Friday, 2 October 2015

Agatha Christie - Lapangan Golf Maut - BAB TIGA BELAS

BAB TIGA BELAS
GADIS YANG BERMATA KETAKUTAN


Kami makan siang dengan berselera besar. Aku cukup maklum bahwa Poirot tak mau membicarakan tragedi itu di tempat di mana orang dapat mendengar kami dengan mudah. Tetapi sebagaimana biasanya, bila suatu persoalan memenuhi pikiran melebihi segalanya tak ada satu pun pikiran lain yang bisa menarik perhatian kita. Hanya sebentar kami makan tanpa berkata apa-apa, lalu Poirot berkata dengan m menggoda, " Eh bien! Bagaimana dengan perbuatanmu yang ceroboh itu! Tidakkah kau akan menceritakannya?!"
Aku merasa mukaku panas.
"Oh, maksudmu kejadian tadi pagi?" Aku berbicara dengan nada santai. Tetapi Poirot memang bukan tandinganku. Dalam beberapa menit saja dia telah berhasil memeras seluruh cerita itu dari mulutku, matanya berbinar – binar ketika sedang mendengarkan itu.
"Waduh! Benar-benar suatu kisah yang romantis. Siapa nama gadis cantik itu?"
Aku terpaksa mengakui bahwa aku tak tahu.
"Lebih romantis lagi! Pertemuan pertama dalam kereta api dari Paris, pertemuan kedua di sini. Perjalanan berakhir di mana orang-orang yang sedang bercinta itu bertemu, begitu kata orang, bukan?"
"Jangan goblok, Poirot"
"Kemarin Nona Daubreuil, hari ini Nona — Cinderella! Kau benar-benar punya hati seperti orang Turki, Hastings. Kau seharusnya membangun sebuah harem!"
"Kau memang pantas menggodaku. Nona Daubreuil memang seorang gadis yang cantik, dan aku sangat mengaguminya — aku bersedia mengakui hal itu. Yang seorang lagi itu bukan apa-apa — kurasa aku tidak akan berjumpa lagi dengan dia. Dia hanya seorang kawan bicara yang menyenangkan selama perjalanan kereta api, tapi dia bukan semacam gadis pada siapa aku akan tergila-gila."
"Mengapa?"
"Yah — mungkin kedengarannya sombong— tapi dia bukan wanita utama, sama sekali bukan."
Poirot mengangguk sambil termangu. Kemudian dia bertanya dengan nada yang kurang mengandung kelakar, "Jadi kau masih percaya akan derajat kelahiran dan pendidikan?"
"Aku mungkin punya pendirian kolot, tapi aku sama sekali tak sependapat dengan perkawinan karena perbedaan golongan seseorang. Itu tak pernah berhasil."
"Aku sependapat dengan kau, mon ami. Sembilan puluh sembilan dari seratus perkawinan semacam itu, tak berhasil. Tapi selalu masih ada yang keseratus itu, bukan? Namun itu tak berlaku, karena kau tak punya niat untuk menemui gadis itu lagi."
Kata-katanya yang terakhir hampir-hampir merupakan pertanyaan, dan aku menyadari betapa tajamnya pandangan yang ditujukannya pada diriku. Dan di hadapan mataku, seolah-olah tertulis dengan huruf-huruf dari nyala api, kulihat kata-kata Hotel du Phare dan terngiang lagi suaranya mengatakan, "Datanglah mengunjungi aku," dan jawabanku sendiri dengan tekanan, "Baiklah." Yah, mau apa lagi? Waktu itu aku memang berniat untuk pergi. Tetapi sejak itu, aku punya waktu untuk berpikir. Aku tak suka pada gadis itu. Setelah memikirkannya tenang-tenang, aku bisa mengambil kesimpulan dengan penuh keyakinan, bahwa aku benar-benar tak suka padanya. Aku terlibat dalam suatu kesulitan gara-gara kebodohanku mau memenuhi permintaannya untuk memuaskan rasa ingin tahunya yang gila-gilaan itu, dan aku sama sekali tak ingin bertemu dengan dia lagi.
Aku menjawab Poirot dengan ringan saja. "Dia memintaku untuk mengunjunginya, tapi tentu aku tak mau."
"Mengapa tentu?"
"Pokoknya — aku tak mau."
"Oh begitu." diperhatikannya aku beberapa lamanya. "Ya, aku mengerti betul. Dan kau memang benar. Pertahankanlah apa yang telah kaukatakan itu."
"Agaknya itu merupakan nasihat yang tak dapat dilanggar," kataku
dengan tersinggung.
"Aduh, Sahabatku, percayalah pada Papa Poirot. Suatu hari kelak, bila kau mau, aku akan mengatur suatu pernikahan yang serasi sekali bagimu."
"Terima kasih" kataku sambil tertawa, "tapi aku tak berminat pada rencana itu."
Poirot mendesah lalu menggeleng. "Dasar orang Inggris!" gumamnya.
"Tak punya sistem kerja — sama sekali tak punya. Kalian selalu menyerahkan segala-galanya pada nasib!" Dia mengerutkan alisnya, lalu memperbaiki letak botol garam.
"Kaukatakan Nona Cinderella menginap di Hotel d'Angleterre?"
"Bukan, Hotel du Phare."
"Benar. Aku lupa."
Sesaat aku merasa was-was. Aku sama sekali tak pernah menyebutkan nama sebuah hotel pada Poirot. Aku melihat padanya, dan aku merasa tenang. Dia sedang memotong-motong rotinya menjadi segi empat kecilkecil, dia kelihatan asyik benar dalam pekerjaannya itu. Dia pasti menyangka bahwa aku pernah mengatakan padanya di mana gadis itu menginap. Kami minum kopi di luar menghadap ke laut. Poirot mengisap rokoknya yang kecil, lalu mengeluarkan arlojinya dari sakunya.
''Kereta api ke Paris akan berangkat pukul dua lewat dua puluh lima menit," katanya.
"Aku harus berangkat."
"Ke Paris?" teriakku.
"Begitulah kataku, mon ami."
"Kau akan pergi ke Paris? Untuk Apa?"
Dia menjawab dengan serius sekali.
"Untuk mencari pembunuh Tuan Renauld."
"Kaupikir dia ada di Paris?"
"Aku yakin sekali dia tak ada di sana. Tapi aku harus mencarinya dari sana. Kau tak mengerti, tapi akan kujelaskan semuanya itu padamu kalau sudah tiba waktunya. Percayalah padaku, perjalanan ke Paris ini perlu sekali. Aku pergi tidak akan lama. Besar kemungkinannya aku akan kembali besok. Aku tak ingin kau ikut aku. Tinggallah di sini dan amat – amatilah Giraud. Ikutilah pula tindak-tanduk Tuan muda Renauld. Dan ketiga, kalau kau mau, usahakan untuk memutuskan hubungannya dengan Nona Marthe. Tapi aku kuatir tidak akan banyak hasil usahamu itu."
Aku tak senang mendengar kata-katanya yang terakhir itu. "Aku jadi ingat," kataku. "Aku sudah berniat untuk bertanya, bagaimana kau sampai tahu hubungan mereka berdua?"
"Mon ami— aku tahu sifat manusia. Pertemukanlah seorang anak muda seperti Jack Renauld itu dan seorang gadis cantik seperti Nona Marthe. dan akibatnya tak dapat dihindarkan lagi. Lalu, mengenai pertengkaran itu! Kalau tidak karena uang tentu karena perempuan, dan mengingat penjelasan Leonie tenung betapa marahnya anak muda itu, aku
yakin bahwa yang kedualah yang menjadi persoalan. Jadi aku lalu menerka — dan ternyata aku benar."
"Lalu itukah sebabnya kauperingatkan aku supaya tidak menaruh hati pada wanita itu? Apakah kau memang sudah menduga bahwa dia mencintai Tuan muda Renauld?"
Poirot tersenyum. "Yang jelas — aku melihat dari  matanya penuh ketakutan. Begitulah aku selalu membayangkan Nona Daubreuil — sebagai seorang gadis yang bermata penuh ketakutan." Suaranya demikian seriusnya hingga aku mendapat kesan yang tak enak.
"Apa maksudmu, Poirot?"
"Sahabatku, kurasa kita akan melihatnya dalam waktu singkat. Tapi sekarang aku harus berangkat"
"Kau masih punya waktu banyak."
"Mungkin — mungkin. Tapi aku suka bersantai-santai di stasiun. Aku tak suka berlari-lari, terburu-buru, dan ketakutan akan tertambat."
"Bagaimanapun juga," kataku sambil bangkit, "aku akan ikut mengantarmu."
"Kau tak boleh mengantarku. Aku tak mau."
Kata-katanya tegas sekali hingga aku terbelalak memandangnya karena keheranan. Dia mengangguk menegaskan kata-katanya. "Aku bersungguh-sungguh, mon ami. AH revoir. Bolehkah aku merangkulmu? Ah, tidak, aku lupa bahwa itu bukan kebiasaan orang Inggris. Bersalaman sajalah kalau begitu,"
Setelah Poirot meninggalkan aku, aku tak tahu apa yang harus kuperbuat. Aku berjalan-jalan saja di pantai, dan memperhatikan orang yang berkecimpung di laut. Aku tak punya keinginan untuk menyertai mereka. Kubayangkan Cinderella mungkin sedang bersenang-senang pula di antara orang banyak itu dengan memakai pakaian yang bagus sekali, tapi aku sama sekali tak melihatnya. Tanpa tujuan aku berjalan santai di sepanjang pantai pasir ke arah ujung kota.
Aku baru menyadari bahwa, bagaimanapun juga, sepantasnyalah kalau aku menanyakan keadaan gadis itu. Maka hal itu akhirnya akan menghindarkan kesulitan, dan urusannya akan selesai. Dan aku pun tak perlu memikirkan dia lagi. Tapi kalau aku sama sekali tak pergi, mungkin sekali dia akan mengunjungi aku di villa. Dan itu jelas akan menyusahkan. Jelas akan lebih baik kalau aku mengunjunginya sebentar. Dalam pertemuan itu akan kujelaskan dengan tegas, bahwa selanjutnya aku tak bisa lagi menjadi penunjuk jalan baginya. Sesuai dengan rencana itu, kutinggalkan pantai dan berjalan ke arah darat. Aku segera menemukan Hotel du Phare, suatu bangunan yang sangat sederhana. Aku benar-benar jengkel, karena aku tak tahu nama gadis itu, dan dengan demikian kehilangan harga diriku. Maka kuputuskan untuk masuk dan melihat-lihat saja. Aku mungkin akan bisa menemukannya di lobi.
Merlinville hanya sebuah kota kecil; orang meninggalkan hotel hanya untuk pergi ke pantai, dan meninggalkan pantai untuk kembali ke hotel lagi. Tak ada tempat lain yang menarik. Sepanjang pantai sudah kujalani tanpa melihat dia, jadi dia pasti ada di hotel. Aku masuk. Beberapa orang sedang duduk di lobi yang kecil itu, tapi orang yang kucari tak ada di antara mereka. Aku melihat kc ruangan – ruangan lain, namun bayangannya pun tak ada. Aku menunggu beberapa lamanya, sampai kesabaranku habis. Kuajak petugas penjaga pintunya ke suatu sudut, lalu kuselipkan lima franc ke dalam tangannya.
"Saya ingin bertemu dengan seorang wanita yang menginap di sini. Seorang gadis berkebangsaan Inggris, orangnya kecil dan berambut hitam. Saya kurang tahu namanya."
Laki-laki itu menggeleng, dan kelihatan dia seperti menahan senyum.
"Tak ada wanita seperti yang Anda lukiskan itu menginap di sini."
"Mungkin dia orang Amerika," aku menegaskan. Bodoh benar orango - rang ini.
Tetapi laki-iaki itu terus menggeleng.
"Tidak ada, Tuan. Di sini hanya ada enam atau tujuh orang wanita Inggris dan Amerika, dan mereka semuanya jauh lebih tua daripada yang sedang Anda cari. Bukan di sini Anda harus mencarinya, Tuan."
Dia kelihatan begitu yakin hingga aku jadi ragu. "Tapi wanita itu mengatakan bahwa dia menginap di sini."
"Mungkin Tuan keliru — atau mungkin wanita itu yang keliru, karena ada seorang pria lain yang juga menanyakan dia."
"Apa kata Anda?" seruku keheranan.
"Benar, Tuan. Seorang pria yang melukiskan wanita itu seperti Anda pula."
"Bagaimana pria itu?"
"Pria itu kecil, berpakaian bagus, rapi sekali, tak bercacat, kumisnya kaku, bentuk kepalanya aneh, dan matanya hijau."
Poirot! Jadi itulah sebabnya dia tak mengizinkan aku menyertainya ke stasiun. Kurang ajar sekali! Akan kukatakan padanya supaya tidak mencampuri persoalanku. Apakah sangkanya aku memerlukan seorang perawat untuk mengawasi diriku?
Setelah mengucapkan terima kasih pada orang itu aku pergi. Aku tak tahu apa yang harus kuperbuat. aku masih jengkel sekali pada temanku yang suka mencampuri soalku. Saat itu aku menyesal sekali bahwa waktu itu dia berada jauh dari jangkauanku. Aku akan senang sekali kalau aku bisa mengatakan padanya, apa pendapatku mengenai campur tangannya yang tak diinginkan itu. Bukankah sudah kukatakan jelas-jelas, bahwa aku tak punya niat untuk menjumpai gadis itu lagi? Seorang sahabat memang tak boleh terlalu suka campur tangan!
Tetapi di mana gadis itu? Rasa benciku kukesampingkan dulu, dan aku mencoba memecahkan teka-teki itu. Agaknya, karena kecerobohannya, dia telah salah menyebutkan nama hotelnya. Kemudian aku mendapatkan suatu pikiran lain. Apakah itu benar karena kecerobohan? Atau mungkinkah dia dengan sengaja menyembunyikan namanya dan memberikan alamat yang salah?
Makin lama aku memikirkannya, makin yakin aku, bahwa dugaanku yang terakhir ini yang benar. Entah dengan alasan apa, dia tak ingin perkenalan kami berkembang menjadi persahabatan. Dan meskipun setengah jam yang lalu hal itu merupakan keinginanku pula, aku tak mau aku yang menjadi pihak yang ditolak. Semua kejadian itu sangat tak menyenangkan hatiku, dan aku lalu pergi ke Villa Genevieve dalam keadaan hari yang kacau. Aku tak pergi ke rumah, melainkan pergi ke jalan setapak, ke bangku kecil di dekat gudang, lalu duduk dengan murung.
Pikiranku terganggu oleh bunyi suara-suara dari jarak dekat. Sebentar kemudian aku menyadari bahwa suara-suara itu tidak berasal dari kebun tempatku berada, melainkan dari kebun di sebelah, yaitu kebun Villa Marguerite, dan suara-suara itu mendekat dengan cepat. Suara seorang gadis berbicara, suara yang kukenali sebagai suara Marthe yang cantik.
"Sayang," katanya, "benarkah itu? Apakah semua kesulitan kita sudah berlalu?"
"Kau tahu itu, Marthe," sahut suara Jack Renauld. 'Sekarang, tak satu pun yang bisa memisahkan kita, Sayang. Halangan terakhir terhadap hubungan kita sudah tersingkirkan. Tak satu pun bisa memisahkan kau dari aku."
"Tak satu juga pun?" gumam gadis itu. "Aduh, Jack, Jack — aku takut."
Aku berniat untuk pergi dari situ, karena aku menyadari bahwa tanpa sengaja aku telah mendengarkan percakapan orang. Waktu aku bangkit, mereka dapat kulihat melalui suatu celah pada pagar. Mereka berdua berdiri menghadap ke arahku. Yang laki-laki memeluk gadis itu, sambil menatap matanya. Mereka memang merupakan pasangan yang serasi sekali, pemuda berambut hitam yang tampan dan dewi muda cantik yang berambut pirang.
Sedang mereka berdiri di situ, mereka memang kelihatannya seperti pinang dibelah dua. Mereka berbahagia, meskipun dalam umur yang begitu muda mereka sudah dibayangi tragedi yang begitu mengerikan. Tetapi wajah gadis itu murung, dan Jack Renauld agaknya melihat hal itu. Sambil mendekap gadis itu lebih erat lagi, dia bertanya, 'Tapi apa yang
kaukatakan, Sayang? Apa yang harus ditakutkan — sekarang?"
Kemudian tampak olehku pandangan di mata gadis itu, pandangan seperti yang dikatakan Poirot. Gadis itu menggumam, hingga aku hanya bisa menerka apa yang diucapkannya melihat gerak bibirnya "Aku takut — demi kau."
Aku tak mendengar jawab Jack Renauld, karena perhatianku tertarik pada sesuatu yang aneh agak di ujung pagar. Di situ tampak serumpun semak yang berwarna cokelat, suatu hal yang aneh . sekali, mengingat bahwa sekarang masih awal musim panas. Aku melangkah akan menyelidikinya, tetapi waktu aku mendekat, semak cokelat itu menghindar cepat-cepat, dan berhadapan denganku dengan jari di bibirnya. Dia adalah Giraud. Demi kewaspadaan, dia mengajakku ke belakang gudang sampai ke tempat di mana kami tak bisa didengar orang.
"Apa yang Anda lakukan di sana tadi?" tanyaku.
"Sama benar dengan apa yang sedang Anda lakukan — memasang telinga."
"Tapi saya berada di tempat itu tadi tidak sengaja!"
"Oh!" kata-Giraud. "Saya sengaja."
Sebagaimana biasa, aku mengagumi laki-laki itu sementara aku juga membencinya. Dia memandangiku dari atas sampai ke bawah dengan semacam pandangan menyalahkan. "Dengan mengganggu begini, Anda tidak -akan membantu menyelesaikan persoalan. Saya tadi sebenarnya hampir mendengar percakapan yang mungkin akan berguna. Anda apakan manusia purba Anda itu?"
"Tuan Poirot sedang pergi ke Paris," sahutku dingin. "Dan sebaiknya saya katakan pada Anda, Tuan Giraud, bahwa beliau sama sekali bukan manusia purba. Dia telah menyelesaikan banyak perkara yang benar-benar telah mengelabui kepolisian Inggris."
"Bah! Kepolisian Inggris!" Giraud menjentikkan jarinya dengan mengejek.
"Mereka itu pasti hanya setaraf dengan Pak Hakim Pemeriksa kita itu. Jadi dia pergi ke Paris, rupanya? Yah, bagus juga. Makin lama dia berada di sana, makin baik. Tapi apa pikirnya yang akan ditemukannya di sana?"
Kurasa aku mendengar nada kuatir dalam suaranya. Hal itu menghidupkan semangatku. "Saya tak boleh mengatakan hal itu," kataku dengan tenang.
Giraud menatapku dengan tajam. ''Mungkin dia memang bijak untuk mengatakannya pada Anda" katanya dengan kasar. "Selamat petang. Saya sibuk." Setelah berkata begitu dia berbalik dan meninggalkan aku tanpa basa-basi.
Agaknya keadaan sedang mogok di Villa Genevieve. Giraud tidak menginginkan aku bersamanya, dan berdasarkan apa yang kulihat tadi, pasti Jack Renauld pun tak suka. Aku kembali ke kota, berenang dengan nyaman lalu kembali ke hotel. Aku pergi tidur lebih awal, dengan perasaan ingin tahu, apakah esok harinya akan muncul sesuatu yang menarik.
Aku sama sekali tak siap untuk menghadapi apa yang sebenarnya terjadi.
Aku sedang sarapan sederhana di ruang makan ketika pelayan, yang semula sedang bercakap-cakap dengan seseorang di luar, masuk kembali dengan bergegas. Dia bimbang sebentar mempermainkan serbetnya, lalu dikatakannya semua.
"Maafkan saya, Tuan. Bukankah Tuan punya hubungan dengan perkara di Villa Genevieve itu?"
"Ya," kataku dengan bersemangat. "Ada apa?'
"Belumkah Tuan mendengar beritanya?"
"Berita apa?"
"Bahwa semalam ada pembunuhan lagi di sana?"
Kutinggalkan sisa sarapanku, kusambar topiku lalu aku berlari secepat-cepatnya. Ada pembunuhan lagi, padahal Poirot tak ada. Berbahaya sekali. Lalu siapa yang terbunuh? Aku berlari memasuki pintu pagar. Sekelompo pelayan berdiri di jalan masuk mobil, sambil  bercakap-cakap dengan disertai gerakan-gerakan tangan. Lengan Franchise kutangkap.  
"Apa yang telah terjadi?"
"Oh, Tuan, Tuan! Suatu pembunuhan lagi! Mengerikan sekali. Rumah ini sudah kena kutuk rupanya. Ya, saya yakin pasti sudah dikutuk! Seharusnya dipanggil pastor dengan membawa air suci. Satu malam pun saya tak mau lagi tidur di bawah atap rumah ini. Mungkin nanti giliran saya pula, siapa tahu?"
Dia membuat salib.
"Ya," teriakku, "tapi siapa yang terbunuh?"

"Mana saya tahu. Seorang laki-laki — seseorang yang tak dikenal. Mereka menemukannya di sana itu — di dalam gudang — tak sampai sembilan puluh meter dari tempat mereka menemukan jenazah Tuan kami yang malang itu. Dan itu belum semua. Dia ditikam — ditikam jantungnya, dengan pisau belati yang sama"

Lanjut ke BAB EMPAT BELAS

0 comments:

Post a Comment