Tuesday, 20 October 2015

Arthur Conan Doyle | Sherlock Holmes | PETUALANGAN GENERASI KEDUA

 PETUALANGAN GENERASI KEDUA

Tanpa mempedulikan sukses besarku dalam praktek medis akhir-akhir ini, aku merasakan kehilangan yang amat besar beberapa tahun terakhir ini. Anna, istri keduaku, tewas dalam kecelakaan kereta belum lama ini. Kedukaan besar ini menyalakan lagi kedukaan yang  kurasakan waktu kematian istri pertamaku, Mary. Semoga mereka beristirahat dengan tenang. Sebagai tambahan, adalah hilangnya persahabatanku dengan Sherlock Holmes, yang sudah lama  pensiun di peternakan lebahnya di Sussex.
Tanpa aku sendiri menyadari, aku telah mengisi ruang kosong yang ditimbulkan oleh kehilangan-kehilangan itu dengan membiarkan praktekku berkembang sedemikian rupa hingga hampir menggerogoti kesehatanku. Kelelahan, bahkan hampir  kepayahan, pelan pelan menggerogoti rutinitas sehari-hariku dalam mengobati sejumlah pasien yang  mengandalkanku untuk menyembuhkan mereka.
Keadaan yang sukar kubicarakan ini terjadi selama masa awal tahun 1909, musim semi akhirnya datang, dan tak lama setelah menderita karena kerinduan hatiku akan masa masa bahagia, aku menerima pesan dari Holmes yang memohon padaku untuk meninggalkan praktek selama beberapa minggu dan mengunjunginya sementara waktu. Inilah kesempatanku untuk memulihkan diri dari keletihan yang menggangguku, dan menurutkan kata hati dalam kenangan menyenangkan bersama teman lamaku.
Tanpa ragu-ragu, aku memberi tahu sekretarisku untuk mengirim pemberitahuan pada  semua pasienku bahwa aku akan pergi selama dua minggu. Aku melirik pesan itu lagi. Holmes  menyiapkan bendi yang menungguku di stasiun kereta api, dan karena itu aku harus  naik kereta api pukul 23:05 yang menuju timur hari ini juga ke stasiun Paddlewaite, dekat lembah Sussex.
Aku tertawa, karena  Holmes, temanku tersayang  Holmes, masih  belum  kehilangan sifatnya yang sangat pongah. Berulang kali, bukan hanya dalam sedikit kesempatan, keironisan pensiun Holmes ke peternakan lebah di Sussex menderaku dengan semangat tak kenal henti, semangat yang membuatku terombang-ambing antara kebingungan akan perubahan sifatnya yang tampaknya total dan keinginan aneh untuk tertawa dari dalam hati karena perubahan sifat yang sepertinya tak mungkin itu.
Aku telah tahu, di masa lalu, dengan pasti menggambarkan ketidaksenangan Holmes   pada kehidupan desa, bahkan meningkat pada keengganan untuk menghabiskan waktu berlibur sesingkat apa pun di tempat peristirahatan tepi pantai. Kunjungan ke desa atau tepi pantai dapat diterima oleh temanku itu hanya bila berhubungan dengan kegemparan yang disebabkan oleh intrik langka. Karena itu, metamorfosis Holmes menjadi seorang pria desa yang tertarik untuk mengejar kompleksitas alam, daripada kompleksitas sesama manusia, terus-menerus membuatku bertanya-tanya seberapa tepat observasiku terhadap  keanehan  mentalnya. Renungan ini kuhentikan sementara untuk  menyiapkan liburanku dengan Holmes.
Aku segera  mendapatkan diriku turun  dari  kereta dan  cepat-cepat  naik ke  bendi  yang telah dibawa oleh pelayan pria Holmes ke  stasiun khusus  untukku. Tidak lama  kemudian kami bergerak perlahan menyusuri jalanan berkelok-kelok yang tepinya ditumbuhi tanaman lebat, segera tiba di depan rumah sederhana teman tersayangku, di mana, dengan gembira, aku melangkah ke pintu dan mengetuknya. Sejenak kemudian pintu itu terbuka dan itulah dia, sebuah senyuman menghiasi wajahnya,  pipa favoritnya erat terjepit di antara bibirnya, temanku yang paling lama dan paling kusayangi, Sherlock Holmes.
“Watson, temanku tersayang, sungguh suatu kehormatan kau mau menerima undanganku!”
Dalam gerakan aneh, bahkan bagi Holmes, ia meletakkan lengannya di pundakku dan mengantarkanku masuk ke rumahnya. Kuperhatikan ia tampak lebih tua dari saat terakhir aku melihatnya, tapi  waktu ia berbicara  padaku, aku menyadari, dari ketajaman suaranya dan cahaya  di matanya, bahwa ia tak akan pernah benar-benar menjadi tua.
“Rumahku sekarang adalah rumahmu, Watson, selama kau tinggal  di  sini. Dan bahkan tentu saja, kapan saja kau ingin berkunjung. Tapi kau harus  bersantai, temanku, dan melupakan bebanmu. Kau telah memaksa dirimu terlalu keras.”
“Bagaimana kau bisa tahu itu, Holmes?” seruku, selalu terheran-heran oleh observasinya yang tepat.
“Kapan kau pernah memasukkan stetoskopmu ke dalam kantong mantelmu yang sekarang dapat kulihat menonjol keluar? Kau selalu meletakkannya dalam topimu meskipun sedang tergesa-gesa. Dan kau adalah salah satu orang yang paling rapi  yang pernah kukenal, namun kemejamu menunjukkan tanda-tanda bekas bahan kimia dan kerahmu berkerut, menunjukkan bahwa kau telah memaksa dirimu bekerja sedemikian keras sehingga kau melupakan hal-hal yang selalu menunjukkan bahwa kau punya kebiasaan bersih. Tidak, Watson, kau bukan dirimu akhir-akhir ini. Mari, duduklah dan lupakan kekhawatiranmu, karena kau sedang berlibur dan berliburlah engkau!”
Di balik observasi singkat ini, Holmes tak pernah bertanya padaku apa yang menyebabkan kondisi kelelahanku ini karena ia tahu, dan memang seharusnya  tahu, bahwa dengan menghabiskan waktu di desa bersama dengan teman lamaku akan membereskan masalahku. Aku segera terlibat dalam percakapan seru dengan Holmes, membicarakan tindakan luar biasa kami yang lalu. Sebentar saja kami menjadi terdiam dalam keheningan yang nyaman yang hanya dapat timbul antara teman-teman seperti Holmes dan aku sendiri. Sesaat kemudian ia memungut biola tercintanya dan mulai memainkan suatu melodi yang sering rimbul dalam ingatan, jari-jarinya yang kurus membelai instrumen itu.
“Indah, cukup indah, Holmes,” kataku sambil melagukan.
“Terima kasih, Watson,”   katanya, berhenti dan menatapku sejenak. “Kau tampak sangat muram,” sahabatku yang baik. “Apakah kau masih memikirkan masa lalu?”
“Ya, Holmes, memang.”
“Kuakui aku juga begitu. Ya, waktu-waktu menegangkan itu, Watson, tapi menenangkan berpikir bahwa sekarang kita tidak akan diganggu oleh dering bel pintu, sebentar kemudian diikuti oleh setan memelas yang terlibat kesulitan. Sekarang keteganganku yang paling besar berhubungan dengan pemisahan Ratu Lebah, dan kegiatan malam Charles Augustus, kucingku.”
Kami tertawa terbahak-bahak, suasana serius akan kenangan masa lalu mencair.
“Aku masih sukar  menerima bahwa kau pensiun, Holmes. Pernahkah kau mempertimbangkan kembali berpraktek lagi?”
“Oh,  aku kadang-kadang  mempertimbangkannya, dan kemudian  menolak ide  itu. Seseorang harus bekerja hanya hingga puncak kemampuannya. Aku sudah melewatinya.”
“Omong kosong,” kataku, heran karena sikapnya, “kau sama tajamnya seperti dulu!”
“Secara mental, mungkin, tapi tidak secara fisik.” Aku bisa melihat Holmes menutup diri waktu itu, saat pikirannya berpindah ke tempat lain. Aku tahu tanda-tanda ini, karena mereka adalah indikasi adanya  kebosanan. Kebosanan yang sama yang di  masa lalu, dengan tak terhindarkan membuatnya bergegas mencari alat suntik dengan cairan 7%  yang dapat menenangkan. Walaupun Holmes  sudah tidak mengandalkan bahan mengerikan itu untuk menenangkan diri, aku bertekad untuk mencegah rasa bosan yang menetap, paling tidak selama aku berada di sini untuk berlibur.
Aku belum  menyebutkan pada Holmes bahwa aku bertemu seorang wanita muda  yang amat mempesona di  kereta api yang mengajakku berbicara. Pembicaraan inilah,  dikombinasikan dengan penarikan diri  Holmes  yang semakin tampak yang menggodaku untuk menyebutkan nona muda ini padanya.
“Holmes, maukah kau mempertimbangkan untuk menangani sebuah masalah kecil yang akan kuceritakan padamu?”
“Bila masalah pribadi yang mempengaruhimu, Watson, kau tahu aku akan melakukan apa pun yang kubisa.”
“Ini bukan masalahku, Holmes, ini masalah wanita muda menawan yang kutemui di kereta api. Dalam percakapan ia mengungkapkan bahwa kau sangat mengenal ibunya, dan—”
Holmes menatapku, pandangan kebingungan tampak di wajahnya. “Ibunya?”
Aku sudah akan mengungkapkan segalanya yang diceritakan padaku, ketika tiba-tiba  pintu diketuk.
“Masuk,” jawab Holmes, terganggu oleh interupsi itu.
Ketika pintu terbuka, di situ berdiri seorang pria kecil dengan seragam pelayan yang tidak pas, rambutnya awut-awutan  dan ditarik ke belakang dalam  usaha agar  kelihatan rapi. Di tangannya  ia memegang sepotong kertas.
“Ya, Deevers, ada apa?”
“Saya mohon maaf  sudah mengganggu Anda. Mr. Holmes, tapi orang Anda berkata saya boleh masuk. Majikan saya, Mr. Litton-Stanley, menyuruh saya mengantar pesan ini. Ia juga menyuruh saya menunggu jawaban.”
Holmes mengambil pesan itu, dan setelah membacanya, menjadi marah. “Sungguh berani dia! Beri tahu tuanmu tak ada jawaban untuk surat ini!”
“Tapi ia berkata saya harus memperoleh jawaban, sir.”
“Kau boleh berkata pada Mr. Litton-Stanley bahwa aku akan menyuruh pengacaraku menjawab pesannya pada waktunya nanti!”
“Terima kasih, sir,”  jawab pria kecil itu yang segera pergi, gelisah karena  kata-kata penuh kemarahan dari temanku Holmes.
“Apa  itu, Holmes?” tanyaku, penuh keingintahuan atas  kejadian kecil yang begitu membuat Holmes marah ini.
“Bacalah sendiri,” katanya, menyodorkan pesan itu padaku. Kuambil dan kubaca keras-keras.
“Jaga lebah-lebah menjijikkanmu di tempatnya. Salah satu tamuku tersengat kemarin. Bila ini terjadi lagi akan kusuruh polisi mengusirmu!”
“Ya Tuhan,” teriakku, “sungguh surat yang menghina!”
“Pria itu sendiri lebih dari menghina,” balas Holmes, “Ia seorang pemilik pabrik yang sudah pensiun yang mengira kekayaannya yang amat besar mengijinkannya mendominasi penduduk lokal!”
Holmes mengambil catatan itu kembali, dan melemparkannya ke atas  meja yang ada di dekat kami. Kuperhatikan saat ia berjalan mondar-mandir sejenak, kemudian membawa sandal Persianya yang biasa, mengambil sejumput tembakau dan memasukkannya ke  pipanya. Ia  telah cukup tenang waktu ia menyalakan pipanya, dan kemudian berbalik menghadapku.
“Nah, Watson, kau dapat melihat bahwa pria itu kelihatannya menyentuh sifatku. Tapi janganlah kita rusak siang yang cerah dan indah ini dengan pembicaraan terus-menerus tentang orang itu. Silakan meneruskan cerita wanita muda yang kau temui di kereta api.”
“Wanita itu tampaknya berada dalam masalah besar. Aku berharap kau dapat membantunya.”
Aku memperoleh perhatian penuhnya sekarang, tanda-tanda  penarikan diri  yang ditunjukkan Holmes tadi sudah benar-benar hilang.
“Katamu ia mengatakan padamu bahwa ibunya mengenalku?”
“Ya.”
“Siapa namanya?”
“Norton. Irene Norton.”
“Norton,” katanya kebingungan, “Aku kelihatannya tidak ingat—tapi tentu saja! Di mana gadis itu. Watson?”
“Ia menginap di Red Lion, di desa.”
“Kalau begitu telepon dia, dan mintalah supaya ia datang berkunjung secepat mungkin. Tentu saja aku akan membantunya!”
Di  hadapan  mataku kuperhatikan Holmes hidup  kembali,  matanya berkilauan seperti dulu, sosoknya menegang oleh harapan. Inilah Holmes dengan pikiran penuh keingintahuan, ahli logika yang kutahu dapat memecahkan begitu banyak misteri dan minat di Baker Street.
“Aku senang Holmes. Tapi apa yang membuat kau berubah pikiran sedemikian tiba-tiba dalam memutuskan menerima kasus ini? Kupikir kau sudah benar-benar pensiun dan tak dapat diubah lagi.”
“Apakah ingatanmu kurang kuat, Watson, hingga kau tidak dapat mengingat Irene Adler? Tentunya kau belum  melupakan bahwa, dalam  kasus yang kau sebut Skandal  Bohemia, aku benar-benar ditipunya!”
“Demi Tuhan, tentu saja! Kau selalu menyebutnya sebagai Wanita Itu. Tapi bagaimana wanita muda ini, Irene Norton, cocok dengan gambaranmu?”
“Pikir, Watson, pikir! Irene Adler menikah dengan seorang pengacara bernama Jeffrey Norton! Ah, kulihat kau sudah mulai mengerti. Beri tahu Miss Norton supaya datang sekarang juga. Ia adalah putri dari Wanita Itu!”
Hanya sebentar kemudian Irene Norton tiba dari desa. Holmes memberi tanda agar ia duduk. Ia berdiri di sana sejenak menatap wanita cantik ini, kemudian diam-diam duduk di hadapannya, sementara aku duduk cukup jauh, sehingga aku dapat mencatat seperlunya tanpa   mengganggu pembicaraan mereka.
Ada saat-saat kaku, saat aku mengingat gambaran tak lengkap Irene Adler yang kulihat lewat sebuah jendela dua puluh tahun lalu. Aku sekarang dapat menempatkan kemiripan sosok Miss  Norton,  waktu kubandingkan dengan ingatanku  akan  sosok indah ibunya. Baik ibu dan anak sama-sama membuat orang menahan nafas dan aku melihat bahwa Holmes juga terpesona oleh wanita muda ini.
“Mr. Holmes,” kata wanita itu, tersenyum, “saya sudah mendengar begitu banyak tentang Anda dari ibu. Ia berkata Anda orang paling pintar di Inggris.”
“Ibu Anda memuji saya, anakku sayang. Apakah ia pernah bercerita dalam keadaan apa kami bertemu?”
“Tidak, Mr. Holmes, walaupun ia memberitahu saya bahwa Anda adalah saksi pernikahannya dengan ayah saya.”
“Benar, walau pun kejadian itu agak sedikit tak biasa.”  Holmes mencondongkan badan ke depan, menarik rantai jamnya keluar dan mengulurkannya ke arah Miss Norton. “Mata uang emas yang saya pakai di rantai jam saya ini adalah kenang-kenangan akan hari itu. Saya juga punya foto ibu Anda yang cukup bagus.”
“Maafkan saya karena memotong,”  aku angkat bicara, “tapi akan lebih bijaksana  bila  Anda memberitahu Mr. Holmes masalah-masalah Anda, nona.”
“Betul, Watson. Kenangan dapat menunggu hingga kita telah menyelesaikan masalah  Anda, Miss Norton. Apa yang mengganggu Anda, nona?”
“Mr. Holmes, saya diperas! Oleh tetangga Anda, Mr. Litton- Stanley. Kenalkah Anda padanya?”
Holmes dan aku saling memandang dan aku melihat seringai senang di wajahnya.
“Ya, memang saya kenal pria itu,” kata Holmes, meniup pipanya keras-keras. “Kuasa apa yang dimiliki Mr. Litton-Stanley atas diri Anda?”
“Ia punya beberapa surat,” lanjut wanita itu, wajahnya agah memerah, “beberapa surat saya yang agak tidak bijaksana yang kutulis untuk seorang temannya tahun lalu.
“Bagaimana ia bisa memperoleh surat-surat itu, Miss Norton?”
“Ia pasti mencurinya. Saya tak tahu bagaimana, tapi ketika saya tinggal di rumahnya beberapa minggu lalu,  ia memberi tahu saya bahwa ia mempunyai  surat-surat  itu dan meminta  5,000 pound sebagai imbalannya!”
“Ini mengherankan,”  semburku, tapi Holmes memberi tanda padaku agar tetap diam untuk sementara.
“Dan mengapa, Miss Norton, ia menganggap surat-surat Anda, bahkan yang tidak bijaksana, berharga demikian tinggi?”
“Saya bertunangan dengan putra Lord Weston. Pria mengerikan itu, Litton-Stanley, tahu bahwa bila tunangan saya melihat surat-surat itu, pernikahan tak akan pernah terjadi.”
“Apakah Anda sudah memberi tahu ibu Anda?” tanya Holmes.
“Oh tidak, ia tak akan pernah mengerti! ”
“Hmm, menurut saya ia akan mengejutkan Anda dalam hal  itu,” kata Holmes  sambil bangkit berdiri dan bergerak untuk memandang keluar ke desa dari salah satu jendelanya.
“Dan ayah Anda?”
“Ayah seorang pengacara. Ia hampir pasti tidak akan mengerti.”
“Jadi Anda datang pada saya. Kenapa?”
“Ibu sudah menceritakan kemampuan Anda, dan bagaimanapun, saya sudah membaca kisah-kisah Dr. Watson.”
“Watson,” cela Holmes, “kisah-kisahmu akan membawaku ke masalah serius suatu hari nanti. Sekarang, Miss Norton, apa tepatnya yang Anda inginkan dari saya?”
“Tolong, dapatkan surat-surat itu untuk saya.”
“Tapi bagaimana, anakku sayang?”
“Curi surat-surat itu, tentu saja.”
Aku duduk di  situ, kaget karena kata-kata wanita  muda yang cantik ini, heran oleh  pikiran bahwa ia akan menempatkan Holmes dalam kategori sebagai pencuri biasa.
“Serius, nona muda,” kataku ingin tahu, “bagaimana Anda bisa berpikir bahwa teman saya— ”
Holmes memotongku.
“Tidak, Watson sayang. Jangan kaget. Miss Norton adalah gadis yang terus terang seperti ibunya sebelum dia. Ini benar-benar menyegarkan!”
“Mr. Holmes, Anda tidak boleh berkata Anda tidak akan membantu saya.”
“Tidak,” Holmes berkata, menoleh pada wanita muda yang putus asa ini, “Saya rasa saya tidak bisa berkata demikian. Di sisi lain, saya punya masalah pribadi  yang harus  dibereskan dengan Mr. Litton-Stanley sendiri. Ia orang kasar, dan tak punya pengertian terhadap lebah.”
“Dan bagaimana kau akan mencuri surat-surat itu?” tanyaku, kecewa oleh seluruh permasalahan ini.
“Masalah itu butuh sedikit pemikiran,” balas Holmes.
“Aku bisa memberi tahu bagaimana caranya, Mr. Holmes.”
Aku berbalik menghadap Miss Norton, sekali lagi heran karena kata-katanya. Holmes
tersenyum, menerima semua ini dengan caranya yang khas, kemudian bergerak untuk duduk kembali seperti sebelumnya.
“Serius sekarang,” katanya sambil  tertawa, “ini menyenangkan, sayangku. Anda menjelaskan masalahnya, dan juga cara memecahkannya. Betapa  mudahnya  pekerjaan  detektif  bila  semua  klien sama membantunya. Beri tahu saya, apa rencana Anda?”
“Besok adalah hari libur setengah hari bagi  pembantu di rumah Mr. Litton-Stanley. Ia akan sendirian di sana sepanjang siang.”
“Bagaimana Anda tahu fakta itu?”  tanya Holmes. “Pembantu saya  sedang ‘pacaran,’ seperti istilah mereka, dengan Deevers si kepala pelayan ketika saya tinggal di sana beberapa minggu lalu. Ia mengetahui semuanya dari dia. Surat-surat saya disimpan dalam kotak berornamen halus di mejanya.”
“Dengan pengetahuan Anda, sayangku,”   sela Holmes, “saya heran Anda tidak mencoba membuka meja itu sendiri.”
“Saya sudah mencoba,”  katanya, “tapi meja itu sangat kokoh dan punya  kunci  kombinasi. Bagaimanapun, saya yakin Anda dan  Dr. Watson dapat memikirkan suatu cara untuk  memperoleh surat-surat itu. Terutama bila Mr. Litton-Stanley sedang sendirian di rumah.”
“Kami akan melakukan sebaik yang kami bisa, Miss Norton,” adalah jawaban Holmes saat ia berdiri dan membungkuk pada wanita muda yang cerdik ini. Holmes meraih tangannya dan membimbingnya ke pintu. Aku berdiri dan mengikuti  mereka.  Miss  Norton berbalik pada  kami di pintu, raut gelisah tampak di wajahnya.
“Berjanjilah pada saya tentang satu hal, Anda berdua.”
“Apa itu?” tanyaku ingin tahu.
“Jangan baca surat itu, ya. Saya . . . saya benar-benar malu menuliskan semua itu.”
“Tentu saja kami tak akan membacanya, anakku sayang,” tambahku dengan meyakinkan.
“Anda berdua begitu baik pada saya. Bagaimana saya bisa berterima kasih pada Anda?”
“Ucapan terima kasih sedikit terlalu awal sekarang,” kata Holmes. “Tolong maafkan  saya karena saya harus membutuhkan sedikit waktu untuk memikirkan masalah ini.”
Aku menganggukkan kepala tanda  berpisah saat  Holmes  mengantar  Miss Norton keluar.  Ia berdiri di pintu sebentar, sosok tingginya tak tergoyahkan saat ia mengawasi wanita muda itu berjalan dengan ringan sepanjang jalur  taman. Ketika ia kembali dan kami berdua duduk dengan nyaman, ia mengeluarkan pipanya dan menyalakannya.
“Menarik, Watson. Wanita muda yang mempesona dan menarik.”
“Kelihatannya sulit mencari cara merampok Mr. Litton-Stanley.”
Ia tertawa, menghembus dengan keras ke arah pipanya. “Ya Tuhan, tidak, Watson. Aku akan berkata itu hanya masalah separuh pipa. Sementara itu, marilah kita bersantai dan menikmati sore hari beberapa jam lagi.”
“Hmm,”  kataku,  “sungguh  keadaan yang tak biasa. Malam ini, kita bersantai.  Dan  besok, sebuah sentuhan perampokan di siang bolong!”
Holmes, seorang ahli penyamaran, telah dalam berbagai kesempatan mengerjaiku   dengan pemakaian rias wajahnya yang terampil. Tapi tak ada hasil kerja Holmes di masa lalu   yang mengejutkanku seperti yang dilakukannya keesokan harinya. Aku merasa seperti orang bodoh waktu aku berdiri disitu, dirias oleh tangannya yang tangkas agar tampak seperti seorang dokter desa. Seorang dokter Skotlandia bernama Hamish, dengan jenggot panjang dan tetek bengek lain.
“Holmes,” kataku tidak senang, “bukan suatu masalah bila kau menyamar sendiri,   tapi menempatkanku dalam semua keadaan ini sungguh tak dapat ditoleransi!”
“Watson,”   jawabnya, tak mempedulikan protesku, “kau tampak menakjubkan! Mirip penampilan dokter dari sekolah kuno!”
“Tapi  Holmes,” aku memohon.
Ia meletakkan tangannya di  atas bahuku dan berkata  dengan nada yang paling lembut. “Watson, berilah kehormatan padaku bukan hanya sebagai temanku, tapi  juga  menemaniku dalam petualangan kecil ini. Tolong tahan perlengkapan yang mengganggu ini sebentar saja. Amatlah penting kau harus menyamar.”
Bagaimana mungkin aku dapat  menolak teman lamaku Holmes? Ia  benar, tentu saja, karena kami berdua tahu kami bersama-sama lagi, biarpun untuk sementara, dan benar-benar, permainan sudah dimulai! Aku menyetujui dengan anggukan kecil dan sebuah senyuman.
“Aku tahu kau akan mengerti, Watson. Sekarang, mari kita lanjutkan rencana kecil kita!”
Tidak butuh waktu lama sebelum Holmes dan aku berdiri di depan rumah Mr. Litton-Stanley, sebuah mansion Tudor yang elegan dengan jendela-jendela panjang yang hampir mencapai lantai, dan dikelilingi oleh semak-semak. Tanpa ragu-ragu Holmes menggedor pintu.
“Ingat, Watson, karena kau dokter  asli, akan mudah bagimu untuk mengambil  peran seorang dokter, bahkan dokter Skotlandia sekalipun. Tunggu! Seseorang datang!”
Sesaat kemudian pintu terbuka dan di sana berdiri seorang pria tinggi yang hebat. Seorang pria dengan kekuatan besar dan bertangan besar. Wajahnya berbentuk tajam dengan dahi tinggi dan rambut gelap tebal, dengan sedikit abu-abu. Dalam sekejap Holmes  masuk ke peran pendeta Nonkonfor mis yang tegas, tapi agak ringkih.
“Mr. Litton-Stanley?” tanyanya.
“Saya sendiri.”
“Saya Appleby dan ini teman saya, Dr. Hamish.”
“Senang bertemu dengan Anda, sir,” tambahku, "Kami sudah banyak mendengar tentang Anda.”
“Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda?”
“Bila  kami boleh masuk sebentar,” senyum Holmes, “saya  akan menjelaskan tujuan kami.”
“Silakan,” kata Litton-Stanley dengan enggan, "masuklah ke ruang kerja.”
Ia  bergegas di depan kami, sosoknya yang besar bergerak kikuk ke ruang kerja. Di sana  ia berbalik dan memberi tanda pada kami agar duduk. Holmes dan aku duduk dengan nyaman sementara pria besar itu bersandar pada meja di dekatnya.
“Kami sedang mengumpulkan daftar penyumbang dana,” Holmes memulai dengan suara tinggi yang tak enak didengar, “untuk rumah sakit amal di Paddlewaite, di seberang lembah. Anda adalah penduduk yang menonjol di sini dan kami pikir Anda mungkin ingin  menyumbangkan  beberapa guinea.”
“Saya benar – benar tidak tertarik. Saya sudah memberikan cukup banyak amal tahun ini.”
“Ahh, tapi ini alasan bagus, sir,” tambah saya, “saya  menyediakan layanan  medis  tiga hari seminggu, dan Pendeta Appleby menyumbangkan pelayanan juga.”
“Siapa lagi yang menyumbang dana ini?” tanya Litton-Stanley, menyilangkan lengan.
“Semua tetangga Anda, sir. Kami baru datang dari peternakan lebah di lembah sana,”  kata Holmes. “Pemiliknya memberi kami cek sebesar  lima guinea!”
Litton-Stanley mengepalkan tinjunya saat alisnya berkerut. “Holmes memberi Anda lima guinea, he?”
“Ya. Mr. Holmes itu pria yang sangat baik,” tambahku. “Kami berencana akan menamakan sebuah bangsal di rumah sakit dengan namanya.”
“Apakah daftar penyumbang akan diumumkan di koran lokal?”
“Oh, ya, Mr. Litton-Stanley, ya,” jawab Holmes, tersenyum selebar mungkin.
“Saya akan memberi Anda sepuluh guinea!”
“Oh, terima kasih, sir,” komentar Holmes dengan keheranan palsu.
“Saya  akan mengambil buku cek saya.” Litton-Stanley berdiri di meja, punggungnya
menghadap kami. Saat ia  membuka  kunci tutup meja  bergulungnya yang masif  dan menarik keluar buku ceknya, Holmes berpaling padaku dan berbisik.
“Cepat Watson, kloroform-nya!”
“Sekarang, untuk siapa saya tuliskan cek ini?” kata Litton-Stanley saat aku bergerak diam-diam di belakangnya,  lenganku bergerak yakin.  Sebelum jawaban  datang,  aku sudah  berada  di atasnya, setelah sebelumnya menuangkan kloroform dari wadah kecil ke saputanganku. Ia memberontak sesaat, sosoknya yang besar berdiri dari kursi, menyeretku   tanpa kesulitan bersamanya, tapi Holmes memegangnya  kuat-kuat  dengan  tangannya  yang kuat  saat  kloroform  itu  memperlihatkan efeknya. Segera saja pria besar itu melorot ke depan saat kuletakkan ia kembali ke kursinya, menyandarkannya dengan lembut ke meja.
“Sangat rapi, Watson,” kata Holmes, sebuah seringai tampak di wajahnya.
“Apakah kotak berornamen halus itu ada di meja?” tanyaku.
“Ya, memang ada di sini, Watson!”
Dengan satu gerakan, ia telah menariknya dari laci tempat ia menduga barang itu berada dan menunjukkannya pada saya. Kemudian, hampir sama cepatnya, ia meraih tutupnya dan membuka kotak itu. Aku merasa diriku sendiri marah, terdorong oleh tindakannya dan apa yang sebelumnya sudah ia janjikan pada Miss Norton.
“Holmes, jangan buka itu! Kau sudah berjanji tidak akan melakukannya!”
“Aku hanya ingin meyakinkan bahwa—” Holmes tak pernah menyelesaikan kalimatnya, karena sebuah suara di suatu tempat di ruangan itu memotongnya.
“Meyakinkan apa yang ada di situ, Mr. Sherlock Holmes?”
Holmes dan aku terkejut, tapi sebelum kami dapat berbalik dan melihat siapa itu, ia berkata lagi.
“Jangan berbalik!  Revolver  saya terarah pada Anda berdua! Sekarang letakkan kotak itu di atas meja, Mr. Holmes. Dan angkat tangan, tuan-tuan!”
“Saya tahu suara itu,” kata Holmes dengan tenang, waktu ia meletakkan kotak di atas meja, “itu Deevers, si kepala pelayan.”
“Memang betul, sir.”
“Nah Deevers,”  kataku marah, “kau tak perlu menodongkan pistol pada  kami. Tuanmu tidak terluka.”
“Saya tidak tertarik sama sekali dengan kesehatan tuan saya, Dr. Watson. Malahan, bila ia mati, saya akan senang sekali.”
“Lalu apa yang kau inginkan, Deevers?” tanya Holmes.
“Saya sedang mengambil keuntungan atas situasi ini, sir,” jawabnya cukup tenang. “Saya sudah mencoba membuka meja itu selama berminggu-minggu. Setelah kebaikan Anda dalam bagian itu, sir, saya benci kelihatan tak tahu berterima kasih, tapi  saya benar-benar  khawatir  saya harus  membunuh Anda. Atau, membunuh Anda berdua!”
Aku berdiri di sana, tanganku di atas kepala, benar-benar  tak tahu apa yang harus kulakukan. Kemudian kulihat temanku Sherlock Holmes. Aku tak melihat emosi sedikit pun   di wajahnya, sementara aku merasa aku sendiri berjuang melawan kesedihan saat itu. Aku merasa yakin Holmes dan aku akan segera terbaring mati di rumah Litton-Stanley.
“Deevers,” kata Holmes, “aku tidak suka memotong saat dramatis seperti ini, tapi kenapa kau harus membunuh kami?”
“Selama berbulan-bulan, Mr. Holmes,  saya sudah  menunggu  kesempatan  mencuri   Zamrud Kitmanjar, dan sekarang Anda sudah melakukannya untuk saya, sir, dan memberi saya alibi sempurna.”
“Zamrud Kitmanjar?” tanya Holmes, raut ingin tahu muncul di wajahnya.
“Ayolah, Mr. Holmes, Anda tahu harta itu ada di rumah ini seperti saya mengetahuinya. Selain zamrud itu, masih ada Cellini yang sempurna yang akan memperoleh nilai tinggi di pasar yang tepat!”
“Kami di sini bukan untuk mengejar barang berharga, sobatku,” kataku benar-benar jengkel.
“Tolong jangan panggil saya sobat Anda, Dr. Watson,” kata Deevers tajam. “Itu kebapakan. Di sisi lain, apakah Anda berada di sini untuk mengejar barang berharga atau tidak, tak ada bedanya. Kita katakan saja saya menangkap basah Anda berdua! Anda benar-benar dalam kekuasaan saya, tuan-tuan!”
“Kuanggap kau akan mencuri harta itu dan berpura-pura kamilah yang bertanggung jawab.”
“Tepat, Mr. Holmes. Saya akan membunuh Anda berdua, mengambil barang yang menarik hati saya dan ketika tuan saya sadar kembali, saya akan menjelaskan bahwa saya mendapati tiga orang sedang merampok rumah. Saya membunuh dua dari perampok itu, sementara yang ketiga kabur dengan hasil rampokan. Siapa yang bisa meragukan kata-kata  saya? Saya akan dianggap pahlawan. Bahkan mungkin gaji saya dinaikkan!”
“Watson, aku khawatir inilah akhirnya, sobat lamaku.”
“Sungguh cara kotor  untuk meninggal,” semburku, ditembak dari belakang seperti pengecut! Aku tidak bisa menahan diriku karena marah. Bila aku punya paling tidak setengah kesempatan, aku akan mencoba merebut revolver Deevers dan memukulnya hingga hampir  mati!  Tapi aku tak berdaya, dan dalam keprihatinan, aku sadar aku lebih memikirkan keselamatan Holmes daripada keselamatanku sendiri.
“Deevers,” tanya Holmes, “paling tidak beri kami kehormatan dengan  mengijinkan   kami menghadap regu penembak, oke?”
“Baiklah, tuan-tuan, berbaliklah, tapi jangan coba-coba melakukan sesuatu!”
“Satu permintaan terakhir,” lanjut Holmes.
“Apa itu?”
“Aku sudah dikalahkan, dan kuakui itu. Aku semakin tua, tapi di masa jayaku aku bertempur dengan beberapa kriminal paling hebat di Eropa. Percobaan pembunuhan atas diriku sudah dilakukan berkali-kali, tapi aku selalu lolos. Bila ini menjadi  akhir  hidupku, paling tidak beri aku kehormatan untuk berjabat tangan dengan orang yang, akhirnya, mengalahkanku.”
“Nah, sir, saya rasa saya sedikit keluar  jalur, tapi saya rasa situasi ini tidak biasa. Saya harap Anda tidak keberatan saya bersalaman dengan tangan kiri, sir. Saya akan memegang revolver saya di tangan kanan.”
“Baiklah, Deevers. Mari kita bersalaman.”
Kedua pria itu berdiri bersalaman sementara aku mengawasi dengan tak berdaya.
“Selamat tinggal, Mr. Sherlock Holmes.”
“Selamat tinggal, Deevers, dan saya ucapkan selamat.”
Pikiranku berlomba-lomba berusaha mencari cara  untuk  mengakhiri  situasi  mengerikan ini, ketika tiba-tiba Holmes menekuk tubuhnya, berpegangan pada lengan Deevers. Dalam sekejap Holmes mengungkit, dan Deevers, yang diserang tiba-tiba, menyadari dirinya terbaring di atas lantai, revolvernya meletus, pelurunya menembus dinding terdekat tanpa menyakiti siapa pun.
“Ucapan selamatku karena kau begitu bodoh!” teriak Holmes penuh kemenangan.
“Hebat, Holmes,” kataku lega.
“Aku mungkin semakin tua, tapi belum kehilangan keterampilan Baritsu. Deevers menghantam meja saat jatuh. Lebih baik kau periksa dia, Watson.”
“Ia menghantam kepalanya, tapi bukan luka serius. Ia akan tak sadarkan diri untuk sementara.”
“Bagus. Kurasa kita akan mengambil tindakan pencegahan dengan menutup laci meja ini. Aku tidak ingin ia dihadapkan pada cobaan lagi bila sadar nanti.”
“Tidakkah kita sebaiknya menghubungi polisi, Holmes?”
“Polisi? Ya Tuhan, tidak, teman lama!  Bagaimanapun kita pencuri, dan kita menyamar. Dua fakta yang akan sukar  kita jelaskan dengan  memuaskan. Tidak, Watson, kita harus kembali ke peternakan lebah secepat mungkin, panggil Miss Norton, dan beri tahu dia kesuksesan kita!”
Setelah Holmes dan aku tiba di peternakannya, sami melepas samaran kami, dan menghubungi Miss  Norton, menunggu kedatangannya. Pada waktu yang dijanjikan, sebuah kereta kuda mengantar wanita itu ke depan pintu Holmes dan ia segera duduk di hadapan kami.
“Mr. Holmes, Dr. Watson, saya sungguh senang nelihat Anda berdua lagi!” seru Miss  Norton bergairah. “Apakah Anda mendapatkan kotak berornamen halus itu?”
“Ya, Miss Norton. Dan inilah kotak itu!”
“Holmes, aku tidak tahu kau mengambil kotak itu ketika kita—”
“Diam, Watson. Kenapa tak membukanya, Miss Norton,”   katanya,  menyodorkan  kotak  itu padanya. “Bukalah nona,” lanjutnya, “mungkin tak ada surat cinta di dalamnya, tapi ada sebuah catatan.”
Miss Norton membuka kotak itu dan menarik keluar  sebuah catatan, agak kebingungan, seperti juga aku, oleh tindakan Holmes.
“Tolong bacakan buat kami, nona,” katanya, senyum tampak di bibirnya. Miss Norton
membuka catatan itu dengan hati-hati dan membaca:
JADIKAN INI PERINGATAN, MISS NORTON. TAK ADA IMBALAN BUAT KEJAHATAN. BILA KAU TIDAK PERCAYA, TANYA IBUMU.
DENGAN HORMAT,  SHERLOCK HOLMES.
“Mr. Holmes, Anda tahu rahasia saya selama ini!”
“Bukan selama ini, tapi saya segera menyadarinya saat saya membuka kotak berornamen halus.”
“Apa yang kau bicarakan, Holmes?” tanyaku benar-benar bingung.
“Miss Norton mempunyai kesan bahwa ia bisa menggunakan aku sebagai alatnya,  sebagai korban penipuan yang melakukan perampokan untuknya.”
“Aku masih tidak mengerti, Holmes,” seruku. “Kau ingat ia meminta kita untuk berjanji tidak membuka kotak itu?’”
“Ya, tapi kau membukanya tepat sebelum laki-laki itu menodong kita dengan sebuah revolver. Apa yang ada di dalamnya?”
“Sebuah batu hijau yang mengagumkan yang aku tahu adalah Zamrud Kitmanjar!”
“Tapi di mana zamrud itu sekarang?” tanya Miss Norton.
“Tanpa disadari Watson saat itu, kuselipkan kembali batu itu ke dalam meja Mr. Litton-Stanley dan menguncinya. Saya  membawa  kotak itu ke sini karena saya ingin melihat ekspresi Anda, Miss Norton, waktu Anda membukanya.”
“Wah!  Dan saya kira Anda makhluk malang yang mengalami  kesulitan,” kataku, kaget oleh kenyataan sifat asli Miss Norton.
Sosok Holmes yang tinggi kurus membayangi Miss Norton saat ia menatap tepat  ke  mata wanita itu.
“Apa yang akan Anda katakan, nona muda?”
“Saya sangat menyesal, Mr. Holmes, sangat menyesal. Ide ini tampak amat menggairahkan, tapi saya tidak benar-benar bermaksud mencurinya.”
“Oh, tentu saja tidak, tidak, tidak,” kata Holmes  sinis, “Tentu saja tidak. Maksud Anda saya mencurinya untuk Anda! Miss Norton, saya yakin Anda tahu bahwa ibu Anda pernah mengerjai saya, dan Anda mengira dapat melakukan hal yang sama. Saya harus menyerahkan Anda pada polisi.”
“Tolong jangan, Mr. Holmes, Anda tak bisa melakukan itu.”
“Jelas  bisa!”  teriak Holmes  marah,  “tapi saya tidak akan melakukannya, karena dua  alasan: Pertama, Anda masih muda dan mudah menerima pengaruh dan kejadian ini mungkin   dapat mengajarkan sesuatu. Dan, di sisi lain, saya . . . yah, amat mengagumi ibu Anda. Tapi saya peringatkan, Miss Norton, Anda lolos dari lubang jarum— lubang yang sangat sempit!”
Miss Norton seputih kertas. Dengan tegang ia bangkit dari kursi yang didudukinya, menarik keluar sebuah saputangan dari lengan bajunya, dan menekannya ke pipi. Ia mengambil nafas  dalam-dalam dan memandang Holmes dengan sedikit air mata di matanya.
“Mr. Holmes, sebelum saya pergi, saya ingin minta tolong satu hal.”
“Oh, ya, apa itu?”
“Bolehkah saya menyimpan kotak berornamen halus  ini dengan catatan Anda  di dalamnya? Benda ini akan mengingatkan saya sepanjang hidup saya bagaimana kita bertemu.”
Holmes menengok ke arahku, tersenyum. “Yah, bagaimana menurutmu, Watson?”
“Itu bukan kotakmu yang bisa kauberikan, Holmes.”
“Betul,  teman lama, memang betul. Tapi aku tidak bisa melihat bagaimana kita dapat mengembalikannya sekarang tanpa menampakkan peran kita dalam percobaan perampokan   itu. Bagaimanapun, aku tidak suka Mr. Litton-Stanley.  Kurasa kita bisa  menurutkan kata  hati dalam pencurian kecil tak berarti ini tanpa merasa terlalu  bersalah. Baiklah,  Miss Norton,  Anda boleh menyimpan kotak ini.”
“Saya akan selalu menyimpannya. Terima kasih. Selamat tinggal, Dr. Watson. Jangan berpikiran terlalu buruk terhadap saya. Selamat malam, Mr. Holmes.”
Sebelum aku menyadarinya, Miss Norton sudah pergi, meninggalkan Holmes dan aku mengenang kejadian hari itu. Aku yakin Holmes amat terpengaruh oleh wanita  muda  ini,  karena, sebagai putri dari Wanita Itu, Miss Norton telah membawa kembali banyak pikiran dan emosi temanku yang selamanya  akan tetap menjadi miliknya, dan hanya miliknya sendiri, dalam saat hening setelah kepergiannya ini.  
Holmes berputar perlahan-lahan mendudukkan diri dengan nyaman di kursi favoritnya,  menyalakan  pipanya, kemudian  menyandarkan  kepalanya, matanya  tertutup,  tenggelam dalam pikirannya. Aku duduk di hadapannya, juga tenggelam dalam pikiranku, tapi aku ingin menanyakan beberapa pertanyaan padanya  tentang kejadian-kejadian yang baru terjadi ini. Kutunggu beberapa saat lagi, kemudian kupotong lamunannya.
“Holmes, maafkan aku karena mengganggu lamunanmu, tapi kurasa kau luar biasa lunak terhadap gadis itu. Apakah menurutmu ibunya menyuruhnya melakukan semua itu?”
“Kemungkinan itu terpikir olehku,” katanya, membuka matanya. “Namun aku punya perasaan bahwa—”
Kata-kata Holmes terpotong oleh ketukan di pintu depan.
“Masuk!” teriaknya terganggu. “Pintunya terbuka!”
“Apakah kau menunggu seseorang, Holmes?”
“Tidak.”
Tak mungkin salah mengenali orang yang berada di depan pintu. Ia adalah Litton- Stanley.
“Selamat sore, sir,” kata Holmes, “Ini kehormatan yang tak terduga.”
“Sherlock Holmes,” gertaknya, “kita belum menjadi teman baik, aku tahu itu, tapi sekarang kau harus membantuku. Aku berada dalam masalah serius!”
“Oh, benarkah? Silakan duduk. Kenalkan ini temanku, Dr. Watson. Dan sekarang apa masalahmu?”
“Saya telah di rampok, Holmes!”
“Dirampok?” kata Holmes pura-pura terkejut. “Apa yang dicuri?”
“Yah, hartaku yang paling berharga, Zamrud Kitmanjar dikeluarkan dari kotaknya, dan kemudian dikembalikan secara misterius, sendirian, di mejaku setelah itu. Tapi sebuah Cellini yang tak ternilai hilang.”
“Apakah kau punya dugaan siapa perampoknya?”
“Ada segerombolan perampok, aku yakin itu! Sepasang menyamar  sebagai pendeta dan dokter datang ke rumah dengan alasan mengumpulkan dana untuk beberapa rumah sakit. Mereka membiusku dengan klorofom.”
“Oh, oh, betapa tak menyenangkannya bagi Anda,” kata Holmes sedih.
“Ketika aku sadar, kutemukan kepala pelayanku. Deevers, berbaring di sebelahku dalam kolam darah. Pria pemberani itu pasti telah melawan pencuri-pencuri itu, tapi mereka berhasil melarikan diri. Ia sekarang di rumah sakit. Holmes, kau harus membantuku.”
“Zamrud Kitmanjar itu dikembalikan, katamu, tapi sebuah Cellini hilang!”
“Ya, barang itu adalah kotak berornamen halus yang indah, yang kusimpan dengan zamrud itu.”
“Sebuah kotak berornamen halus!” seru Holmes, tiba-tiba berdiri dengan amat terkejut.
“Ya, kotak itu adalah Cellini asli. Harganya beberapa ribu pound. Holmes, kau harus
membantuku menyelesaikan masalah ini!”
Holmes duduk, tertawa lirih. “Aku minta maaf, Mr. Litton-Stanley, tapi aku khawatir  aku tak bisa membantumu. Aku sudah pensiun. Ya, dan aku ingin tetap pensiun. Selamat malam, sir.”
“Tapi Mr. Holmes, aku akan membayarmu berapa pun yang kauminta!”
“Keputusanku sudah final, sir.” Holmes berkeras, kembali menghisap pipanya. “Selamat malam.”
“Aku seharusnya tahu aku tak akan mendapat bantuan dar imu,” katanya dengan nada mengejek, kemudian, memutar badannya yang besar keluar, membanting pintu di belakangnya. Kupandang Holmes yang duduk sambil tertawa, kepalanya mengadah dengan riang.
“Holmes, ia mengerjaimu lagi!”
“Ya, setan kecil itu! Ia sudah lama tahu kotak itu sebuah Cellini!”
“Persetan kau, Holmes, kau tak sedikit pun tampak marah padanya!”
“Aku tahu aku seharusnya marah, tapi tidak, Watson. Sungguh keberanian yang hebat! Anak itu punya saraf yang benar-benar menakjubkan.”
“Holmes, kau harus mengambil kotak itu darinya!”
“Dan akan kulakukan, Watson. Atau lebih tepatnya, aku akan membujuk Deevers agar melakukannya untukku, dengan imbalan kita tetap tutup mulut.”
“Tapi,” tanyaku benar-benar bingung, “bagaimana Deevers bisa mengembalikannya untukmu?”
“Ingat, Deevers berpacaran dengan pelayan Miss Norton. Aku yakin bila ia menjelaskan posisinya yang sulit, ia dapat membujuk pelayan itu mencuri kotak itu dari nonanya sehingga Deevers dapat mengembalikan kotak itu ke pemiliknya yang sah.”
“Cerdik. Aku tak akan pernah memikirkan itu,” tambahku, sekarang kembali santai di kursiku. “Ya Tuhan, Holmes, Miss Norton, bila kau pikirkan lagi, memang jatuh tak jauh dari pohonnya.”
“Memang, Watson. Dan itu membuatku ingin tahu . . .” katanya, suaranya menghilang ke dalam pikirannya.
“Tentang apa?”
“Aku ingin tahu, temanku yang baik, berapa lama aku dapat tetap pensiun. Dengan musuh yang begitu berharga yang sedang beraksi, ini suatu tantangan. Kuberi tahu kau, Watson, ini tantangan yang sangat menggoda!”
“Kau benar,  Holmes,” kataku, semangatku timbul oleh pikiran kembalinya Holmes pada prakteknya, “dan aku punya beberapa kata yang ingin kukatakan padamu dengan kalimat yang sama!”
Holmes bangkit, melirik jam sakunya. “Ayo, Watson. Sekarang waktu  makan malam.   Mari makan dan kau bisa memberitahuku tentang kehidupanmu dan bagaimana keadaan London.”
Bukan saja makan malam yang dihidangkan oleh pelayan pria Holmes adalah yang paling lezat yang pernah kunikmati, tapi dua minggu itu begitu memperbaharui diriku sehingga aku berada dalam keadaan batin yang lebih damai daripada yang kualami selama bertahun-tahun. Aku telah, dalam waktu istirahat dua minggu itu, mengenal Holmes dalam  cara yang lebih menyeluruh, memahami kebutuhannya untuk berpisah dari sifat kompleks sesama manusia, memalingkan diri pada lingkungan alami lembah Sussex, dan efek menenangkan lingkungan ini pada teman saya yang paling brilian dan mudah berubah suasana hati ini.
Bagiku sendiri, efek menyehatkan ini begitu kuat hingga memberi energi baru padaku, membuat aku bisa menghadapi kehilangan-kehilanganku yang menyedihkan, dan memacuku dalam gairah baru untuk mengumpulkan kembali catatan-catatan dan kisah-kisahku yang tak terselesaikan, sehingga aku dapat sekali lagi menceritakan petualangan menakjubkan detektif  konsultan paling terkenal, Sherlock Holmes.



-=THE END=-

0 comments:

Post a Comment