Wednesday, 30 September 2015

Agatha Christie - Lapangan Golf Maut - BAB SEBELAS

BAB SEBELAS
JACK RENAULD

Lapangan Golf Maut

Aku tak dapat mengatakan bagaimana percakapan itu akan berkelanjutan, karena pada saat itu pintu terbuka lebar-lebar, dan seorang anak muda yang jangkung masuk. Sesaat aku dilanda perasaan ngeri bahwa orang yang sudah meninggal itu hidup kembali. Kemudian aku sadar bahwa rambut yang hitam itu tak ada ubannya, dan dapat dilihat dengan jelas bahwa usianya baru lebih sedikit dari seorang anak. Dia menyerbu kami tanpa basa-basi. Dia
langsung cepat-cepat mendatangi Nyonya Renauld, tanpa mempedulikan kehadiran kami yang lain.
"Ibu!"
"Jack!" Sambil berseru anak muda itu didekapnya dalam pelukannya.
"Sayangku! Mengapa kau sampai kemari? Bukankah seharusnya kau sudah berlayar dengan kapal Anzora dari Cherbourg dua hari yang lalu?"
Kemudian wanita itu tiba-tiba menyadari kehadiran kami yang lain. Dia lalu berbalik dengan anggun. "Anak saya, Tuan-tuan."
"Oh!" kata Tuan Hautet, sambil membalas anggukan anak muda itu.
"Rupanya Anda tak jadi berlayar dengan kapal Anzora?"
"Tidak, Tuan. Saya baru saja akan menerangkan, bahwa keberangkatan Anzora tertunda dua puluh empat jam karena kerusakan mesin. Saya tak jadi berangkat malam kemarinnya, dan seharusnya berangkat semalam. Lalu saya kebetulan membeli surat kabar petang, dan di dalamnya saya membaca berita tentang — musibah yang menimpa kami"
Suaranya terputus dan air matanya tergenang. "Kasihan ayahku — kasihan ayahku
yang malang."
Sambil mengamati anaknya seolah-olah dalam mimpi, Nyonya Renauld berkata lagi, "Jadi kau tak jadi berlayar?" Lalu seolah-olah tak disadarinya, dia bergumam seakan-akan pada dirinya sendiri, "Tapi sudahlah, sudah tak ada artinya lagi — sekarang."
"Silakan duduk, Tuan Renauld," kata Tuan Hautet, sambil menunjuk ke sebuah kursi. "Saya ikut berdukacita sedalam-dalamnya. Tentu Anda sangat terkejut mendapatkan berita dengan cara itu. Namun amatlah menguntungkan bahwa Anda tak jadi berlayar. Saya berharap bahwa Anda mungkin bisa memberi kami informasi yang kami butuhkan untuk
menyingkap misteri ini."
"Saya siap sedia, Bapak Hakim. Tanyakan saja apa yang ingin Anda ketahui."
"Pertama-tama, saya dengar bahwa perjalanan Anda ini Anda lakukan atas permintaan ayah Anda?"
"Memang benar, Pak Hakim. Saya menerima sepucuk telegram dari ayah saya, yang menyuruh saya melanjutkan perjalanan saya terus ke Buenos Ayres, lalu dari sana terus melalui Andes ke Valparaiso dan terus ke Santiago."
"Oh begitu. Lalu apa tujuan perjalanan itu?"
"Saya tak tahu, Pak Hakim."
"Apa?"
"Saya tak tahu. Lihatlah, ini telegramnya."
Hakim mengambil telegram itu, lalu membacanya dengan nyaring.
" 'Lanjutkan segera perjalanan ke Cherbourg naik kapal Anzora yang akan berlayar nanti malam ke Buenos Ayres. Tujuan akhir Santiago. Instruks selanjutnya akan menunggu di Buenos Ayres. Jangan sampai gagal. Persoalannya amat penting. Renauld.' Lalu tak adakah surat-menyurat terdahulu mengenai persoalan itu? "
Jack Renauld menggeleng. "Ttulah satu-satunya keterangannya. Tentu saya tahu bahwa ayah saya yang sudah begitu lama tinggal di Amerika Selatan banyak urusan di sana.
Tapi sebelum itu tak pernah dia menyuruh saya ke sana."
"Tapi Anda tentu sering kali ke Amerika Selatan, Tuan Renauld?"
"Waktu masih kecil, saya di sana. Tapi saya mendapatkan pendidikan saya di Inggris, dan menghabiskan sebagian besar dan hari-hari libur saya di Inggns pula, hingga saya benar-benar hanya tahu sedikit sekali tentang Amerika Selatan daripada yang diharapkan."
Tuan Hautet mengangguk, lalu melanjutkan tanya-jawabnya seperti yang sudah dilakukannya terdahulu. Sebagai jawaban, Jack Renauld menyatakan dengan pasti, bahwa dia sama sekali tidak tahu tentang adanya permusuhan yang telah melibatkan ayahnya di kota Santiago, atau di tempat lain di benua Amerika Selatan. Dia tidak pula melihat adanya perubahan dalam tingkah laku ayahnya akhir-akhir ini, dan tak pernah mendengarnya menyebut-nyebut suatu rahasia. Perintah perjalanannya ke Amerika Selatan dianggapnya berhubungan dengan urusan perusahaan saja.
Waktu Tuan Hautet berhenti sebentar, Giraud menyela dengan suara halus, "Saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan, Pak Hakim."
"Tentu, Tuan Giraud, silakan," kata Hakim dengan nada dingin. Giraud menyeret kursinya agak mendekati meja.
"Apakah hubungan Anda dengan ayah Anda baik-baik saja, Tuan Renauld?"
"Tentu saja," sahut anak muda itu dengan angkuh.
"Dapatkah Anda memastikan hal itu?"
"Ya."
"Tak adakah pertengkaran-pertengkaran kecil?"
Jack mengangkat bahunya. "Semua orang kadang-kadang mungkin saja ada perbedaan  pendapat,"
"Memang benar. Jadi, bila ada seseorang yang mengatakan dengan pasti bahwa Anda bertengkar hebat dengan ayah Anda pada malam menjelang keberangkatan Anda ke Paris, apakah orang itu berbohong?"
Mau tak mau aku mengakui kepandaian Giraud. Kesombongannya waktu berkata, "Saya tahu segala-galanya", bukanlah isapan jempol belaka.
Jack Renauld benar-benar tampak kacau oleh pertanyaan itu. "Ka— kami memang bertengkar," dia mengakui.
"Oh, bertengkar rupanya. Lalu dalam pertengkar an itu, apakah Anda menggunakan kata-kata, 'Kalau Ayah mati, saya bisa berbuat sesuka hati saya'?"
"Mungkin" gumam yang ditanya, "saya tak sadar."
"Menjawab kata-kata Anda itu, apakah ayah Anda berkata, 'Tapi aku belum mati!' Dan kata kata itu Anda balas pula dengan mengatakan 'Saya kepingin Ayah mati!'?"
Anak muda itu tak dapat menjawab. Tangannya mempermainkan barang-barang yang ada di atas meja dengan gugup.
"Saya minta jawaban, Tuan Renauld," kau Giraud dengan tajam. Sambil berseru dengan marah, anak muda itu melemparkan sebuah pisau pembuka surat yang berat ke lantai.
"Buat apa lagi? Anda pun sudah tahu. Ya, saya memang bertengkar dengan ayah saya. Saya pasti telah mengucapkan kata-kata itu — saya demikian marahnya, hingga saya tak uhu lagi apa yang saya katakan! Saya marah sekali — saya sampai hampir-hampir bisa membunuhnya pada saat itu — nah begitulah keadaannya, sekarang terserah!" Dia bersandar di kursinya. Mukanya merah, dan sikapnya menantang.
Giraud tersenyum. Lalu sambil mendorong kursinya agak ke belakang sedikit, dia berkau, "Sekian saja. Anda tentu ingin melanjutkan tanya-jawab Anda, Pak Hakim."
"Ya, memang benar," kau Tuan Hautet, "apa yang menjadi bahan pertengkaran Anda?"
"Saya menolak menyampaikannya."
Tuan Hautet menegakkan duduknya.
"Tuan Renauld, Anda tidak boleh mempermainkan hukum!" bentaknya.
"Apa bahan pertengkaran Anda waktu itu?"
Renauld muda tetap diam, wajahnya yang kekanak-kanakan merengut dan murung. Pada saat itu terdengar suatu suara yang dingin dan tenang yaitu suara Poirot.
"Saya akan memberi tahu Anda, kalau Anda mau, Bapak Hakim."
"Anda tahu?"
"Tentu saja tahu. Yang menjadi bahan pertengkaran itu adalah Nona Marthe Daubreuil."
Renauld melompat terperanjat. Hakim mendekatkan dirinya ke meja.
"Benarkah itu, Tuan Renauld?'
"Benar," dia mengakui.
"Saya mencintai Nona Daubreuil, dan saya ingin menikah dengannya. Waktu saya
memberitahukan hal itu pada ayah saya, langsung saja dia mengamuk, jelas saya tak tahan mendengar gadis yang saya cintai dihina, dan saya pun menjadi marah juga."
Tuan Hautet melihat ke seberang meja, ke arah Nyonva Renauld. "Apakah Anda mengetahui tentang — pertengkaran itu. Nyonya?"
"Saya juga kuatir hal itu akan terjadi," sahutnya singkat.
"Ibu!" pekik anak muda itu. "Ibu sama saja rupanya! Marthe itu bukan saja cantik, tapi juga baik. Apa saja yang tak berkenan di hati Ibu mengenai dia?"
"Tak ada satu pun yang tak berkenan di hatiku mengenai Nona Daubreuil. Tapi aku lebih suka bila kau menikah dengan seorang wanita Inggris, atau kalaupun dengan wanita Prancis, tidak dengan seseorang yang mempunyai ibu yang leluhurnya meragukan!"
Kebenciannya terhadap wanita yang lebih tua itu terdengar jelas dalam suaranya, dan aku bisa mengerti dengan baik bahwa dia mengalami pukulan yang hebat ketika putra tunggalnya menunjukkan tanda-tanda jatuh cinta pada putri saingannya itu.
Nyonya Renauld meneruskan lagi berbicara dengan Hakim, "Barangkali seharusnya saya membicarakan hal itu dengan suami saya. Tapi saya semula berharap bahwa itu hanya cinta monyet yang akan lebih cepat berlalu jika tidak diperhatikan. Sekarang saya merasa bersalah, karena saya tidak berbicara. Tapi sebagaimana sudah saya katakan, akhir-akhir ini
suami saya kelihatannya begitu kuatir dan murung dan jauh berbeda dari keadaan yang sebenarnya, hingga saya selalu berusaha untuk tidak menambah beban pikirannya." Tuan Hautet mengangguk.
"Waktu Anda memberitahukan pada ayah Anda mengenai niat Anda terhadap Nona
Daubreuil," Hakim melanjutkan, "apakah dia terkejut?"
"Dia benar-benar terperanjat. Kemudian dia memerintahkan saya untuk membuang jauh-jauh semua gagasan itu dari pikiran saya. Dia tidak akan pernah mau memberikan restunya pada penikahan itu katanya. Dengan rasa jengkel, saya menuntut penjelasan, apa yang menyebabkannya tidak menyukai Nona Daubreuil. Ayah tak dapat memberikan jawaban yang memuaskan atas pertanyaan itu, tapi berbicara dengan kata-kata yang menghina mengenai misteri yang menyelubungi kehidupan kedua orang anak-beranak itu. Saya jawab bahwa saya akan mengawini Marthe, dan bukan leluhurnya, tapi dia berteriak memarahi saya dan dengan tegas menolak untuk membicarakan soal itu lagi. Seluruh gagasan itu harus saya buang begitu saja. Ketidakadilan dan kesewenangan itu membuat saya
marah sekali — terutama karena ayah sendiri sering menaruh perhatian besar pada kedua beranak Daubreuil ku, dan selalu menganjurkan agar mereka diundang ke rumah. Saya mengamuk, dan kami lalu bertengkar hebat. Ayah mengingatkan saya, bahwa saya masih benar-benar tergantung padanya, dan mungkin dalam menjawab kata-katanya itulah saya berkata bahwa saya akan bisa berbuat sesuka hati saya sesudah dia meninggal —"
Poirot menyela dengan cepat-cepat mengajukan pertanyaan. "Kalau begitu Anda tahu isi surat wasiat ayah Anda?"
"Saya tahu bahwa dia telah mewariskan separuh dari kekayaannya pada saya, sedang yang separuh lagi ditinggalkan untuk ibu saya, dan akan menjadi rnilik saya pula setelah Ibu meninggal," sahut anak muda itu.
"Lanjutkan cerita Anda," kata Hakim "Setelah itu kami bertengkar dengan berteriak-teriak dengan marah sekali, sampai saya tiba-tiba menyadari bahwa saya hampir ketinggalan kereta api yang akan berangkat ke Paris. Saya terpaksa berlari-lari ke stasiun, masih dalam keadaan marah sekali. Namun, segera setelah saya berada jauh, saya menjadi tenang. Saya menulis surat pada Marthe, menceritakan padanya apa yang telah terjadi, dan balasannya membuat saya lebih tenang lagi. Ditekankannya pada saya, bahwa kami harus tabah, maka katanya semua tantangan akan kalah. Cinta kami harus tahan uji dan tahan cobaan, dan bila orang tuaku menyadari bahwa aku tidak sekadar tergila-gila, mereka tentu akan mengalah pada kami. Tentulah saya tidak menceritakan padanya tentang keberatan Ayah yang utama terhadap rencana perkawinan itu. Saya segera menyadari bahwa saya harus berpikir dengan tenang dan tidak bertindak dengan kekerasan. Selama saya di Paris, Ayah menulis beberapa pucuk surat yang bernada kasih sayang, dan sama sekali tidak menyebut-nyebut tentang
pertengkaran kami atau sebabnya. Maka saya pun membalas dengan nada yang sama pula."
"Dapatkah Anda menyerahkan surat-surat itu?" tanya Giraud.
"Saya tidak menyimpannya."
"Tak apa-apalah," kata detektif itu.
Renauld melihat padanya sebentar, lalu Hakim melanjutkan pertanyaannya, "Saya ingin menyinggung soal lain. Apakah Anda mengenal nama Duveen, Tuan Renauld? "
"Duveen?" kata Jack. "Duveen?" Lalu dia membungkuk dan perlahan - lahan memungut pisau pembuka surat yang tadi dilemparkannya ke lantai. Setelah dia mengangkat kepalanya, dia membalas tatapan mata Gifaud.
"Duveen? Tidak, saya tak tahu."
"Coba Anda baca surat ini, Tuan Renauld, lalu katakan pada saya, apakah Anda tahu siapa orangnya yang menulis surat pada ayah Anda itu."
Jack Renauld mengambil surat itu dan membacanya sampai selesai. Sambil membaca itu wajahnya memerah.
"Apakah surat ini dialamatkan pada ayah saya?" Jelas terdengar kemarahan dan emosi dalam nada suaranya.
"Benar. Kami menemukannya dalam saku mantelnya."
"Apakah —" Dia bimbang, lalu memandang sekilas pada ibunya. Hakim mengerti.
"Sementara ini — belum. Dapatkah Anda memberi kami petunjuk mengenai penulis surat itu?"
"Saya sama sekali tak tahu."
Tuan Hautet mendesah.
"Misterius sekali perkara ini. Ah, sudahlah, saya rasa tak usah kita bicarakan lagi surat itu. Bagaimana pendapat Anda, Tuan Giraud. Agaknya kita tidak mendapatkan kemajuan-kemajuan dari surat itu."
"Memang tidak," detektif itu membenarkan dengan bersungguh - sungguh.
"Padahal," desah hakim itu, "mula-mula perkara ini kelihatannya sederhana sekali!" Dia menangkap pandangan Nyonya Renauld, dan dia tiba - tiba merasa malu hingga mukanya memerah. "Oh, ya," Dehemnya, sambil membalik-balik kertas di atas meja. "Coba saya lihat, sampai di mana kita? Oh ya, senjatanya. Saya kuatir hal ini akan menyakitkan Anda, Tuan
Renauld. Saya dengar barang itu adalah hadiah Anda untuk ibu Anda. Menyedihkan sekali — menyusahkan sekali —" Jack Renauld membungkuk.
Wajahnya yang pada waktu membaca Surat tadi merah, kini menjadi pucatpasi "Apakah maksud Anda — bahwa ayah saya — dibunuh dengan pisau pembuka surat yang terbuat dari kawat pesawat terbang itu? Tapi itu tak mungkin! Barang sekecil itu!"
"Yah, Tuan Renauld, nyatanya memang begitu! Ternyata itu merupakan alat yang tepat sekali meskipun kecil, namun tajam dan mudah menanganinya."
"Di mana barang itu? Bisakah saya melihatnya? Apakah masih melekat di
— tubuhnya?"
"Oh, tidak. Sudah dicabut. Apakah Anda ingin melihatnya? Anda ingin meyakinkan diri Anda? Barangkali sebaiknya begitu, meskipun tadi ibu Anda sudah mengenalinya. Namun—Tuan Bex, bolehkah saya minta bantuan Anda?"
"Tentu, Pak Hakim, akan saya ambilkan segera."
"Tidakkah akan lebih baik kalau Tuan Renauld yang dibawa ke gudang itu?" Giraud mengusulkan dengan halus. "Dia pasti ingin melihat jenazah ayahnya."
Anak itu memberikan isyarat menolak, dia tampak merinding, dan Hakim yang selalu ingin membantah Giraud pada setiap kesempatan, menyahut, "Itu tak perlu — tidak sekarang. Tuan Bex tentu mau berbaik hati untuk membawakannya kemari."
Komisaris meninggalkan ruangan itu. Stonor menyeberang ke arah Jack, dan meremas tangan anak muda itu. Poirot bangkit dan memperbaiki letak sepasang wadah lilin. Bagi matanya yang sangat terlatih itu, letak benda – benda itu agak miring. Hakim sedang membaca lagi surat cinta yang misterius tadi untuk terakhir kalinya. Dia masih tetap berpegang kuat-kuat pada teorinya yang pertama mengenai rasa cemburu dan tikaman di
belakang itu. Tiba-tiba pintu terbuka dengan kasar, dan Komisaris masuk dengan
berlari-lari.
"Pak Hakim! Pak Hakim!"
"Ya, ya! Ada apa?"
"Pisau belati itu! Sudah hilang!"
"Apa — hilang?"
"Hilang. Lenyap. Stoples kaca tempat menyimpannya sudah kosong!"
"Apa?" Aku berseru. "Tak mungkin. Baru tadi pagi saya melihatnya —"
Lidahku tak dapat mengucapkan kata-kata itu lagi.
Tetapi perhatian seluruh ruangan itu sudah tertuju padaku.
"Apa kata Anda tadi?" seru Komisaris. "Tadi pagi?"
"Saya melihatnya di sana tadi pagi," kataku perlahan-lahan. "Tepatnya kira-kira satu setengah jam yang lalu."
"Jadi, Anda pergi ke gudang itu? Bagaimana Anda mendapatkan kuncinya?"
"Saya memintanya dari agen polisi."
"Lalu Anda masuk ke sana? Untuk apa? "
Aku bimbang, tapi akhirnya kuputuskan bahwa satu-satunya yang sebaiknya kulakukan adalah mengakuinya dengan terus terang.
"Pak Hakim," kataku. "Saya telah melakukan kesalahan besar, untuk mana saya mohon dimaafkan. "
"Eh bien! Lanjutkan, Saudara."
"Terus terang," kataku, ingin benar aku agar aku tidak berada di tempat itu, "saya tadi bertemu dengan seorang gadis, seorang kenalan saya. Dia menunjukkan keinginan besar untuk melihat segala-galanya, dan saya — yah, singkat cerita, saya ambil kunci itu untuk memperlihatkan mayat itu padanya."
"Aduh, sialan," seru Hakim dengan marah. 'Tapi Anda telah berbuat salah besar, Kapten Hastings. Hal itu benar-benar melanggar hukum. Anda tak pantas melakukan kebodohan itu."
"Saya akui itu," sahutku lemah. "Apa pun yang Anda katakan, tidak akan terlalu kasar, Pak Hakim."
"Apakah gadis itu Anda undang kemari?"
"Tidak. Saya bertemu dengan dia secara kebetulan sekali. Dia seorang gadis Inggris yang kebetulan menginap di Merlinville. Saya tidak mengetahui hal itu sebelum saya bertemu dengan dia secara tak disangka - sangka."
"Yah, yah," kata hakim itu dengan lebih lembut. "Itu benar-benar melanggar peraturan, tapi wanita itu tentu muda dan cantik, ya? Begitulah kalau anak muda! Ah, remaja, remaja!" Dan dia pun mendesah dengan pengertian.
Tetapi Komisaris yang tidak begitu romantis dan lebih praktis, mengambil alih percakapan, "Lalu tidakkah Anda tutup kembali dan kunci pintu itu setelah Anda pergi?"
"Itulah soalnya," kataku lambat-lambat. "Di situlah saya benar-benar menyalahkan diri saya. Teman saya itu pusing waktu melihat mayat itu. Dia hampir pingsan. Saya mengambilkannya air dan brendi, dan setelah itu saya bersikeras untuk mengantarnya kembali ke kota. Dalam kekacauan itu, saya lupa mengunci pintu kembali. Dan baru saya kunci setelah saya kembali ke villa."
"Jadi selama sekurang-kurangnya dua puluh menit —" kata komisaris itu lambat-lambat. Dia berhenti.
"Benar," kata saya.
"Dua puluh menit," kata komisaris itu merenung.
"Menyedihkan sekali," kata Tuan Hautet, yang bersikap tegas lagi.
"Sungguh menyedihkan." Tiba - tiba terdengar suatu suara lain berkata,
"Menurut Anda itu menyedihkan, Bapak Hakim?" tanya Giraud.
"Jelas."
"Eh bien! Menurut saya itu mengagumkan," kata Giraud dengan tenang.
Sikap memihak padaku yang tak kusangka-sangka itu membuatku heran.
"Mengagumkan, Tuan Giraud?" tanya Hakim, sambit memperhatikannya dengan tajam dengan sudut matanya.
"Tepat."
"Mengapa?"
"Karena sekarang kita tahu bahwa si pembunuh, atau yang berkomplot dengan pembunuh itu, berada di dekat villa hanya sejam yang lalu. Maka akan aneh sekali, ada dengan kenyataan itu kita tak bisa menangkapnya dalam waktu singkat." Nada suaranya terdengar jahat sekali.
Dilanjutkannva lagi, "Dia telah menantang bahaya untuk mendapatkan pisau belati itu. Mungkin dia takut sidik jarinya ditemukan pada pisau itu." Poirot berpating pada Bex.
"Kata Anda tak ada sidik jarinya?"
Giraud mengangkat bahunya.
"Mungkin dia kurang merasa yakin."
Poirot melihat padanya. "Anda keliru, Tuan Giraud. Pembunuh itu memakai sarung tangan. Jadi dia tentu yakin."
"Saya tidak mengatakan pembunuhnya sendiri. Mungkin komplotannya yang tak tahu keadaannya yang sebenarnya."
"Agaknya salah caranya mengumpulkan data-data, selalu komplotan saja dikatakannya!" gumam Poirot, tapi dia tak berkata apa-apa lagi.
Juru tulis Hakim mulai mengumpulkan surat-surat di atas meja. Tuan Hakim berkata pada kami, "Pekerjaan kita di sini sudah selesai. Tuan Renauld, silakan Anda mendengarkan kesaksian Anda dibacakan. Semua pekerjaan di sini saya usahakan supaya diselesaikan dengan cara tak resmi. Saya dikatakan lain dari yang lain dalam cara kerja saya itu, tapi saya pertahankan cara yang lain daripada yang lain itu mengingat hasilnya. Penyelidikan perkara ini sekarang ditangani oleh Tuan Giraud yang sudah terkenal. Dia pasti bisa menjadi terkemuka. Saya bahkan ingin tahu, apakah dia sekarang belum berhasil menangkap pembunuh-pembunuh itu! Nyonya, sekali lagi saya nyatakan rasa turut dukacita saya yang sedalam-dalamnya. Tuan-tuan, saya mengucapkan selamat siang." Hakim pergi diikuti oleh juru tulisnya dan Komisaris.
Poirot mengeluarkan arlojinya yang sebesar lobak itu, lalu melihat waktu. , "Mari kita kembali ke hotel untuk makan siang, Sahabatku," katanya.
"Dan kau harus menceritakan lagi selengkapnya mengenai perbuatan salahmu tadi pagi itu. Tak seorang pun melihat kita. Kita tak perlu minta diri."
Kami keluar dari ruangan dengan diam-diam. Hakim Pemeriksa baru saja keluar dari halaman rumah dengan mobilnya. Aku sedang menuruni tangga ketika suara Poirot menghentikan langkahku, "Tunggu sebentar saja, Sahabatku."

Dia cepat-cepat mengeluarkan pita pengukurnya, lalu dia mengukur sehelai mantel yang tergantung di lorong rumah itu, dari lehernya sampai ke tepi bawahnya. Aku sebelumnya tidak melihat mantel itu tergantung di situ, dan menduga itu milik Tuan Stonor atau Jack Renauld. Kemudian, dengan menggeram menyatakan rasa puasnya, Poirot menyimpan kembali pita pengukurnya ke dalam sakunya, dan menyusulku keluar ke udara terbuka.


Lanjut ke BAB DUA BELAS

0 comments:

Post a Comment