PETUALANGAN GENERASI KEDUA
Tanpa
mempedulikan sukses besarku dalam praktek medis akhir-akhir ini, aku merasakan
kehilangan yang amat besar beberapa tahun terakhir ini. Anna, istri keduaku, tewas
dalam kecelakaan kereta belum lama ini. Kedukaan besar ini menyalakan lagi kedukaan
yang kurasakan waktu kematian istri
pertamaku, Mary. Semoga mereka beristirahat dengan tenang. Sebagai tambahan, adalah
hilangnya persahabatanku dengan Sherlock Holmes, yang sudah lama pensiun di peternakan lebahnya di Sussex.
Tanpa aku
sendiri menyadari, aku telah mengisi ruang kosong yang ditimbulkan oleh kehilangan-kehilangan
itu dengan membiarkan praktekku berkembang sedemikian rupa hingga hampir menggerogoti
kesehatanku. Kelelahan, bahkan hampir
kepayahan, pelan pelan menggerogoti rutinitas sehari-hariku dalam
mengobati sejumlah pasien yang mengandalkanku
untuk menyembuhkan mereka.
Keadaan yang
sukar kubicarakan ini terjadi selama masa awal tahun 1909, musim semi akhirnya
datang, dan tak lama setelah menderita karena kerinduan hatiku akan masa masa
bahagia, aku menerima pesan dari Holmes yang memohon padaku untuk meninggalkan
praktek selama beberapa minggu dan mengunjunginya sementara waktu. Inilah
kesempatanku untuk memulihkan diri dari keletihan yang menggangguku, dan menurutkan
kata hati dalam kenangan menyenangkan bersama teman lamaku.
Tanpa
ragu-ragu, aku memberi tahu sekretarisku untuk mengirim pemberitahuan pada semua pasienku bahwa aku akan pergi selama
dua minggu. Aku melirik pesan itu lagi. Holmes
menyiapkan bendi yang menungguku di stasiun kereta api, dan karena itu
aku harus naik kereta api pukul 23:05 yang
menuju timur hari ini juga ke stasiun Paddlewaite, dekat lembah Sussex.
Aku tertawa,
karena Holmes, temanku tersayang Holmes, masih
belum kehilangan sifatnya yang
sangat pongah. Berulang kali, bukan hanya dalam sedikit kesempatan, keironisan
pensiun Holmes ke peternakan lebah di Sussex menderaku dengan semangat tak
kenal henti, semangat yang membuatku terombang-ambing antara kebingungan akan
perubahan sifatnya yang tampaknya total dan keinginan aneh untuk tertawa dari
dalam hati karena perubahan sifat yang sepertinya tak mungkin itu.
Aku telah tahu,
di masa lalu, dengan pasti menggambarkan ketidaksenangan Holmes pada kehidupan desa, bahkan meningkat pada
keengganan untuk menghabiskan waktu berlibur sesingkat apa pun di tempat
peristirahatan tepi pantai. Kunjungan ke desa atau tepi pantai dapat diterima oleh
temanku itu hanya bila berhubungan dengan kegemparan yang disebabkan oleh
intrik langka. Karena itu, metamorfosis Holmes menjadi seorang pria desa yang
tertarik untuk mengejar kompleksitas alam, daripada kompleksitas sesama
manusia, terus-menerus membuatku bertanya-tanya seberapa tepat observasiku
terhadap keanehan mentalnya. Renungan ini kuhentikan sementara untuk menyiapkan liburanku dengan Holmes.
Aku segera mendapatkan diriku turun dari
kereta dan cepat-cepat naik ke
bendi yang telah dibawa oleh
pelayan pria Holmes ke stasiun khusus untukku. Tidak lama kemudian kami bergerak perlahan menyusuri
jalanan berkelok-kelok yang tepinya ditumbuhi tanaman lebat, segera tiba di
depan rumah sederhana teman tersayangku, di mana, dengan gembira, aku melangkah
ke pintu dan mengetuknya. Sejenak kemudian pintu itu terbuka dan itulah dia,
sebuah senyuman menghiasi wajahnya, pipa
favoritnya erat terjepit di antara bibirnya, temanku yang paling lama dan paling
kusayangi, Sherlock Holmes.
“Watson,
temanku tersayang, sungguh suatu kehormatan kau mau menerima undanganku!”
Dalam gerakan
aneh, bahkan bagi Holmes, ia meletakkan lengannya di pundakku dan
mengantarkanku masuk ke rumahnya. Kuperhatikan ia tampak lebih tua dari saat
terakhir aku melihatnya, tapi waktu ia
berbicara padaku, aku menyadari, dari ketajaman
suaranya dan cahaya di matanya, bahwa ia
tak akan pernah benar-benar menjadi tua.
“Rumahku
sekarang adalah rumahmu, Watson, selama kau tinggal di
sini. Dan bahkan tentu saja, kapan saja kau ingin berkunjung. Tapi kau
harus bersantai, temanku, dan melupakan
bebanmu. Kau telah memaksa dirimu terlalu keras.”
“Bagaimana kau
bisa tahu itu, Holmes?” seruku, selalu terheran-heran oleh observasinya yang tepat.
“Kapan kau
pernah memasukkan stetoskopmu ke dalam kantong mantelmu yang sekarang dapat kulihat
menonjol keluar? Kau selalu meletakkannya dalam topimu meskipun sedang
tergesa-gesa. Dan kau adalah salah satu orang yang paling rapi yang pernah kukenal, namun kemejamu
menunjukkan tanda-tanda bekas bahan kimia dan kerahmu berkerut, menunjukkan
bahwa kau telah memaksa dirimu bekerja sedemikian keras sehingga kau melupakan
hal-hal yang selalu menunjukkan bahwa kau punya kebiasaan bersih. Tidak,
Watson, kau bukan dirimu akhir-akhir ini. Mari, duduklah dan lupakan
kekhawatiranmu, karena kau sedang berlibur dan berliburlah engkau!”
Di balik
observasi singkat ini, Holmes tak pernah bertanya padaku apa yang menyebabkan kondisi
kelelahanku ini karena ia tahu, dan memang seharusnya tahu, bahwa dengan menghabiskan waktu di desa
bersama dengan teman lamaku akan membereskan masalahku. Aku segera terlibat
dalam percakapan seru dengan Holmes, membicarakan tindakan luar biasa kami yang
lalu. Sebentar saja kami menjadi terdiam dalam keheningan yang nyaman yang
hanya dapat timbul antara teman-teman seperti Holmes dan aku sendiri. Sesaat
kemudian ia memungut biola tercintanya dan mulai memainkan suatu melodi yang sering
rimbul dalam ingatan, jari-jarinya yang kurus membelai instrumen itu.
“Indah, cukup
indah, Holmes,” kataku sambil melagukan.
“Terima kasih,
Watson,” katanya, berhenti dan
menatapku sejenak. “Kau tampak sangat muram,” sahabatku yang baik. “Apakah kau
masih memikirkan masa lalu?”
“Ya, Holmes,
memang.”
“Kuakui aku
juga begitu. Ya, waktu-waktu menegangkan itu, Watson, tapi menenangkan berpikir
bahwa sekarang kita tidak akan diganggu oleh dering bel pintu, sebentar
kemudian diikuti oleh setan memelas yang terlibat kesulitan. Sekarang
keteganganku yang paling besar berhubungan dengan pemisahan Ratu Lebah, dan
kegiatan malam Charles Augustus, kucingku.”
Kami tertawa
terbahak-bahak, suasana serius akan kenangan masa lalu mencair.
“Aku masih
sukar menerima bahwa kau pensiun,
Holmes. Pernahkah kau mempertimbangkan kembali berpraktek lagi?”
“Oh, aku kadang-kadang mempertimbangkannya, dan kemudian menolak ide
itu. Seseorang harus bekerja hanya hingga puncak kemampuannya. Aku sudah
melewatinya.”
“Omong kosong,”
kataku, heran karena sikapnya, “kau sama tajamnya seperti dulu!”
“Secara mental,
mungkin, tapi tidak secara fisik.” Aku bisa melihat Holmes menutup diri waktu itu,
saat pikirannya berpindah ke tempat lain. Aku tahu tanda-tanda ini, karena
mereka adalah indikasi adanya kebosanan.
Kebosanan yang sama yang di masa lalu,
dengan tak terhindarkan membuatnya bergegas mencari alat suntik dengan cairan
7% yang dapat menenangkan. Walaupun
Holmes sudah tidak mengandalkan bahan
mengerikan itu untuk menenangkan diri, aku bertekad untuk mencegah rasa bosan
yang menetap, paling tidak selama aku berada di sini untuk berlibur.
Aku belum menyebutkan pada Holmes bahwa aku bertemu
seorang wanita muda yang amat mempesona
di kereta api yang mengajakku berbicara.
Pembicaraan inilah, dikombinasikan
dengan penarikan diri Holmes yang semakin tampak yang menggodaku untuk
menyebutkan nona muda ini padanya.
“Holmes, maukah
kau mempertimbangkan untuk menangani sebuah masalah kecil yang akan kuceritakan
padamu?”
“Bila masalah
pribadi yang mempengaruhimu, Watson, kau tahu aku akan melakukan apa pun yang
kubisa.”
“Ini bukan
masalahku, Holmes, ini masalah wanita muda menawan yang kutemui di kereta api. Dalam
percakapan ia mengungkapkan bahwa kau sangat mengenal ibunya, dan—”
Holmes
menatapku, pandangan kebingungan tampak di wajahnya. “Ibunya?”
Aku sudah akan
mengungkapkan segalanya yang diceritakan padaku, ketika tiba-tiba pintu diketuk.
“Masuk,” jawab
Holmes, terganggu oleh interupsi itu.
Ketika pintu
terbuka, di situ berdiri seorang pria kecil dengan seragam pelayan yang tidak
pas, rambutnya awut-awutan dan ditarik
ke belakang dalam usaha agar kelihatan rapi. Di tangannya ia memegang sepotong kertas.
“Ya, Deevers,
ada apa?”
“Saya mohon
maaf sudah mengganggu Anda. Mr. Holmes,
tapi orang Anda berkata saya boleh masuk. Majikan saya, Mr. Litton-Stanley,
menyuruh saya mengantar pesan ini. Ia juga menyuruh saya menunggu jawaban.”
Holmes
mengambil pesan itu, dan setelah membacanya, menjadi marah. “Sungguh berani
dia! Beri tahu tuanmu tak ada jawaban untuk surat ini!”
“Tapi ia
berkata saya harus memperoleh jawaban, sir.”
“Kau boleh
berkata pada Mr. Litton-Stanley bahwa aku akan menyuruh pengacaraku menjawab pesannya
pada waktunya nanti!”
“Terima kasih,
sir,” jawab pria kecil itu yang segera
pergi, gelisah karena kata-kata penuh kemarahan
dari temanku Holmes.
“Apa itu, Holmes?” tanyaku, penuh keingintahuan atas kejadian kecil yang begitu membuat Holmes
marah ini.
“Bacalah
sendiri,” katanya, menyodorkan pesan itu padaku. Kuambil dan kubaca
keras-keras.
“Jaga
lebah-lebah menjijikkanmu di tempatnya. Salah satu tamuku tersengat kemarin.
Bila ini terjadi lagi akan kusuruh polisi mengusirmu!”
“Ya Tuhan,”
teriakku, “sungguh surat yang menghina!”
“Pria itu
sendiri lebih dari menghina,” balas Holmes, “Ia seorang pemilik pabrik yang
sudah pensiun yang mengira kekayaannya yang amat besar mengijinkannya
mendominasi penduduk lokal!”
Holmes
mengambil catatan itu kembali, dan melemparkannya ke atas meja yang ada di dekat kami. Kuperhatikan
saat ia berjalan mondar-mandir sejenak, kemudian membawa sandal Persianya yang
biasa, mengambil sejumput tembakau dan memasukkannya ke pipanya. Ia
telah cukup tenang waktu ia menyalakan pipanya, dan kemudian berbalik
menghadapku.
“Nah, Watson,
kau dapat melihat bahwa pria itu kelihatannya menyentuh sifatku. Tapi janganlah
kita rusak siang yang cerah dan indah ini dengan pembicaraan terus-menerus
tentang orang itu. Silakan meneruskan cerita wanita muda yang kau temui di
kereta api.”
“Wanita itu
tampaknya berada dalam masalah besar. Aku berharap kau dapat membantunya.”
Aku memperoleh
perhatian penuhnya sekarang, tanda-tanda
penarikan diri yang ditunjukkan Holmes
tadi sudah benar-benar hilang.
“Katamu ia
mengatakan padamu bahwa ibunya mengenalku?”
“Ya.”
“Siapa
namanya?”
“Norton. Irene
Norton.”
“Norton,”
katanya kebingungan, “Aku kelihatannya tidak ingat—tapi tentu saja! Di mana
gadis itu. Watson?”
“Ia menginap di
Red Lion, di desa.”
“Kalau begitu
telepon dia, dan mintalah supaya ia datang berkunjung secepat mungkin. Tentu saja
aku akan membantunya!”
Di hadapan
mataku kuperhatikan Holmes hidup
kembali, matanya berkilauan
seperti dulu, sosoknya menegang oleh harapan. Inilah Holmes dengan pikiran
penuh keingintahuan, ahli logika yang kutahu dapat memecahkan begitu banyak
misteri dan minat di Baker Street.
“Aku senang
Holmes. Tapi apa yang membuat kau berubah pikiran sedemikian tiba-tiba dalam memutuskan
menerima kasus ini? Kupikir kau sudah benar-benar pensiun dan tak dapat diubah
lagi.”
“Apakah
ingatanmu kurang kuat, Watson, hingga kau tidak dapat mengingat Irene Adler? Tentunya
kau belum melupakan bahwa, dalam kasus yang kau sebut Skandal Bohemia, aku benar-benar ditipunya!”
“Demi Tuhan,
tentu saja! Kau selalu menyebutnya sebagai Wanita Itu. Tapi bagaimana wanita muda
ini, Irene Norton, cocok dengan gambaranmu?”
“Pikir, Watson,
pikir! Irene Adler menikah dengan seorang pengacara bernama Jeffrey Norton! Ah,
kulihat kau sudah mulai mengerti. Beri tahu Miss Norton supaya datang sekarang
juga. Ia adalah putri dari Wanita Itu!”
Hanya sebentar
kemudian Irene Norton tiba dari desa. Holmes memberi tanda agar ia duduk. Ia
berdiri di sana sejenak menatap wanita cantik ini, kemudian diam-diam duduk di hadapannya,
sementara aku duduk cukup jauh, sehingga aku dapat mencatat seperlunya tanpa mengganggu pembicaraan mereka.
Ada saat-saat
kaku, saat aku mengingat gambaran tak lengkap Irene Adler yang kulihat lewat
sebuah jendela dua puluh tahun lalu. Aku sekarang dapat menempatkan kemiripan
sosok Miss Norton, waktu kubandingkan dengan ingatanku akan sosok
indah ibunya. Baik ibu dan anak sama-sama membuat orang menahan nafas dan aku
melihat bahwa Holmes juga terpesona oleh wanita muda ini.
“Mr. Holmes,”
kata wanita itu, tersenyum, “saya sudah mendengar begitu banyak tentang Anda dari
ibu. Ia berkata Anda orang paling pintar di Inggris.”
“Ibu Anda
memuji saya, anakku sayang. Apakah ia pernah bercerita dalam keadaan apa kami bertemu?”
“Tidak, Mr.
Holmes, walaupun ia memberitahu saya bahwa Anda adalah saksi pernikahannya dengan
ayah saya.”
“Benar, walau
pun kejadian itu agak sedikit tak biasa.”
Holmes mencondongkan badan ke depan, menarik rantai jamnya keluar dan
mengulurkannya ke arah Miss Norton. “Mata uang emas yang saya pakai di rantai
jam saya ini adalah kenang-kenangan akan hari itu. Saya juga punya foto ibu
Anda yang cukup bagus.”
“Maafkan saya
karena memotong,” aku angkat bicara,
“tapi akan lebih bijaksana bila Anda memberitahu Mr. Holmes masalah-masalah
Anda, nona.”
“Betul, Watson.
Kenangan dapat menunggu hingga kita telah menyelesaikan masalah Anda, Miss Norton. Apa yang mengganggu Anda,
nona?”
“Mr. Holmes,
saya diperas! Oleh tetangga Anda, Mr. Litton- Stanley. Kenalkah Anda padanya?”
Holmes dan aku
saling memandang dan aku melihat seringai senang di wajahnya.
“Ya, memang
saya kenal pria itu,” kata Holmes, meniup pipanya keras-keras. “Kuasa apa yang dimiliki
Mr. Litton-Stanley atas diri Anda?”
“Ia punya
beberapa surat,” lanjut wanita itu, wajahnya agah memerah, “beberapa surat saya
yang agak tidak bijaksana yang kutulis untuk seorang temannya tahun lalu.
“Bagaimana ia
bisa memperoleh surat-surat itu, Miss Norton?”
“Ia pasti
mencurinya. Saya tak tahu bagaimana, tapi ketika saya tinggal di rumahnya
beberapa minggu lalu, ia memberi tahu
saya bahwa ia mempunyai surat-surat itu dan meminta 5,000 pound sebagai imbalannya!”
“Ini
mengherankan,” semburku, tapi Holmes
memberi tanda padaku agar tetap diam untuk sementara.
“Dan mengapa,
Miss Norton, ia menganggap surat-surat Anda, bahkan yang tidak bijaksana, berharga
demikian tinggi?”
“Saya
bertunangan dengan putra Lord Weston. Pria mengerikan itu, Litton-Stanley, tahu
bahwa bila tunangan saya melihat surat-surat itu, pernikahan tak akan pernah
terjadi.”
“Apakah Anda
sudah memberi tahu ibu Anda?” tanya Holmes.
“Oh tidak, ia
tak akan pernah mengerti! ”
“Hmm, menurut
saya ia akan mengejutkan Anda dalam hal
itu,” kata Holmes sambil bangkit berdiri
dan bergerak untuk memandang keluar ke desa dari salah satu jendelanya.
“Dan ayah
Anda?”
“Ayah seorang
pengacara. Ia hampir pasti tidak akan mengerti.”
“Jadi Anda
datang pada saya. Kenapa?”
“Ibu sudah
menceritakan kemampuan Anda, dan bagaimanapun, saya sudah membaca kisah-kisah
Dr. Watson.”
“Watson,” cela
Holmes, “kisah-kisahmu akan membawaku ke masalah serius suatu hari nanti. Sekarang,
Miss Norton, apa tepatnya yang Anda inginkan dari saya?”
“Tolong,
dapatkan surat-surat itu untuk saya.”
“Tapi bagaimana,
anakku sayang?”
“Curi
surat-surat itu, tentu saja.”
Aku duduk
di situ, kaget karena kata-kata
wanita muda yang cantik ini, heran
oleh pikiran bahwa ia akan menempatkan
Holmes dalam kategori sebagai pencuri biasa.
“Serius, nona
muda,” kataku ingin tahu, “bagaimana Anda bisa berpikir bahwa teman saya— ”
Holmes
memotongku.
“Tidak, Watson
sayang. Jangan kaget. Miss Norton adalah gadis yang terus terang seperti ibunya
sebelum dia. Ini benar-benar menyegarkan!”
“Mr. Holmes,
Anda tidak boleh berkata Anda tidak akan membantu saya.”
“Tidak,” Holmes
berkata, menoleh pada wanita muda yang putus asa ini, “Saya rasa saya tidak bisa
berkata demikian. Di sisi lain, saya punya masalah pribadi yang harus
dibereskan dengan Mr. Litton-Stanley sendiri. Ia orang kasar, dan tak
punya pengertian terhadap lebah.”
“Dan bagaimana
kau akan mencuri surat-surat itu?” tanyaku, kecewa oleh seluruh permasalahan ini.
“Masalah itu
butuh sedikit pemikiran,” balas Holmes.
“Aku bisa
memberi tahu bagaimana caranya, Mr. Holmes.”
Aku berbalik
menghadap Miss Norton, sekali lagi heran karena kata-katanya. Holmes
tersenyum, menerima semua ini dengan caranya yang khas, kemudian
bergerak untuk duduk kembali seperti sebelumnya.
“Serius
sekarang,” katanya sambil tertawa, “ini
menyenangkan, sayangku. Anda menjelaskan masalahnya, dan juga cara
memecahkannya. Betapa mudahnya pekerjaan
detektif bila semua
klien sama membantunya. Beri tahu saya, apa rencana Anda?”
“Besok adalah
hari libur setengah hari bagi pembantu
di rumah Mr. Litton-Stanley. Ia akan sendirian di sana sepanjang siang.”
“Bagaimana Anda
tahu fakta itu?” tanya Holmes. “Pembantu
saya sedang ‘pacaran,’ seperti istilah
mereka, dengan Deevers si kepala pelayan ketika saya tinggal di sana beberapa
minggu lalu. Ia mengetahui semuanya dari dia. Surat-surat saya disimpan dalam
kotak berornamen halus di mejanya.”
“Dengan
pengetahuan Anda, sayangku,” sela
Holmes, “saya heran Anda tidak mencoba membuka meja itu sendiri.”
“Saya sudah
mencoba,” katanya, “tapi meja itu sangat
kokoh dan punya kunci kombinasi. Bagaimanapun, saya yakin Anda dan Dr. Watson dapat memikirkan suatu cara untuk memperoleh surat-surat itu. Terutama bila Mr.
Litton-Stanley sedang sendirian di rumah.”
“Kami akan
melakukan sebaik yang kami bisa, Miss Norton,” adalah jawaban Holmes saat ia
berdiri dan membungkuk pada wanita muda yang cerdik ini. Holmes meraih
tangannya dan membimbingnya ke pintu. Aku berdiri dan mengikuti mereka.
Miss Norton berbalik pada kami di pintu, raut gelisah tampak di
wajahnya.
“Berjanjilah
pada saya tentang satu hal, Anda berdua.”
“Apa itu?”
tanyaku ingin tahu.
“Jangan baca
surat itu, ya. Saya . . . saya benar-benar malu menuliskan semua itu.”
“Tentu saja
kami tak akan membacanya, anakku sayang,” tambahku dengan meyakinkan.
“Anda berdua begitu
baik pada saya. Bagaimana saya bisa berterima kasih pada Anda?”
“Ucapan terima
kasih sedikit terlalu awal sekarang,” kata Holmes. “Tolong maafkan saya karena saya harus membutuhkan sedikit
waktu untuk memikirkan masalah ini.”
Aku
menganggukkan kepala tanda berpisah saat Holmes
mengantar Miss Norton
keluar. Ia berdiri di pintu sebentar,
sosok tingginya tak tergoyahkan saat ia mengawasi wanita muda itu berjalan dengan
ringan sepanjang jalur taman. Ketika ia
kembali dan kami berdua duduk dengan nyaman, ia mengeluarkan pipanya dan
menyalakannya.
“Menarik,
Watson. Wanita muda yang mempesona dan menarik.”
“Kelihatannya
sulit mencari cara merampok Mr. Litton-Stanley.”
Ia tertawa,
menghembus dengan keras ke arah pipanya. “Ya Tuhan, tidak, Watson. Aku akan
berkata itu hanya masalah separuh pipa. Sementara itu, marilah kita bersantai
dan menikmati sore hari beberapa jam lagi.”
“Hmm,” kataku,
“sungguh keadaan yang tak biasa.
Malam ini, kita bersantai. Dan besok, sebuah sentuhan perampokan di siang
bolong!”
Holmes, seorang
ahli penyamaran, telah dalam berbagai kesempatan mengerjaiku dengan pemakaian rias wajahnya yang
terampil. Tapi tak ada hasil kerja Holmes di masa lalu yang mengejutkanku seperti yang dilakukannya
keesokan harinya. Aku merasa seperti orang bodoh waktu aku berdiri disitu,
dirias oleh tangannya yang tangkas agar tampak seperti seorang dokter desa.
Seorang dokter Skotlandia bernama Hamish, dengan jenggot panjang dan tetek
bengek lain.
“Holmes,”
kataku tidak senang, “bukan suatu masalah bila kau menyamar sendiri, tapi menempatkanku dalam semua keadaan ini
sungguh tak dapat ditoleransi!”
“Watson,” jawabnya, tak mempedulikan protesku, “kau
tampak menakjubkan! Mirip penampilan dokter dari sekolah kuno!”
“Tapi Holmes,” aku memohon.
Ia meletakkan
tangannya di atas bahuku dan
berkata dengan nada yang paling lembut. “Watson,
berilah kehormatan padaku bukan hanya sebagai temanku, tapi juga
menemaniku dalam petualangan kecil ini. Tolong tahan perlengkapan yang
mengganggu ini sebentar saja. Amatlah penting kau harus menyamar.”
Bagaimana
mungkin aku dapat menolak teman lamaku
Holmes? Ia benar, tentu saja, karena kami
berdua tahu kami bersama-sama lagi, biarpun untuk sementara, dan benar-benar,
permainan sudah dimulai! Aku menyetujui dengan anggukan kecil dan sebuah
senyuman.
“Aku tahu kau
akan mengerti, Watson. Sekarang, mari kita lanjutkan rencana kecil kita!”
Tidak butuh
waktu lama sebelum Holmes dan aku berdiri di depan rumah Mr. Litton-Stanley, sebuah
mansion Tudor yang elegan dengan jendela-jendela panjang yang hampir mencapai
lantai, dan dikelilingi oleh semak-semak. Tanpa ragu-ragu Holmes menggedor
pintu.
“Ingat, Watson,
karena kau dokter asli, akan mudah
bagimu untuk mengambil peran seorang dokter,
bahkan dokter Skotlandia sekalipun. Tunggu! Seseorang datang!”
Sesaat kemudian
pintu terbuka dan di sana berdiri seorang pria tinggi yang hebat. Seorang pria dengan
kekuatan besar dan bertangan besar. Wajahnya berbentuk tajam dengan dahi tinggi
dan rambut gelap tebal, dengan sedikit abu-abu. Dalam sekejap Holmes masuk ke peran pendeta Nonkonfor mis yang
tegas, tapi agak ringkih.
“Mr.
Litton-Stanley?” tanyanya.
“Saya sendiri.”
“Saya Appleby
dan ini teman saya, Dr. Hamish.”
“Senang bertemu
dengan Anda, sir,” tambahku, "Kami sudah banyak mendengar tentang Anda.”
“Apa yang bisa
saya lakukan untuk Anda?”
“Bila kami boleh masuk sebentar,” senyum Holmes,
“saya akan menjelaskan tujuan kami.”
“Silakan,” kata
Litton-Stanley dengan enggan, "masuklah ke ruang kerja.”
Ia bergegas di depan kami, sosoknya yang besar bergerak
kikuk ke ruang kerja. Di sana ia berbalik
dan memberi tanda pada kami agar duduk. Holmes dan aku duduk dengan nyaman
sementara pria besar itu bersandar pada meja di dekatnya.
“Kami sedang
mengumpulkan daftar penyumbang dana,” Holmes memulai dengan suara tinggi yang
tak enak didengar, “untuk rumah sakit amal di Paddlewaite, di seberang lembah.
Anda adalah penduduk yang menonjol di sini dan kami pikir Anda mungkin ingin menyumbangkan
beberapa guinea.”
“Saya benar – benar
tidak tertarik. Saya sudah memberikan cukup banyak amal tahun ini.”
“Ahh, tapi ini
alasan bagus, sir,” tambah saya, “saya
menyediakan layanan medis tiga hari seminggu, dan Pendeta Appleby
menyumbangkan pelayanan juga.”
“Siapa lagi
yang menyumbang dana ini?” tanya Litton-Stanley, menyilangkan lengan.
“Semua tetangga
Anda, sir. Kami baru datang dari peternakan lebah di lembah sana,” kata Holmes. “Pemiliknya memberi kami cek
sebesar lima guinea!”
Litton-Stanley
mengepalkan tinjunya saat alisnya berkerut. “Holmes memberi Anda lima guinea,
he?”
“Ya. Mr. Holmes
itu pria yang sangat baik,” tambahku. “Kami berencana akan menamakan sebuah
bangsal di rumah sakit dengan namanya.”
“Apakah daftar
penyumbang akan diumumkan di koran lokal?”
“Oh, ya, Mr.
Litton-Stanley, ya,” jawab Holmes, tersenyum selebar mungkin.
“Saya akan
memberi Anda sepuluh guinea!”
“Oh, terima
kasih, sir,” komentar Holmes dengan keheranan palsu.
“Saya akan mengambil buku cek saya.” Litton-Stanley
berdiri di meja, punggungnya
menghadap kami. Saat ia membuka
kunci tutup meja bergulungnya
yang masif dan menarik keluar buku
ceknya, Holmes berpaling padaku dan berbisik.
“Cepat Watson,
kloroform-nya!”
“Sekarang,
untuk siapa saya tuliskan cek ini?” kata Litton-Stanley saat aku bergerak
diam-diam di belakangnya, lenganku
bergerak yakin. Sebelum jawaban datang,
aku sudah berada di atasnya, setelah sebelumnya menuangkan
kloroform dari wadah kecil ke saputanganku. Ia memberontak sesaat, sosoknya
yang besar berdiri dari kursi, menyeretku
tanpa kesulitan bersamanya, tapi Holmes memegangnya kuat-kuat
dengan tangannya yang kuat
saat kloroform itu
memperlihatkan efeknya. Segera saja pria besar itu melorot ke depan saat
kuletakkan ia kembali ke kursinya, menyandarkannya dengan lembut ke meja.
“Sangat rapi,
Watson,” kata Holmes, sebuah seringai tampak di wajahnya.
“Apakah kotak
berornamen halus itu ada di meja?” tanyaku.
“Ya, memang ada
di sini, Watson!”
Dengan satu
gerakan, ia telah menariknya dari laci tempat ia menduga barang itu berada dan menunjukkannya
pada saya. Kemudian, hampir sama cepatnya, ia meraih tutupnya dan membuka kotak
itu. Aku merasa diriku sendiri marah, terdorong oleh tindakannya dan apa yang
sebelumnya sudah ia janjikan pada Miss Norton.
“Holmes, jangan
buka itu! Kau sudah berjanji tidak akan melakukannya!”
“Aku hanya
ingin meyakinkan bahwa—” Holmes tak pernah menyelesaikan kalimatnya, karena sebuah
suara di suatu tempat di ruangan itu memotongnya.
“Meyakinkan apa
yang ada di situ, Mr. Sherlock Holmes?”
Holmes dan aku
terkejut, tapi sebelum kami dapat berbalik dan melihat siapa itu, ia berkata
lagi.
“Jangan
berbalik! Revolver saya terarah pada Anda berdua! Sekarang
letakkan kotak itu di atas meja, Mr. Holmes. Dan angkat tangan, tuan-tuan!”
“Saya tahu
suara itu,” kata Holmes dengan tenang, waktu ia meletakkan kotak di atas meja,
“itu Deevers, si kepala pelayan.”
“Memang betul,
sir.”
“Nah
Deevers,” kataku marah, “kau tak perlu
menodongkan pistol pada kami. Tuanmu
tidak terluka.”
“Saya tidak
tertarik sama sekali dengan kesehatan tuan saya, Dr. Watson. Malahan, bila ia
mati, saya akan senang sekali.”
“Lalu apa yang
kau inginkan, Deevers?” tanya Holmes.
“Saya sedang
mengambil keuntungan atas situasi ini, sir,” jawabnya cukup tenang. “Saya sudah
mencoba membuka meja itu selama berminggu-minggu. Setelah kebaikan Anda dalam
bagian itu, sir, saya benci kelihatan tak tahu berterima kasih, tapi saya benar-benar khawatir
saya harus membunuh Anda. Atau,
membunuh Anda berdua!”
Aku berdiri di
sana, tanganku di atas kepala, benar-benar
tak tahu apa yang harus kulakukan. Kemudian kulihat temanku Sherlock
Holmes. Aku tak melihat emosi sedikit pun
di wajahnya, sementara aku merasa aku sendiri berjuang melawan kesedihan
saat itu. Aku merasa yakin Holmes dan aku akan segera terbaring mati di rumah
Litton-Stanley.
“Deevers,” kata
Holmes, “aku tidak suka memotong saat dramatis seperti ini, tapi kenapa kau harus
membunuh kami?”
“Selama
berbulan-bulan, Mr. Holmes, saya sudah menunggu
kesempatan mencuri Zamrud Kitmanjar, dan sekarang Anda sudah
melakukannya untuk saya, sir, dan memberi saya alibi sempurna.”
“Zamrud
Kitmanjar?” tanya Holmes, raut ingin tahu muncul di wajahnya.
“Ayolah, Mr.
Holmes, Anda tahu harta itu ada di rumah ini seperti saya mengetahuinya. Selain
zamrud itu, masih ada Cellini yang sempurna yang akan memperoleh nilai tinggi
di pasar yang tepat!”
“Kami di sini
bukan untuk mengejar barang berharga, sobatku,” kataku benar-benar jengkel.
“Tolong jangan
panggil saya sobat Anda, Dr. Watson,” kata Deevers tajam. “Itu kebapakan. Di sisi
lain, apakah Anda berada di sini untuk mengejar barang berharga atau tidak, tak
ada bedanya. Kita katakan saja saya menangkap basah Anda berdua! Anda
benar-benar dalam kekuasaan saya, tuan-tuan!”
“Kuanggap kau
akan mencuri harta itu dan berpura-pura kamilah yang bertanggung jawab.”
“Tepat, Mr.
Holmes. Saya akan membunuh Anda berdua, mengambil barang yang menarik hati saya
dan ketika tuan saya sadar kembali, saya akan menjelaskan bahwa saya mendapati
tiga orang sedang merampok rumah. Saya membunuh dua dari perampok itu, sementara
yang ketiga kabur dengan hasil rampokan. Siapa yang bisa meragukan
kata-kata saya? Saya akan dianggap
pahlawan. Bahkan mungkin gaji saya dinaikkan!”
“Watson, aku
khawatir inilah akhirnya, sobat lamaku.”
“Sungguh cara
kotor untuk meninggal,” semburku,
ditembak dari belakang seperti pengecut! Aku tidak bisa menahan diriku karena
marah. Bila aku punya paling tidak setengah kesempatan, aku akan mencoba
merebut revolver Deevers dan memukulnya hingga hampir mati!
Tapi aku tak berdaya, dan dalam keprihatinan, aku sadar aku lebih
memikirkan keselamatan Holmes daripada keselamatanku sendiri.
“Deevers,”
tanya Holmes, “paling tidak beri kami kehormatan dengan mengijinkan
kami menghadap regu penembak, oke?”
“Baiklah,
tuan-tuan, berbaliklah, tapi jangan coba-coba melakukan sesuatu!”
“Satu
permintaan terakhir,” lanjut Holmes.
“Apa itu?”
“Aku sudah
dikalahkan, dan kuakui itu. Aku semakin tua, tapi di masa jayaku aku bertempur dengan
beberapa kriminal paling hebat di Eropa. Percobaan pembunuhan atas diriku sudah
dilakukan berkali-kali, tapi aku selalu lolos. Bila ini menjadi akhir
hidupku, paling tidak beri aku kehormatan untuk berjabat tangan dengan
orang yang, akhirnya, mengalahkanku.”
“Nah, sir, saya
rasa saya sedikit keluar jalur, tapi
saya rasa situasi ini tidak biasa. Saya harap Anda tidak keberatan saya
bersalaman dengan tangan kiri, sir. Saya akan memegang revolver saya di tangan
kanan.”
“Baiklah,
Deevers. Mari kita bersalaman.”
Kedua pria itu
berdiri bersalaman sementara aku mengawasi dengan tak berdaya.
“Selamat
tinggal, Mr. Sherlock Holmes.”
“Selamat
tinggal, Deevers, dan saya ucapkan selamat.”
Pikiranku
berlomba-lomba berusaha mencari cara
untuk mengakhiri situasi
mengerikan ini, ketika tiba-tiba Holmes menekuk tubuhnya, berpegangan
pada lengan Deevers. Dalam sekejap Holmes mengungkit, dan Deevers, yang
diserang tiba-tiba, menyadari dirinya terbaring di atas lantai, revolvernya
meletus, pelurunya menembus dinding terdekat tanpa menyakiti siapa pun.
“Ucapan
selamatku karena kau begitu bodoh!” teriak Holmes penuh kemenangan.
“Hebat,
Holmes,” kataku lega.
“Aku mungkin
semakin tua, tapi belum kehilangan keterampilan Baritsu. Deevers menghantam meja
saat jatuh. Lebih baik kau periksa dia, Watson.”
“Ia menghantam
kepalanya, tapi bukan luka serius. Ia akan tak sadarkan diri untuk sementara.”
“Bagus. Kurasa
kita akan mengambil tindakan pencegahan dengan menutup laci meja ini. Aku tidak
ingin ia dihadapkan pada cobaan lagi bila sadar nanti.”
“Tidakkah kita
sebaiknya menghubungi polisi, Holmes?”
“Polisi? Ya
Tuhan, tidak, teman lama! Bagaimanapun
kita pencuri, dan kita menyamar. Dua fakta yang akan sukar kita jelaskan dengan memuaskan. Tidak, Watson, kita harus kembali ke
peternakan lebah secepat mungkin, panggil Miss Norton, dan beri tahu dia
kesuksesan kita!”
Setelah Holmes
dan aku tiba di peternakannya, sami melepas samaran kami, dan menghubungi Miss Norton, menunggu kedatangannya. Pada waktu
yang dijanjikan, sebuah kereta kuda mengantar wanita itu ke depan pintu Holmes
dan ia segera duduk di hadapan kami.
“Mr. Holmes,
Dr. Watson, saya sungguh senang nelihat Anda berdua lagi!” seru Miss Norton bergairah. “Apakah Anda mendapatkan
kotak berornamen halus itu?”
“Ya, Miss
Norton. Dan inilah kotak itu!”
“Holmes, aku
tidak tahu kau mengambil kotak itu ketika kita—”
“Diam, Watson.
Kenapa tak membukanya, Miss Norton,”
katanya, menyodorkan kotak
itu padanya. “Bukalah nona,” lanjutnya, “mungkin tak ada surat cinta di
dalamnya, tapi ada sebuah catatan.”
Miss Norton
membuka kotak itu dan menarik keluar
sebuah catatan, agak kebingungan, seperti juga aku, oleh tindakan
Holmes.
“Tolong bacakan
buat kami, nona,” katanya, senyum tampak di bibirnya. Miss Norton
membuka catatan itu dengan hati-hati dan membaca:
JADIKAN INI PERINGATAN, MISS NORTON. TAK ADA IMBALAN BUAT KEJAHATAN.
BILA KAU TIDAK PERCAYA, TANYA IBUMU.
DENGAN HORMAT, SHERLOCK HOLMES.
“Mr. Holmes,
Anda tahu rahasia saya selama ini!”
“Bukan selama
ini, tapi saya segera menyadarinya saat saya membuka kotak berornamen halus.”
“Apa yang kau
bicarakan, Holmes?” tanyaku benar-benar bingung.
“Miss Norton
mempunyai kesan bahwa ia bisa menggunakan aku sebagai alatnya, sebagai korban penipuan yang melakukan
perampokan untuknya.”
“Aku masih
tidak mengerti, Holmes,” seruku. “Kau ingat ia meminta kita untuk berjanji
tidak membuka kotak itu?’”
“Ya, tapi kau
membukanya tepat sebelum laki-laki itu menodong kita dengan sebuah revolver. Apa
yang ada di dalamnya?”
“Sebuah batu
hijau yang mengagumkan yang aku tahu adalah Zamrud Kitmanjar!”
“Tapi di mana
zamrud itu sekarang?” tanya Miss Norton.
“Tanpa disadari
Watson saat itu, kuselipkan kembali batu itu ke dalam meja Mr. Litton-Stanley dan
menguncinya. Saya membawa kotak itu ke sini karena saya ingin melihat
ekspresi Anda, Miss Norton, waktu Anda membukanya.”
“Wah! Dan saya kira Anda makhluk malang yang
mengalami kesulitan,” kataku, kaget oleh
kenyataan sifat asli Miss Norton.
Sosok Holmes
yang tinggi kurus membayangi Miss Norton saat ia menatap tepat ke
mata wanita itu.
“Apa yang akan
Anda katakan, nona muda?”
“Saya sangat
menyesal, Mr. Holmes, sangat menyesal. Ide ini tampak amat menggairahkan, tapi saya
tidak benar-benar bermaksud mencurinya.”
“Oh, tentu saja
tidak, tidak, tidak,” kata Holmes sinis,
“Tentu saja tidak. Maksud Anda saya mencurinya untuk Anda! Miss Norton, saya
yakin Anda tahu bahwa ibu Anda pernah mengerjai saya, dan Anda mengira dapat
melakukan hal yang sama. Saya harus menyerahkan Anda pada polisi.”
“Tolong jangan,
Mr. Holmes, Anda tak bisa melakukan itu.”
“Jelas bisa!”
teriak Holmes marah, “tapi saya tidak akan melakukannya, karena
dua alasan: Pertama, Anda masih muda dan
mudah menerima pengaruh dan kejadian ini mungkin dapat mengajarkan sesuatu. Dan, di sisi
lain, saya . . . yah, amat mengagumi ibu Anda. Tapi saya peringatkan, Miss
Norton, Anda lolos dari lubang jarum— lubang yang sangat sempit!”
Miss Norton
seputih kertas. Dengan tegang ia bangkit dari kursi yang didudukinya, menarik keluar
sebuah saputangan dari lengan bajunya, dan menekannya ke pipi. Ia mengambil
nafas dalam-dalam dan memandang Holmes
dengan sedikit air mata di matanya.
“Mr. Holmes,
sebelum saya pergi, saya ingin minta tolong satu hal.”
“Oh, ya, apa
itu?”
“Bolehkah saya
menyimpan kotak berornamen halus ini
dengan catatan Anda di dalamnya? Benda
ini akan mengingatkan saya sepanjang hidup saya bagaimana kita bertemu.”
Holmes menengok
ke arahku, tersenyum. “Yah, bagaimana menurutmu, Watson?”
“Itu bukan
kotakmu yang bisa kauberikan, Holmes.”
“Betul, teman lama, memang betul. Tapi aku tidak bisa
melihat bagaimana kita dapat mengembalikannya sekarang tanpa menampakkan peran
kita dalam percobaan perampokan itu.
Bagaimanapun, aku tidak suka Mr. Litton-Stanley. Kurasa kita bisa menurutkan kata hati dalam pencurian kecil tak berarti ini
tanpa merasa terlalu bersalah.
Baiklah, Miss Norton, Anda boleh menyimpan kotak ini.”
“Saya akan
selalu menyimpannya. Terima kasih. Selamat tinggal, Dr. Watson. Jangan
berpikiran terlalu buruk terhadap saya. Selamat malam, Mr. Holmes.”
Sebelum aku
menyadarinya, Miss Norton sudah pergi, meninggalkan Holmes dan aku mengenang
kejadian hari itu. Aku yakin Holmes amat terpengaruh oleh wanita muda
ini, karena, sebagai putri dari
Wanita Itu, Miss Norton telah membawa kembali banyak pikiran dan emosi temanku yang
selamanya akan tetap menjadi miliknya,
dan hanya miliknya sendiri, dalam saat hening setelah kepergiannya ini.
Holmes berputar
perlahan-lahan mendudukkan diri dengan nyaman di kursi favoritnya, menyalakan
pipanya, kemudian
menyandarkan kepalanya,
matanya tertutup, tenggelam dalam pikirannya. Aku duduk di
hadapannya, juga tenggelam dalam pikiranku, tapi aku ingin menanyakan beberapa
pertanyaan padanya tentang
kejadian-kejadian yang baru terjadi ini. Kutunggu beberapa saat lagi, kemudian
kupotong lamunannya.
“Holmes,
maafkan aku karena mengganggu lamunanmu, tapi kurasa kau luar biasa lunak terhadap
gadis itu. Apakah menurutmu ibunya menyuruhnya melakukan semua itu?”
“Kemungkinan
itu terpikir olehku,” katanya, membuka matanya. “Namun aku punya perasaan bahwa—”
Kata-kata
Holmes terpotong oleh ketukan di pintu depan.
“Masuk!”
teriaknya terganggu. “Pintunya terbuka!”
“Apakah kau
menunggu seseorang, Holmes?”
“Tidak.”
Tak mungkin
salah mengenali orang yang berada di depan pintu. Ia adalah Litton- Stanley.
“Selamat sore,
sir,” kata Holmes, “Ini kehormatan yang tak terduga.”
“Sherlock
Holmes,” gertaknya, “kita belum menjadi teman baik, aku tahu itu, tapi sekarang
kau harus membantuku. Aku berada dalam masalah serius!”
“Oh, benarkah?
Silakan duduk. Kenalkan ini temanku, Dr. Watson. Dan sekarang apa masalahmu?”
“Saya telah di
rampok, Holmes!”
“Dirampok?”
kata Holmes pura-pura terkejut. “Apa yang dicuri?”
“Yah, hartaku
yang paling berharga, Zamrud Kitmanjar dikeluarkan dari kotaknya, dan kemudian
dikembalikan secara misterius, sendirian, di mejaku setelah itu. Tapi sebuah
Cellini yang tak ternilai hilang.”
“Apakah kau
punya dugaan siapa perampoknya?”
“Ada
segerombolan perampok, aku yakin itu! Sepasang menyamar sebagai pendeta dan dokter datang ke rumah
dengan alasan mengumpulkan dana untuk beberapa rumah sakit. Mereka membiusku dengan
klorofom.”
“Oh, oh, betapa
tak menyenangkannya bagi Anda,” kata Holmes sedih.
“Ketika aku
sadar, kutemukan kepala pelayanku. Deevers, berbaring di sebelahku dalam kolam darah.
Pria pemberani itu pasti telah melawan pencuri-pencuri itu, tapi mereka
berhasil melarikan diri. Ia sekarang di rumah sakit. Holmes, kau harus
membantuku.”
“Zamrud
Kitmanjar itu dikembalikan, katamu, tapi sebuah Cellini hilang!”
“Ya, barang itu
adalah kotak berornamen halus yang indah, yang kusimpan dengan zamrud itu.”
“Sebuah kotak
berornamen halus!” seru Holmes, tiba-tiba berdiri dengan amat terkejut.
“Ya, kotak itu
adalah Cellini asli. Harganya beberapa ribu pound. Holmes, kau harus
membantuku menyelesaikan masalah ini!”
Holmes duduk,
tertawa lirih. “Aku minta maaf, Mr. Litton-Stanley, tapi aku khawatir aku tak bisa membantumu. Aku sudah pensiun.
Ya, dan aku ingin tetap pensiun. Selamat malam, sir.”
“Tapi Mr.
Holmes, aku akan membayarmu berapa pun yang kauminta!”
“Keputusanku
sudah final, sir.” Holmes berkeras, kembali menghisap pipanya. “Selamat malam.”
“Aku seharusnya
tahu aku tak akan mendapat bantuan dar imu,” katanya dengan nada mengejek,
kemudian, memutar badannya yang besar keluar, membanting pintu di belakangnya. Kupandang
Holmes yang duduk sambil tertawa, kepalanya mengadah dengan riang.
“Holmes, ia
mengerjaimu lagi!”
“Ya, setan
kecil itu! Ia sudah lama tahu kotak itu sebuah Cellini!”
“Persetan kau,
Holmes, kau tak sedikit pun tampak marah padanya!”
“Aku tahu aku
seharusnya marah, tapi tidak, Watson. Sungguh keberanian yang hebat! Anak itu punya
saraf yang benar-benar menakjubkan.”
“Holmes, kau
harus mengambil kotak itu darinya!”
“Dan akan
kulakukan, Watson. Atau lebih tepatnya, aku akan membujuk Deevers agar melakukannya
untukku, dengan imbalan kita tetap tutup mulut.”
“Tapi,” tanyaku
benar-benar bingung, “bagaimana Deevers bisa mengembalikannya untukmu?”
“Ingat, Deevers
berpacaran dengan pelayan Miss Norton. Aku yakin bila ia menjelaskan posisinya
yang sulit, ia dapat membujuk pelayan itu mencuri kotak itu dari nonanya
sehingga Deevers dapat mengembalikan kotak itu ke pemiliknya yang sah.”
“Cerdik. Aku
tak akan pernah memikirkan itu,” tambahku, sekarang kembali santai di kursiku. “Ya
Tuhan, Holmes, Miss Norton, bila kau pikirkan lagi, memang jatuh tak jauh dari
pohonnya.”
“Memang,
Watson. Dan itu membuatku ingin tahu . . .” katanya, suaranya menghilang ke
dalam pikirannya.
“Tentang apa?”
“Aku ingin
tahu, temanku yang baik, berapa lama aku dapat tetap pensiun. Dengan musuh yang
begitu berharga yang sedang beraksi, ini suatu tantangan. Kuberi tahu kau,
Watson, ini tantangan yang sangat menggoda!”
“Kau
benar, Holmes,” kataku, semangatku
timbul oleh pikiran kembalinya Holmes pada prakteknya, “dan aku punya beberapa
kata yang ingin kukatakan padamu dengan kalimat yang sama!”
Holmes bangkit,
melirik jam sakunya. “Ayo, Watson. Sekarang waktu makan malam.
Mari makan dan kau bisa memberitahuku tentang kehidupanmu dan bagaimana
keadaan London.”
Bukan saja
makan malam yang dihidangkan oleh pelayan pria Holmes adalah yang paling lezat yang
pernah kunikmati, tapi dua minggu itu begitu memperbaharui diriku sehingga aku
berada dalam keadaan batin yang lebih damai daripada yang kualami selama
bertahun-tahun. Aku telah, dalam waktu istirahat dua minggu itu, mengenal
Holmes dalam cara yang lebih menyeluruh,
memahami kebutuhannya untuk berpisah dari sifat kompleks sesama manusia, memalingkan
diri pada lingkungan alami lembah Sussex, dan efek menenangkan lingkungan ini
pada teman saya yang paling brilian dan mudah berubah suasana hati ini.
Bagiku sendiri,
efek menyehatkan ini begitu kuat hingga memberi energi baru padaku, membuat aku
bisa menghadapi kehilangan-kehilanganku yang menyedihkan, dan memacuku dalam gairah
baru untuk mengumpulkan kembali catatan-catatan dan kisah-kisahku yang tak
terselesaikan, sehingga aku dapat sekali lagi menceritakan petualangan menakjubkan
detektif konsultan paling terkenal,
Sherlock Holmes.
-=THE
END=-
0 comments:
Post a Comment