Wednesday, 7 October 2015

Agatha Christie - Lapangan Golf Maut - BAB DELAPAN BELAS

BAB DELAPAN BEAS
GIRAUD BERTINDAK


"Ngomong - ngomong, Poirot," kataku, sedang kami berjalan di sepanjang jalan putih yang panas, "aku ingin menyelesaikan sakit hatiku padamu. Aku yakin bahwa kau bermaksud baik, tapi sebenarnya, bukanlah urusanmu untuk pergi mengadakan penyelidikan di Hotel du Phare, tanpa memberi tahu aku."
Poirot mengerling padaku.
"Bagaimana kau tahu aku ke sana?" tanyanya.
Aku benci sekali, karena merasa pipiku memanas. "Sambil lalu aku kebetulan masuk untuk melihat-lihat," aku menjelaskan dengan bersikap anggun sebisa-bisanya.
Aku agak kuatir akan mendengar olok-olok Poirot, tetapi aku lega, dan agak terkejut karena dia hanya menggeleng dengan bersungguh-sungguh tetapi aneh, "Bila aku telah menusuk perasaanmu yang mudah tersinggung itu, entah dengan cara bagaimanapun, aku minta maaf. Kau akan segera maklum. Tapi percayalah, aku berusaha untuk memusatkan seluruh tenaga dan perhatianku pada perkara ini."
"Ah, tak apa-apalah," kataku, dengan perasaan lebih tenang setelah mendengar pernyataan maafnya.
"Aku tahu bahwa kau memikirkan kepentinganku. Tapi aku mampu menjaga diriku sendiri." Poirot kelihatannya akan mengatakan sesuatu lagi tapi tak jadi.
Setiba di villa, Poirot mendahuluiku berjalan ke gudang di mana mayat yang kedua ditemukan. Tetapi dia tidak masuk, melainkan berhenti di dekat bangku yang telah kusebut sebelumnya, yang terdapat beberapa meter dari gudang itu. Setelah memandanginya beberapa lama, dia berjalan dari situ ke pagar hidup yang merupakan batas antara Villa Genevieve dan Villa Marguerite. Lalu dia berjalan kembali sambil mengangguk. Kemudian dia kembali lagi ke pagar hidup itu, dan menguakkan semak-semak dengan tangannya.
"Untung-untung Nona Marthe ada di kebunnya," katanya sambil menoleh padaku. "Aku ingin berbicara dengannya, tapi aku lebih suka tak usah datang ke Villa Marguerite secara resmi. Wah, mujur sekali, itu-dia. Ssst, Nona! Ssst! Kemari sebentar."
Aku mendekatinya bersamaan dengan Marthe Daubreuil, yang datang dengan berlari-lari ke pagar itu atas panggilan Poirot. Gadis itu tampak agak terkejut. "Apakah Anda mau mengizinkan saya berbicara dengan Anda sebentar, Nona?"
"Tentu, Tuan Poirot." Meskipun dia tampak tenang, matanya kelihatan kuatir dan takut.
"Nona, ingatkah Anda waktu Anda mengejar saya di jalan, pada hari saya berkunjung ke rumah Anda bersama Hakim Pemeriksa? Anda bertanya apakah ada seseorang yang dicurigai mengenai kejahatan itu."
"Dan Anda katakan dua orang Chili."
Suaranya terdengar tersekat, dan tangan kirinya terangkat ke dadanya.
"Bisakah Anda menanyakan pertanyaan itu sekali lagi, Nona?"
"Apa maksud Anda?"
"Begini. Bila Anda menanyakan pertanyaan itu sekali lagi kepada saya, saya akan memberikan jawaban yang lain. Memang ada seseorang yang dicurigai — tapi bukan orang Chili."
"Siapa?" Pertanyaan itu diucapkannya dengan samar sekali melalui bibirnya yang hanya terbuka sedikit.
"Tuan Jack Renauld,"
"Apa?" teriaknya
"Jack? Tak mungkin. Siapa yang berani mencurigainya?"
"Giraud."
"Giraud!" Wajah gadis itu jadi pucat-pasi. "Saya takut pada orang itu. Dia kejam sekali. Dia akan — dia akan —" Gadis itu tak dapat meneruskan kata-katanya. Di wajahnya terbayang usahanya untuk mengumpulkan kekuatan dalam mengambil keputusan. Pada saat itu aku menyadari bahwa dia adalah seorang pejuang. Juga Poirot memperhatikannya dengan saksama.
"Anda tentu tahu bahwa Tuan Jack Renauld berada di sini pada malam pembunuhan itu?" tanya Poirot.
"Ya," sahutnya tanpa semangat. "Dia mengatakannya pada saya."
"Tak baik menyembunyikan kenyataan itu," Poirot meneruskan.
"Ya, ya," sahutnya dengan tak sabar. "Tapi kita tak boleh membuang-buang waktu
dengan penyesalan. Kita harus menemukan sesuatu untuk menyelamatkannya. Dia jelas tak bersalah, tapi kenyataan itu saja tak dapat menolongnya berhadapan dengan laki-laki seperti Giraud itu, yang hanya memikirkan namanya saja. Dia telah bertekad untuk menahan seseorang, dan orang itu adalah Jack."
"Tapi kenyataannya akan berlawanan dengan dia," kata Poirot. "Sadarkah Anda?"
Gadis itu memandangnya tepat-tepat, lalu digunakannya lagi kata-kata yang pernah diucapkannya di ruang tamu ibunya. "Saya bukan anak kecil, Tuan. Saya bisa berani dan menghadapi kenyataan - kenyataan. Dia tidak bersalah, dan kita harus menyelamatkannya." Dia berbicara dengan tenaganya yang terakhir, lalu diam, berpikir sambil mengerutkan alisnya.
"Nona," katanya sambil mengamatinya dengan teliti, "tak adakah sesuatu yang Anda sembunyikan, yang sebaiknya Anda ceritakan kepada kami?" Gadis itu mengangguk tanpa mengerti, "Ya, memang ada sesuatu, tapi saya tak tahu apakah. Anda akan percaya atau tidak — rasanya tak masuk akal."
"Bagaimanapun juga, ceritakan saja, Nona."
"Begini. Tuan Giraud memanggil saya, akan melihat apakah saya bisa mengenali laki-laki yang ada di dalam itu. Gadis itu menunjuk dengan kepalanya ke arah gudang itu. "Saya tak bisa mengenalinya.
Pada saat itu tak bisa. Tapi setelah itu, saya berpikir —"
"Ya?"
"Rasanya aneh sekali, namun saya yakin sekali. Sebaiknya saya katakan. Pada pagi hari menjelang Tuan Renauld dibunuh, saya berjalan-jalan di kebunini. Saya mendengar suara orang-orang laki-laki bertengkar. Saya kuakkan semak-semak dan saya mengintip. Salah seorang laki-laki itu adalah Tuan Renauld, sedang yang seorang lagi adalah seorang gelandangan, seorang makhluk mengerikan yang berpakaian compang-camping dan kotor. Orang itu sebentar berteriak-teriak dengan suara tinggi, dan sekali-sekali mengancam. Saya dengar dia meminta uang, tapi pada saat itu Maman memanggil saya dari rumah, dan saya harus pergi. Itu saja, hanya— saya hampir yakin bahwa gelandangan itu dan orang yang meninggal di dalam gudang itu, adalah orang yang sama."
Poirot menyerukan kata seru. "Tapi mengapa tidak Anda katakan hal ini pada waktu itu, Nona?"
"Karena mula-mula hanya terpikir oleh saya, bahwa wajah itu rasanya pernah saya kenal. Laki-laki itu mengenakan pakaian lain, dan kelihatannya seolah-olah berasal dari kalangan tinggi. Tapi, Tuan Poirot, tidakkah mungkin gelandangan itu yang telah menyerang dan membunuh Tuan Renauld, untuk kemudian mengambil uang dan pakaiannya?"
"Itu masuk akal, Nona," kata Poirot lembut. "Memang masih banyak yang harus diterangkan, tapi keterangan Anda itu jelas masuk akal. Akan saya pikirkan gagasan Anda itu."
Terdengar suara memanggil dari dalam rumah. "Maman" bisik Marthe. "Saya harus pergi." Dan dia pergi menyelinap melalui pohon-pohon.
"Mari," kata Poirot, sambil berbalik ke arah villa, dengan mencengkam tanganku.
"Bagaimana pendapatmu sebenarnnya?" tanyaku, penuh rasa ingin tahu. "Apakah
kisah itu benar, atau apakah gadis itu rnengarang-ngarangnya saja untuk mengalihkan tuduhan terhadap kekasihnya?"
"Memang kisah yang aneh," kata Poirot, "tapi kurasa itu memang benar. Tanpa disadarinya, Nona Marthe telah menceritakan yang sebenarnya mengenai satu hal lagi — dan secara tak sengaja pula dia telah menunjukkan kebohongan Jack Renauld. Adakah kaulihat keragu-raguan anak muda itu, ketika kutanyakan apakah dia menemui Marthe Daubreuil pada malam terjadinya pembunuhan itu ? Dia berhenti sebentar sebelum menyahut"
"Ya,  aku sudah curiga bahwa dia berbohong. Aku merasa perlu menemui Nona Marthe, sebelum dia memberi tahu gadis itu supaya berhati-hati. Empat patah kata-kata singkat, telah memberi aku informasi yang kuingini. Waktu kutanyakan apakah dia tahu bahwa Jack Renauld ada di sini malam itu, dia menjawab, 'DIA menceritakannya pada saya.' Nah, Hastings, apa yang telah dilakukan Jack Renauld di sini pada malam yang bersejarah itu dan bila dia tidak bertemu dengan Nona Marthe, siapa yang ditemuinya?"
"Bagaimanapun juga, Poirot," seruku terperanjat, "kau tak mungkin menduga bahwa anak muda seperti itu akan bisa membunuh ayahnya sendiri?"
"Mon ami" kata Poirot, "lagi-lagi kau bersikap sentimental dan tak mau percaya! Aku pernah, melihat ibu-ibu yang membunuh anak-anaknya yang masih kecil untuk mendapatkan uang asuransi! Setelah kejadian-kejadian seperti itu, orang akan bisa percaya pada apa pun juga."
"Lalu alasannya?"
"Uang tentu. Ingatlah bahwa Jack Renauld menyangka bahwa dia akan memperoleh separuh dari harta ayahnya bila ayahnya itu meninggal."
'Tapi gelandangan itu — apa peranannya?"
Poirot mengangkat bahunya.
"Giraud akan mengatakan bahwa dia berkomplot, seorang pembunuh bayaran yang membantu Renauld muda menjalankan kejahatan itu, dan yang setelah itu disingkirkan untuk menghilangkan jejaknya."
"Lalu rambut yang terlilit pada belati itu? Rambut wanita itu?"
"Oh itu," kata Poirot sambil tersenyum lebar. "Itu merupakan bumbu dalam lelucon Giraud. Menurut Dia, itu sama sekali bukan rambut seorang wanita. Ingatlah bahwa ada remaja zaman ini yang menyisir rambutnya lurus ke belakang dengan menggunakan minyak rambut atau lilin rambut supaya terletak melekat. Oleh karenanya rambut itu ada yang agak panjang."
"Dan kau percaya juga akan hal itu?"
"Tidak," kata Poirot dengan senyum yang aneh. "Karena aku yakin bahwa itu adalah rambut wanita— dan lebih khusus lagi, aku pun tahu wanita yang mana!"
"Nyonya Daubreuil," kataku dengan keyakinan.
"Mungkin," kata Poirot, sambil memandangiku dengan pandangan penuh teka - teki. Tetapi aku tak mau membiarkan diriku menjadi jengkel.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanyaku, sedang kami memasuki lorong Villa Genevieve.
"Aku akan mencari sesuatu di antara barang-barang Tuan Jack Renauld. Sebab itu kuusahakan supaya dia tak berada di tempat selama beberapa jam."
"Tapi apakah tak mungkin Giraud telah mendahului kita mencarinya?" tanyaku.
"Tentu. Dia menyiapkan suatu perkara tak ubahnya seekor berang-berang membangun tanggulnya, dengan usaha yang meletihkan. Tapi dia tidak akan mencari apa yang akan kucari besar kemungkinannya dia tidak akan melihatnya dari segi betapa pentingnya arti barang itu. Mari kita mulai."
Dengan rapi dan dengan cara kerja yang baik, Poirot membuka laci satu demi satu, memeriksa isinya, lalu mengembalikannya ke tempatnya semula. Pekerjaan itu benar-benar membosankan dan tak menarik. Poirot mencari di tengah-tengah leher-leher baju, piyama dan kaus-kaus kaki. Suatu bunyi derum di luar membuatku pergi ke jendela untuk melihat. Aku langsung terperanjat.
"Poirot!" teriakku. "Ada sebuah mobil yang baru datang. Di dalamnya ada Giraud dan Jack Renauld, dan dua orang polisi."
"Sialan" geram Poirot. "Binatang si Giraud itu, tak bisakah dia sabar sedikit? Tak akan sempat lagi aku mengembalikan barang-barang dalam laci yang terakhir ini dengan cara yang baik. Mari cepat-cepat." Dengan terburu-buru ditumpahkannya barang-barang ke lantai, kebanyakan adalah dasi dan sapu tangan. Tiba-tiba dengan suatu pekik kemenangan, Poirot menerpa sesuatu, sebuah karton bersegi empat kecil, mungkin sehelai foto. Sesudah memasukkan barang itu ke dalam sakunya, dikembalikannya barang-barang yang lain ke dalam laci tadi, sembarangan saja. Kemudian dengan mencengkeram lenganku diseretnya aku keluar dari kamar itu dan menuruni tangga. Di lorong rumah Giraud sedang berdiri sambil merenungi orang tahanannya.
"Selamat siang, Tuan Giraud," kata Poirot. "Ada apa ini?"
Giraud menganggukkan kepalanya ke arah Jack.
"Dia sedang mencoba melarikan diri, tapi saya terlalu awas mengamati langkahnya. Dia ditahan atas tuduhan membunuh ayahnya, Tuan Paul Renauld,"
Poirot berbalik untuk menghadapi anak muda yang bersandar dengan lunglai di pintu, wajahnya pucat-pasi.
"Apa yang dapat Anda katakan mengenai hal itu, Anak muda?"
Jack Renauld menatapnya seperti batu. "Tidak ada," katanya.


0 comments:

Post a Comment