Sunday, 20 September 2015

Agatha Christie - Lapangan Golf Maut - BAB DUA

BAB DUA
PERMINTAAN

Lapangan Golf Maut


Pukul sembilan lewat lima menit esok paginya aku memasuki ruang tamu yang kami pakai bersama untuk sarapan. Sahabatku Poirot, yang sebagaimana biasanya selalu tepat pada waktunya, sedang mengetuk-ngetuk kulit telurnya yang kedua. Wajahnya berseri-seri waktu aku masuk.
"Kau pasti tidur nyenyak, ya? Sudahkah kau pulih dari perjalanan penyeberangan yang melelahkan itu? Sungguh hebat, kau datang hampir pada waktunya pagi ini. Maaf, tapi letak dasimu tak simetris. Mari kubetulkan."
Aku sudah pernah melukiskan diri Hercule Poirot. Seorang pria kecil yang luar biasa! Tingginya satu meter enam puluh, kepalanya berbentuk telur, yang selalu agak dimiringkannya, maunya bersinar hijau bila ada sesuatu yang mendebarkannya, kumisnya kaku seperti kumis tentara, sikapnya selalu anggun! Penampilannya apik dan perlente. Dia mempunyai perhatian yang besar sekali mengenai kerapian. Bila melihat letak suatu barang perhiasan tak benar, atau setitik debu, atau letak pakaian seseorang agak mengganggu penglihatan, pria kecil itu akan merasa tersiksa. Rasa tersiksa itu baru akan hilang bila dia bisa memperbaiki hal itu.
Dia mendewakan 'Aturan' dan 'Teori'. Dia selalu meremehkan barang bukti yang nyata, seperti bekas tapak kaki dan abu rokok, dan berpendapat bahwa barang-barang itu tidak akan pernah memungkinkan seorang detektif menyelesaikan suatu masalah. Maka dengan tenang sekali dia akan mengetuk kepalanya yang berbentuk telur itu, dan berkata dengan penuh keyakinan, "Pekerjaan yang sebenar-benar pekerjaan, dikerjakan dar i dalam s ini. Oleh sel-sel kecil yang berwarna abu-abu di sini ini ingat selalu, sel-sel kecil berwarna abu-abu, mon amil"
Aku duduk di tempatku, lalu untuk menjawab kata-kata sambutannya tadi, aku berkata sambil lalu, bahwa penyeberangan laut dari Calais ke Dover yang hanya satu jam itu tak dapat dikatakan melelahkan.
Poirot menggoyang-goyangkan sendok telurnya kuat-kuat dalam membantah kata-kataku itu. "Sama sekali tidak benar! Bila dalam waktu satu jam itu seseorang mengalami suatu sensasi dan emosi yang sangat menyakitkan, maka orang itu akan menghayatinya selama berjam-jam! Bukankah salah s orang penyair Inggris sendiri pernah menulis, bahwa waktu itu tidak dihitung dengan jam, melainkan dengan detak jantung? Tapi kurasa bahwa yang dimaksud oleh Brow ning, sang penyair, adalah sesuatu yang lebih romantis daripada mabuk laut. Karena dia adalah seorang Inggris, seorang dari  kepulauan yang menganggap Spanyol itu bukan apa-apa. Ah, kalian orang-orang Inggris ini! Kami lain!"
Dia tiba-tiba menjadi tegang lalu menunjuk ke tempat roti dengan dramatis.
"Ah, itu lagi, bagus benar!" serunya."Ada apa? Irisan roti itu. Adakah kaulihat?" Diambilnya potongan roti dari tempatnya, lalu diangkatnya supaya kulihat.
"Segi empatkah ini? Tidak. Segi tigakah? Juga tidak. Ataukah bulat? Lagi-lagi tidak. Apakah bentuknya membuat enak mata memandang barang sedikit saja? Simetri apa yang kita lihat di sini? Sama sekali tak ada. Roti adalah potongan dari sebatang roti, Poirot," aku menjelaskan untuk menyenangkan hatinya.Poirot memandangiku dengan murung.
"Bagaimana kecerdasan sahabatku Hastings ini!" serunya dengan mencemooh. "Tidakkah kau me ngerti Lahwa aku sudah melarang membeli roti seperti ini—roti yang sembarangan saja dan tak tentu bentuknya. Sebenarnya tak boleh ada seorang pun tukang roti yang sudi membuatnya!"
Aku berusaha untuk mengalihkan pikirannya."Adakah sesuatu yang menarik yang datang melalui pos?"
Poirot menggeleng dengan sikap tak senang."Aku belum memeriksa surat suratku, tapi kurasa tak ada yang menarik hari ini. Penjahat-penjahat besar, penjahat-penjahat yang bekerja memakai teori, tak ada lagi. Perkara-perkara yang harus kutangani akhir-akhir ini, sangat tak berarti. Kedudukanku sekarang ini sebenarnya sudah merosot menjadi tukang mencari anjing-anjing kesayangan untuk para wanita terkemuka! Perkara terakhir yang agak menarik adalah perkara kecil yang rumit mengenai berlian Yardley itu, padahal itu  sudah berapa bulan yang lalu, Sahabatku?" Dia menggeleng dengan murung.
“BesarKan hatimu, Poirot, nasib akan berubah. Bukalah surat-suratmu. Siapa tahu, mungkin akan muncul suatu perkara besar." Poirot tersenyum, lalu mengambil pisau kecil pembuka amplop yang selalu dipakainya untuk membuka surat-suratnya, dan dipotongnya bagian atas dari beberapa buah amplop yang terletak di dekat
piringnya.
"Surat tagihan. Surat tagihan lagi. Suatu bukti bahwa dalam usia tua ini aku telah menjadi pemboros. Nah, sepucuk surat dari.Japp."
"Ya?" Aku memasang telingaku. Inspektur dari Scotland Yard itu telah berulang kali menawarkan kepada kami perkara yang menarik.
"Dia hanya mengucapkan terima kasih padaku (dengan caranya sendiri), atas bantuan kecilku dalam Perkara Aberystwyth, karena waktu itu aku telah memberinya petunjuk yang benar. Aku senang sudah membantunya."
"Bagaimana dia mengucapkan terima kasihnya?" tanyaku ingin tahu, karena
aku cafiu siapa Japp itu.
"Dia cukup baik. Dia mengatakan bahwa aku masih hebat dalam usiaku yang sudah begini, dan bahwa dia senang telah mendapatkan kesempatan untuk menyertakan aku dalam perkara itu."
Itu memang ciri khas Japp, hingga aku tak bisa menahan tawaku. Poirot terus
membaca surat-suratnya dengan tenang."Ini ada suatu usul supaya aku memberikan ceramah pada perkumpulan Pramuka setempat. Countess Forfanock akan merasa mendapatkan kehormatan bila aku mau mengunjunginya. Pasti aku akan disuruhnya mencari anjing kesayangannya Nah, ini yang terakhir. Nah —"
Aku segera mendengar lalu mengangkat mukaku. Poirot sedang membaca
dengan penuh perhatian. Sebentar kemudian dilemparkannya kertas surat itu padaku.
"Yang ini luar biasa, mon ami. Coba baca sendiri," Surat itu ditulis di atas kertas buatan luar negeri, ditulis tangan dengan huruf besar-besar.

Villa Genevieve MerlinviUe-sur-Mer Pranc is
Tuan yang terhormat,
Saya memerlukan bantuan seorang detektif , dan dengan alasan yang nanti akan saya katakan pada anda, saya tak ingin meminta bantuan polisi. Saya telah banyak mendengar tentang anda dari beberapa sumber . Semua laporan menunjukkan bahwa anda tidak saja punya kemampuan besar , tetapi juga orang yang amat pandai menyimpan rahasia. Saya tak dapat menceritakan apa-apa secara terperinci, karena pos tidak dapat dipercaya, tetapi karena rahasia yang ada da lam tangan saya , setiap hari saya merasa , ketakutan.
Saya yakin bahwa bahaya itu benar benar mengancam, dan  oleh karenanya saya mohon agar Anda secepat mungkin menyeberang ke Prancis. Saya akan mengirim mobil untuk menjemput anda di Calais, bila anda mengirim telegram kapan anda akan tiba. Saya
akan berterima kasih sekali bila Anda mau melepaskan semua perkara yang sedang anda tangani, dan memusatkan seluruh perhatian anda untuk kepentingan saya. Saya bersedia membayar semua ganti ruginya. Mungkin saya akan membutuhkan tenaga anda untuk waktu yang agak lama karena mungkin anda akan perlu pergi ke Santiago, di mana saya pernah tinggal beberapa lamanya. Saya akan senang bila anda mau menyebutkan berapa imbalan yang anda minta. Saya tekankan sekali lagi bahwa soal ini mendesak.

Hormat saya

P.T. Renauld

Di bawah tanda tangan itu tertulis sebaris kata-kata yang dicantumkan dengan tergesa - gesa, sehingga hampir tak terbaca : Demi Tuhan, datang lah!
Surat itu kukembalikan pada Poirot dengan jantung berdebar.
"Akhirnya datang" kataku. "Inilah sesuatu yang jelas lain dari biasanya."
"Memang," kata Poirot sambil merenung.
“Kau tentu akan pergi, bukan?" Lanjutku.
Poirot mengangguk. Dia sedang berpikir dalam sekali Akhirnya dia rupanya telah mengambil keputusan, lalu mendongak, melihat jam. Wajahnya serius.
"Dengar, Sahabat, kita tak boleh membuang waktu. Kereta api ekspres Continental berangkat dari stasiun Victoria pukul sebelas. Jangan bingung. Kita masih sempat berunding selama sepuluh menit. Kau tentu ikut aku, bukan?"
"Yaaah —"
"Kau sendiri berkata bahwa majikanmu tidak akan membutuhkan tenagamu selama beberapa minggu ini."
"Memang benar. Tapi Tuan Renauld ini menekankan dengan tegas bahwa urusannya bersifat penting sekali."
"Alaa, aku bisa menangani Tuan Renauld. Omong-omong, rasanya aku pernah mendengar nama itu."
"Ada seorang jutawan di Amerika Selatan. Namanya Renauld, meskipun kupikir dia orang Inggris asli. Aku tak tahu apakah dia orangnya."
"Pasti dia. Itu sebabnya ada disebut-sebutnya tentang Santiago. Santiago itu terletak di Chili, dan Chili ada di Amerika Selatan! Nah, kita telah membuat kemajuan yang baik."
"Wah, wah, Poirot," kataku dengan lebih berdebar, "aku sudah bisa mencium bau uang banyak dalam perkara ini. Bila kita berhasil, kita akan kaya!"
"Jangan terlalu berharap, Teman. Seorang kaya tak begitu mudah mau berpisah dari uangnya. Aku pernah melihat seorang jutawan terkenal, yang mengerahkan orang satu trem penuh hanya untuk mencarikan uangnya setengah penny yang jatuh." Aku mengakui kebenaran kata-kata itu.
"Bagaimanapun juga," Poirot'melanjutkan, "bukan uangnya yang menarik bagiku dalam hal ini. Memang akan menyenangkan bila kita diberi kuasa penuh dalam pengeluaran uang dalam penyelidikan kita. Dengan demikian kita bisa yakin bahwa kerja kita .tidak akan terlalu banyak menyita waktu. Tapi kadang-kadang dalam perkara yang menarik perhatianku, soal itu sulit. Adakah kaulihat tambahan yang di bawah itu? Bagaimana kesanmu?"
Aku mempertimbangkannya. "Jelas bahwa waktu dia menulis surat itu dia menguasai dirinya, tetapi pada akhirnya dia kehilangan penguasaan dirinya, dan dengan dorongan hati yang tak terkendalikan, dia salah diketiga kata itu."
Tetapi ah abaiku itu menggeleng kuat-kuat,
"Kau keliru. Tidakkah kaulihat bahwa tinta untuk tanda tangannya hampir hitam warnanya, sedang tinta untuk tambahan itu pucat sekali?"
"Lalu?" tanyaku heran.
"Ya, Tuhan, mon ami, gunakan sel-sel kecil kelabumu!.Apakah kurang jelas? Tuan Renauld menulis surat ini. Tanpa mengeringkan tintanya, dia membacanya lagi dengan saksama. Kemudian, bukan hanya terdorong, melainkan dengan sengaja, ditambahkannya kata-kata yang terakhir itu, lalu mengeringkannya?"
"Mengapa?"
"Parbleu! Supaya bisa memberikan kesan atas diriku, sebagaimana kau telah
terkesan,"
"Apa?"
"Mais, oui — supaya aku benar-benar datang! Dibacanya lagi suratnya itu, lalu dia merasa tak puas. Surat itu dirasanya tak cukup kuat!"
Dia berhenti, lalu menambahkan perlahan-lahan dengan mata yang bersinar
hijau yang selalu menandakan gejolak hatinya. "Maka, mon ami, karena katakata tambahan itu ditambahkan bukan karena dorongan hati, melainkan dengan kesadaran, dengan darah tenang, itu menandakan betapa mendesaknya perkara itu, dan kita harus mendatanginya secepat mungkin."
"Merlinville," gumamku sambil merenung. "Kurasa aku pernah mendengar
nama itu."
Poirot mengangguk. "Itu suatu tempat kecil vang tenang tapi itu tak penting! Letaknya kira-kira di pertengahan antara Boulogne dan Calais. Yah, begitulah kebiasaan golongan tertentu Orang-orang Inggris kaya yang ingin hidup tenang. luar. Ji—ald pasti punya rumah di Inggris, ya?"
"Ya, seingatku, di Rutland Gate. Ada sebuah iagi rumah besar di pedesaan, di suatu tempat di Hertfordshire. Tapi sedikit sekali yang kuketahui tentang dia kegiatan sosialnya tak banyak. Kalau tak salah dia punya perusahaan besar yang berpusat di Amerika Selatan, di London, dan dia lama tinggal d Chili dan di Argentina."
"Pokoknya, kita akan mendengar semuanya secara terperinci dari orangnya sendiri. Ayo kita berkemas. Masing-masing cukup sebuah kopor kecil, lalu kita naik taksi ke stasiun Victoria."
"Bagaimana dengan Countess tadi?" tanyaku dengan tersenyum.
"Ah! Aku tak peduli! Perkaranya pasti tak menarik."
"Mengapa kau begitu yakin?"
"Karena kalau memang penting dia pasti datang, bukannya hanya menulis surat. Seorang wanita tak sabar menunggu ingat selalu itu, Hastings."
Pukul sebelas kami berangkat dari Victoria menuju ke Dover. Sebelum berangkat, Poirot mengirimkan sepucuk telegram pada Tuan Renauld, memberitahukan pukul berapa kami akan tiba di Calais.
"Aku heran mengapa kau tidak menyiapkan obat mabuk laut, Poirot," kataku menggodanya, sebab aku ingat percakapan kami waktu sarapan tadi. Sahabatku yang sedang mengamat - amati cuaca dengan penuh perhatian itu, menoleh padaku dengan pandangan marah.
"Apakah kau sudah lupa akan cara ajaran Lavcrguier yang begitu ampuh itu? Aku selalu mempraktekkan ajarannya itu. Ingat, kita menjaga kebimbangan diri kita dengan menolehkan kepala ke kiri dan ke kanan, sambi menghirup dan menghembuskan napas, dengan menghitung enam setiap kali sebelum menarik napas,"
"Hm," kataku dengan tenang. "Kau sudah akan terlalu letih menjaga keseimbangan badanmu dan menghitung enam waktu tiba di Santiago, atau Buenos Ayres, atau ke negara mana pun yang kautuju”
"Pikirkan apa itu! Apa kausangka aku akan pergi ke Santiago?"
"Bukankah Tuan Renauld menyebutnya dalam suratnya?"
"Dia tak tahu cara kerja Hercule Poirot. Aku tak mau berlari hilir-mudik, bepergian dan meletihkan diriku. Pekerjaanku dilaksanakan dari dalam sini" katanya sambil mengetuk - ngetuk dahinya.
Sebagaimana biasa, pernyataan itu menimbulkan keinginanku untuk menentang. "Boleh saja, Poirot, tapi kurasa kau punya kebiasaan terlalu membenci hal – hal tertentu. Nyatanya suatu bekas sidik jari kadang-kadang bisa berakibat tertangkapnya dan terhukumnya seorang pembunuh."
"Dan pasti, juga telah menyebabkan seseorang yang tak bersalah digantung," kata Poirot datar.
"Tapi pengetahuan tentang sidik jari dan bekas tapak kaki, macam-macam jenis lumpur, dan petunjuk-petunjuk lain yang tercakup dalam penyelidikan terperinci sampai sekecil-kecilnya — semuanya itu tentu amat penting, bukan?"
"Tentu. Aku tak pernah membantah hal itu. Seorang penyelidik yang terlatih, seorang ahii, tentulah amat berguna! Tapi yang lain-lain, orang-orang seperti Hercule Poirot adalah lebih dari ahli itu! Bagi mereka, para ahli itu memberikan petunjuk-petunjuk nyata. Pekerjaan mereka adalah memikirkan cara kerja kejahatan itu, uraian yang masuk akal, urut-urutan kerja yang tepat serta susunan kenyataan-kenyataannya; dan di atas segalanya inti psikologis perkara itu. Kau tentu pernah berburu rubah, ya?"
"Kadang-kadang aku berburu," kataku, agak kebingungan oleh perubahan bahan pembicaraan yang tiba-tiba itu. "Mengapa?"
" Eh bien, dalam berburu itu kau membutuhkan anjing, bukan?"
"Anjing pemburu," aku menambahkan dengan halus. "Ya, tentu."
"Tapi," Poirot mengacung-acungkan jarinya padaku, "kau tentu tidak turun dari kudamu dan berlari-lari di tanah sambil mengendus-endus tanah dengan hidungmu dan berseru nyaring-nyaring”
Tanpa kusadari aku tertawa terbahak. Poirot mengangguk puas.
"Jadi kaubiarkan anjing pemburu itu melakukan pekerjaannya sebagai anjing, bukan? Lalu mengapa kausuruh aku, Hercule Poirot, merendahkan diriku dengan merangkak (mungkin di rumput yang lembab), hanya untuk mempelajari bekas jejak kaki yang mencurigakan? Ingat misteri di Kereta Ekspres Plymouth. Si Japp yang baik itu pergi untuk mengadakan pemeriksaan di jalan kereta api itu. Waktu dia kembali, aku, yang sama sekali tidak beranjak dari apartemenku, bisa mengatakan padanya dengan tepat, apa yang telah
ditemukannya di sana."
“Jadi kau berpendapat bahwa Japp telah membuang-buang waktunya?"
"Sama sekali tidak, karena hasil pemeriksaannya membuktikan kebenaran teoriku. Tapi kalau aku yang harus pergi, itu berarti pemborosan waktu. Demikian pula halnya dengan apa yang dinamakan ahli-ahli itu. Ingat kesaksian tulisan tangan dalam Perkara Cavendish itu. Berdasarkan tanya jawab pembela, dinyatakan adanya persamaan tulisan tangan, tapi terdakwa membawa bukti yarrg menunjukkan ketidaksamaannya. Semua bahasanya bersifat teknis. Dan hasilnya? Apa yang memang sudah kita ketahui sejak semula. Tulisannya sama benar dengan tulisan John Cavendish. Dan pikiran kita dihadapkan pada pertanyaan 'Mengapa?' Apakah karena tulisan itu memang tulisannya sendiri? Ataukah karena seseorang ingin agar kita menyangka demikian? Aku menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, mon ami,
dan jawabanku tepat."
Dan Poirot yang telah berhasil membuatku terdiam, meskipun tidak meyakinkan diriku, bersandar dengan rasa puas. Di kapal aku menyadari bahwa aku sebaiknya tidak mengganggu sahabatku yang sedang menyendiri itu. Cuaca cerah sekali, dan laut tenang, setenang air dalam kolam, Jadi aku tak heran waktu Poirot menyertai aku turun di Calais dengan tersenyum. Dikatakannya bahwa metode Laverguier sekali lagi terbukti kebenarannya. Tetapi kami menghadapi kekecewaan, karena tak ada mobil yang menjemput kami, Poirot menjelaskan hal itu dengan mengatakan bahwa telegramnya terlambat dikirimkan.
"Karena kita diberi kebebasan dalam pengeluaran uang, kita sewa saja mobil," katanya ceria Dan beberapa menit kemudian kami sudah terbanting - banting dalam sebuah mobil sewaan yang paling buruk, yang berderak-derak, menuju ke Merlinville. Semangatku sedang menggebu-gebu,
"Bagus benar cuaca!" aku berseru. "Ini pasti akan merupakan perjalanan yang
menyenangkan."
"Untukmu, memang. Untukku, ingat, ada pekerjaan yang harus kuselesaikan di akhir perjalanan ini."
"Ah!" kataku ceria. "Kau pasti akan menemukan segalanya, meyakinkan Tuan Renauld bahwa dia aman, kau akan mengejar calon pembunuhnya, dan semuanya akan berakhir dengan cemerlang."
"Kau optimis sekali, Sahabatku."
"Memang, aku begitu yakin akan keberhasilan. Bukankah kau satu-satunya
Hercule Poirot?"
Tetapi sahabat kecilku itu tidak menangkap umpanku. Dia memperhatikan diriku dengan serius.
"Kau ini seperti peramal saja, Hastings. Itu bahkan akan merupakan alamat suatu bencana."
"Omong kosong. Bagaimanapun juga, perasaanmu lain daripada perasaanku."
"Memang lain, aku takut."
'Takut apa?"
"Entahlah. Tapi aku punya suatu firasat entah apa!"
Bicaranya demikian seriusnya hingga mau tak mau aku pun terkesan.
"Aku punya perasaan," katanya lambat-lambat, "bahwa ini akan merupakan suatu peristiwa besar — suatu perkara yang panjang dan sulit, yang tidak akan
mudah diselesaikan."
Aku masih ingin bertanya lagi, tetapi kami sudah memasuki kota kecil Merlinville, dan pengemudi mengurangi kecepatan mobil untuk menanyakan jalan ke Villa Genevieve.
"Lurus saja, Tuan, memotong kota. Villa Genevieve itu kira-kira setengah mil di sebelah ujung kota. Anda pasti bisa menemukannya. Sebuah villa besar yang menghadap ke laut."
Kami mengucapkan terima kasih pada orang yang memberi keterangan ku, lalu meneruskan perjalanan kami, meninggalkan kota. Karena jalan bercabang dua, kami jadi harus berhenti lagi. Seorang petani sedang berjalan ke arah kami, dan kami menunggu sampai dia tiba ke dekat kami untuk menanyakan jalan lagi. Tepat di sisi jalan ada sebuah villa kecil, tetapi villa itu terlalu kecil dan tak terpelihara, hingga tak mungkin itu yang sedang kami cari.
Sedang kami menunggu, pintu pagarnya terbuka dan seorang gadis keluar. Kini petani itu lewat di sisi kami, dan supir menjengukkan kepalanya ke luar untuk menanyakan arah.
"Villa Genevieve? Beberapa langkah saja lagi terus di jalan ini, lalu membelok ke kanan, Mons ieur. Kalau tak ada tikungan itu, Anda pasti sudah bisa melihatnya dari sini."
Supir mengucapkan terima kasih padanya, lalu menghidupkan mesin mobil lagi. Mataku melekat memandangi gadis yang masih berdiri melihat pada kami, sambil memegang pintu pagar dengan sebetah tangannya. Aku seorang pengagum keindahan, dan inilah suatu keindahan yang tak dapat dilewati oleh siapa pun tanpa mengatakan sesuatu. Dia tinggi semampai, bentuk tubuhnya seperti dewi yang muda, rambutnya yang berwarna keemasan memancar kena sinar matahari. Aku berani bersumpah pada diriku sendiri bahwa dia adalah gadis tercantik yang pernah kulihat. Waktu kami membelok ke jalan yang berbatu-batu, aku menoleh lagi, melihatnya.
"Astaga, Poirot," aku berseru, "adakah kaulihat dewi muda itu?"
Poirot mengangkat alisnya. "Nah, mulai lagi kau!" gumamnya. "Belum-belum kau sudah melihat dewi!"
"Ah, sudahlah, dia memang dewi, bukan?"
"Mungkin. Aku tak melihat kenyataan itu."
"Masakan kau tidak melihatnya!"
"Mo n ami, jarang sekali dua orang melihat hal yang sama. Umpama saja, yang kaulihat adalah dewi. Sedang aku —" dia ragu sebentar. Bagaimana?"
"Aku hanya melihat seorang gadis yang bermata penuh rasa takut," kata Poirot serius.
Pada saat itu kami memasuki sebuah pintu pagar besar yang berwarna hijau, dan kami mengeluarkan kata seru serentak. Di hadapan pintu pagar itu berdiri seorang agen polisi yang tegap. Dia mengangkat tangannya menghalangi kami.
"Tuan-tuan tak bisa lewat."
'Tapi kami harus bertemu dengan Tuan Renauld," aku berseru. "Kami ada janji dengan beliau. Bukankah ini villanya?"
"Benar, Tuan.tapi —"
Poirot membungkukkan tubuhnya ke depan. "Tapi apa?"
"Tuan Renauld terbunuh pagi ini."

Lanjut ke BAB TIGA

0 comments:

Post a Comment