Thursday, 24 September 2015

Agatha Christie - Lapangan Golf Maut - BAB ENAM

BAB ENAM
TEMPAT KEJADIAN KEJAHATAN

Lapangan Golf Maut

Dokter berdua dengan Tuan Hautet mengangkat wanita yang pingsan itu masuk ke rumah. Komisaris memperhatikan mereka dari belakang, dia menggelengkan kepalanya. "Kasihan wanita itu," gumamnya sendiri. "Tak kuat dia menanggung shock itu. Yah, kita tak bisa berbuat- apa-apa sekarang. Nah, Tuan Poirot, mari kita pergi ke tempat kejahatan itu dilakukan"
"Mari, Tuan Bex." Kami melalui rumah, dan keluar melalui pintu depan. Sambil lewat Poirot mendongak, melihat ke tangga ykng'menuju ke lantai atas, lalu menggeleng dengan kesal. "Saya masih tetap heran, mengapa para pelayan tidak mendengar apa apa. Waktu kita bertiga menaiki tangga itu tadi, bunyi deraknya bahkan bisa membangunkan orang yang sudah mati!"
"Ingat, waktu itu tengah malam. Mereka waktu itu sedang tidur nyenyak." Tetapi Poirot tetap menggelengkan kepalanya, seolah-olah tetap tak bisa menerima penjelasan itu sepenuhnya. Setiba di luar, di jalan masuk ke rumah, dia berhenti lagi, lalu mendongak melihat ke atas rumah.
"Mengapa mereka pertama-tama mencoba membuka pintu depan? Bukankah hal itu sulit? Rasanya jauh lebih masuk akal, kalau mereka segera mencoba mendongkel sebuah jendela."
"Tapi semua jendela di lantai bawah dipasangi terali besi" kata Komisaris. Poirot menunjuk ke sebuah jendela di lantai atas. "Bukankah itu jendela kamar tidur yang baru saja kita masuki tadi? Lihatlah di dekatnya ada sebatang pohon, yang dengan sangat mudah dapat dijadikan titian untuk memasuki kamar itu."
"Mungkin," Komisaris membenarkan. "Tapi mereka tak bisa berbuat demikian, tanpa meninggalkan bekas jejak kaki di bedeng-bedeng bunga."
Aku melihat kebenaran kata-katanya itu. Ada dua buah bedeng bunga yang lonjong yang ditanami bunga geranium merah, di kiri kanan anak rangga yang menuju ke pintu depan. Pohon yang dikatakan Poirot memang berakar di bagian belakang bedeng itu, dan tidaklah mungkin mencapai pohon itu tanpa menginjak bedeng.
"Begini," lanjut Komisaris, "karena cuaca panas, di jalan masuk atau di lorong tidak akan tampak bekas jejak kaki orang, tapi di bedeng bunga yang tanahnya lembut itu, lain lagi soalnya."
Poirot mendekati bedeng itu dan memeriksa tanahnya dengan cermat. Sebagaimana yang dikatakan Bex, tanahnya memang benar-benar halus. Lagi pula tak ada bekas apa pun di situ. Poirot mengangguk seakan-akan sudah yakin, dan kami lalu berbalik, tetapi tiba - tiba dia melompat ke samping dan memeriksa bedeng bunga yang sebuah lagi
"Tuan Bex!" panggilnya. "Lihat ini. Di sini ada banyak bekas, silakan lihat. "Komisaris mendekatinya — lalu tersenyum.
"Tuan Poirot, sahabatku, itu pasti bekas jejak sepatu bot besar tukang kebun, yang solnya berpaku. Pokoknya, jejak itu tidak akan penting, karena di sebelah sini tak ada pohon, dan oleh karenanya tak ada titian untuk dijadikan jalan memasuki lantai atas."
"Benar," kata Poirot yang kelihatan kecewa. "Jadi menurut Anda, bekas jejak kaki itu tak penting?"
"Sama sekali tak penting."
Kemudian aku terkejut sekali, karena Poirot mengucapkan kata-kata, "Saya tak sependapat dengan Anda. Saya berpendapat bahwa jejak-jejak kaki ini adalah yang terpenting, dari segalanya yang telah kita lihat."
Tuan Bex tak berkata apa-apa, dia hanya mengangkat bahunya. Terlalu halus perasaannya untuk mengeluarkan pendapatnya yang sesungguhnya.Dia hanya berkata, "Mari kita lanjutkan."
"Baiklah. Saya bisa menyelidiki soal bekas jejak kaki ini nanti saja," kata Poirot dengan ceria.
Tuan Bex tidak mengambil jalan lurus di sepanjang jalan masuk mobil, melainkan membelok ke sebe: lah kanan. Jalan itu menuju ke sebuah tanjakan kecil di sebelah kanan rumah, dan di kedua belah sisinya dibatasi oleh semacam semak-semak. Jalan itu tiba-tiba menuju ke sebuah lapangan, dari mana kita bisa melihat laut. Di situ ada sebuah bangku, dan tak jauh dari situ ada gudang yang agak bobrok. Beberapa langkah lebih jauh terdapat sederetan semak-semak kecil yang membatasi perbatasan dengan tanah milik villa itu. Tuan Bex menyingkirkan semak-semak itu untuk melewatinya, dan di hadapan kami terbentang bukit berumput yang luas. Aku melihat ke sekelilingku, lalu melihat sesuatu yang membuatku amat terkejut.
"Wah, ini lapangan golf," teriakku.
Bex mengangguk. "Batas-batasnya belum sempurna," dia menjelaskan. "Diharapkan lapangan ini akan bisa dibuka bulan depan. Orang-orang yang bekerja di sinilah yang menemukan mayat itu pagi tadi." Aku tersentak.
Agak di sebelah kiriku, yang tadi belum terlihat olehku, ada sebuah 'liang sempit, di dekatnya ada tubuh seorang laki-laki. Dia tiarap dengan kepalanya ke bawah jantungku rasanya berhenti berdetak, aku membayangkan bahwa tragedi itu telah terulang lagi. Tapi Komisaris membuyarkan bayanganku itu dengan berjalan maju sambil berseru dengan kesal dan keras, "Apa saja kerja polisi-polisiku ini? Mereka sudah mendapat perintah ketat untuk tidak mengizinkan siapa pun juga berada di sekitar tempat ini tanpa surat-surat pengantar yang jelas!" Laki-laki di tanah itu membalikkan kepalanya menoleh kepada kami.
"Saya punya surat-surat pengantar yang jelas," katanya, lalu bangkit perlahan – lahan.
"Tuan Giraud, sahabatku," seru Komisaris. "Saya sama sekali tak tahu bahwa Anda sudah datang. Bapak Hakim Pemeriksa sudah tak sabaran menunggu Anda." Sedang komisaris itu berbicara, aku mengamat-amati pendatang baru itu dengan rasa ingin tahu yang besar.
Aku sering mendengar nama detek pada Dinas Rahasia di Paris yang terkenal itu, dan aku tertarik sekali melihat orangnya tinggi sekali, umurnya mungkin tiga puluh tahun,
rambutnya berwarna merah kecokelatan, berkumis, dan gerak-geriknya seperti  tentara. Sikapnya agak angkuh, hal mana menunjukkan bahwa dia benar-benar menyadari betapa pentingnya dirinya.
Bex memperkenalkan kami, dengan mengatakan bahwa Poirot adalah rekannya seprofesi. Mata detektif itu membayangkan bahwa dia merasa tertarik."Saya sering mendengar nama Anda, Tuan Poirot," katanya. "Di masa lalu Anda sangat terkenal, bukan? Tapi zaman sekarang, cara kerja banyak berubah."
"Namun kejahatan tetap sama saja," kata Poirot dengan halus.Aku segera melihat bahwa Giraud cenderung bersikap bermusuhan. Dia tak suka ada orang lain yang dihubungkan dengan dirinya, dan kurasa bahwa bila dia menemukan suatu petunjuk yang penting, dia akan menyimpannya sendiri.
"Hakim Pemeriksa —" Bex mulai lagi.
Tetapi Giraud memotongnya dengan kasar, "Persetan dengan Hakim Pemeriksa! Yang penting ialah cahaya matahari ini! Kira-kira setengah jam cahaya sudah akan habis, dan
tak bisa lagi dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan praktis. Saya ah tahu semua tentang peristiwanya, dan orang-orang di rumah itu bisa kita tangani besok, tapi kalau kita ingin menemukan petunjuk-petunjuk dari pmbunuhnya, di tempat inilah kita akan menemukannya. Polisikah yang telah menginjak-injak tempat ,mi sensnya? Saya sangka sekarang ini mereka sudah lebih mengerti."
"Tentu mereka tahu. Bekas-bekas yang Anda keluhkan itu telah ditinggalkan oleh para pekerja yang menemukan mayat itu," Teman bicaranya menggeram penuh kebencian.
"Saya melihat bekas jejak kaki tiga orang yang telah melewati pagar tapi mereka itu cerdik. Kita hanya bisa mengenali bekas jejak kaki Tuan Renauld yang berada di tengah-tengah, sedang bekas jejak kaki kedua orang yang di kiri kanannya telah dihapus dengan cermat. Meskipun sebenarnya tak banyak yang bisa dilihat di tanah yang kering dan keras ini, mereka rupanya tak mau mengambil risiko."
"Anda mencari bekas-bekas yang kelihatannya tak penting, bukan?" celetuk Poirot.
"Tentu."
Poirot tersenyum kecil. Kelihatannya dia akan berbicara, tapi dia membatalkannya. Dia membungkuk di tempat sebuah sekop tergeletak.
"Benar sekali," kata Giraud. "Dengan itulah liang kubur itu digali. Tapi Anda tidak akan menemukan apa-apa pada benda itu. Itu adalah sekop Tuan Renauld sendiri, dan orang yang menggunakannya memakai sarung tangan. Ini sarung tangan itu." Dia menunjuk dengan kakinya ke suatu tempat di mana terletak sepasang sarung tangan yang berlepotan tanah.
"Dan sarung tangan itu pun milik Tuan Renauld — atau sekurang-kurangnya kepunyaan tukang kebunnya. Saya katakan sekali lagi. orang yang merencanakan kejahatan itu tak mau untung-untungan. Pria itu ditikam dengan pisau belatinya sendiri, lalu akan dikuburkan dengan sekopnya sendiri pula. Mereka bertekad untuk tidak meninggalkan jejak! Tapi saya akan mengalahkan mereka.Pasti selalu ada sesuatu. Dan saya akan membuktikannya"
Tapi kini agaknya Poirot tertarik akan sesuatu yang lain, sepotong pipa pendek dari timah hitam yang sudah berubah warnanya. Pipa itu terletak di sebelah sekop. Benda itu dipegangnya dengan lembut.
"Lalu apakah barang ini juga milik orang yang  terbunuh itu?" tanyanya. Kurasa aku mendengar sindiran halus dalam pertanyaan itu.Giraud mengangkat bahunya untuk menyatakan bahwa dia tak tahu dan juga tak peduli.
"Mungkin sudah berminggu - minggu terletak di tempat ini. Pokoknya, barang itu tidak menarik perhatian saya."
"Sebaliknya, saya menganggapnya sangat menarik," kata Poirot dengan manis. Kurasa dia semata-mata ingin menjengkelkan detektif dari Paris itu, dan kalau memang begitu, dia telah berhasil. Detektif itu berbalik dengan kasar, sambil berkata bahwa dia tak mau membuang-buang waktu. Dan sambil membungkuk – bungkuk dia mulai mencari lagi di tanah dengan teliti.Sementara itu, Poirot yang seolah-olah tiba-tiba teringat akan sesuatu, pergi melewati perbatasan tanah tadi, lalu mencoba membuka gudang kecil itu.
"Pintu itu terkunci," kata Giraud, sambil menoleh melalui bahunya. "Tapi gudang itu hanya merupakan tempat tukang kebun menyimpan tetek-bengeknya saja. Sekop ini tidak diambil dari situ, melainkan dari gudang alat alat yang ada di dekat rumah."
"Luar biasa," gumam Tuan Bex padaku dengan bersemangat. "Baru setengah jam dia berada di sini, dan dia sudah tahu semuanya! Orang hebat dia! Giraud pastilah seorang detektif yang terbesar yang hidup di zaman ini." Meskipun aku benci sekali pada detektif itu, mau tak mau aku terkesan. Orang itu seakan-akan memancarkan efisiensi kerja. Dengan sendirinya aku merasa, bahwa sampai sebegitu jauh, Poirot belum menonjolkan dirinya demikian hebatnya, dan hal itu membuatku kesal. Poirot seolah-olah selalu mengarahkan perhatiannya pada hal-hal remeh yang tak berarti, yang tak ada hubungannya dengan peristiwa itu.
Sekarang ini pun dia tiba-tiba bertanya, "Tuan Bex, tolong jelaskan, apa arti garis kapur putih yang mengelilingi liang kubur itu. Apakah itu suatu tanda buatan polisi?"
"Bukan, Tuan Poirot, itu urusan lapangan golf ini. Tanda itu menunjukkan bahwa di situlah nanti akan dibuat apa yang disebut dalam dunia golf bunkair "
"Suatu bunkair?" Poirot bertanya dengan berpaling padaku. "Apakah itu sebuah lubang sembarang yang diisi pasir dan sebuah tebing di suatu skinya?"
Aku membenarkannya.
"Anda tidak main golf, Tuan Poirot?" tanya Bex.
"Saya? Tak pernah! Permainan apa itu!" Dia jadi bersemangat.
"Bayangkan saja sendiri, setiap lubang itu berbeda panjangnya. Penghalang – penghalangnya tidak pula diatur secara matematika. Bahkan tanah rumputnya pun kadang-kadang lebih tinggi sebelah. Hanya ada satu hal yang menyenangkan, yaitu, apa namanya ya?  Kotak - kotak tempat berpijak pertama kali itu! Kotak – kotak itu sajalah yang simetris,"
Aku tak dapat menahan tawa, membayangkan bagaimana permainan itu di mata Poirot, dan sahabatku yang kecil itu tersenyum padaku dengan penuh kasih sayang tanpa ada rasa benci. Lalu dia bertanya, 'Tapi Tuan Renauld main golf, bukan?"
"Ya, dia suka sekali main golf. Pembuatan lapangan ini pun bahkan terutama berkat beliau dan besarnya sumbangannya. Dia bahkan punya hak suara dalam perencanaannya."
Poirot mengangguk sambil merenung.Kemudian dia berkata, "Pilihan mereka sama sekali bukan pilihan yang baik untuk menguburkan mayat. Bila para pekerja itu mulai menggali tanah, semua pasti akan ketahuan."
'Tepat," seru Giraud dengan penuh kemenangan. "Dan itu membukt ikan bahwa orang - orang itu tak mengenal daerah ini. Ini suatu bukti tak langsung yang paling bagus."
"Ya," kata Poirot ragu-ragu.
"Orang yang tahu pasti tidak akan mau menguburkannya di situ — kecuali — kecuali kalau mereka memang ingin mayat itu ditemukan. Dan itu tentu tak masuk akal, bukan?" Giraud bahkan tak merasa perlu menjawab.
"Ya" kata Poirot dengan suara agak kesal.
"Ya — jelas — tak masuk akal"

Lanjut ke BAB TUJUH

0 comments:

Post a Comment