BAB DUA
PERMINTAAN
"Kau
pasti tidur nyenyak, ya? Sudahkah kau pulih dari perjalanan penyeberangan yang
melelahkan itu? Sungguh hebat, kau datang hampir pada waktunya pagi ini. Maaf,
tapi letak dasimu tak simetris. Mari kubetulkan."
Aku
sudah pernah melukiskan diri Hercule Poirot. Seorang pria kecil yang luar
biasa! Tingginya satu meter enam puluh, kepalanya berbentuk telur, yang selalu
agak dimiringkannya, maunya bersinar hijau bila ada sesuatu yang
mendebarkannya, kumisnya kaku seperti kumis tentara, sikapnya selalu anggun! Penampilannya
apik dan perlente. Dia mempunyai perhatian yang besar sekali mengenai kerapian.
Bila melihat letak suatu barang perhiasan tak benar, atau setitik debu, atau
letak pakaian seseorang agak mengganggu penglihatan, pria kecil itu akan merasa
tersiksa. Rasa tersiksa itu baru akan hilang bila dia bisa memperbaiki hal itu.
Dia
mendewakan 'Aturan' dan 'Teori'. Dia selalu meremehkan barang bukti yang nyata,
seperti bekas tapak kaki dan abu rokok, dan berpendapat bahwa barang-barang itu
tidak akan pernah memungkinkan seorang detektif menyelesaikan suatu masalah.
Maka dengan tenang sekali dia akan mengetuk kepalanya yang berbentuk telur itu,
dan berkata dengan penuh keyakinan, "Pekerjaan yang sebenar-benar pekerjaan,
dikerjakan dar i dalam s ini. Oleh sel-sel kecil yang berwarna abu-abu di sini
ini ingat selalu, sel-sel kecil berwarna abu-abu, mon amil"
Aku
duduk di tempatku, lalu untuk menjawab kata-kata sambutannya tadi, aku berkata sambil
lalu, bahwa penyeberangan laut dari Calais ke Dover yang hanya satu jam itu tak
dapat dikatakan melelahkan.
Poirot
menggoyang-goyangkan sendok telurnya kuat-kuat dalam membantah kata-kataku itu.
"Sama sekali tidak benar! Bila dalam waktu satu jam itu seseorang
mengalami suatu sensasi dan emosi yang sangat menyakitkan, maka orang itu akan
menghayatinya selama berjam-jam! Bukankah salah s orang penyair Inggris sendiri
pernah menulis, bahwa waktu itu tidak dihitung dengan jam, melainkan dengan
detak jantung? Tapi kurasa bahwa yang dimaksud oleh Brow ning, sang penyair, adalah
sesuatu yang lebih romantis daripada mabuk laut. Karena dia adalah seorang
Inggris, seorang dari kepulauan yang
menganggap Spanyol itu bukan apa-apa. Ah, kalian orang-orang Inggris ini! Kami
lain!"
Dia
tiba-tiba menjadi tegang lalu menunjuk ke tempat roti dengan dramatis.
"Ah,
itu lagi, bagus benar!" serunya."Ada apa? Irisan roti itu. Adakah
kaulihat?" Diambilnya potongan roti dari tempatnya, lalu diangkatnya
supaya kulihat.
"Segi
empatkah ini? Tidak. Segi tigakah? Juga tidak. Ataukah bulat? Lagi-lagi tidak.
Apakah bentuknya membuat enak mata memandang barang sedikit saja? Simetri apa yang
kita lihat di sini? Sama sekali tak ada. Roti adalah potongan dari sebatang roti,
Poirot," aku menjelaskan untuk menyenangkan hatinya.Poirot memandangiku
dengan murung.
"Bagaimana
kecerdasan sahabatku Hastings ini!" serunya dengan mencemooh.
"Tidakkah kau me ngerti Lahwa aku sudah melarang membeli roti seperti
ini—roti yang sembarangan saja dan tak tentu bentuknya. Sebenarnya tak boleh
ada seorang pun tukang roti yang sudi membuatnya!"
Aku
berusaha untuk mengalihkan pikirannya."Adakah sesuatu yang menarik yang
datang melalui pos?"
Poirot
menggeleng dengan sikap tak senang."Aku belum memeriksa surat suratku,
tapi kurasa tak ada yang menarik hari ini. Penjahat-penjahat besar,
penjahat-penjahat yang bekerja memakai teori, tak ada lagi. Perkara-perkara
yang harus kutangani akhir-akhir ini, sangat tak berarti. Kedudukanku sekarang
ini sebenarnya sudah merosot menjadi tukang mencari anjing-anjing kesayangan
untuk para wanita terkemuka! Perkara terakhir yang agak menarik adalah perkara
kecil yang rumit mengenai berlian Yardley itu, padahal itu sudah berapa bulan yang lalu,
Sahabatku?" Dia menggeleng dengan murung.
“BesarKan
hatimu, Poirot, nasib akan berubah. Bukalah surat-suratmu. Siapa tahu, mungkin
akan muncul suatu perkara besar." Poirot tersenyum, lalu mengambil pisau
kecil pembuka amplop yang selalu dipakainya untuk membuka surat-suratnya, dan dipotongnya
bagian atas dari beberapa buah amplop yang terletak di dekat
piringnya.
"Surat
tagihan. Surat tagihan lagi. Suatu bukti bahwa dalam usia tua ini aku telah
menjadi pemboros. Nah, sepucuk surat dari.Japp."
"Ya?"
Aku memasang telingaku. Inspektur dari Scotland Yard itu telah berulang kali
menawarkan kepada kami perkara yang menarik.
"Dia
hanya mengucapkan terima kasih padaku (dengan caranya sendiri), atas bantuan
kecilku dalam Perkara Aberystwyth, karena waktu itu aku telah memberinya
petunjuk yang benar. Aku senang sudah membantunya."
"Bagaimana
dia mengucapkan terima kasihnya?" tanyaku ingin tahu, karena
aku cafiu siapa
Japp itu.
"Dia
cukup baik. Dia mengatakan bahwa aku masih hebat dalam usiaku yang sudah
begini, dan bahwa dia senang telah mendapatkan kesempatan untuk menyertakan aku
dalam perkara itu."
Itu
memang ciri khas Japp, hingga aku tak bisa menahan tawaku. Poirot terus
membaca
surat-suratnya dengan tenang."Ini ada suatu usul supaya aku memberikan
ceramah pada perkumpulan Pramuka setempat. Countess Forfanock akan merasa mendapatkan
kehormatan bila aku mau mengunjunginya. Pasti aku akan disuruhnya mencari
anjing kesayangannya Nah, ini yang terakhir. Nah —"
Aku
segera mendengar lalu mengangkat mukaku. Poirot sedang membaca
dengan penuh
perhatian. Sebentar kemudian dilemparkannya kertas surat itu padaku.
"Yang
ini luar biasa, mon ami. Coba baca sendiri," Surat itu ditulis di atas
kertas buatan luar negeri, ditulis tangan dengan huruf besar-besar.
Villa Genevieve
MerlinviUe-sur-Mer Pranc is
Tuan
yang terhormat,
Saya
memerlukan bantuan seorang detektif , dan dengan alasan yang nanti akan saya katakan
pada anda, saya tak ingin meminta bantuan polisi. Saya telah banyak mendengar
tentang anda dari beberapa sumber . Semua laporan menunjukkan bahwa anda tidak
saja punya kemampuan besar , tetapi juga orang yang amat pandai menyimpan
rahasia. Saya tak dapat menceritakan apa-apa secara terperinci, karena pos tidak
dapat dipercaya, tetapi karena rahasia yang ada da lam tangan saya , setiap hari
saya merasa , ketakutan.
Saya
yakin bahwa bahaya itu benar benar mengancam, dan oleh karenanya saya mohon agar Anda secepat mungkin menyeberang ke
Prancis. Saya akan mengirim mobil untuk menjemput anda di Calais, bila anda
mengirim telegram kapan anda akan tiba. Saya
akan berterima
kasih sekali bila Anda mau melepaskan semua perkara yang sedang anda tangani,
dan memusatkan seluruh perhatian anda untuk kepentingan saya. Saya bersedia
membayar semua ganti ruginya. Mungkin saya akan membutuhkan tenaga anda untuk
waktu yang agak lama karena mungkin anda akan perlu pergi ke Santiago, di mana
saya pernah tinggal beberapa lamanya. Saya akan senang bila anda mau
menyebutkan berapa imbalan yang anda minta. Saya tekankan sekali lagi bahwa
soal ini mendesak.
Hormat saya
P.T. Renauld
Di
bawah tanda tangan itu tertulis sebaris kata-kata yang dicantumkan dengan
tergesa - gesa, sehingga hampir tak terbaca : Demi Tuhan, datang lah!
Surat
itu kukembalikan pada Poirot dengan jantung berdebar.
"Akhirnya
datang" kataku. "Inilah sesuatu yang jelas lain dari biasanya."
"Memang,"
kata Poirot sambil merenung.
“Kau
tentu akan pergi, bukan?" Lanjutku.
Poirot
mengangguk. Dia sedang berpikir dalam sekali Akhirnya dia rupanya telah
mengambil keputusan, lalu mendongak, melihat jam. Wajahnya serius.
"Dengar,
Sahabat, kita tak boleh membuang waktu. Kereta api ekspres Continental
berangkat dari stasiun Victoria pukul sebelas. Jangan bingung. Kita masih
sempat berunding selama sepuluh menit. Kau tentu ikut aku, bukan?"
"Yaaah
—"
"Kau
sendiri berkata bahwa majikanmu tidak akan membutuhkan tenagamu selama beberapa
minggu ini."
"Memang
benar. Tapi Tuan Renauld ini menekankan dengan tegas bahwa urusannya bersifat
penting sekali."
"Alaa,
aku bisa menangani Tuan Renauld. Omong-omong, rasanya aku pernah mendengar nama
itu."
"Ada
seorang jutawan di Amerika Selatan. Namanya Renauld, meskipun kupikir dia orang
Inggris asli. Aku tak tahu apakah dia orangnya."
"Pasti
dia. Itu sebabnya ada disebut-sebutnya tentang Santiago. Santiago itu terletak
di Chili, dan Chili ada di Amerika Selatan! Nah, kita telah membuat kemajuan
yang baik."
"Wah,
wah, Poirot," kataku dengan lebih berdebar, "aku sudah bisa mencium
bau uang banyak dalam perkara ini. Bila kita berhasil, kita akan kaya!"
"Jangan
terlalu berharap, Teman. Seorang kaya tak begitu mudah mau berpisah dari
uangnya. Aku pernah melihat seorang jutawan terkenal, yang mengerahkan orang
satu trem penuh hanya untuk mencarikan uangnya setengah penny yang jatuh."
Aku mengakui kebenaran kata-kata itu.
"Bagaimanapun
juga," Poirot'melanjutkan, "bukan uangnya yang menarik bagiku dalam
hal ini. Memang akan menyenangkan bila kita diberi kuasa penuh dalam
pengeluaran uang dalam penyelidikan kita. Dengan demikian kita bisa yakin bahwa
kerja kita .tidak akan terlalu banyak menyita waktu. Tapi kadang-kadang dalam
perkara yang menarik perhatianku, soal itu sulit. Adakah kaulihat tambahan yang
di bawah itu? Bagaimana kesanmu?"
Aku
mempertimbangkannya. "Jelas bahwa waktu dia menulis surat itu dia menguasai
dirinya, tetapi pada akhirnya dia kehilangan penguasaan dirinya, dan dengan
dorongan hati yang tak terkendalikan, dia salah diketiga kata itu."
Tetapi
ah abaiku itu menggeleng kuat-kuat,
"Kau
keliru. Tidakkah kaulihat bahwa tinta untuk tanda tangannya hampir hitam
warnanya, sedang tinta untuk tambahan itu pucat sekali?"
"Lalu?"
tanyaku heran.
"Ya,
Tuhan, mon ami, gunakan sel-sel kecil kelabumu!.Apakah kurang jelas? Tuan
Renauld menulis surat ini. Tanpa mengeringkan tintanya, dia membacanya lagi
dengan saksama. Kemudian, bukan hanya terdorong, melainkan dengan sengaja, ditambahkannya
kata-kata yang terakhir itu, lalu mengeringkannya?"
"Mengapa?"
"Parbleu!
Supaya bisa memberikan kesan atas diriku, sebagaimana kau telah
terkesan,"
"Apa?"
"Mais,
oui — supaya aku benar-benar datang! Dibacanya lagi suratnya itu, lalu dia merasa
tak puas. Surat itu dirasanya tak cukup kuat!"
Dia
berhenti, lalu menambahkan perlahan-lahan dengan mata yang bersinar
hijau yang
selalu menandakan gejolak hatinya. "Maka, mon ami, karena katakata tambahan
itu ditambahkan bukan karena dorongan hati, melainkan dengan kesadaran, dengan
darah tenang, itu menandakan betapa mendesaknya perkara itu, dan kita harus
mendatanginya secepat mungkin."
"Merlinville,"
gumamku sambil merenung. "Kurasa aku pernah mendengar
nama itu."
Poirot
mengangguk. "Itu suatu tempat kecil vang tenang tapi itu tak penting!
Letaknya kira-kira di pertengahan antara Boulogne dan Calais. Yah, begitulah
kebiasaan golongan tertentu Orang-orang Inggris kaya yang ingin hidup tenang.
luar. Ji—ald pasti punya rumah di Inggris, ya?"
"Ya,
seingatku, di Rutland Gate. Ada sebuah iagi rumah besar di pedesaan, di suatu
tempat di Hertfordshire. Tapi sedikit sekali yang kuketahui tentang dia kegiatan
sosialnya tak banyak. Kalau tak salah dia punya perusahaan besar yang berpusat
di Amerika Selatan, di London, dan dia lama tinggal d Chili dan di
Argentina."
"Pokoknya,
kita akan mendengar semuanya secara terperinci dari orangnya sendiri. Ayo kita
berkemas. Masing-masing cukup sebuah kopor kecil, lalu kita naik taksi ke
stasiun Victoria."
"Bagaimana
dengan Countess tadi?" tanyaku dengan tersenyum.
"Ah!
Aku tak peduli! Perkaranya pasti tak menarik."
"Mengapa
kau begitu yakin?"
"Karena
kalau memang penting dia pasti datang, bukannya hanya menulis surat. Seorang
wanita tak sabar menunggu ingat selalu itu, Hastings."
Pukul
sebelas kami berangkat dari Victoria menuju ke Dover. Sebelum berangkat, Poirot
mengirimkan sepucuk telegram pada Tuan Renauld, memberitahukan pukul berapa
kami akan tiba di Calais.
"Aku
heran mengapa kau tidak menyiapkan obat mabuk laut, Poirot," kataku
menggodanya, sebab aku ingat percakapan kami waktu sarapan tadi. Sahabatku yang
sedang mengamat - amati cuaca dengan penuh perhatian itu, menoleh padaku dengan
pandangan marah.
"Apakah
kau sudah lupa akan cara ajaran Lavcrguier yang begitu ampuh itu? Aku selalu
mempraktekkan ajarannya itu. Ingat, kita menjaga kebimbangan diri kita dengan
menolehkan kepala ke kiri dan ke kanan, sambi menghirup dan menghembuskan
napas, dengan menghitung enam setiap kali sebelum menarik napas,"
"Hm,"
kataku dengan tenang. "Kau sudah akan terlalu letih menjaga keseimbangan
badanmu dan menghitung enam waktu tiba di Santiago, atau Buenos Ayres, atau ke
negara mana pun yang kautuju”
"Pikirkan
apa itu! Apa kausangka aku akan pergi ke Santiago?"
"Bukankah
Tuan Renauld menyebutnya dalam suratnya?"
"Dia
tak tahu cara kerja Hercule Poirot. Aku tak mau berlari hilir-mudik, bepergian
dan meletihkan diriku. Pekerjaanku dilaksanakan dari dalam sini" katanya
sambil mengetuk - ngetuk dahinya.
Sebagaimana
biasa, pernyataan itu menimbulkan keinginanku untuk menentang. "Boleh
saja, Poirot, tapi kurasa kau punya kebiasaan terlalu membenci hal – hal
tertentu. Nyatanya suatu bekas sidik jari kadang-kadang bisa berakibat tertangkapnya
dan terhukumnya seorang pembunuh."
"Dan
pasti, juga telah menyebabkan seseorang yang tak bersalah digantung," kata
Poirot datar.
"Tapi
pengetahuan tentang sidik jari dan bekas tapak kaki, macam-macam jenis lumpur,
dan petunjuk-petunjuk lain yang tercakup dalam penyelidikan terperinci sampai
sekecil-kecilnya — semuanya itu tentu amat penting, bukan?"
"Tentu.
Aku tak pernah membantah hal itu. Seorang penyelidik yang terlatih, seorang
ahii, tentulah amat berguna! Tapi yang lain-lain, orang-orang seperti Hercule
Poirot adalah lebih dari ahli itu! Bagi mereka, para ahli itu memberikan petunjuk-petunjuk
nyata. Pekerjaan mereka adalah memikirkan cara kerja kejahatan itu, uraian yang
masuk akal, urut-urutan kerja yang tepat serta susunan kenyataan-kenyataannya;
dan di atas segalanya inti psikologis perkara itu. Kau tentu pernah berburu
rubah, ya?"
"Kadang-kadang
aku berburu," kataku, agak kebingungan oleh perubahan bahan pembicaraan
yang tiba-tiba itu. "Mengapa?"
"
Eh bien, dalam berburu itu kau membutuhkan anjing, bukan?"
"Anjing
pemburu," aku menambahkan dengan halus. "Ya, tentu."
"Tapi,"
Poirot mengacung-acungkan jarinya padaku, "kau tentu tidak turun dari
kudamu dan berlari-lari di tanah sambil mengendus-endus tanah dengan hidungmu
dan berseru nyaring-nyaring”
Tanpa
kusadari aku tertawa terbahak. Poirot mengangguk puas.
"Jadi
kaubiarkan anjing pemburu itu melakukan pekerjaannya sebagai anjing, bukan?
Lalu mengapa kausuruh aku, Hercule Poirot, merendahkan diriku dengan merangkak
(mungkin di rumput yang lembab), hanya untuk mempelajari bekas jejak kaki yang
mencurigakan? Ingat misteri di Kereta Ekspres Plymouth. Si Japp yang baik itu
pergi untuk mengadakan pemeriksaan di jalan kereta api itu. Waktu dia kembali,
aku, yang sama sekali tidak beranjak dari apartemenku, bisa mengatakan padanya
dengan tepat, apa yang telah
ditemukannya di
sana."
“Jadi
kau berpendapat bahwa Japp telah membuang-buang waktunya?"
"Sama
sekali tidak, karena hasil pemeriksaannya membuktikan kebenaran teoriku. Tapi
kalau aku yang harus pergi, itu berarti pemborosan waktu. Demikian pula halnya
dengan apa yang dinamakan ahli-ahli itu. Ingat kesaksian tulisan tangan dalam
Perkara Cavendish itu. Berdasarkan tanya jawab pembela, dinyatakan adanya
persamaan tulisan tangan, tapi terdakwa membawa bukti yarrg menunjukkan
ketidaksamaannya. Semua bahasanya bersifat teknis. Dan hasilnya? Apa yang
memang sudah kita ketahui sejak semula. Tulisannya sama benar dengan tulisan
John Cavendish. Dan pikiran kita dihadapkan pada pertanyaan 'Mengapa?' Apakah
karena tulisan itu memang tulisannya sendiri? Ataukah karena seseorang ingin
agar kita menyangka demikian? Aku menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, mon ami,
dan jawabanku
tepat."
Dan
Poirot yang telah berhasil membuatku terdiam, meskipun tidak meyakinkan diriku,
bersandar dengan rasa puas. Di kapal aku menyadari bahwa aku sebaiknya tidak
mengganggu sahabatku yang sedang menyendiri itu. Cuaca cerah sekali, dan laut
tenang, setenang air dalam kolam, Jadi aku tak heran waktu Poirot menyertai aku
turun di Calais dengan tersenyum. Dikatakannya bahwa metode Laverguier sekali
lagi terbukti kebenarannya. Tetapi kami menghadapi kekecewaan, karena tak ada mobil
yang menjemput kami, Poirot menjelaskan hal itu dengan mengatakan bahwa
telegramnya terlambat dikirimkan.
"Karena
kita diberi kebebasan dalam pengeluaran uang, kita sewa saja mobil,"
katanya ceria Dan beberapa menit kemudian kami sudah terbanting - banting dalam
sebuah mobil sewaan yang paling buruk, yang berderak-derak, menuju ke
Merlinville. Semangatku sedang menggebu-gebu,
"Bagus
benar cuaca!" aku berseru. "Ini pasti akan merupakan perjalanan yang
menyenangkan."
"Untukmu,
memang. Untukku, ingat, ada pekerjaan yang harus kuselesaikan di akhir
perjalanan ini."
"Ah!"
kataku ceria. "Kau pasti akan menemukan segalanya, meyakinkan Tuan Renauld
bahwa dia aman, kau akan mengejar calon pembunuhnya, dan semuanya akan berakhir
dengan cemerlang."
"Kau
optimis sekali, Sahabatku."
"Memang,
aku begitu yakin akan keberhasilan. Bukankah kau satu-satunya
Hercule
Poirot?"
Tetapi
sahabat kecilku itu tidak menangkap umpanku. Dia memperhatikan diriku dengan
serius.
"Kau
ini seperti peramal saja, Hastings. Itu bahkan akan merupakan alamat suatu
bencana."
"Omong
kosong. Bagaimanapun juga, perasaanmu lain daripada perasaanku."
"Memang
lain, aku takut."
'Takut
apa?"
"Entahlah.
Tapi aku punya suatu firasat entah apa!"
Bicaranya
demikian seriusnya hingga mau tak mau aku pun terkesan.
"Aku
punya perasaan," katanya lambat-lambat, "bahwa ini akan merupakan suatu
peristiwa besar — suatu perkara yang panjang dan sulit, yang tidak akan
mudah
diselesaikan."
Aku
masih ingin bertanya lagi, tetapi kami sudah memasuki kota kecil Merlinville,
dan pengemudi mengurangi kecepatan mobil untuk menanyakan jalan ke Villa
Genevieve.
"Lurus
saja, Tuan, memotong kota. Villa Genevieve itu kira-kira setengah mil di
sebelah ujung kota. Anda pasti bisa menemukannya. Sebuah villa besar yang
menghadap ke laut."
Kami
mengucapkan terima kasih pada orang yang memberi keterangan ku, lalu meneruskan
perjalanan kami, meninggalkan kota. Karena jalan bercabang dua, kami jadi harus
berhenti lagi. Seorang petani sedang berjalan ke arah kami, dan kami menunggu
sampai dia tiba ke dekat kami untuk menanyakan jalan lagi. Tepat di sisi jalan
ada sebuah villa kecil, tetapi villa itu terlalu kecil dan tak terpelihara,
hingga tak mungkin itu yang sedang kami cari.
Sedang
kami menunggu, pintu pagarnya terbuka dan seorang gadis keluar. Kini petani itu
lewat di sisi kami, dan supir menjengukkan kepalanya ke luar untuk menanyakan
arah.
"Villa
Genevieve? Beberapa langkah saja lagi terus di jalan ini, lalu membelok ke
kanan, Mons ieur. Kalau tak ada tikungan itu, Anda pasti sudah bisa melihatnya
dari sini."
Supir
mengucapkan terima kasih padanya, lalu menghidupkan mesin mobil lagi. Mataku
melekat memandangi gadis yang masih berdiri melihat pada kami, sambil memegang
pintu pagar dengan sebetah tangannya. Aku seorang pengagum keindahan, dan
inilah suatu keindahan yang tak dapat dilewati oleh siapa pun tanpa mengatakan
sesuatu. Dia tinggi semampai, bentuk tubuhnya seperti dewi yang muda, rambutnya
yang berwarna keemasan memancar kena sinar matahari. Aku berani bersumpah pada
diriku sendiri bahwa dia adalah gadis tercantik yang pernah kulihat. Waktu kami
membelok ke jalan yang berbatu-batu, aku menoleh lagi, melihatnya.
"Astaga,
Poirot," aku berseru, "adakah kaulihat dewi muda itu?"
Poirot
mengangkat alisnya. "Nah, mulai lagi kau!" gumamnya.
"Belum-belum kau sudah melihat dewi!"
"Ah,
sudahlah, dia memang dewi, bukan?"
"Mungkin.
Aku tak melihat kenyataan itu."
"Masakan
kau tidak melihatnya!"
"Mo
n ami, jarang sekali dua orang melihat hal yang sama. Umpama saja, yang
kaulihat adalah dewi. Sedang aku —" dia ragu sebentar. Bagaimana?"
"Aku
hanya melihat seorang gadis yang bermata penuh rasa takut," kata Poirot
serius.
Pada
saat itu kami memasuki sebuah pintu pagar besar yang berwarna hijau, dan kami
mengeluarkan kata seru serentak. Di hadapan pintu pagar itu berdiri seorang
agen polisi yang tegap. Dia mengangkat tangannya menghalangi kami.
"Tuan-tuan
tak bisa lewat."
'Tapi
kami harus bertemu dengan Tuan Renauld," aku berseru. "Kami ada janji
dengan beliau. Bukankah ini villanya?"
"Benar,
Tuan.tapi —"
Poirot
membungkukkan tubuhnya ke depan. "Tapi apa?"
"Tuan
Renauld terbunuh pagi ini."
Lanjut ke BAB TIGA
0 comments:
Post a Comment