Wednesday, 23 September 2015

Agatha Christie - Lapangan Golf Maut - BAB LIMA

BAB LIMA
KISAH NYONYA RENAULD

Lapangan Golf Maut

Tuan Hautet kami temui sedang menunggu kami di lorong rumah, lalu kami semua naik ke lantai atas bersama-sama. Francoise berjalan di depan untuk menunjukkan jalan.
Poirot berjalan naik dengan cara membelek-belok. Aku keheranan, sampai dia kemudian berbisik sambil meringis, "Pantas para pelayan mendengar waktu Tuan Renauld menaiki tangga, setiap anak tangga yang diinjak berderak-derak, hingga orang yang sudah mati pun bisa bangun."
Di atas tangga ada sebuah lorong yang bercabang.
"Tempat para pembantu." Tuan Bex menjelaskan. Kami berjalan terus di sepanjang lorong, dan Francoise mengetuk sebuah pintu kamar yang terakhir di sebelah kanan.
Suatu suara samar-samar mempersilakan kami masuk. Kami masuk ke sebuah ruangan yang luas, yang menghadap ke laut. Laut yang terletak empat meter jauhnya dari tempat itu tampak biru dan berkilauan.
Di sofa terbaring seorang wanita semampai yang igat menarik. Dia berbaring dengan ditopang bantal-bantal, dan dijaga oleh Dokter Durand. Wanita itu sudah setengah baya, dan rambutnya yang semula berwarna hitam kini hampir seluruhnya putih, namun semangat hidupnya yang membara dan kekuatan pribadinya, seakan dapat dirasakan di mana pun dia berada. Kita akan segera menyadari bahwa kita sedang berada di dekat apa yang disebut orang Prancis, 'seorang wanita utama'.
Dia menyambut kedatangan kami dengan menganggukkan kepalanya dengan anggun. "Silakan duduk, Tuan-tuan. "
Kami mengambil kursi-kursi, dan juru tulis Hakim mengambil tempat di sebuah meja bundar.
"Nyonya," Tuan Hautet memulai pembicaraannya, "saya harap tidak akan terlalu menyusahkan Anda untuk menceritakan pada kami apa yang terjadi semalam."
"Sama sekali tidak, Tuan. Saya tahu apa artinya waktu, asal pembunuh - pembunuh jahat itu tertangkap dan dihukum."
"Baiklah, Nyonya. Saya rasa tidak akan terlalu meletihkan Anda, bila saya menanyai Anda dan Anda membatasi diri dengan menjawab saja. Pukul berapa Anda pergi tidur semalam?"
"Pukul setengah sepuluh, Tuan. Saya letih."
"Dan suami Anda?"
"Saya rasa kira-kira satu jam kemudian."
"Apakah dia kelihatan bingung — risau atau bagaimana?"
"Tidak, tidak berbeda dari biasanya."
"Apa yang terjadi kemudian?"
"Kami tidur. Saya terbangun oleh tangan yang ditekankan di mulut saya. Saya mencoba berteriak, tapi terhalang oleh tangan itu. Ada dua orang dalam kamar. Mereka memakai kedok"
"Bisakah Anda melukiskan sedikit tentang mereka, Nyonya?"
"Yang seorang tinggi sekali, dan berjanggut hitam yang panjang, yang seorang lagi pendek dan gemuk. Janggutnya kemerah-merahan. Keduanya memakai topi yang dibenamkan dalam-dalam, hingga matanya terlindung."
"Hm," kata Hakim sambil merenung. "saya rasa janggutnya terlalu tebal, bukan?"
"Maksud Anda janggut itu palsu?"
"Ya. Tapi lanjutkanlah cerita Anda."
"Yang memegang saya adalah yang pendek. Mulut saya disumbatnya, kemudian kaki dan tangan saya diikatnya. Laki-laki yang seorang lagi berdiri di samping - suami saya. Diambilnya pisau kecil pembuka surat saya yang seperti pisau belati itu dari meja hias saya, lalu ditodongkannya ke jantung suami saya. Setelah laki-laki yang pendek itu selesai mengurus saya, dia menyertai temannya. Suami saya mereka .paksa bangun dan ikut mereka ke kamar pakaian di sebelah. Saya hampir pingsan karena ketakutan, namun saya paksa diri saya untuk nemasang telinga. Namun mereka berbicara dengan suara demikian halusnya, hingga saya tak dapat mendengar apa yang mereka katakan. Tapi saya rasa, saya dapat menge~ nah bahasanya, bahasa Spanyol campuran seperti ang digunakan di beberapa bagian di Amerika Selatan. Agaknya mereka menuntut sesuatu dari suami saya, lalu kemudian mereka menjadi marah dan suara mereka agak meninggi. Kalau tak salah, laki – laki yang tinggi yang berbicara, 'Anda tahu apa yangg kami ingini!' katanya. 'Rahasia itu! Mana dia?' Saya tak tahu apa jawab suami tapi yang seorang lagi berkata dengan kasar, 'Bohong! Kami tahu itu ada padamu. Mana kunci-kuncimu?' Lalu saya dengar laci-laci ditarik. Pada dinding kamar pakaian suami saya ada tempat penyimpanan, di mana dia selalu menyimpan cukup banyak uang tunai. Menurut kata Leonie, tempat itu sudah dibongkar dan uangnya tak ada lagi. Tapi rupanya apa yang mereka cari tak ada di situ, karena kemudian saya dengar laki-laki yang jangkung menyumpah-nyumpah dan memerintah suami saya berpakaian. Segera setelah itu, saya rasa ada suatu suara dalam rumah ini yang mengganggu mereka, karena mereka lalu mendorong suami saya ke dalam kamar saya dalam keadaan setengah berpakaian."
"Maaf," Poirot menyela, "apakah tak ada jalan ke luar lain dari kamar pakaian itu?"
"Tidak ada, hanya ada satu pintu, yaitu yang menghubungkannya dengan kamar saya. Mereka cepat-cepat mendorong suami saya, yang pendek di depan, yang tinggi di belakangnya dengan tetap memegang pisau belati tadi. Paul mencoba melepaskan diri untuk mendatangi saya. Saya melihat matanya yang tersiksa. Dia berpaling pada orang-orang yang menangkapnya. 'Saya harus berbicara dengan istri saya,' katanya. Lalu dia berjalan ke sisi tempat tidur dan berkata, 'Tidak apa-apa, Floise. Jangan takut. Aku akan kembali sebelum
matahari terbit.' Meskipun dia berusaha untuk berbicara dengan suara mantap, saya melihat ketakutan yang mahabesar di matanya. Lalu mereka mendorong suami saya keluar dari pintu lagi. Yang jangkung berkata, 'Sekali saja bersuara — maka kau akan menjadi bangkai, ingat!'
"Setelah itu," sambung Nyonya Renauld, "mungkin saya pingsan. Yang saya ingat kemudian, adalah Leonie yang menggosok-gosok pergelangan tangan saya, dan memberi saya brendi."
"Nyonya Renauld," kata Hakim, "apakah Anda bisa menduga apa yang dicari penjahat-penjahat itu?"
"Sama sekali tidak."
"Apakah Anda tahu, apa yang kira-kira ditakuti suami Nyonya?"
"Ya, saya melihat perubahan pada dirinya."
"Sejak berapa lama?"
Nyonya Renauld berpikir. "Mungkin sejak sepuluh hari."
"Tidak lebih lama?"
"Mungkin, tapi saya telah melihatnya sejak itu."
"Adakah Anda menanyakan sebabnya pada suami Anda?"
"Pernah sekali. Tapi dia mengelak. Namun saya yakin bahwa ada sesuatu yang sangat dikuatirkannya. Tapi karena dia ingin menyembunyikan kenyataan itu dari saya, maka saya mencoba berpura-pura tak melihatnya."
"Tahukah Anda bahwa dia telah meminta bantuan seorang detektif?"
"Seorang detektif?" seru Nyonya Renauld terkejut sekali.
"Ya, tuan ini — Tuan Hercule Poirot." Poirot membungkukkan tubuhnya.
"Beliau baru tiba hari ini atas panggilan suami Anda." Lalu diambilnya surat yang ditulis oleh Tuan Renauld dari sakunya dan diserahkannya pada wanita itu. Wanita itu membacanya, dan tampak jelas bahwa dia merasa terkejut sekali.
"Saya sama sekali tidak tahu tentang hal ini. Kelihatannya dia menyadari benar adanya bahaya yang mengancam itu."
"Nyonya saya minta agar Anda berterus terang pada saya. Adakah suatu peristiwa dalam hidup suami Anda di Amerika Selatan, yang mungkin bisa memberikan titik terang pada pembunuhan atas dirinya?"
Lama Nyonya Renauld berpikir, tapi akhirnya dia menggeleng. "Tak bisa saya mengingat apa pun juga. Suami saya memang punya musuh, orang-orang yang diunggulinya dalam sesuatu hal, tapi saya tak bisa mengingat seseorang atau suatu peristiwa tertentu. Saya tidak mengatakan bahwa tidak ada peristiwa, saya mungkin hanya tidak menyadarinya."
Hakim Pemeriksa mengelus janggutnya dengan kecewa.
"Lalu dapatkah Anda memastikan saat kejahatan itu dilakukan?"
"Ya, saya ingat, saya mendengar jam di atas perapian berbunyi dua kali."
Dia mengangguk ke arah sebuah jam yang terbungkus dalam sebuah wadah kulit, yang terdapat di tengah-tengah para-para perapian.
Poirot bangkit dari tempat duduknya, memandangi jam itu dengan tajam, lalu mengangguk dengan puas.
"Dan ini ada lagi," seru Tuan Bex, "sebuah arloji tangan yang pasti tersenggol oleh kedua penjahat itu sampai jatuh dari meja hias. Jam ini hancur luluh. Mereka sama sekali tak menyangka bahwa jam ini akan bisa memberikan kesaksian tentang mereka."
Pecahan-pecahan kaca Arloji itu disingkirkannya perlahan-lahan. Tiba-tiba wajahnya berubah, dia kelihatan terkejut sekali.
"Ya Tuhan!" teriaknya.
"Ada apa?"
"Jarum arloji itu menunjukkan pukul tujuh!"
"Apa?" seru Hakim Pemeriksa itu dengan terkejut.
Tetapi Poirot, yang selalu tenang seperti biasa, mengambil arloji tangan yang sudah hancur itu dari Komisaris yang terkejut, lalu menempelkannya ke telinganya. Kemudian dia tersenyum.
"Kacanya memang sudah pecah," katanya. "Tapi jamnya sendiri masih jalan."
Penjelasan tentang misteri itu disambut dengan lega. Terapi Hakim teringat akan suatu hal.
"Tetapi sekarang kan bukan pukul tujuh?"
'Tidak," kata Poirot dengan halus, "sekarang pukul lima lewat beberapa menit. Mungkin arloji ini terlalu cepat jalannya, begitukah, Nyonya?"
Nyonya Renauld mengerutkan alisnya karena merasa heran.
"Memang terlalu cepat jalannya," katanya membenarkan, "tapi saya tak tahu bahwa sampai sekian banyak kecepatannya."
Dengan sikap tak sabaran, Hakim meninggalkan soal arloji itu lalu melanjutkan pertanyaannya, "Nyonya, pintu depan kedapatan terbuka sedikit. Boleh dikatakan hampir pasti, bahwa kedua pembunuh itu masuk lewat pintu itu. Tapi pintu itu terbuka sama sekali tidak karena paksaan. Dapatkah Anda memberikan penjelasan tentang hal itu?"
"Mungkin pada saat terakhir suami saya keluar untuk berjalan-jalan, lalu lupa menguncinya waktu masuk."
"Apakah hal itu mungkin terjadi?"
"Mungkin sekali. Suami saya itu orang yang linglung sekali"
Waktu mengucapkan kata-kata itu alisnya berkerut, seolah-olah sifat pembawaan laki-laki itu kadang-kadang menjengkelkannya.
"Saya rasa kita bisa menarik satu kesimpulan," kata Komisaris tiba-tiba. "Mengingat orang-orang itu menyuruh Tuan Renauld berpakaian, agaknya , tempat di mana 'rahasia' itu tersembunyi, ke mana mereka akan membawa Tuan Renauld, jauh letaknya."
Hakim mengangguk. "Ya, memang jauh, tapi tidak terlalu jauh, karena almarhum mengatakan akan kembali pagi harinya."
"Pukul berapa kereta api terakhir berangkat dari stasiun Merlinville?" tanya Poirot.
"Ada yang pukul dua belas kurang sepuluh menit, kadang-kadang pukul dua belas lewat tujuh belas 1 menit. Tapi lebih besar kemungkinannya ada mobil  yang menunggu mereka."
"Tentu," Poirot membenarkan, dia kelihatan agak kecewa.
"Itu memang salah satu jalan untuk menelusuri mereka," kata Hakim dengan wajah yang menjadi cerah. "Sebuah mobil yang berisi dua orang asing lebih mudah dilihat. Itu suatu cara yang bagus sekali, Tuan Bex."
Dia tersenyum sendiri, kemudian dia serius lagi, , dan berkata pada Nyonya Renauld, "Ada satu pertanyaan lagi. Kenalkah Anda pada seseorang yang bernama Duvcen?"
"Duveen?" ulang Nyonya Renauld sambil berpikir. "Rasanya tidak"
'Tak pernahkah Anda mendengar suami Anda  menyebut seseorang yang bernama demikian?"
'Tak pernah."
"Apakah Anda mengenal seseorang yang bernama, Belia?"
Diperhatikannya Nyonya Renauld dengan saksama waktu dia bertanya itu, ingin melihat tanda-tand kemerahan atau perasaan lain di wajahnya, tetapi wanita itu hanya menggeleng dengan cara yang wajar saja. Dia melanjutkan pertanyaannya, "Tahukah Anda bahwa suami Anda semalam menerima tamu?"
Kini dilihatnya warna merah merona di pipi wanita itu, namun dia menjawab dengan
tenang, 'Tidak, siapa dia?"
"Seorang wanita."
"Oh ya?"
Tetapi untuk sementara hakim itu sudah merasa puas, dan tidak berkata apa-apa lagi. Agaknya tak mungkin Nyonya Daubreuil tersangkut dalam kejahatan itu, dan dia sama sekali tak mau membuat Nyonya Renauld risau tanpa perlu. Dia memberi isyarat pada Komisaris, dan laki-laki itu menanggapinya dengan mengangguk. Kemudian dia bangkit, pergi ke ujung  lain itu, lalu kembali dengan membawa stoples, yang terdapat di gudang tadi. Dari stoples itu dikeluarkannya pisau belati itu.
"Nyonya," katanya dengan halus, "kenalkah Anda pada barang ini?"
Wanita itu terpekik. "Ya. itu pisau belati saya." Kemudian dilihatnya ujung belati yang bernoda itu, dia menarik tubuhnya mundur dengan mata yang melebar ketakutan.
"Apakah itu — darah?"
"Benar, Nyonya. Suami Nyonya terbunuh dengan senjata ini." Dia cepat-cepat menarik benda itu dari pandangan.
"Yakinkah Anda bahwa pisau belati itu sama dengan yang terdapat di meja hias Anda semalam?"
"Ya, saya yakin. Itu hadiah dari anak saya.- Dia bertugas di angkatan udara selama perang. Dia mengaku lebih tua daripada umurnya sebenarnya." Dalam suaranya terdengar nada kebanggaan. "Pisau itu terbuat dari kawat pesawat terbang, dan anak saya memberikannya sebagai kenang-kenangan."
"Saya mengerti, Nyonya. Sekarang saya harus menanyakan suatu soal lain. Putra Anda itu, di mana dia sekarang? Kita perlu mengirim telegram padanya segera."
"Jack? Dia sedang dalam perjalanan ke Buenos Ayres."
'"Apa?"
"Ya. Kemarin suami saya mengirim telegram padanya. Semula dia menyuruh anak itu pergi ke Paris untuk suatu urusan, tapi kemarin dia baru tahu bahwa anak itu harus segera melanjutkan perjalanannya ke Amerika Selatan. Kemarin malam ada kapal yang aka berangkat ke Buenos Ayres dari Cherbourg, lalu dikirimnya telegram supaya anak itu berangkat dengan kapal itu."
"Tahukah Anda apa urusan di Buenos Ayres itu?"
"Tidak. Saya tidak tahu apa-apa. Tapi Buenos Ayres bukanlah tujuan akhir anak saya. Dari sana dia harus ke Santiago lewat darat"
Hakim dan Komisaris berseru serentak, "Santiago! Lagi-lagi Santiago!" Pada saat itu, saat kami semua terpana mendengar nama itu disebutkan, Poirot mendekati Nyonya Renauld.
Sebelum itu dia berdiri saja di dekat jendela bagai seseorang yang tenggelam dalam mimpi, dan aku tak yakin apakah dia menyadari benar apa yang sedang berlangsung di sekitarnya. Dia berhenti di sisi wanita itu sambil membungkuk.
"Maaf, Nyonya, bolehkah saya memeriksa pergelangan Anda?" Meskipun agak terkejut mendengar permintaan itu, Nyonya Renauld mengulurkan tangannya pada Poirot. Di seputar setiap pergelangannya tampak bekas merah yang buruk, bekas tempat tali membenam ke dalam dagingnya. Sedang dia memeriksa itu, aku rasanya melihat lenyapnya suatu bayangan harapan yang semula tampak di matanya.
"Luka ini pasti sakit sekali," katanya, dan sekali lagi dia kelihatan heran. Tetapi Hakim berbicara dengan bersemangat. "Tuan muda Renauld harus langsung dihubungi dengan telegram. Penting sekali, kita mengetahui sesuatu tentang perjalanannya ke Santiago itu." Dia tampak tagu.
"Saya semula berharap bahwa dia berada dekat saja, hingga dia bisa mengurangi kesedihan Anda, Nyonya." Dia berhenti.
"Maksud Anda," kata wanita itu dengan suara halus, "untuk mengenali mayat suami saya?"
Hakim menundukkan kepalanya.
"Saya seorang wanita yang kuat, Tuan. Saya bisa menanggung semua yang dituntut dari diri saya. Sekarang pun saya siap."
"Ah, besok pun masih bisa."
"Saya lebih suka semuanya cepat selesai," katanya dengan nada rendah, di wajahnya
terbayang rasa sedih. "Tolong tuntun saya, Dokter." Dokter cepat-cepat mendekatinya, pundak wanita itu ditutupinya dengan mantel, lalu kami beriring – iring perlahan-lahan menuruni tangga. Tuan Bex cepat-cepat mendahului semuanya untuk membuka pintu gudang. Sebentar kemudian Nyonya Renauld tiba di ambang pintu gudang. Wajahnya pucat sekali, tapi geraknya tampak pasti. Tuan Hautet yang berada di belakangnya tak sudah-sudahnya mengucapkan katakata dukacita dan penyesalannya.
Wanita itu menutup mukanya dengan tangannya. "Sebentar, Tuan-tuan, saya menguatkan diri sebentar."
Dilepaskannya tangannya lalu dia melihat ke mayat itu. Kemudian daya tahannya yang begitu hebat, yang telah mampu membuatnya bertahan sampai sebegitu jauh, sirna.
"Paul!" pekiknya. "Suamiku! Oh Tuhan!" Dan dia tersungkur, pingsan di tanah. Poirot segera berada di sisinya. Diangkatnya kelopak mata wanita itu, dan dirabanya nadinya. Setelah dia yakin bahwa wanita itu benar-benar pingsan, Poirot menyingkir. Lenganku dicengkeramnya.

"Benar-benar goblok aku ini, Temanku! Tak pernah aku mendengar jerit seorang wanita yang lebih banyak mengandung rasa cinta dan kesedihan, daripada yang kudengar tadi. Anggapanku semula semuanya salah. Eh, Aku harus mulai dari awal lagi!"

Lanjut ke BAB ENAM

0 comments:

Post a Comment