BAB SATU
Perhatian
masyarakat pada sebuah kasus yang dikenal sebagai Kasus Styles sekarang telah
agak berkurang. Namun demikian, Poirot dan keluarga itu sendiri mendorong saya
untuk menuliskan apa yang sebenarnya terjadi dengan harapan agar isu-isu yang
sensasional segera reda. Saya akan memulainya dengan menceritakan situasi yang
melibatkan saya dengan kejadian tersebut.
Waktu itu saya
dikirim pulang dari medan perang sebagai seorang invalid. Setelah mendekam
beberapa bulan di rumah sakit, saya mendapat cuti sakit sebulan. Saya belum
tahu apa yang akan saya lakukan selama cuti itu, karena saya tidak punya keluarga
dan sanak saudara yang dekat.
Pada saat
itulah saya bertemu dengan John Cavendish. Sudah lama kami tidak bertemu, terutama
dalam tahun-tahun terakhir ini. Dan sesungguhnya, kami memang tidak terlalu
akrab. Dia lima belas tahun lebih tua dari saya, walaupun wajahnya tidak menunjukkan
usia yang sebenarnya yaitu empat puluh lima.
Waktu masih
kecil, saya sering bermain ke Styles, rumah ibunya di Essex. Kami bernostalgia
dan membicarakan masa yang telah silam. Dan percakapan kami berakhir dengan
undangannya agar saya melewatkan cuti saya di Styles.
"Ibu akan
senang bertemu denganmu lagi—" tambahnya.
"Ibumu
sehat-sehat saja?" tanya saya. "Oh, ya. Kau sudah tahu kan bahwa dia
menikah lagi?" Saya kira wajah saya terlalu menunjukkan rasa heran.
Nyonya
Cavendish, yang menikah dengan ayah John, duda beranak dua itu, adalah seorang
wanita setengah baya yang cantik. Pasti umurnya sudah tujuh-puluhan sekarang.
Saya masih mengingatnya sebagai seorang wanita yang cerdik dan otokratik,
senang berkecimpung dalam kegiatan-kegiatan sosial dan mengadakan bazar. Dia
sangat dermawan, dan kebetulan memang orang yang berkecukupan.
Rumah pedesaan
mereka, Styles Court, dibeli oleh Tuan Cavendish pada awal perkawinan mereka.
Nyonya Cavendish memang lebih dominan dalam keluarga itu sehingga ketika
suaminya meninggal, dialah yang mewarisi rumah dan sebagian besar
penghasilannya, suatu pembagian warisan yang kurang adil bagi kedua anak lelaki
itu. Namun demikian, ibu tiri mereka adalah wanita yang murah hati dan keduanya
telah menganggapnya sebagai ibu mereka sendiri.
Lawrence, anak
yang lebih muda, tidak terlalu sehat pada masa remajanya. Berhasil meraih gelar
dokter, tapi tidak terlalu menyukai profesinya dan melepasnya begitu saja. Dia
tetap tinggal di rumah sambil mengejar ambisinya yang lain di bidang sastra, walaupun
hasilnya tidak kelihatan.
John pernah
berpraktek sebagai pengacara, tetapi kemudian puas dengan kehidupan tenang
sebagai petani di desa. Dia menikah dua tahun yang lalu dan membawa istrinya ke
Styles, meskipun tentu saja akan lebih enak baginya bila bisa memiliki sebuah rumah
sendiri—seandainya ibu tirinya mau memberi tambahan uang saku untuknya.
Nyonya
Cavendish adalah orang yang senang membuat rencana sendiri dan menginginkan
agar orang lain mau mengikutinya. Dalam hal ini dia memang punya senjata yang
ampuh, yaitu dompetnya.
John melihat
keheranan saya ketika mendengar bahwa ibu tirinya menikah lagi. Dia hanya
tersenyum kecut.
"Dengan
seorang parasit lagi!" katanya sebal. "Membuat kita semua serba
sulit. Sedangkan Evie—kau ingat Evie?"
"Tidak."
"Barangkali
dia datang setelah kau lama tidak ke rumah. Dia adalah pembantu Ibu, teman Ibu
ke mana-mana! Menyenangkan memang si Evie itu walaupun tidak cantik dan muda
lagi."
"Kau tadi
akan mengatakan—?"
"Oh, si
parasit itu! Tiba-tiba saja muncul mengaku sebagai saudara sepupu Evie, walaupun
Evie sendiri tidak begitu senang dengan hubungan itu. Dia adalah orang luar.
Berjenggot hitam lebat dan memakai sepatu bot kulit berwarna hitam, dalam cuaca
apa pun. Tapi Ibu sangat senang, begitu melihatnya langsung diangkatlah jadi
sekretarisnya kau kan tahu bahwa Ibu selalu sibuk dengan kegiatan-kegiatan sosialnya?"
Saya
mengangguk.
"Dengan
perang ini, kegiatan itu semakin menjadi-jadi. Dan si parasit memang sangat
membantu Ibu. Tapi kami benar-benar terkejut ketika 3 bulan yang
lalu Ibu mengumumkan bahwa dia dan Alfred bertunangan! Setidak-tidaknya Alfred
20 tahun lebih muda darinya! Benar-benar tak tahu malu. Tapi yah—Ibu bebas
menentukan keinginannya, dan akhirnya dia menikah."
"Pasti
bagi kalian semua keadaannya jadi sulit."
"Sulit?
Menyebalkan"
Begitulah dan
tiga hari kemudian saya turun dari kereta api di Stasiun Styles St. Mary. Sebuah
stasiun kecil yang kelihatan aneh karena terletak di kehijauan padang rumput di
tengah persimpangan jalan-jalan desa. John Cavendish menunggu saya di stasiun dengan
mobilnya.
"Masih ada
setetes dua tetes bensin," Ikatanva. "Akibat kegiatan Ibu."
Desa Styles St.
Mary terletak dua mil dari stasiun, dan Stvles Court terletak saru mil dari
stasiun di arah yang berlawanan dengan desa itu. Udara bulan Juli terasa panas.
Kalau melihat dataran Essex yang terbentang hijau dan tenang di bawah sinar matahari
sore, sulit membayangkan bahwa rak jauh darinya pernah terjadi pertempuran
dahsyat. Saya merasa diseret ke suatu dunia lain.
Ketika berbelok
masuk ke gerbang, John berkata, "Kau mungkin akan kesepian di sini,
Hastings."
"Oh,
memang menyenangkan kalau kita ingin bersantai. Aku latihan dengan sukarelawan
– sukarelawan dua kali seminggu, dan sisanya bekerja di ladang. Istriku juga
bekerja 'di ladang'. Dia bangun jam lima pagi, memerah susu dan mengurus sapi –
sapi sampai tiba waktu makan siang. Sebenarnya kami senang dengan kehidupan seperti
ini seandainya si parasit Alfred tidak muncul!"
Tiba-tiba dia menghentikan
mobil dan melihat jam. "Barangkali kita bisa menjemput Cynthia dulu. Ah,
tidak perlu, pasti dia sudah berangkat dari rumah sakit,"
"Cynthia!
Bukan istrimu?"
"Bukan.
Cynthia adalah anak asuh Ibu, anak teman sekolahnya yang menikah dengan seorang
pengacara brengsek. Dia bangkrut dan gadis itu menjadi yatim - piatu tanpa uang
sepeser pun. Ibu menolongnya dan dia tinggal bersama kami sejak dua tahun yang
lalu. Dia bekerja di Rumah Sakit Red Cross di Tadmtnstcr, tujuh mil dari
sini."
Kami sampai di
depan sebuah rumah kuno yang bagus. Seorang wanita bergaun wol kedodoran yang
sedang membungkuk di atas sepetak bunga menegakkan tubuhnya ketika mendengar
kedatangan kami.
"Halo,
Evie. Ini dia pahlawan kita yang terluka! Tuan Hastings—ini Nona Howard." Howard malam ini saya dengan genggaman kuat
yang hampir menyakitkan.
Matanya yang
sangat biru menghiasi wajah yang bamak tersengat matahari. Dia adalah seorang
wanita berumur empat puluhan, kelihatan menyenangkan, bertubuh besar dan
bersuara berat. Kakinya yang juga besar, terbungkus sepatu tot tebal. Cara bicaranya
singkat-singkat, seperti orang mengirim telegram.
"Halang
ini tumbuh cepat. Seperti api. Bisa-bisa menutup rumah. Harus dibabat. Sebaiknya
hati-hati."
"Saya akan
senang bila bisa membantu," kata saya menanggapi.
"Jangan
berkata begitu. Sulit memenuhinya. Nanti menyesal."
"Kau
sinis, Evie," kata John sambil tertawa. "Kita minum teh di mana—di
luar atau di dalam?"
"Di luar.
Udara terlalu indah, sayang kalau kita mendekam di dalam rumah."
"Ayolah
kalau begitu. Sudah cukup lama kau kerja di kebun hari ini. Kita minum teh
dulu."
"Baiklah,"
kata Nona Howard sambil melepaskan sarung tangannya. "Aku setuju."
Dia berjalan di
depan kami, mengitari samping rumah dan menuju tempat teh dihidangkan di bawah
pohon sycamore.
Seseorang
berdiri dari sebuah kursi rotan, menyambut kami.
"Istriku,
Hastings," kata John.
Saya tak akan
melupakan pertemuan saya dengan Mary Cavendish. Tubuhnya yang langsing berdiri
tegak dalam cahaya matahari sore di belakangnya. Matanya yang indah bercahaya
berwarna coklat—mata yang mempesona, lain dengan mata wanita – wanita yang pernah kukenal. Kekuatan yang tersimpan
dalam ketenangan sikapnya dan semangat yang liar menyala-nyala terbungkus dalam
keanggunan penampilannya, semua ini terpateri dalam ingatanku. Saya takkan
dapat melupakannya.
Dia menyapa
saya dengan ramah dan menyenangkan. Suaranya rendah dan jernih. Saya
menjatuhkan diri di kursi rotan dan merasa senang telah menerima undangan John.
Nyonya Cavendish memberikan secangkir teh sambil mengucapkan beberapa kalimat
yang menyenangkan dan membuat saya semakin terkesan. Seorang pendengar yang
simpatik membuat kita bersemangat untuk berbicara lebih banyak. Dan dengan
bergurau saya pun menceritakan beberapa insiden yang terjadi di rumah sakit,
yang kelihatannya menyenangkan nyonya rumah. Walaupun John seorang yang baik,
tapi dia bukanlah seorang teman bicara yang mengasyikkan.
Pada saat itu
sebuah suara yang saya kenal terdengar dari jendela besar yang terbuka
lebar."Kalau begitu kau akan menulis pada Tuan Putri setelah minum teh,
Alfred? Aku akan menulis pada Lady Tadminster untuk hari kedua. Atau kita
tunggu dulu jawaban Tuan Putri?
Seandainya ditolak, Lady Tadminster bisa membukanya pada hari
pertama dan Nyonya Crosbiehari kedua. Lalu Duchess—untuk pesta sekolah
itu."
Kemudian terdengar
gumam seorang lelaki. Lalu terdengar suara Nyonya Inglethorp yang nyaring. "Ya,
baik. Setelah minum teh saja. Kau memang penuh perhatian, Alfred sayang."
Pintu lebar itu
terbuka sedikit dan seorang wanita berambut putih dan masih kelihatan cantik
keluar. Seorang laki-laki yang memberikan kesan penurut mengikuti di belakangnya.
Nyonya
Inglethorp menyapa saya dengan sangat ramah. ''Ah, senang sekali bertemu dengan
Anda lagi, Tuan Hastings. Sudah bertahun-tahun rasanya kita tidak berjumpa.
Alfred sayang, kenalkan, ini Tuan Hastings—suami saya."
Saya memandang
Alfred dengan rasa ingin tahu. Dia memang kelihatan agak aneh. Saya tidak heran
kalau John benci pada jenggotnya. Jenggot itu sangat panjang dan sangat hitam.
Dia memakai kaca mata bulat berbingkai emas. Wajahnya kelihatan kosong tanpa
perasaan, dan memberikan kesan bahwa dia akan lebih hidup di atas panggung
daripada dalam kehidupan yang sebenarnya. Suaranya agak berat dan kedengaran
dibuat-buat.
Dia mengulurkan
tangan dengan kaku sambil berkata, "Senang berjumpa dengan Anda, Tuan Hastings."
Kemudian berpaling pada istrinya dan berkata, "Emily sayang, aku rasa
bantal itu agak lembab."
Wanita itu
kelihatan semakin cerah ketika suaminya mendemonstrasikan perhatiannya dengan
mengganti bantal itu dengan sebuah bantal yang lain. Pesona aneh macam apa yang
telah memikat wanita yang sebenarnya cerdas ini. Dengan kehadiran Nyonya Inglethorp,
saya merasakan suatu ketegangan yanng terselubung sopan – santun menyelimuti
kami. Terutama di pihak Nona Howard. Dia sama sekali tidak berusaha
menyembunyikan perasaannya. Tetapi Nyonya Inglethorp seolah-olah tidak merasakan
apa-apa. Bicaranya yang ramah tetap tidak berubah dan ceritanya berkisar pada
penyelenggaraan bazar yang akan datang, yang sedang ditanganinya. Kadang – kadang
dia menanyakan tanggal atau hari pada suaminya. Sikap suaminya yang penuh
perhatian pun tidak berubah. Dari pertama kali saya memperoleh kesan yang kurang
menyenangkan atas diri laki-laki itu dan biasanya penilaian saya banyak benarnya.
Nyonya
Inglethorp memberikan beberapa instruksi tentang surat-surat pada Evelyn Howard,
sedangkan suaminya dengan susah-payah mengajak saya bicara,"Apa profesi
Anda memang seorang militer, Tuan Hastings?"
"Tidak.
Sebelum perang saya bekerja di Lloyds."
"Dan
setelah perang selesai nanti, Anda akan kembali ke sana?"
"Barangkali.
Atau memulai sesuatu yang baru."
Mary Cavendish
membungkukkan badannya.
"Profesi
apa yang Anda inginkan seandainya Anda bisa memilih?"
"Wah,
tergantung."
"Tak ada
hobi rahasia?" tanyanya. "Barangkali Anda menyukai sesuatu? Biasanya setiap
orang punya kegemaran tertentu—yang aneh-aneh."
"Anda
pasti akan menertawakan saya."
Dia tersenvum. "Barangkali."
"Sebenarnya
saya ingin menjadi seorang detektif!"
"Scotland
Yard? Atau Sherlock Holmes?"
"Oh, tentu
saja Sherlock Holmes. Tapi saya benar-benar tertarik. Saya pernah bertemu
dengan seorang detektif terkenal di Belgia. Dia membakar semangat saya. Dia
adalah seorang laki-laki kecil yang luar biasa. Dia selalu berkata bahwa
pekerjaan detektif yang baik sebenarnya hanya soal metode. Sistem yang saya
lakukan berdasarkan sistem dia—walaupun tentu saja saya mengalami banyak
kemajuan. Dia adalah seorang laki – laki yang lucu. Cara berpakaiannya agak
luar biasa, tapi otaknva bukan main."
"Saya suka
cerita detektif," kata Nona Howard. "Tapi banyak juga yang asal
ditulis saja. Pelakunya ditemukan dalam bab terakhir. Pembaca dibuat merasa
tolol. Padahal kalau benar-benar terjadi suatu tindak kriminal—kita bisa
merasakannya."
"Tapi
banyak juga kejahatan yang tak terbongkar," bantah saya.
"Maksud
saya bukan polisi, tetapi orang-orang yang terlibat. Keluarganya. Tidak bisa ditipu
begitu saja. Pasti ketahuan."
"Kalau
begitu," sahut saya bersemangat, "seandainya Anda berhadapan langsung
dengan suatu tindak kejahatan, misalnya suatu pembunuhan, Anda akan tahu siapa pembunuhnya?"
"Tentu
saja. Mungkin saya tidak bisa membuktikannya di depan pengadilan. Tapi saya
yakin bahwa saya akan tahu. Pasti terasa diujung jari saya kalau laki-laki itu mendekati
saya."
"Mungkin
juga dia seorang wanita," kata saya.
"Mungkin.
Tapi pembunuhan adalah suatu tindak kriminal yang keras. Lebih wajar dihubungkan
dengan seorang laki-laki."
"Tidak
dalam hal peracunan," kata Mary Cavendish dengan suara yang nyaring dan mengagetkan
saya. "Kemarin Dokter Bauerstein mengatakan, karena banyaknya dokter-dokter
yang tidak kenal dengan racun yang aneh-aneh, maka banyak pula kasus-kasus
peracunan yang tidak dicurigai."
"Ah, Mary,
pembicaraan yang kurang menyenangkan!" seru Nyonya Inglethorp.
"Aku
merasa seolah-olah ada seekor angsa berjalan di atas kuburku. Oh, itu Cynthia datang!"
Seorang gadis
muda dalam pakaian seragam berlari-lari melintasi kebun.
"Kau
terlambat hari ini, Cynthia. Kenalkan, ini Tuan Hastings—Nona Murdock."
Cynthia Murdock
adalah seorang gadis muda yang segar dan penuh semangat. Dia membuka topi
seragamnya dan saya kagum melihat rambut pirangnya yang lebat berombak, serta
tangan mungil yang putih terulur mengambil teh. Seandainya mata dan bulu
matanya 'berwarna gelap, pasti dia akan kelihatan cantik.
Dia menjatuhkan
diri di rumput di samping John, dan tersenyum pada saya ketika saya menawarkan
sepiring sandwich.
"Duduklah
di sini, di rumput. Enak dan menyenangkan."
Saya hanya
menurut. "Anda bekerja di Tadminster, bukan, Nona Murdock?"
Dia mengangguk,
"Karena saya telah berdosa."
"Mereka
menghukum Anda, kalau begitu?", tanya saya tersenyum geli.
"Mana
berani!" kata Cynthia sombong.
"Saya punya
saudara sepupu. Dia perawat," kata saya. "Dan dia takut setengah mati
pada 'suster'."
"Tidak
heran. Suster-suster itu memang menakutkan, Tuan Hastings. Mereka benar-benar
membuat orang ketakutan! Tapi saya bukan perawat. Saya bekerja di bagian
obat-obataan".
"Berapa
orang yang sudah Anda racuni?" tanya saya tersenyum.
Cynthia ikut
tersenyum, "Oh, beratus-ratus!" jawabnya.
"Cynthia,"
kata Nyonya Inglethorp. "Kau bisa membantu menulis beberapa catatan
untukku?"
"Tentu,
Bibi Emily."
Dia meloncat
dengan cepat. Sikapnya menunjukkan bahwa kedudukannya sangat tergantung pada
Nyonya Inglethorp. Dan walaupun Nyonya Inglethorp seorang yang baik hati, dia
tidak ingin Cynthia melupakan hal itu.
Nyonya rumah
berkata pada saya. "John akan menunjukkan kamar Anda. Makan malam akan di
mulai jam tujuh tiga puluh nanti. Kami tidak lagi makan terlalu malam sekarang.
Lady Tadminster, salah seorang istri anggota kami—putri almarhum Lord
Abbotsbury—juga melakukan hal yang sama. Dia setuju dengan pendapat saya bahwa
kami harus memberikan contoh bagaimana bersikap ekonomis. Kita sedang hidup di
zaman perang sekarang dan tidak, seharusnya membuang-buang yang masih bisa
disimpan. Bahkan selembar kertas bekas pun kami simpan."
Saya memberikan
penghargaan atas sikap tersebut, dan John membawa saya masuk ke dalam rumah,
menaiki tangga lebar yang bercabang ke kiri dan ke kanan. Kamar saya ada di
sayap kiri, menghadap taman. John meninggalkan saya dan beberapa menit
kemudian. Dari jendela saya melihatnya sedang berjalan-jalan berpegangan tangan
dengan Cynthia Murdock di halaman berumput. Saya mendengar suara Nyonya
Inglethorp memanggil Cynthia dengan tidak sabar, dan gadis itu berlari kembali
masuk rumah.
Pada saat yang
sama, saya melihat seorang laki-laki keluar dari bayang-bayang pohon dan
berjalan ke arah yang sama. Usianya sekitar empat puluhan. Wajahnya tercukur
bersih tetapi kelihatan melankolis dan menyimpan emosi yang terpendam. Dia
memandang ke arah jendela kamar saya dan saya bisa mengenali wajahnya, walaupun
telah berubah banyak dalam waktu lima belas tahun sejak saya terakhir kali
melihatnya. Dia adalah Lawrence
Cavendish, adik John. Saya tak tahu apa yang tersembunyi di balik
wajah yang menyimpan emosi itu. Akhirnya saya mengalihkan pikiran ke diri saya
sendiri. Sisa hari itu terlewatkan dengan menyenangkan. Malam itu saya
memimpikan Mary Cavendish, wanita yang penuh teka-teki itu.
Pagi harinya
cuaca sangat bagus. Matahari bersinar cerah dan saya berharap akan bisa
menikmati hari itu. Saya tidak melihat Nyonya Cavendish sampai saat
makan siang. Sehabis makan siang dia mengajak saya berjalan-jalan dan kami
menyusuri hutan sampai jam lima
sore.
Ketika kami
masuk, John menyuruh kami menuju ruang keluarga. Saya melihat dari wajahnya
bahwa ada sesuatu yang tidak menyenangkan. Kami mengikutinya dan dia menutup
pintu.
"Mary, ada
yang tidak beres. Evie baru saja bertengkar dengan Alfred Inglethorp dan
dia minta keluar."
"Evie?
Keluar?"
John mengangguk
dengan muka suram. "Ya. Dia telah bicara dengan Ibu dan—oh, ini dia."
Nona Howard
masuk. Kedua bibirnya terkatup rapat. Tangannya menenteng sebuah
kopor kecil. Dia kelihatan marah tetapi bersikap tegas.
"Pokoknya
aku telah mengeluarkan isi hatiku!" katanya.
"Evie. Apa
kau serius?" tanya Mary Cavendish.
Nona Howard
mengangguk pasti.
"Benar!
Mungkin aku telah mengeluarkan kata-kata yang tak bisa dilupakan atau dimaafkan
Emily. Tak apa. Mungkin juga tak akan masuk hatinya. Aku berkata, 'Emily,
engkau adalah seorang wanita tua. Dan tak ada orang tolol seperti orang yang tolol.
Laki-laki itu 20 tahun lebih muda daripadamu, jangan kau membutakan diri terhadap
motivasinya menikahimu. Uang! Jangan kaubiarkan dia mendapat terlalu banyak.
Tuan Raikes punya seorang istri yang sangat cantik dan masih muda. Tanyakan
pada Alfredmu, telah berapa kali dia mengunjungi wanita itu.' Dia sangat marah.
Maklum! Aku tambahkan lagi, 'Aku ingin mengingatkanmu, tak peduli kau senang
atau tidak. Laki-laki itu akan segera membunuhmu di tempat tidur. Dia bukan orang
yang bisa dipercaya. Kau boleh mengataiku apa saja, tapi ingatlah apa yang kukatakan
padamu. Dia tak bisa dipercaya!'"
"Apa yang
dikatakannya?"
Nona Howard
hanya nyengir.
" 'Alfred
sayang'—'Alfred kekasihku—tu¬duhantuduhan jahat'—'omong kosong'—untuk menuduh
'suami tercinta'nya. Lebih cepat aku pergi, lebih baik. Jadi aku pergi
saja."
"Tapi
tidak sekarang, kan?"
"Detik ini
juga!"
Sesaat kami
terhenyak memandangnya. Akhirnya, karena John Cavendish merasa tak berhasil
menahannya, dia pergi untuk mencek jadwal kereta api. Istrinya mengikuti sambil
bergumam bahwa dia akan membujuk Nyonya Inglethorp untuk mempertimbangkan
keputusannya kembali. Ketika Mary keluar, wajah Nona Howard berubah. Dia membungkuk
mendekatkan mukanya pada saya.
"Tuan
Hastings, Anda seorang yang jujur. Bisakah saya mempercayai Anda?"
Saya agak
terkejut. Dia meletakkan tangannya di lengan saya dan berbisik pelan.
"Jagalah
dia, Tuan Hastings. Emily yang malang. Mereka semua adalah hiu-hiu yang ganas—semuanya.
Saya tahu apa yang saya katakan. Tak seorang pun di antara mereka yang tidak
punya kesulitan keuangan dan saya telah berusaha sebisa-bisa saya untuk
melindungi Emily. Sekarang saya akan pergi dan dia harus menghadapi mereka."
"Tentu,
Nona Howard," kata saya. "Saya akan berusaha. Tapi saya yakin bahwa
Anda
telah bersikap emosional dan terlalu tegang."
Dia menyela
saya dengan menggoyangkan telunjuknya. "Percayalah, Anak muda. Saya telah
hidup di dunia ini lebih lama dari Anda. Yang saya inginkan adalah agar Anda
membuka mata lebar-lebar. Anda akan mengerti apa yang saya katakan."
Deru mobil
terdengar dari jendela yang terbuka dan Nona Howard berdiri menuju pintu. Di
luar terdengar suara John. Dengan tangan memegang handel pintu, Nona Howard
memalingkan kepalanya sambil berkata, "Terutama sekali perhatikan setan
itu— suaminya."
Tak ada waktu
lagi untuk bicara. Nona Howard sibuk dengan ucapan selamat jalan dan
protes-protes mereka. Suami-istri Inglethorp tidak kelihatan. Ketika mobil itu
berangkat, Nyonya Cavendish memisahkan diri dan berjalan ke halaman menemui
seorang laki-laki berjenggot lebat yang kelihatanya akan masuk ke dalam rumah.
Pipi wanita itu memerah ketika dia mengulurkan tangan menyalami tamunya.
"Siapa
itu?" tanya saya tajam, karena saya langsung merasa tidak suka pada orang
itu.
"Dokter
Bauerstein," jawab John singkat.
"Siapa
dia?"
"Dia
tinggal di desa ini untuk beristirahat setelah sakit saraf yang berat. Seorang spesialis
dari London, sangat pandai—ahli racun."
"Dan dia
teman baik Mary," sela Cynthia.
John Cavendish
cemberut lalu mengalihkan percakapan. "Ayo jalan-jalan, Hastings. Kejadian
tadi benar-benar menyebalkan. Lidah Evelyn memang tajam, tapi tak ada kawan
yang lebih setia darinya."
Kami berjalan menyeberangi
kebun dan akhirnya sampai di desa melalui hutan yang membatasi satu sisi tanah
milik Syles Court. Ketika kami melewati salah satu gerbang pada waktu kembali
ke rumah, kami berpapasan dengan seorang wanita muda cantik bertipe gipsi yang
tersenyum pada kami.
"Cantik
gadis itu," kata saya memuji.
Wajah John
membeku.
"Itu
Nyonya Raikes."
"Oh, yang
disebut-sebut Nona Howard—"
"Benar,"
potong John cepat.
Saya
membayangkan wanita tua berambut putih yang ada di rumah, dan wajah cantik tetapi
kejam yang baru saja tersenyum kepada kami bulu kuduk saya meremang. Tapi saya
berusaha melupakannya.
"Styles benar-benar
tempat yang menyenangkan, walaupun sudah tua," kata saya pada John.
Dia mengangguk
dengan wajah yang agak muram. "Ya, tanah perkebunan yang bagus. Akan
menjadi milikku kelak—seharusnya sudah menjadi milikku seandainya Ayah membuat
surat wasiat yang benar. Dan aku tak perlu miskin seperti ini."
"Apa kau
kesulitan?"
"Terus
terang saja, sesen pun aku tak punya."
"Apa
adikmu tak bisa membantumu?"
"Lawrence?
Sama saja. Uangnya habis untuk menerbitkan buku-buku picisan itu. Ibu selalu
baik kepada kami. Sampai sekarang. Tapi tentu saja sejak dia menikah—" Dia
berhenti dengan wajah merenung.
Untuk pertama
kali saya merasakan bahwa kepergian Evelyn Howard sangat besar pengaruhnya.
Kehadirannya memang menimbulkan rasa aman. Tapi rasa aman itu sekarang tidak
ada lagi—dan suasana rasanya penuh dengan kecurigaan. Wajah Dr. Baucrstcin yang
menyebalkan itu terbayang lagi oleh saya. Suatu kecurigaan yang samar-samar
muncul dan memenuhi pikiran saya. Sekilas saya merasakan datangnya suatu
bencana.
Lanjut ke BAB DUA
0 comments:
Post a Comment