itu. Ini pasti merupakan petunjuk yang amat penting. Poirot mencelupkan
sebuah jarinya ke dalam panci kecil dan mencicipnya sedikit dengan agak
takut-takut. Dia menyeringai.
"Coklat—campur—kelihatannya—harum."
Dia melewati
pecahan barang-barang di lantai, di dekat meja yang terguling tadi. Lampu baca,
buku-buku, korek api, serenceng kunci, dan pecahan cangkir kopi terserak di
situ.
"Ah, ini
mencurigakan," katanya.
'Terus terang
saja aku tidak berpikir ada yang mencurigakan di sini."
"Tidak?
Coba perhatikan. Lampu baca ini— semprongnya pecah, pecahannya berserakan di
situ waktu benda itu jatuh. Tapi lihat, cangkir kopi ini remuk menjadi bubuk."
"Ah,"
kata saya capek. "Pasti ada orang yang menginjaknya."
"Tepat,"
kata Poirot dengan suara aneh. "Seseorang telah menginjaknya."
Dia berdiri, kemudian
berjalan ke perapian. Dia memegang-megang benda pajangan yang ada di atas
perapian itu sambil merenung. "Mon ami" katanya, "orang itu
menginjak cangkir kopi sampai remuk karena cangkir itu mengandung
strychnine—atau—yang lebih gawat lagi—karena cangkir itu tidak mengandung
strychnine!"
Saya hanya
diam. Saya bingung tapi saya tahu tak ada gunanya meminta dia supaya menerangkannya.
Sesaat kemudian
dia bergerak lagi dan melanjutkan penyelidikannya. Dia mengambil rencengan
kunci itu dari lantai dan mengamatinya. Dipilihnya sebuah yang masih baru dan
dimasukkannya ke lubang kunci tas berwarna ungu itu. Ternyata cocok. Dia
membuka tas itu. Tetapi setelah ragu-ragu sejenak dia menutup dan menguncinya kembali.
Dia memasukkan rencengan kunci dan kunci tas itu sendiri ke dalam sakunya.
"Aku tak
punya hak untuk membuka-buka dokumen ini. Tapi harus dibuka juga suatu
saat!"
Kemudian dia
memeriksa laci bak cuci dengan sangat hati-hati. Di dekat jendela sebelah kiri
setitik noda di atas karpet berwarna coklat yang menarik perhatiannya. Dia
berjongkok dan memeriksanya dengan teliti—bahkan mencium noda itu. Akhirnya dia
memasukkan beberapa tetes coklat ke dalam tabung kecil dan menutupnya dengan
hati-hati. Kemudian dia mengeluarkan catatan kecilnya.
"Kita
temukan dalam kamar ini," katanya sambil menulis "enam hal yang
menarik. Perlu aku sebutkan—atau kau yang akan menyebutkan?"
"Oh, kau
saja," kata saya cepat-cepat.
"Baik
kalau begitu! Satu, sebuah cangkir kopi yang hancur-lebur; dua, sebuah tas
kecil dengan kuncinya, tiga, noda di atas lantai."
"Mungkin
juga noda itu sudah lama di situ," sela saya.
"Tidak,
karena masih lembab dan berbau kopi. Empat, secarik kain berwarna hijau
tua—hanya terdiri dari dust—tiga helai benang, tapi jelas kelihatan."
"Ah!"
seru saya. "Itu yang kau masukkan ke dalam amplop, bukan?"
"Ya.
Barangkali cuma sobekan baju Nyonya Inglethorp sendiri dan tidak berarti apa - apa.
Tapi kita lihat saja. Kelima, ini" Dengan gerakan dramatis dia menunjuk ke
tetesan lilin di atas lantai di dekat meja tulis. "Pasti terjadi kemarin,
karena pembantu akan membersihkannya kalau sudah ada di situ sebelumnya."
"Bisa jadi
tadi malam. Kami semua sangat bingung. Atau mungkin Nyonya Inglethorp sendiri
yang membuat tetesan itu."
"Kalian
hanya membawa sebuah lilin waktu masuk kamar?"
"Ya,
Lawrence Cavendish yang membawanya. Tapi dia sangat bingung dan kacau. Dia
seolah-olah melihat sesuatu di situ yang membuatnya lumpuh," kata saya
sambil menunjuk perapian.
"Menarik
sekali," kata Poirot dengan cepat. "Ya, agak mencurigakan—"
Matanya memandang ke seluruh bagian dinding "tapi ini bukan tetesan
lilinnya, karena lilin ini putih, sedang lilin Tuan Lawrence yang masih
terletak di meja rias itu berwarna merah muda. Sebaliknya, Nyonya Inglethorp
tidak punya tempat lilin karena tidak memakai lilin. Dia memakai lampu
baca."
"Lalu apa
kesimpulanmu?" tanya saya.
Kawan saya
hanya memberikan jawaban yang menyebalkan karena dia menyuruh saya berpikir
sendiri.
"Dan yang
keenam? Apa contoh coklat itu?" tanya saya.
"Bukan,"
jawab Poirot sambil berpikir-pikir. "Sebenarnya aku mau memasukkannya pada
daftar keenam, tapi tak jadi. Hal yang keenam aku simpan saja dulu." Dia memperhatikan
kamar itu dari ujung ke ujung dengan cepat. "Rasanya tak ada lagi yang
bisa kita lakukan di sini, kecuali—" Dia memperhatikan abu yang ada di tungku
perapian. "Api itu menyala—dan membakar. Tapi barangkali—coba kita lihat."
Dengan cekatan
dan sangat hati-hati tangannya mengorek abu di perapian. Tiba-tiba dia berseru,
"Penjepit, Hastings!"
Dengan cepat
saya ulurkan benda yang dimintanya. Dia mengambil sepotong kecil kertas yang
hampir gosong.
"Nah, mon
amil" katanya. "Apa pendapatmu?"
Saya
memperhatikan dengan teliti. Inilah reproduksinya:
Saya bingung.
Kertas itu tebal, tidak seperti kertas biasa. Tiba-tiba saya berseru, "Poirot!
Ini kan potongan surat wasiat!"
"Memang."
Saya
memandangnya dengan tajam. "Kau tidak heran?"
"Tidak.
Aku memang mengharapkannya," katanya dengan sedih.
Saya melepaskan
kertas itu dan Poirot menyimpannya dengan hati-hati dan sangat rapi di dalam
tasnya. Pikiran saya berputar. Apa yang terjadi dengan surat wasiat ini? Siapa
yang membakarnya? Orang yang meneteskan lilin di lantai? Kelihatannya begitu.
Tapi bagaimana dia bisa masuk? Semua pintu terkunci dari dalam.
"Sekarang
kita pergi dari sini," kata Poirot cepat. "Aku ingin menanyai pelayan
kamar— Dorcas ya, namanya?"
Kami masuk ke
kamar Alfred Inglethorp, dan Poirot berhenti untuk menelitinya. Kami keluar
dari kamar Alfred dan mengunci kembali pintunya serta pintu kamar Nyonya
Inglethorp. Kami turun dan masuk ke ruang kerja Nyonya Inglethorp karena Poirot
ingin melihatnya. Kemudian saya keluar mencari Dorcas. Ketika saya kembali
dengan Dorcas, ruangan itu kosong.
"Poirot,
di mana kau?" seru saya.
"Aku di
sini."
Rupanya dia
berada di luar, di teras, berdiri menikmati dan mengagumi kebun bunga
di luar. "Mengagumkan!" katanya. "Sangat mengagumkan.
Begitu simetris! Lihat lengkungan itu, dan bentuk wajik itu—rapi sekali.
Jaraknya juga sempurna."
"Ya.
Kelihatannya mereka mengerjakannya kemarin sore. Tapi masuklah—Dorcas
ada disini."
"Eh bien, Jangan
mengganggu, aku sedang menikmati pemandangan indah ini."
"Ya, tapi
kejadian ini kan lebih penting."
"Apa kau
yakin bahwa begonia yang indah itu tidak sama pentingnya?"
Saya hanya
mengangkat bahu. Tak ada gunanya berargumentasi dengan dia kalau pandangannya
sudah begitu.
"Kau tidak
setuju? Tapi hal-hal semacam itu pernah terjadi. Baiklah, aku akan bicara dengan
Dorcas yang tabah itu."
Dorcas berdiri
di kamar kerja itu. Tangannya dilipat di depan. Rambut abu-abunya berombak kaku
di bawah topi putihnya. Dia memang merupakan model dan gambaran yang tepat dari
seorang pelayan yang kuno.Sikapnya terhadap Poirot cenderung curiga, tetapi
dengan cepat Poirot mematahkan sikap itu. Dia mendorong sebuah kursi.
"Silakan
duduk, Nona."
"Terima
kasih, Tuan."
"Kau telah
lama bekerja di sini, bukan?"
"Sepuluh
tahun, Tuan."
"Wah,
sudah lama sekati. Kau benar-benar setia. Tentunya kau dekat dengan Nyonya, ya?"
"Beliau
sangat baik, Tuan."
"Kalau
begitu kau tak akan keberatan menjawab beberapa pertanyaan. Aku mengajukan
pertanyaan-pertanyaan ini dengan izin Tuan Cavendish,"
"Oh,
tentu, Tuan,"
"Baik. Aku
akan mulai dengan kejadian kemarin. Apa Nyonya Inglethorp bertengkar?"
"Ya, Tuan,
Tapi saya tak tahu apakah saya—" Dorcas ragu-ragu, Poirot memandangnya
dengan tajam.
"Dorcas,
aku perlu mengetahui semuanya secara mendetil. Jangan berpikir bahwa kau
mengkhianati nyonyamu. Beliau sekarang telah meninggal, dan kita perlu mengetahui
segalanya kalau kita mau menuntut bela untuknya. Memang tak akan ada sesuatu
yang bisa membuatnya hidup kembali, tapi seandainya ada hal-hal yang tidak beres,
kita perlu tahu siapa pelakunya."
"Mudah-mudahan,"
kata Dorcas tegas. "Dan tanpa menyebut nama, memang ada seseorang di rumah
ini yang tidak disukai siapa pun di sini! Dan sejak kedatangannya tak ada hal
yang beres di sini."
Poirot dengan
sabar menunggu sampai rasa marah Dorcas berkurang. Kemudian dengan tegas dia
berkata, "Dan tentang pertengkaran itu? Apa yang kaudengar pertama
kali?"
"Kebetulan
kemarin sore—saya berada di koridor—"
"Jam
berapa itu?"
"Saya tak
ingat tepatnya, Tuan. Tapi tidak lama sebelumwaktu minum teh. Barangkali jam
empat. Atau lebih. Saya kebetulan lewat ruangan ini kemarin dan saya mendengar suara
keras dan ribut di sini. Saya tak bermaksud mendengarkan pembicaraan itu, tapi—saya
berhenti. Pintu itu tertutup. Tapi Nyonya bicara dengan suara keras dan nyaring.
Saya bisa mendengar dengan jelas suaranya, 'Kau membohongiku dan menipuku.'
Saya tak mendengar jawaban Tuan Inglethorp karena dia bicara dengan suara
rendah. Kemudian Nyonya berkata lagi, 'Kau memang keterlaluan. Sudah dihidupi,
diberi makan dan pakaian, tapi apa balasmu? Membuat aku malu!' Saya tidak
mendengar apa yang dikatakan Tuan Inglethorp. Tapi Nyonya melanjutkan, Tak ada
gunanya apa yang kaukatakan itu. Aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku sudah
menentukan sikap. Aku tak peduli dengan publisitas apa pun yang akan tersebar
karena skandal suami istri ini.' Saya cepat-cepat pergi karena kelihatannya
mereka akan keluar."
"Kau yakin
bahwa yang kaudengar itu adalah suara Tuan Inglethorp?"
"Oh ya,
Tuan. Siapa lagi kalau bukan dia?"
"Lalu apa
yang terjadi kemudian?"
"Beberapa
saat kemudian saya kembali ke koridor itu, tapi suasana sepi sekali. Jam lima
Nyonya Inglethrop membunyikan bel dan menyuruh saya membawa secangkir teh—tanpa
kue—ke kamar kerja beliau. Wajahnya sangat mencemaskan—pucat dan gelisah.
'Dorcas,' kata¬nya, 'ada hal yang mengejutkanku.' 'Sebaiknya Nyonya minum secangkir
teh panas dulu. Supaya merasa enak.' Tangan Nyonya memegang sesuatu. Saya tak
tahu apakah itu surat atau selembar kertas biasa, tapi ada tulisannya, dan
Nyonya memandang kertas itu terus-menerus, seolah-olah tak percaya dengan apa yang
tertulis di situ. Nyonya berbisik sendiri seolah-olah lupa bahwa saya ada di
situ. 'Kata-kata ini—semuanya berubah.' Dan kemudian beliau berkata pada saya,
'Jangan percaya pada lelaki, Dorcas. Tak ada gunanya!' Saya cepat-cepat keluar,
mengambil secangkir teh kental. Nyonya berterima kasih dan berkata bahwa Nyonya
akan merasa lebih enak setelah minum teh itu. 'Aku tak tahu apa yang harus aku
lakukan,' katanya. 'Skandal antara suami-istri sangat mengerikan, Dorcas.
Rasanya aku lebih suka menutupinya kalau bisa.' Kemudian Nyonya Cavendish
masuk, jadi Nyonya tidak bicara apa-apa lagi."
"Apa surat
atau kertas itu masih dipegangnya?"
"Ya,
Tuan."
"Kira-kira
apa yang akan dilakukannya dengan kertas itu?"
"Saya tak
tahu, Tuan. Saya rasa Nyonya akan menyimpannya dalam tas ungunya."
"Apakah
beliau biasanya menyimpan surat-surat penting di situ?"
"Ya, Tuan.
Beliau biasanya membawa turun tas itu kalau pagi, dan membawanya ke atas kalau
malam."
"Kapan
kunci tas itu hilang?"
"Kunci itu
hilang kemarin pada waktu makan siang, Tuan, dan Nyonya menyuruh saya agar
menjaganya dengan hati-hati. Beliau sangat bingung."
"Tapi
beliau punya kunci duplikat, kan?"
"Oh, ya,
Tuan."
Dorcas
memandang Poirot dengan curiga. Saya pun sebenarnya ingin tahu. Kenapa
dia menanyakan kunci yang hilang itu? Poirot tersenyum.
"Jangan
kuatir, Dorcas. Pekerjaanku mengharuskan aku untuk mengetahui banyak hal.
Apakah kunci ini yang hilang?" Dia mengeluarkan kunci yang ditemukannya di
tas ungu itu dari sakunya. Mata Dorcas seolah-olah akan copot.
"Benar,
Tuan. Memang itu kuncinya. Tuan dapat dari mana? Saya sudah mencarinya
di mana-mana."
"Tapi
kunci itu tidak di tempat yang sama seperti kemarin pada waktu kutemukan. Nah,
aku ingin bertanya lagi. Apa Nyonya punya baju berwarna hijau tua?"
Dorcas agak
terkejut dengan pertanyaan yang tak terduga itu. "Tidak, Tuan."
"Kau yakin?"
"Ya,
Tuan."
"Apa ada
seseorang di rumah ini yang punya gaun berwarna hijau?" Dorcas mengingat –
ingat.
"Nona
Cynthia punya gaun malam berwarna hijau."
"Hijau
muda atau tua?"
"Hijau
muda, Tuan. Dari sifon."
"Ah, itu
bukan yang aku maksud. Tak ada lagi yang punya gaun hijau?"
"Tidak,
Tuan—setahu saya tidak." Wajah Poirot tidak menunjukkan perasaannya. Dia
hanya berkata, "Baik, Kita teruskan dengan hal yang lain. Apa
kau tahu bahwa Nyonya makan bubuk obat tidur tadi malam?"
"Bukan
tadi malam, Tuan. Saya tahu benar."
"Bagaimana
kamu bisa yakin?"
"Karena tempatnya
kosong. Terakhir kali beliau makan dua hari yang lalu,dan belum membeli lagi"
"Kau yakin
akan hal itu?"
"Yakin
sekali."
"Baiklah.
Apa Nyonya menyuruhmu menandatangani sesuatu kemarin?"
"Menandatangani?
Tidak, Tuan."
"Ketika
Tuan Hastings dan Tuan Lawrence datang kemarin malam, Nyonya sedang sibuk
menulis surat. Apa kau tahu kepada siapa saja surat itu ditujukan?"
"Saya
tidak tahu, Tuan. Kemarin malam saya keluar. Barangkali Annie bisa memberi tahu.
Tapi dia agak ceroboh. Tidak membersihkan cangkir-cangkir kopi tadi malam. Selalu
begitu kalau tak ada saya. Tak ada yang beres."
Poirot
mengangkat tangannya. "Karena belum dibersihkan, biarkan dulu
cangkir-cangkir itu, Dorcas. Aku ingin memeriksanya."
"Baik,
Tuan."
"Jam
berapa kau keluar kemarin malam?"
"Kira-kira
jam enam, Tuan."
"Terima
kasih, Dorcas. Itu dulu pertanyaanku." Dia berdiri dan mondar-mandir di
dekat jendela. "Aku mengagumi kebun bunga itu. Berapa tukang kebun yang
bekerja di sini?"
"Hanya
tiga, Tuan. Ada lima sebelum perang. Ketika rumah ini masih dipelihara dengan
baik seperti seharusnya rumah orang yang terhormat. Seandainya Tuan bisa
melihat saat itu—ah, indah sekali. Tapi sekarang hanya ada Pak Tua Manning dan
si William, dan seorang tukang kebun wanita yang modern dan memakai celana panjang.
Ah, ini memang bukan masa yang menyenangkan!"
"Masa yang
menyenangkan akan datang lagi, Dorcas. Setidak-tidaknya kita harapkan
demikian. Coba sekarang tolong panggilkan Annie."
"Ya, Tuan.
Terima kasih, Tuan."
"Bagaimana
kau tahu bahwa Nyonya Inglethorp makan bubuk obat tidur?" tanya
saya ingin tahu ketika Dorcas telah keluar. "Dan tentang kunci
yang hilang dan duplikatnya?"
"Satu per
satu kalau bertanya. Tentang obat itu aku tahu dari ini." Tiba-tiba dia mengeluarkan
sebuah dos kecil yang biasa di pakai di toko-toko obat.
"Dari mana
benda itu?"
"Dari laci
bak cuci dalam kamar Nyonya Inglethorp. Ini adalah benda keenam yang kutemukan
di sana."
"Tapi
tidak penting lagi, kan? Isinya sudah habis dua hari yang lalu."
"Barangkali
tidak. Tapi apakah kau melihat sesuatu yang aneh pada kotak ini?"
Saya
memeriksanya. "Rasanya tidak ada."
"Lihatlah
labelnya."
Saya membaca
label itu dengan teliti, " 'Satu bungkus sebelum tidur, kalau perlu.
Nyonya Inglethorp'. Tak ada yang aneh," kata saya.
"Tidak
aneh kalau tak ada nama tokonya?"
"Ah! Ya,
benar!"
"Kau sudah
pernah melihat seorang ahli obat yang mengeluarkan obat tanpa membubuhkan nama
tokonya?"
"Belum"
Saya jadi bersemangat.
Tetapi Poirot meredakan perasaan saya dengan berkata, "Penjelasannya
sederhana saja. Jangan berpikir terlalu jauh."
Suara langkah
Annie terdengar mendekat. Jadi saya tak berkata apa-apa. Annie adalah seorang
gadis yang manis. Kelihatannya dia justru menikmati kegemparan karena tragedi
yang terjadi di dekatnya. Poirot menanyainya dengan tegas tanpa membuang waktu.
"Kau
kupanggil karena mungkin kau bisa memberi tahu aku tentang surat-surat yang ditulis
Nyonya Inglethorp kemarin malam. Ada berapa surat dan tahukah kau nama - nama dan
alamat penerimanya?"
Annie berpikir.
"Ada empat surat, Tuan, Satu untuk Nona Howard, dan satu untuk Tuan Wells,
pengacara Nyonya. Dua surat yang lain tidak saya ingat—oh ya, satu untuk
Ross's, pemilik katering di Tadminster, yang satu lagi saya tidak ingat."
"Coba
diingat-ingat dulu," desak Poirot.
Annie mencoba
berpikir keras. "Maafkan, Tuan. Saya tidak ingat. Saya rasa saya tidak
membacanya."
"Baiklah,
tak apa-apa," kata Poirot tanpa menunjukkan kekecewaannya. "Aku ingin
menanyakan hal lainnya. Ada sebuah panci kecil di kamar Nyonya Inglethorp yang berisi
coklat. Apa dia biasa minum coklat setiap malam?"
"Ya, Tuan.
Kami selalu menyediakannya di kamar setiap malam. Nyonya akan menghangatkan
sendiri kalau ingin minum."
"Apa isi
panci itu? Coklat saja?"
"Ya, Tuan,
Dicampur dengan susu, satu sendok teh gula, dan dua sendok teh rum."
"Siapa
yang membawanya ke kamar?
"Saya,
Tuan."
"Selalu?"
"Ya,
Tuan."
"Jam
berapa?"
"Kira-kira
saat saya masuk untuk menutup gorden."
"Apa kau
selalu membawanya langsung dari dapur?"
"Tidak
Tuan. Kompor tidak cukup banyak, Jadi juru masak membuatnya dulu sebelum masak
sayur untuk makan malam. Lalu saya membawanya ke atas dan meletakkannya di atas
meja di dekat pintu ayun untuk sementara. Saya membawanya masuk kemudian."
"Pintu
ayun itu ada di bagian kiri rumah, kan?"
"Betul,
Tuan."
"Dan meja
itu, apa ada di sebelah sini, atau di sebelah sana, dekat ruang pelayan?"
"Di
sebelah sini, Tuan."
"Jam
berapa kau membawanya ke atas tadi malam?"
"Kira-kira
jam tujuh seperempat, Tuan."
"Dan jam
berapa kau membawanya masuk?"
"Kira-kira
jam delapan. Nyonya Inglethorp sudah siap akan tidur sebelum saya selesai
menutup gorden."
"Jadi,
kalau begitu coklat itu ada di meja di sayap kiri antara jam tujuh seperempat sampai
jam delapan?"
"Ya,
Tuan." Wajah Annie bertambah merah. Tiba-tiba tanpa diduga dia berkata, "Dan
kalau di dalamnya ada garam, bukan saya yang menaruhnya. Saya tak pernah meletakkan
garam itu di dekatnya."
"Kenapa
kau mengatakan ada garam di dalamnya?" tanya Poirot.
"Karena
saya melihatnya di nampan, Tuan."
"Kau
melihat garam di nampan?"
"Ya. Garam
dapur yang kasar kelihatannya. Saya tidak melihatnya ketika membawa nampan itu
ke atas, tapi ketika membawanya masuk ke kamar Nyonya, baru saya melihatnya. Seharusnya
saya membawanya turun dan minta juru masak membuatkan lagi. Tapi saya
terburu-buru sebab Dorcas tidak ada. Saya pikir coklat itu tidak apa-apa dan
garam itu hanya mengotori nampan saja. Jadi saya bersihkan garam itu dengan
celemek saya."
Hampir saja
saya tak bisa mengendalikan emosi. Tanpa dia sadari, Annie telah memberikan
sebuah bukti yang amat penting. Dia pasti terkejut kalau tahu bahwa garam dapur
kasarnya itu adalah strychnine, salah satu racun paling berbahaya. Saya memandang
Poirot yang kelihatan tenang-tenang saja. Kontrol dirinya memang luar biasa.
Saya menunggu pertanyaannya yang berikut dengan tidak sabar. Tapi saya kecewa
setelah mendengarnya.
"Ketika
kamu masuk kamar Nyonya Inglethorp, apa pintu yang menghubungkan kamar Nona
Cynthia terkunci?"
"Oh! Ya,
Tuan, selalu. Pintu itu tak pernah dibuka."
"Dan pintu
ke kamar Tuan Inglethorp? Apa kau melihat pintu itu dikunci?" Annie ragu-ragu.
"Saya tak bisa mengatakannya, Tuan, pintu
itu ditutup tapi saya tidak tahu apakah
dikunci atau tidak."
"Ketika
kamu keluar dari kamar, apakah Nyonya Inglethorp langsung mengunci pintunya?"
"Tidak,
Tuan. Tapi Nyonya pasti menguncinya kemudian. Biasanya beliau mengunci pintu
itu pada malam hari. Maksud saya, pintu yang ke koridor."
"Apa kau
melihat bekas tetesan lilin pada waktu membersihkan kamar kemarin?"
'Tetesan lilin?
Oh, tidak Tuan. Nyonya Inglethorp tak punya lilin. Beliau memakai lampu
baca."
"Kalau
begitu, seandainya ada tetesan lilin di atas lantai, kau pasti
melihatnya?"
"Ya, Tuan.
Dan pasti akan saya bersihkan."
Lalu Poirot
mengulangi pertanyaan yang tadi ia tujukan pada Dorcas, "Apakah Nyonya
punya gaun berwarna hijau?"
'Tidak,
Tuan."
"Atau
mantel atau baju hangat?"
"Tak ada
yang hijau, Tuan."
"Mungkin
orang lain di rumah ini?" Annie berpikir.
"Tidak,
Tuan."
"Kau
yakin?"
"Sangat
yakin."
"Bien! Itu
saja yang ingin kuketahui. Terima kasih."
Dengan agak
gugup Annie keluar. Emosi saya meledak. "Poirot," seru saya.
"Selamat! Benar-benar penemuan besar."
"Penemuan
besar apa?"
"Bahwa
coklatnya, dan bukan kopinya yang diracuni. Pantas! Tentu saja pengaruhnya baru
kelihatan di pagi hari, karena coklatnya baru diminum sekitar tengah
malam."
"Jadi kau
berpikir bahwa coklat itu—perhatikan kata-kataku, Hastings—cokat itu yang
mengandung racun?"
"Tentu saja!
Garam di nampan itu, apa lagi kalau bukan strychnine?"
"Barangkali
juga memang garam," kata Poirot tenang.
Saya hanya
mengangkat bahu. kalau dia sudah berpendapat begitu, tak ada gunanya berdebat
dengan dia. Pikiran bahwa Poirot tua itu memang bertambah tua, berkali-kali muncul
di kepala saya. Dan diam-diam saya berpikir dia beruntung karena bisa bertukar
pikiran dengan orang-orang yang bisa menerima idenya dengan baik. Poirot
memandang saya dengan mata bersinar.
"Kau tidak
senang denganku, rnon ami"
"Poirot,
aku kan tidak mendiktemu. Kau dan aku sama-sama punya hak untuk berpendapat."
"Pendapat
yang bagus," katanya. "Aku sudah selesai dengan ruangan ini. Meja
kecil
itu meja siapa?"
"Tuan
Inglethorp."
"Ah!"
Dia mencoba membuka tutupnya. 'Terkunci. Tapi barangkali salah satu kunci Nyonya
Inglethorp bisa dipakai." Dia mencoba beberapa kunci dengan cekatan. Akhirnya
dia berseru dengan keras, "Voila! Bukan kunci. Meja ini akan membuka kalau
ditekan." Dia membuka meja itu dan tangannya yang cekatan membuka - buka dokumen
yang tertumpuk rapi. Saya heran karena Poirot tidak memeriksa dokumen – dokumen
itu, tetapi hanya berkata, "Tuan Inglethorp memang orang yang punya
metode." Dalam kamus Poirot, 'orang yang punya metode' merupakan pujian
yang paling tinggi bagi seseorang.
Sekali lagi
saya merasa bahwa Poirot yang sekarang bukanlah Poirot yang dulu ketika dia
bergumam sendiri, "Tidak ada perangko di meja ini. Tapi barangkali
sebelumnya ada, eh, mon ami Mungkin sebelumnya ada. Ya," Matanya memandang
berkeliling ruangan— "tak ada lagi yang bisa diceritakan oleh ruangan ini
kepada kita. Kecuali ini." Dia mengeluarkan segumpal amplop dari sakunya
dan mencoba meluruskannya sambil menyodorkannya kepada saya. Amplop itu agak
aneh. Amplop biasa yang kelihatan kotor dengan kata-kata yang tertulis tidak
karuan seperti ini:
Lanjut ke BAB LIMA
0 comments:
Post a Comment