Saturday, 26 September 2015

Agatha Christie - Lapanagan Golf Maut - BAB DELAPAN

BAB DELAPAN
SUATU PERTEMUAN TAK DISANGKA

Lapangan Golf Maut

Pagi - pagil esok harinya kami sudah berada di villa. Kali ini orang yang mengawal di pintu gerbang tak lagi menahan kami. Dia bahkan memberi salam dengan hormat, dan kami berjalan terus ke arah rumah. Leonie, si pelayan, baru saja menuruni tangga, dan dia kelihatan tak keberatan diajak berbicara. Poirot menanyakan tentang kesehatan Nyonya Renauld. Leonie menggeleng.
"Dia sedih sekali, kasihan beliau itu! Beliau tak mau makan — sama sekali tak mau apa-apa! Tuan pucatnya seperti mayat. Sedih rasanya melihat beliau. Ah, sungguh mati, saya tidak akan mau bersedih begitu demi seorang laki-laki vang sudah main serong dengan perempuan lain!"
Poirot mengangguk penuh pengertian. "Memang benar apa yang Anda katakan tadi, tapi apa mau dikata? Hati seorang wanita yang penuh dengan cinta mudah sekali memaafkan
segalanya. Namun . demikian, pasti telah terjadi banyak pertengkaran antara mereka berdua dalam bulan terakhir ini, ya?"
Sekali lagi Leonie menggeleng.
"Tak pernah. Tuan. Tak pernah saya mendengar Nyonya mengeluarkan kata-kata protes — atau bahkan suatu teguran pun! Perangai dan pembawaannya bagaikan bidadari — lain sekali dengan Tuan."
"Apakah perangai Tuan Renauld tidak seperti bidadari?"
"Jauh dari itu. Bila dia marah-marah, seluruh rumah tahu. Beberapa hari yang lalu, waktu beliau bertengkar dengan Tuan Jack, — aduhai! Suara mereka mungkin bisa didengar sampai di pasar, nyaring sekali mereka bertengkar!"
"Begitukah?" tanya Poirot.
"Kapan pertengkaran itu terjadi?"
"Oh, sesaat sebelum Tuan Jack berangkat ke Paris. Hampir saja dia ketinggalan kereta api. Dia keluar dari ruang perpustakaan dan hanya sempat menyambar tas yang sebelumnya ditinggalkannya di lorong rumah. Padahal mobil sedang diperbaiki, hingga dia harus berlari ke stasiun. Saya sedang membersihkan ruang tamu utama, dan saya melihatnya waktu dia lewat. Wajahnya putih — pucat — dengan sedikit merah di kedua belah pipinya. Aduh bukan main marahnya!"
Leonie senang benar bercerita itu.
"Apa bahan pertengkaran itu?"
"Oh, itu saya tak tahu," Leonie mengakui. "Mereka berteriak-teriak, suara mereka nyaring dan melengking, tapi mereka berbicara begitu cepat, hingga hanya orang yang betul-betul tahu bahasa Inggris saja yang bisa mengerti. Tapi wajah Tuan sepanjang hari itu seperti mendung gelap saja! Sama sekali tak bisa disenangkan hatinya!"
Bunyi orang menutup pintu di lantai atas seketika memutuskan kisah Leonie.
"Aduh, Francoise menunggu saya!" serunya, baru menyadari panggilan tugasnya. "Si Tua itu selalu memarahi saya saja."
"Sebentar lagi, Nona. Di mana Hakim Pemeriksa?"
"Mereka pergi ke luar melihat mobil di garasi. Tuan Komisaris berpendapat mungkin pada malam pembunuhan itu, mobil itu dipakai."
"Pendapat macam apa itu?" gumam Poirot, setelah gadis itu pergi.
"Apakah kau juga akan pergi menyertai mereka? "
"Tidak, aku akan menunggu di ruang tamu sampai mereka kembali. Di situ sejuk pada pagi hari yang panas ini."
Cara menanggapi hal-hal dengan tenang itu kurang berkenan di hatiku.
"Kalau kau tak keberatan —" kataku ragu.
"Sama sekali tidak. Kau ingin menyelidiki dengan caramu sendiri, bukan?"
"Ya, aku lebih ingin melihat Giraud. Jika dia ada di sekitar tempat ini, aku ingin melihat apa rencananya."
"Anjing pemburu dalam bentuk manusia itu," gumam Poirot, sambil menyandarkan dirinya di sebuah kursi yang nyaman, lalu memejamkan matanya.
"Silakan, Sahabatku. Au revo ir ."
Aku berjalan santai keluar dari pintu depan. Hari memang panas. Aku membelok ke jalan setapak yang kami lalui sehari sebelumnya. Aku berniat akan menyelidiki tempat pembunuhan itu sendiri. Tetapi aku tak langsung pergi ke tempat itu, melainkan membelok ke semak-semak, supaya aku bisa keluar ke lapangan golf yang terletak kira-kira puluh meter lebih jauh di sebelah kanan.
Bila Giraud masih ada di tempat itu, aku ingin melihat caranya bekerja sebelum dia menyadari kehadiranku. Tetapi semak-semak di sini jauh lebih lebat, dan aku harus berjuang untuk membuka jalan ke luar. Ketika akhirnya aku berhasil keluar ke lapangan itu, caranya sangat mengejutkan dan dengan demikian tiba-tiba hingga aku bagai terlempar mengenai seorang wanita muda yang sedang berdiri membelakangi tanah perkebunan itu.Wanita itu tentu saja memekik, tetapi aku pun berseru karena terperanjat. Karena dia tak lain adalah teman seperjalananku di kereta api, Cinderella! Temanku itu pun sangat terkejut.
"Kau! " Kami berdua berseru serentak.
Wanita muda itulah yang mula-mula menguasai dirinya.
"Astaga!" serunya. "Apa yang kaulakukan disini? "
"Sebaliknya, apa pula urusanmu?" balasku.
"Waktu aku bertemu denganmu terakhir, kemarin dulu, kau sedang dalam perjalanan pulang ke Inggris, sebagai anak yang patuh. Apakah kau telah diberi karcis pulang pergi, karena kau bekerja pada anggota Parlemen itu? " Bagian terakhir dari kata-katanya itu tak kuperdulikan.
"Waktu aku bertemu kau terakhir," kataku, "kau sedang dalam perjalanan pulang dengan kakakmu, sebagai seorang gadis baik-baik. Omong-omong, bagaimana kakakmu itu?"
Sederetan gigi putih adalah jawaban yang kuterima.
"Baik benar kau menanyakan hal itu! Kakakku baik-baik saja, terima kasih"
"Apakah dia ada di sini bersamamu?"
"Dia tinggal di kota," kata gadis nakal itu dengan anggun.
"Aku tak percaya kau punya kakak," kataku sambil tertawa.
"Kalaupun ada, namanya tentu Harris!"
"Ingatkah kau siapa namaku?" tanyanya dengan tersenyum.
"Cinderella. Tapi kau sekarang akan memberitahukan namamu yang sebenarnya, kan?"
Dia menggeleng dengan pandangan nakal.
"Juga tak mau memberitahukan mengapa kau ada disini?"
"Oh itu! Untuk beristirahat."
"Di perairan-perairan Prancis yang mahal ini?"
"Murahnva bukan main, asal kita tahu ke mana harus pergi." Aku memperhatikannya dengan tajam.
"Tapi, kau tak punya maksud untuk datang kemari, waktu aku bertemu denganmu dua hari yang lalu?"
"Kita semua pernah mengalami kekecewaan-kekecewaan," kata Cinderella dengan tegas. "Nah, ceritaku sudah terlalu banyak daripada yang kau perlukan. Anak kecil tak boleh terlalu ingin tahu. Kau belum mengatakan padaku, mengapa kau berada di tempat ini. Apakah kau datang bersama anggota Parlemen itu, bersenang-senang di tepi pantai?"
Aku menggeleng. "Terka lagi. Ingatkah kau akan ceritaku bahwa sahabat karibku adalah seorang detektif?"
"Ya, lalu?"
"Dan mungkin kau sudah mendengar tentang kejahatan — yang terjadi di Villa Genevieve itu?"
Dia terbelalak memandangku. Dadanya terangkat ke depan, dan matanya menjadi besar dan bulat. "Maksudmu — kau terlibat dalam urusan itu ? "
Aku mengangguk. Jelas kelihatan bahwa ak sedang berada di pihak yang menang. Sedang di menatapku, nyata benar bahwa dia sedang emosi. Beberapa saat lamanya dia diam saja, sambil terus menatapku. Lalu dia mengangguk kuat-kuat.
"Bukan main, kebetulan sekali! Tolong antar aku berkeliling. Aku ingin melihat semua yang mengerikan. "
"Apa maksudmu?"
"Ya, seperti yang kukatakan itu. Anak kecil, bukankah sudah kuceritakan bahwa aku suka sekali akan kejahatan? Apa gunanya aku sampai menyakiti mata kakiku gara-gara aku memakai sepatu bertumit tinggi yang tersandung tunggul ini? Sudah berjam-jam aku berkeliling mencari di sini. Sudah kucoba untuk masuk lewat depan, tapi si Tua polisi Prancis itu tak mau mengizinkan aku masuk. Kurasa, pahlawan-pahlawan wanita seperti Helen of Troy, Cleopatra, dan Mary, ratu Skotlandia, bersama-sama sekaiipun tidak akan bisa menggoyahkan hatinya! Kau benar-benar beruntung bisa masuk kemari Ayolah, tunjukkan padaku semua yang patut dilihat."
"Tapi — tunggu dulu — aku tak bisa. Tak seorang pun diizinkan masuk kemari. Mereka ketat sekali."
"Bukankah kau dan temanmu itu orang-orang penting di sini?"
 Aku tak suka mengingkari kedudukanku yang penting itu."Mengapa kau begitu ingin?" tanyaku lemah. "Dan apa pula yang ingin kaulihat?"
"Oh,-semuanya! Tempat kejadiannya, senjatanya, mayatnya, bekas - bekas sidik jarinya atau hal-hal lain yang menarik seperti itu. Aku belum pernah mendapatkan kesempatan berada di tengah-tengah suatu peristiwa pembunuhan seperti ini. Aku akan mengingatnya sepanjang hidupku."
Besarnya keinginan gadis itu akan melihat hal-hal yang mengerikan membuatku merasa muak. Aku pernah membaca tentang gerombolan perempuan yang mengepung pengadilan-pengadilan, sedang seorang laki – laki malang diadili akan menentukan hidup matinya. Kadang-kadang aku ingin tahu siapa perempuan-perempuan itu. Sekarang aku tahu. Mereka itu semua seperti Cinderella, muda dan punya kegemaran akan kejadian – kejadian hebat yang mendebarkan, akan sensasi dalam bentuk apa pun juga, tanpa mempertimbangkan pantas tidaknya atau perasaan orang lain.
Kecantikan gadis itu yang menyolok mau tak mau membuatku merasa tertarik, namun dalam hatiku aku tetap mempertahankan kesanku yang pertama yang tak menyukai kelakuannya. Wajah cantik dengan pikiran yang mengerikan di baliknya.
"Tinggalkanlah tempatmu yang penting itu," kata wanita itu tiba-tiba, "Dan jangan terlalu mengagungkan dirimu. Waktu kau dipanggil untuk menyelesaikan pekerjaan ini, apakah dengan mendongak angkuh kau berkata bahwa urusan ini adalah urusan yang kotor, dan kau tak mau terlibat dalamnya?"
'Tidak, tapi —"
"Bila kau berada di sini karena berlibur, tidakkah kau akan mencari-cari juga seperti aku sekarang? Pasti!"
"Aku seorang laki-laki. Kau wanita!"
"Bayanganmu tentang wanita adalah seseorang yang naik ke sebuah kursi dan berteriak-teriak kalau melihat seekor tikus. Itu bayangan prasejarah. Tapi kau mau mengantar aku berkeliling, bukan? Soalnya itu akan berarti suatu perubahan besar bagiku,"
"Perubahan bagimu?"
"Mereka itu tak mengizinkan seorang wartawan pun masuk. Aku akan bisa membuat perjanjian besar dengan suatu surat kabar. Kau tak bisa membayangkan betapa tingginya bayaran mereka untuk suatu kisah kejadian seperti ini."
Aku bimbang. Digenggamnya tanganku dengan tangannya yang kecil halus. "Tolonglah — Temanku yang baik,"
Aku menyerah. Diam – diam aku mengakui, bahwa seharusnya aku merasa senang menjadi penunjuk jalannya. Bagaimanapun juga, sikap moral yang diperlihatkan gadis itu bukanlah urusanku. Aku hanya agak gugup memikirkan apa yang akan dikatakan Hakim Pemeriksa.Tetapi kutenangkan diriku dengan meyakinkan bahwa tidak akan mungkin ada
akibat buruknya.
Mula-mula kami pergi ke tempat jenazah ditemukan. Di sana ada seorang yang mengawal. Dia memberi hormat dengan sopan karena dia mengenaliku, dan tidak menanyakan tentang teman yang menyertaiku. Mungkin dianggapnya gadis itu adalah termasuk tanggung jawabku.
Kujelaskan pada Cinderella bagaimana jenazah itu ditemukan, dan dia mendengarkan dengan penuh perhatian, sambil sekali-sekali menanyakan pertanyaan yang masuk akal. Kemudian kami menujukan langkah kami ke  arah villa. Aku berjalan dengan berhati-hati sekali, karena terus terang, aku tak ingin bertemu dengan siapa pun juga. Kuajak gadis itu melewati semak-semak di belakang rumah, di mana ada gudang. Aku ingat bahwa kemarin malam, setelah mengunci kembali pintunya, Tuan Bex memberikan kunci itu pada agen polisi yang bernama Marchaud, kalau – kalau Tuan Giraud perlu masuk ke gudang itu sedang kami berada di lantai atas. Kupikir, pastilah detektif dari Dinas Rahasia itu telah mengembalikannya pada Marchaud lagi, setelah dia menggunakannya.
Kutinggalkan gadis itu di tempat yang tak kelihatan, di semak-semak. Aku masuk ke rumah. Marchaud sedang bertugas di depan pintu ruang tamu utama. Dari dalam kamar itu terdengar gumam suara orang-orang.
"Apakah Tuan membutuhkah Hakim? Beliau ada di dalam. Beliau sedang menanyai Francoise lagi."
"Tidak," kataku cepat-cepat, "saya tidak membutuhkan dia. Tapi saya amat membutuhkan kunci gudang di luar itu, bila itu tidak melanggar peraturan."
'Tentu boleh, Tuan." Dikeluarkannya kunci itu. "Silakan. Bapak Hakim memberikan perintah supaya semua fasilitas Anda kami penuhi. Harap Anda kembalikan saja pada saya kalau Anda sudah selesai di luar sana, itu saja."
"Tentu."
Aku senang sekali, karena aku menyadari bahwa di mata Marchaud, sekurang-kurangnya, kedudukanku sama pentingnya dengan Poirot. Gadis itu masih menungguku. Dia berseru kegirangan melihat kunci itu di tanganku.
"Kau mendapatkannya, ya?"
"Tentu," kataku dingin. "Tapi kau tentu tahu, bahwa apa yang sedang kulakukan ini benar-benar melanggar peraturan."
"Kau benar-benar sahabat setia yang baik, aku tidak akan melupakan hal itu. Ayolah. Mereka tak bisa melihat kita dari dalam rumah, bukan?"
"Tunggu." Kutahan dia yang sudah ingin sekali pergi. "Aku tak mau menahan kalau kau benar-benar ingin masuk. Tapi apakah kau yakin, kau benar-benar ingin? Kau sudah melihat kuburnya, dan kau sudah melihat tempat kejadiannya, lalu kau sudah pula mendengar semua tentang peristiwa itu sampai hal-hal yang sekecil-kecilnya. Tidakkah itu cukup
bagimu? Pemandangan di tempat itu tidak akan menyenangkan — bahkan mengerikan."
Dia memandangku sebentar dengan air muka yang tak dapat kuduga. Lalu dia tertawa.
"Aku? Ketakutan?" katanya. "Mari kita pergi."
Tanpa berkata-kata lagi kami tiba di pintu gudang itu. Aku membukanya dan kami masuk. Aku mendekati jenazah, dan dengan halus menyingkap kain penutupnya sebagaimana yang dilakukan Tuan Bex kemarin siangnya. Gadis itu mengeluarkan bunyi napas yang tertahan, dan aku menoleh padanya. Di wajahnya terbayang ketakutan yang hebat, dan kini dia mendapatkan ganjaran gara-gara kurangnya pertimbangannya. Aku sama sekali tak merasa kasihan padanya. Dia harus merasakannya sendiri sekarang. Perlahan-lahan mayat itu kubalikkan.
"Lihat," kataku, "dia ditikam dari belakang. Suaranya hampir tak terdengar.
"Dengan apa?"
Aku mengangguk ke arah stoples gelas. "Pisau belati itu"
Tiba-tiba gadis itu terhuyung, dan lalu roboh. Aku melompat akan membantunya.
"Kau akan pingsan. Mari keluar. Kau tak tahan rupanya."
"Air," gumamnya. "Air. Cepat."
Kutinggalkan dia dan aku berlari masuk ke rumah. Untunglah tak seorang pun pelayan ada di tempat itu, hingga aku bisa mengambil segelas air tanpa dilihat, dan menambahkan beberapa tetes brendi dari botol saku. Beberapa menit kemudian aku kembali. Gadis itu masih terbaring sebagaimana kutinggalkan tadi, tetapi beberapa teguk air yang bercampur brendi itu telah memulihkan keadaannya kembali dengan cepat sekali.
"Bawa aku keluar dari sini — aduh, cepat, cepat" katanya sambil menggigil.
Aku membawanya ke luar dengan menopangnya, supaya dia mendapat udara segar, dan dia menutup pintunya. Lalu dia menghirup napas dalam - dalam.
"Sekarang lebih baik. Aduh, mengerikan sekali! Mengapa kaubiarkan aku masuk tadi?"
Aku menyadari bahwa hal itu sekadar merupakan pernyataan khas wanita, hingga aku tak dapat menahan senyum. Diam-diam aku bukannya tak senang bahwa dia pingsan. Keadaan itu membuktikan bahwa dia tidaklah terlalu kebal seperti yang kusangka semula. Bagaimanapun juga, dia masih muda sekali, dan mungkin tak bisa mengendalikan rasa ingin
tahunya.
"Bukankah aku sudah berusaha untuk menahanmu."
"Kurasa memang begitu. Nah, selamat tinggal."
"Hei, kau tak bisa pergi begitu saja—seorang diri. Kau belum kuat. Aku harus menyertaimu kembali ke Merlinville."
"Omong kosong! Aku sama sekali sudah tak apa-apa lagi."
"Bagaimana kalau kau pusing lagi? Tidak, aku tetap harus ikut kau."
Tetapi dia menentang hal itu dengan sekuat tenaga. Namun akhirnya, aku mengalah hingga hanya diizinkan mengantar sampai ke pinggir kota saja. Kami menyusuri jalan yang telah kami lalui tadi, melewati liang kubur lagi, dan berjalan kembali ke arah jalan besar. Setelah tiba di tempat di mana mulai terdapat deretan toko-toko, dia berhenti lalu mengulurkan tangannya.
"Selamat tinggal, dan terima kasih banyak karena kau telah mengantar aku." "Yakinkah kau bahwa kau sudah tak apa-apa? "
"Ya, terima kasih. Mudah-mudahan kau tidak akan mengalami kesulitan gara-gara mengantar aku melihat-lihat tadi!"
Aku membantah pikirannya itu dengan ringan.
"Nah, selamat tinggal."  
"Sampai bertemu," kataku memperbaikinya. "Kalau kau masih tinggal di sini, kita tentu masih bertemu."
Dia tersenyum padaku. "Memang begitu. Sampai jumpa kalau begitu."
"Tunggu sebentar, kau belum memberikan alamatmu."
"Oh, aku menginap di Hotel du Phare. Hotel itu kecil, tapi cukup baik. Datanglah menjengukku besok"
"Baiklah!" kataku, dengan tekanan yang mungkin berlebihan.
Kuperhatikan dia sampai dia tak kelihatan lagi, lalu aku berbalik dan berjalan kembali ke villa. Aku teringat bahwa aku belum mengunci kembali pintu gudang. Untunglah, tak seorang pun melihat kelupaan ku itu, dan setelah menguncinya kucabut kunci itu lalu kukembalikan pada agen polisi tadi. Pada saat itu, aku tiba-tiba menyadari bahwa meskipun Cinderella telah memberikan alamatnya, aku masih tetap tak tahu namanya yang sebenarnya.

Lanjut ke BAB SEMBILAN

0 comments:

Post a Comment