BAB SEBELAS
JACK RENAULD
Aku tak dapat
mengatakan bagaimana percakapan itu akan berkelanjutan, karena pada saat itu
pintu terbuka lebar-lebar, dan seorang anak muda yang jangkung masuk. Sesaat
aku dilanda perasaan ngeri bahwa orang yang sudah meninggal itu hidup kembali.
Kemudian aku sadar bahwa rambut yang hitam itu tak ada ubannya, dan dapat
dilihat dengan jelas bahwa usianya baru lebih sedikit dari seorang anak. Dia
menyerbu kami tanpa basa-basi. Dia
langsung cepat-cepat mendatangi Nyonya Renauld, tanpa mempedulikan kehadiran
kami yang lain.
"Ibu!"
"Jack!"
Sambil berseru anak muda itu didekapnya dalam pelukannya.
"Sayangku!
Mengapa kau sampai kemari? Bukankah seharusnya kau sudah berlayar dengan kapal
Anzora dari Cherbourg dua hari yang lalu?"
Kemudian wanita
itu tiba-tiba menyadari kehadiran kami yang lain. Dia lalu berbalik dengan
anggun. "Anak saya, Tuan-tuan."
"Oh!"
kata Tuan Hautet, sambil membalas anggukan anak muda itu.
"Rupanya
Anda tak jadi berlayar dengan kapal Anzora?"
"Tidak,
Tuan. Saya baru saja akan menerangkan, bahwa keberangkatan Anzora tertunda dua
puluh empat jam karena kerusakan mesin. Saya tak jadi berangkat malam
kemarinnya, dan seharusnya berangkat semalam. Lalu saya kebetulan membeli surat
kabar petang, dan di dalamnya saya membaca berita tentang — musibah yang
menimpa kami"
Suaranya terputus
dan air matanya tergenang. "Kasihan ayahku — kasihan ayahku
yang malang."
Sambil
mengamati anaknya seolah-olah dalam mimpi, Nyonya Renauld berkata lagi,
"Jadi kau tak jadi berlayar?" Lalu seolah-olah tak disadarinya, dia
bergumam seakan-akan pada dirinya sendiri, "Tapi sudahlah, sudah tak ada
artinya lagi — sekarang."
"Silakan
duduk, Tuan Renauld," kata Tuan Hautet, sambil menunjuk ke sebuah kursi.
"Saya ikut berdukacita sedalam-dalamnya. Tentu Anda sangat terkejut
mendapatkan berita dengan cara itu. Namun amatlah menguntungkan bahwa Anda tak
jadi berlayar. Saya berharap bahwa Anda mungkin bisa memberi kami informasi
yang kami butuhkan untuk
menyingkap misteri ini."
"Saya siap
sedia, Bapak Hakim. Tanyakan saja apa yang ingin Anda ketahui."
"Pertama-tama,
saya dengar bahwa perjalanan Anda ini Anda lakukan atas permintaan ayah
Anda?"
"Memang
benar, Pak Hakim. Saya menerima sepucuk telegram dari ayah saya, yang menyuruh
saya melanjutkan perjalanan saya terus ke Buenos Ayres, lalu dari sana terus
melalui Andes ke Valparaiso dan terus ke Santiago."
"Oh
begitu. Lalu apa tujuan perjalanan itu?"
"Saya tak
tahu, Pak Hakim."
"Apa?"
"Saya tak
tahu. Lihatlah, ini telegramnya."
Hakim mengambil
telegram itu, lalu membacanya dengan nyaring.
"
'Lanjutkan segera perjalanan ke Cherbourg naik kapal Anzora yang akan berlayar
nanti malam ke Buenos Ayres. Tujuan akhir Santiago. Instruks selanjutnya akan
menunggu di Buenos Ayres. Jangan sampai gagal. Persoalannya amat penting.
Renauld.' Lalu tak adakah surat-menyurat terdahulu mengenai persoalan itu?
"
Jack Renauld
menggeleng. "Ttulah satu-satunya keterangannya. Tentu saya tahu bahwa ayah
saya yang sudah begitu lama tinggal di Amerika Selatan banyak urusan di sana.
Tapi sebelum itu tak pernah dia menyuruh saya ke sana."
"Tapi Anda
tentu sering kali ke Amerika Selatan, Tuan Renauld?"
"Waktu
masih kecil, saya di sana. Tapi saya mendapatkan pendidikan saya di Inggris,
dan menghabiskan sebagian besar dan hari-hari libur saya di Inggns pula, hingga
saya benar-benar hanya tahu sedikit sekali tentang Amerika Selatan daripada
yang diharapkan."
Tuan Hautet
mengangguk, lalu melanjutkan tanya-jawabnya seperti yang sudah dilakukannya
terdahulu. Sebagai jawaban, Jack Renauld menyatakan dengan pasti, bahwa dia
sama sekali tidak tahu tentang adanya permusuhan yang telah melibatkan ayahnya
di kota Santiago, atau di tempat lain di benua Amerika Selatan. Dia tidak pula
melihat adanya perubahan dalam tingkah laku ayahnya akhir-akhir ini, dan tak
pernah mendengarnya menyebut-nyebut suatu rahasia. Perintah perjalanannya ke Amerika
Selatan dianggapnya berhubungan dengan urusan perusahaan saja.
Waktu Tuan
Hautet berhenti sebentar, Giraud menyela dengan suara halus, "Saya ingin
mengajukan beberapa pertanyaan, Pak Hakim."
"Tentu,
Tuan Giraud, silakan," kata Hakim dengan nada dingin. Giraud menyeret
kursinya agak mendekati meja.
"Apakah
hubungan Anda dengan ayah Anda baik-baik saja, Tuan Renauld?"
"Tentu
saja," sahut anak muda itu dengan angkuh.
"Dapatkah
Anda memastikan hal itu?"
"Ya."
"Tak
adakah pertengkaran-pertengkaran kecil?"
Jack mengangkat
bahunya. "Semua orang kadang-kadang mungkin saja ada perbedaan pendapat,"
"Memang
benar. Jadi, bila ada seseorang yang mengatakan dengan pasti bahwa Anda bertengkar
hebat dengan ayah Anda pada malam menjelang keberangkatan Anda ke Paris, apakah
orang itu berbohong?"
Mau tak mau aku
mengakui kepandaian Giraud. Kesombongannya waktu berkata, "Saya tahu
segala-galanya", bukanlah isapan jempol belaka.
Jack Renauld
benar-benar tampak kacau oleh pertanyaan itu. "Ka— kami memang
bertengkar," dia mengakui.
"Oh,
bertengkar rupanya. Lalu dalam pertengkar an itu, apakah Anda menggunakan
kata-kata, 'Kalau Ayah mati, saya bisa berbuat sesuka hati saya'?"
"Mungkin"
gumam yang ditanya, "saya tak sadar."
"Menjawab
kata-kata Anda itu, apakah ayah Anda berkata, 'Tapi aku belum mati!' Dan kata
kata itu Anda balas pula dengan mengatakan 'Saya kepingin Ayah mati!'?"
Anak muda itu
tak dapat menjawab. Tangannya mempermainkan barang-barang yang ada di atas meja
dengan gugup.
"Saya
minta jawaban, Tuan Renauld," kau Giraud dengan tajam. Sambil berseru
dengan marah, anak muda itu melemparkan sebuah pisau pembuka surat yang berat
ke lantai.
"Buat apa
lagi? Anda pun sudah tahu. Ya, saya memang bertengkar dengan ayah saya. Saya
pasti telah mengucapkan kata-kata itu — saya demikian marahnya, hingga saya tak
uhu lagi apa yang saya katakan! Saya marah sekali — saya sampai hampir-hampir
bisa membunuhnya pada saat itu — nah begitulah keadaannya, sekarang
terserah!" Dia bersandar di kursinya. Mukanya merah, dan sikapnya
menantang.
Giraud
tersenyum. Lalu sambil mendorong kursinya agak ke belakang sedikit, dia berkau,
"Sekian saja. Anda tentu ingin melanjutkan tanya-jawab Anda, Pak
Hakim."
"Ya, memang
benar," kau Tuan Hautet, "apa yang menjadi bahan pertengkaran
Anda?"
"Saya
menolak menyampaikannya."
Tuan Hautet
menegakkan duduknya.
"Tuan
Renauld, Anda tidak boleh mempermainkan hukum!" bentaknya.
"Apa bahan
pertengkaran Anda waktu itu?"
Renauld muda tetap
diam, wajahnya yang kekanak-kanakan merengut dan murung. Pada saat itu
terdengar suatu suara yang dingin dan tenang yaitu suara Poirot.
"Saya akan
memberi tahu Anda, kalau Anda mau, Bapak Hakim."
"Anda tahu?"
"Tentu
saja tahu. Yang menjadi bahan pertengkaran itu adalah Nona Marthe
Daubreuil."
Renauld
melompat terperanjat. Hakim mendekatkan dirinya ke meja.
"Benarkah
itu, Tuan Renauld?'
"Benar,"
dia mengakui.
"Saya
mencintai Nona Daubreuil, dan saya ingin menikah dengannya. Waktu saya
memberitahukan hal itu pada ayah saya, langsung saja dia mengamuk,
jelas saya tak tahan mendengar gadis yang saya cintai dihina, dan saya pun menjadi
marah juga."
Tuan Hautet
melihat ke seberang meja, ke arah Nyonva Renauld. "Apakah Anda mengetahui
tentang — pertengkaran itu. Nyonya?"
"Saya juga
kuatir hal itu akan terjadi," sahutnya singkat.
"Ibu!"
pekik anak muda itu. "Ibu sama saja rupanya! Marthe itu bukan saja cantik,
tapi juga baik. Apa saja yang tak berkenan di hati Ibu mengenai dia?"
"Tak ada
satu pun yang tak berkenan di hatiku mengenai Nona Daubreuil. Tapi aku lebih
suka bila kau menikah dengan seorang wanita Inggris, atau kalaupun dengan
wanita Prancis, tidak dengan seseorang yang mempunyai ibu yang leluhurnya
meragukan!"
Kebenciannya
terhadap wanita yang lebih tua itu terdengar jelas dalam suaranya, dan aku bisa
mengerti dengan baik bahwa dia mengalami pukulan yang hebat ketika putra
tunggalnya menunjukkan tanda-tanda jatuh cinta pada putri saingannya itu.
Nyonya Renauld
meneruskan lagi berbicara dengan Hakim, "Barangkali seharusnya saya
membicarakan hal itu dengan suami saya. Tapi saya semula berharap bahwa itu
hanya cinta monyet yang akan lebih cepat berlalu jika tidak diperhatikan.
Sekarang saya merasa bersalah, karena saya tidak berbicara. Tapi sebagaimana
sudah saya katakan, akhir-akhir ini
suami saya kelihatannya begitu kuatir dan murung dan jauh berbeda
dari keadaan yang sebenarnya, hingga saya selalu berusaha untuk tidak menambah
beban pikirannya." Tuan Hautet mengangguk.
"Waktu
Anda memberitahukan pada ayah Anda mengenai niat Anda terhadap Nona
Daubreuil," Hakim melanjutkan, "apakah dia
terkejut?"
"Dia
benar-benar terperanjat. Kemudian dia memerintahkan saya untuk membuang
jauh-jauh semua gagasan itu dari pikiran saya. Dia tidak akan pernah mau memberikan
restunya pada penikahan itu katanya. Dengan rasa jengkel, saya menuntut
penjelasan, apa yang menyebabkannya tidak menyukai Nona Daubreuil. Ayah tak
dapat memberikan jawaban yang memuaskan atas pertanyaan itu, tapi berbicara
dengan kata-kata yang menghina mengenai misteri yang menyelubungi kehidupan
kedua orang anak-beranak itu. Saya jawab bahwa saya akan mengawini Marthe, dan bukan
leluhurnya, tapi dia berteriak memarahi saya dan dengan tegas menolak untuk
membicarakan soal itu lagi. Seluruh gagasan itu harus saya buang begitu saja.
Ketidakadilan dan kesewenangan itu membuat saya
marah sekali — terutama karena ayah sendiri sering menaruh
perhatian besar pada kedua beranak Daubreuil ku, dan selalu menganjurkan agar mereka
diundang ke rumah. Saya mengamuk, dan kami lalu bertengkar hebat. Ayah
mengingatkan saya, bahwa saya masih benar-benar tergantung padanya, dan mungkin
dalam menjawab kata-katanya itulah saya berkata bahwa saya akan bisa berbuat
sesuka hati saya sesudah dia meninggal —"
Poirot menyela
dengan cepat-cepat mengajukan pertanyaan. "Kalau begitu Anda tahu isi
surat wasiat ayah Anda?"
"Saya tahu
bahwa dia telah mewariskan separuh dari kekayaannya pada saya, sedang yang
separuh lagi ditinggalkan untuk ibu saya, dan akan menjadi rnilik saya pula
setelah Ibu meninggal," sahut anak muda itu.
"Lanjutkan
cerita Anda," kata Hakim "Setelah itu kami bertengkar dengan berteriak-teriak
dengan marah sekali, sampai saya tiba-tiba menyadari bahwa saya hampir
ketinggalan kereta api yang akan berangkat ke Paris. Saya terpaksa berlari-lari
ke stasiun, masih dalam keadaan marah sekali. Namun, segera setelah saya berada
jauh, saya menjadi tenang. Saya menulis surat pada Marthe, menceritakan padanya
apa yang telah terjadi, dan balasannya membuat saya lebih tenang lagi.
Ditekankannya pada saya, bahwa kami harus tabah, maka katanya semua tantangan
akan kalah. Cinta kami harus tahan uji dan tahan cobaan, dan bila orang tuaku
menyadari bahwa aku tidak sekadar tergila-gila, mereka tentu akan mengalah pada
kami. Tentulah saya tidak menceritakan padanya tentang keberatan Ayah yang
utama terhadap rencana perkawinan itu. Saya segera menyadari bahwa saya harus
berpikir dengan tenang dan tidak bertindak dengan kekerasan. Selama saya di
Paris, Ayah menulis beberapa pucuk surat yang bernada kasih sayang, dan sama
sekali tidak menyebut-nyebut tentang
pertengkaran kami atau sebabnya. Maka saya pun membalas dengan nada
yang sama pula."
"Dapatkah
Anda menyerahkan surat-surat itu?" tanya Giraud.
"Saya
tidak menyimpannya."
"Tak
apa-apalah," kata detektif itu.
Renauld melihat
padanya sebentar, lalu Hakim melanjutkan pertanyaannya, "Saya ingin
menyinggung soal lain. Apakah Anda mengenal nama Duveen, Tuan Renauld? "
"Duveen?"
kata Jack. "Duveen?" Lalu dia membungkuk dan perlahan - lahan memungut
pisau pembuka surat yang tadi dilemparkannya ke lantai. Setelah dia mengangkat
kepalanya, dia membalas tatapan mata Gifaud.
"Duveen?
Tidak, saya tak tahu."
"Coba Anda
baca surat ini, Tuan Renauld, lalu katakan pada saya, apakah Anda tahu siapa
orangnya yang menulis surat pada ayah Anda itu."
Jack Renauld
mengambil surat itu dan membacanya sampai selesai. Sambil membaca itu wajahnya
memerah.
"Apakah
surat ini dialamatkan pada ayah saya?" Jelas terdengar kemarahan dan emosi
dalam nada suaranya.
"Benar.
Kami menemukannya dalam saku mantelnya."
"Apakah
—" Dia bimbang, lalu memandang sekilas pada ibunya. Hakim mengerti.
"Sementara
ini — belum. Dapatkah Anda memberi kami petunjuk mengenai penulis surat
itu?"
"Saya sama
sekali tak tahu."
Tuan Hautet
mendesah.
"Misterius
sekali perkara ini. Ah, sudahlah, saya rasa tak usah kita bicarakan lagi surat
itu. Bagaimana pendapat Anda, Tuan Giraud. Agaknya kita tidak mendapatkan
kemajuan-kemajuan dari surat itu."
"Memang
tidak," detektif itu membenarkan dengan bersungguh - sungguh.
"Padahal,"
desah hakim itu, "mula-mula perkara ini kelihatannya sederhana
sekali!" Dia menangkap pandangan Nyonya Renauld, dan dia tiba - tiba merasa
malu hingga mukanya memerah. "Oh, ya," Dehemnya, sambil membalik-balik
kertas di atas meja. "Coba saya lihat, sampai di mana kita? Oh ya,
senjatanya. Saya kuatir hal ini akan menyakitkan Anda, Tuan
Renauld. Saya dengar barang itu adalah hadiah Anda untuk ibu Anda. Menyedihkan
sekali — menyusahkan sekali —" Jack Renauld membungkuk.
Wajahnya yang
pada waktu membaca Surat tadi merah, kini menjadi pucatpasi "Apakah maksud
Anda — bahwa ayah saya — dibunuh dengan pisau pembuka surat yang terbuat dari
kawat pesawat terbang itu? Tapi itu tak mungkin! Barang sekecil itu!"
"Yah, Tuan
Renauld, nyatanya memang begitu! Ternyata itu merupakan alat yang tepat sekali
meskipun kecil, namun tajam dan mudah menanganinya."
"Di mana
barang itu? Bisakah saya melihatnya? Apakah masih melekat di
— tubuhnya?"
"Oh,
tidak. Sudah dicabut. Apakah Anda ingin melihatnya? Anda ingin meyakinkan diri
Anda? Barangkali sebaiknya begitu, meskipun tadi ibu Anda sudah mengenalinya.
Namun—Tuan Bex, bolehkah saya minta bantuan Anda?"
"Tentu,
Pak Hakim, akan saya ambilkan segera."
"Tidakkah
akan lebih baik kalau Tuan Renauld yang dibawa ke gudang itu?" Giraud
mengusulkan dengan halus. "Dia pasti ingin melihat jenazah ayahnya."
Anak itu
memberikan isyarat menolak, dia tampak merinding, dan Hakim yang selalu ingin
membantah Giraud pada setiap kesempatan, menyahut, "Itu tak perlu — tidak
sekarang. Tuan Bex tentu mau berbaik hati untuk membawakannya kemari."
Komisaris
meninggalkan ruangan itu. Stonor menyeberang ke arah Jack, dan meremas tangan
anak muda itu. Poirot bangkit dan memperbaiki letak sepasang wadah lilin. Bagi
matanya yang sangat terlatih itu, letak benda – benda itu agak miring. Hakim
sedang membaca lagi surat cinta yang misterius tadi untuk terakhir kalinya. Dia
masih tetap berpegang kuat-kuat pada teorinya yang pertama mengenai rasa
cemburu dan tikaman di
belakang itu. Tiba-tiba pintu terbuka dengan kasar, dan Komisaris
masuk dengan
berlari-lari.
"Pak
Hakim! Pak Hakim!"
"Ya, ya!
Ada apa?"
"Pisau
belati itu! Sudah hilang!"
"Apa —
hilang?"
"Hilang.
Lenyap. Stoples kaca tempat menyimpannya sudah kosong!"
"Apa?"
Aku berseru. "Tak mungkin. Baru tadi pagi saya melihatnya —"
Lidahku tak
dapat mengucapkan kata-kata itu lagi.
Tetapi
perhatian seluruh ruangan itu sudah tertuju padaku.
"Apa kata
Anda tadi?" seru Komisaris. "Tadi pagi?"
"Saya
melihatnya di sana tadi pagi," kataku perlahan-lahan. "Tepatnya kira-kira
satu setengah jam yang lalu."
"Jadi,
Anda pergi ke gudang itu? Bagaimana Anda mendapatkan kuncinya?"
"Saya
memintanya dari agen polisi."
"Lalu Anda
masuk ke sana? Untuk apa? "
Aku bimbang,
tapi akhirnya kuputuskan bahwa satu-satunya yang sebaiknya kulakukan adalah
mengakuinya dengan terus terang.
"Pak
Hakim," kataku. "Saya telah melakukan kesalahan besar, untuk mana
saya mohon dimaafkan. "
"Eh bien!
Lanjutkan, Saudara."
"Terus
terang," kataku, ingin benar aku agar aku tidak berada di tempat itu,
"saya tadi bertemu dengan seorang gadis, seorang kenalan saya. Dia menunjukkan
keinginan besar untuk melihat segala-galanya, dan saya — yah, singkat cerita,
saya ambil kunci itu untuk memperlihatkan mayat itu padanya."
"Aduh,
sialan," seru Hakim dengan marah. 'Tapi Anda telah berbuat salah besar,
Kapten Hastings. Hal itu benar-benar melanggar hukum. Anda tak pantas melakukan
kebodohan itu."
"Saya akui
itu," sahutku lemah. "Apa pun yang Anda katakan, tidak akan terlalu
kasar, Pak Hakim."
"Apakah
gadis itu Anda undang kemari?"
"Tidak.
Saya bertemu dengan dia secara kebetulan sekali. Dia seorang gadis Inggris yang
kebetulan menginap di Merlinville. Saya tidak mengetahui hal itu sebelum saya
bertemu dengan dia secara tak disangka - sangka."
"Yah,
yah," kata hakim itu dengan lebih lembut. "Itu benar-benar melanggar
peraturan, tapi wanita itu tentu muda dan cantik, ya? Begitulah kalau anak
muda! Ah, remaja, remaja!" Dan dia pun mendesah dengan pengertian.
Tetapi
Komisaris yang tidak begitu romantis dan lebih praktis, mengambil alih
percakapan, "Lalu tidakkah Anda tutup kembali dan kunci pintu itu setelah
Anda pergi?"
"Itulah
soalnya," kataku lambat-lambat. "Di situlah saya benar-benar menyalahkan
diri saya. Teman saya itu pusing waktu melihat mayat itu. Dia hampir pingsan.
Saya mengambilkannya air dan brendi, dan setelah itu saya bersikeras untuk
mengantarnya kembali ke kota. Dalam kekacauan itu, saya lupa mengunci pintu
kembali. Dan baru saya kunci setelah saya kembali ke villa."
"Jadi selama
sekurang-kurangnya dua puluh menit —" kata komisaris itu lambat-lambat.
Dia berhenti.
"Benar,"
kata saya.
"Dua puluh
menit," kata komisaris itu merenung.
"Menyedihkan
sekali," kata Tuan Hautet, yang bersikap tegas lagi.
"Sungguh
menyedihkan." Tiba - tiba terdengar suatu suara lain berkata,
"Menurut
Anda itu menyedihkan, Bapak Hakim?" tanya Giraud.
"Jelas."
"Eh bien!
Menurut saya itu mengagumkan," kata Giraud dengan tenang.
Sikap memihak
padaku yang tak kusangka-sangka itu membuatku heran.
"Mengagumkan,
Tuan Giraud?" tanya Hakim, sambit memperhatikannya dengan tajam dengan
sudut matanya.
"Tepat."
"Mengapa?"
"Karena
sekarang kita tahu bahwa si pembunuh, atau yang berkomplot dengan pembunuh itu,
berada di dekat villa hanya sejam yang lalu. Maka akan aneh sekali, ada dengan
kenyataan itu kita tak bisa menangkapnya dalam waktu singkat." Nada
suaranya terdengar jahat sekali.
Dilanjutkannva
lagi, "Dia telah menantang bahaya untuk mendapatkan pisau belati itu.
Mungkin dia takut sidik jarinya ditemukan pada pisau itu." Poirot
berpating pada Bex.
"Kata Anda
tak ada sidik jarinya?"
Giraud
mengangkat bahunya.
"Mungkin
dia kurang merasa yakin."
Poirot melihat
padanya. "Anda keliru, Tuan Giraud. Pembunuh itu memakai sarung tangan.
Jadi dia tentu yakin."
"Saya
tidak mengatakan pembunuhnya sendiri. Mungkin komplotannya yang tak tahu
keadaannya yang sebenarnya."
"Agaknya
salah caranya mengumpulkan data-data, selalu komplotan saja dikatakannya!"
gumam Poirot, tapi dia tak berkata apa-apa lagi.
Juru tulis
Hakim mulai mengumpulkan surat-surat di atas meja. Tuan Hakim berkata pada
kami, "Pekerjaan kita di sini sudah selesai. Tuan Renauld, silakan Anda mendengarkan
kesaksian Anda dibacakan. Semua pekerjaan di sini saya usahakan supaya
diselesaikan dengan cara tak resmi. Saya dikatakan lain dari yang lain dalam
cara kerja saya itu, tapi saya pertahankan cara yang lain daripada yang lain
itu mengingat hasilnya. Penyelidikan perkara ini sekarang ditangani oleh Tuan
Giraud yang sudah terkenal. Dia pasti bisa menjadi terkemuka. Saya bahkan ingin
tahu, apakah dia sekarang belum berhasil menangkap pembunuh-pembunuh itu!
Nyonya, sekali lagi saya nyatakan rasa turut dukacita saya yang
sedalam-dalamnya. Tuan-tuan, saya mengucapkan selamat siang." Hakim pergi
diikuti oleh juru tulisnya dan Komisaris.
Poirot
mengeluarkan arlojinya yang sebesar lobak itu, lalu melihat waktu. , "Mari
kita kembali ke hotel untuk makan siang, Sahabatku," katanya.
"Dan kau
harus menceritakan lagi selengkapnya mengenai perbuatan salahmu tadi pagi itu.
Tak seorang pun melihat kita. Kita tak perlu minta diri."
Kami keluar
dari ruangan dengan diam-diam. Hakim Pemeriksa baru saja keluar dari halaman
rumah dengan mobilnya. Aku sedang menuruni tangga ketika suara Poirot
menghentikan langkahku, "Tunggu sebentar saja, Sahabatku."
Dia cepat-cepat
mengeluarkan pita pengukurnya, lalu dia mengukur sehelai mantel yang tergantung
di lorong rumah itu, dari lehernya sampai ke tepi bawahnya. Aku sebelumnya
tidak melihat mantel itu tergantung di situ, dan menduga itu milik Tuan Stonor
atau Jack Renauld. Kemudian, dengan menggeram menyatakan rasa puasnya, Poirot menyimpan
kembali pita pengukurnya ke dalam sakunya, dan menyusulku keluar ke udara
terbuka.
Lanjut ke BAB DUA BELAS
0 comments:
Post a Comment