Tuesday, 22 September 2015

Agatha Christie - Lapangan Golf Maut - BAB EMPAT

BAB EMPAT
SURAT YANG BERTANDA TANGAN BELLA

Lapnagan Golf Maut


Francoise meninggalkan ruangan. Hakim mengetuk-ngetukkan jarinya di meja sambil merenung, "Tuan Bex," katanya akhirnya, "kita menghadapi dua kesaksian yang berlawanan. Yang mana yang harus kita percayai, kesaksian Francoise atau Denise?"
"Denise," kata Komisaris dengan pasti. "Dialah, yang membukakan pintu waktu tamu itu datang. Francoise sudah tua dan keras kepala, dan jelas bahwa dia tak suka pada Nyonya Daubreuil. Apalagi kita sudah boleh berkesimpulan bahwa Tuan Renauld berhubungan dengan seorang wanita lain."
"Tuan" seru Tuan Hautet. "Lupa kita memberitahukan hal itu pada Tuan Poirot." Dia mencari-cari di antara kertas-kertas yang ada di atas meja, lalu memberikan kertas yang dicarinya itu pada sahabatku. "Tuan Poirot, surat ini kami temukan dalam saku mantel almarhum."
Poirot mengambilnya lalu membuka lipatannya. Kertasnya sudah agak lusuh dan kusut, dan ditulis dalam bahasa Inggris dengan tulisan tangan yang kurang bagus:

Kekasihku,
Mengapa sudah lama kau tidak menulis surat? Kau masih cinta padaku, bukan? Surat – suratmu akhir – akhir ini lain sekali, dingin dan aneh, dan sekarang lama tak kunjung tiba. Aku jadi takut. Takut kalau-kalau kau tidak lagi mencintai aku! Tapi itu tak mungkin alangkah bodohnya aku selalu membayangkan yang bukan-bukan! Tapi kalau kau memang tak lagi cinta padaku, tak tahu lah aku apa yang harus ku lakukan, mungkin aku akan membunuh diri! Aku tak bisa hidup tanpa kau. Kadang-kadang kubayangkan mungkin ada wanita lain. Suruhlah dia berhati-hati, awas dia dan kau juga! Lebih baik kubunuh kau daripada membiarkan kau dimilikinya! Aku bersungguh-sungguh.
Nah, aku menulis yang tidak- tidak lagi Kau cinta padaku, dan aku cinta padamu ya, cinta sekali padamu.
Aku yang memujamu seorang, Belia.

" Tak ada alamat, tak ada tanggal" Poirot mengembalikannya dengan wajah serius.
"Lalu apa kesimpulannya, Tuan Hakim ?"
Hakim Pemeriksa mengangkat bahunya. "Agaknya Tuan Renauld terlibat cinta dengan wanita Inggris ini  Bella. Dia menyeberang kemari, bertemu dengan Nyonya Daubreuil, dan mulai mengadakan hubungan dengannya. Cinta Renauld terhadap wanita Inggris itu mulai mendingin, dan wanita itu langsung mencurigai sesuatu. Surat ini jelas mengandung ancaman. Tuan Poirot, pada pandangan pertama perkara ini kelihatannya sederhana sekali. Rasa cemburu! Bahwa Tuan Renauld ternyata ditikam dari belakang, jelas menunjukkan bahwa kejahatan itu dilakukan oleh seorang wanita."
Poirot mengangguk.
"Tikaman di punggung, memang benar, tapi tidak demikian dengan liang kubur itu! Itu pekerjaan berat  tak ada wanita yang sanggup menggali kubur, Tuan. Itu pekerjaan laki-laki."
Komisaris berseru nyaring, "Benar, benar. Anda memang benar. Kami tadi tidak memikirkannya."
"Seperti saya katakan tadi," sambung Tuan Hautet, "pada pandangan pertama perkara ini kelihatan sederhana, tapi laki-laki yang berkedok itu, dan surat yang Anda terima dari Tuan Renauld membuat persoalannya menjadi rumit. Agaknya kita dihadapkan pada keadaan-keadaan yang benar-benar berlainan, yang sama sekali tak ada hubungannya satu dengan yang lain. Mengenai surat yang dikirimkannya pada Anda, apakah menurut Anda mungkin menunjuk pada Belia dengan ancamannya itu?"
Poirot menggeleng, "Saya rasa tidak. Seorang pria seperti Tuan Renauld, yang telah menjalani hidup penuh petualangan di tempat-tempat yang jauh, tak mungkin meminta perlindungan dalam menghadapi seorang wanita."
Hakim Pemeriksa mengangguk membenarkan. "Tepat benar dengan pandangan saya. Jadi kita harus mencari keterangan tentang surat itu "
"Di Santiago," kata Komisaris menyambung. "Saya akan segera mengirim telegram pada kepolisian di kota itu, untuk menanyakan mengenai kehidupan almarhum sampai pada hal-hal yang sekecil-kecilnya selama dia tinggal di sana, hubungan-hubungan asmaranya, hubungan dagangnya, persahabatannya, dan permusuhannya dengan orang-orang, kalau ada. Kalau setelah itu kita belum juga mendapatkan petunjuk mengenai pembunuhan yang misterius itu, maka aneh sekali jadinya."
Komisaris memandang berkeliling meminta persetujuan.
"Baik sekali," kata Poirot menghargai.
"Istrinya pun mungkin bisa memberi kita petunjuk," Hakim menambahkan.
"Tak adakah Anda menemukan surat-surat lain dari Belia itu, di antara barang-barang Tuan Renauld?" tanya Poirot.
"Tidak ada. Salah satu usaha kami yang pertama tentulah mencari kalau - kalau ada petunjuk di antara kertas-kertas dalam kamar kerjanya. Tapi kami tidak menemukan apa-apa yang penting. Semuanya kelihatan beres dan sah. Satu-satunya yang luar biasa adalah surat wasiatnya. Ini dia."
Poirot mempelajari dokumen itu. "Jadi begitu rupanya. Suatu peninggalan sebesar seribu pound untuk Tuan Stonor, siapa dia ? "
"Sekretaris Tuan Renauld. Dia tinggal di Inggris, tetapi sekali dua kali datang kemari untuk berakhir pekan."
"Dan sisanya semua ditinggalkan tanpa syarat untuk istrinya tercinta, Eloise. Semua dinyatakan dengan sederhana, tapi benar-benar sah. Disaksikan oleh kedua pelayan, Denise dan Francoise. Tak ada satu pun yang aneh." Surat wasiat itu dikembalikannya.
"Mungkin," Bex mulai berbicara lagi, "Anda tidak melihat —"
"Tanggalnya?" tanya Poirot dengan mata memancar. "Tentu, tentu saya melihatnya. Dua minggu yang lalu. Mungkin Hal itu membuktikan saat itu untuk pertama kalinya dia tahu tentang adanya bahaya. Banyak orang kaya meninggal tanpa meninggalkan surat wasiat, karena tak pernah memikirkan kemungkinan dirinya meninggal. Tapi berbahaya untuk menarik kesimpulan terlalu awal. Bagaimanapun, hal itu menunjukkan betapa kasih dan sayangnya dia pada istrinya, meskipun dia sering main serong."
"Ya," kata Tuan Hautet ragu. "Tapi mungkin dia agak kurang adil terhadap putranya, karena anak muda itu ditinggalkannya dalam keadaan benar-benar tergantung pada ibunya. Bila ibunya itu kawin lagi, dan suaminya yang kedua berhasil mendapatkan kekuasaan darinya, maka anak itu tidak akan bisa mendapatkan sepeser pun dari uang ayahnva."
Poirot mengangkat bahunya. "Laki-laki memang makhluk yang suka membusungkan dada. Tuan Renauld pasti membayangkan bahwa jandanya tidak akan menikah lagi. Mengenai putranya, itu mungkin suatu tindak pencegahan yang baik untuk meninggalkan uang itu di tangan ibunya. Putra putra orang kaya terkenal liarnya."
"Mungkin yang Anda katakan itu memang benar. Nah, Tuan Poirot, pasti Anda sekarang ingin mendatangi tempat kejadian kejahatan itu. Sayang mayatnya sudah dipindahkan, tapi foto-foto tentu sudah dibuat dari segala sudut, dan segera setelah selesai Anda akan mendapatkannya."
'Terima kasih, Tuan, atas segala kerja sama Anda yang baik."
Komisaris bangkit. "Mari ikut saya, Tuan-tuan."
Dibukanya pintu, lalu membungkuk dengan hormat mempersilakan Poirot mendahuluinya. Tetapi sebaliknya, Poirot pun membungkuk dengan sopansantun yang sama, dia mundur lalu membungkuk pada Komisaris.
"Silakan, Tuan."
"Silakan, Tuan."
Akhirnya mereka keluar ke lorong rumah.
"Kamar yang itu, apakah itu kamar kerja?" tanya Poirot tiba-tiba, sambil mengangguk ke arah pintu yang di seberang.
"Ya. Apakah Anda ingin melihatnya?" Sambil berbicara, Komisaris membuka pintu kamar itu, dan kami masuk Kamar yang dipilih Tuan Renauld untuk kamar khususnya, kecil, tapi ditata dengan selera tinggi dan nyaman. Di bagian yang menjorok, menghadap jendela, ada sebuah meja tulis biasa, dengan banyak lubang-lubang kecil tempat menyimpan. Dua buah kursi besar dan kulit menghadap perapian, dan di antara kedua buah kursi itu ada sebuah meja bundar yang penuh dengan buku-buku dan majalah-majalah yang terbaru. Dua di antara dindingnya dimanfaatkan sebagai rak buku yang penuh dengan buku berjajar-jajar, dan di ujung kamar di seberang jendela ada buah bupet yang bagus dari kayu ek. Di atasnya ada sebuah patung dewa. Tirai-tirai jendelanya berwarna hijau lembut, dan warna karpetnya senada dengan warna itu.
Poirot berdiri bercakap-cakap sebentar di kamar itu, lalu dia maju, menyapu dengan lembut sandaran kursi-kursi kulit, mengambil sebuah majalah dan meja, lalu menyapu permukaan bupet itu perlahan lahan dengan jari-jarinya. Wajahnya membayangkan rasa puas.
"Tak ada debu?" tanyaku dengan tersenyum.
Dia membalas pandanganku dengan tersenyum, menghargai diriku karena tahu keistimewaannya,
'Tak ada sebutir pun apa-apa, mon ami! Dan sekali ini mungkin aku menyayangkannya!"
Matanya yang tajam seperti burung elang memandang berpindah-pindah kesana kemari.
"Nah," katanya tiba-tiba dengan nada lega. "Alas lantai di depan perapian itu berkerut." Dan dia membungkuk untuk memincingkannya. Tiba-tiba dia berseru, lalu bangkit. Di tangannya tergenggam beberapa potongan kertas.
"Di Prancis ini sama saja dengan di Inggris," katanya, "para pelayan tidak pernah menyapu di bawah-bawah tikar!"
Bex menerima potongan-potongan kertas itu darinya, dan aku mendekat untuk ikut melihat.
"Kau mengenalinya — bukan, Hastings?"
Aku menggeleng dengan rasa heran — namun kertas yang berwarna merah muda dengan rona tersendiri itu, rasanya memang kukenal. Rupanya otak Komisaris bekerja lebih cepat daripada otakku.
"Ini potongan sehelai cek," dia berseru.
Potongan kertas itu besarnya kira-kira lima sentimeter bujur sangkar. Di situ tertulis perkataan Duveen.
"Bien" kata Bex. "Cek ini dibayarkan pada atau ditarik oleh seseorang yang bernama Duveen."
"Saya rasa dibayarkan pada," kata Poirot, "karena kalau saya tak salah, tulisan itu tulisan Tuan Renauld."
Hal itu segera dibenarkan dengan membandingkannya dengan tulisan yang ada dalam catatan yang ada di meja tulis
"Astaga," gumam Komisaris dengan air muka kecewa, "saya benar-benar tak dapat membayangkan, bagaimana mungkin barang itu tak terlihat oleh saya." Poirot tertawa.
"Pokoknya, lihatlah selaju ke bawah tikar! Sahabat saya Hastings ini tahu, bahwa suatu kerut yang sekecil-kecilnya pun akan sangat mengganggu saya. Segera setelah saya melihat bahwa alas perapian tak licin, saya berkata sendiri. 'Tiens! Kaki kursi terkait ke alas itu waktu ditarik. Mungkin ada sesuatu di bawahnya yang tak terlihat oleh Francoise!' "
"Francoise?"
"Atau Denise, atau Leonie. Siapa saja yang membersihkan kamar ini. Karena saya tadi tidak menemukan debu, itu berarti bahwa kamar ini sudah dibersihkan tadi pagi. Peristiwa ini menurut bayangan saya, begini terjadinya. Kemarin, atau mungkin semalam, Tuan Renauld menuliskan sehelai cek untuk ditarik oleh seseorang yang bernama Duveen. Setelah itu, cek itu disobek, dan dibuang ke lantai. Tadi pagi —" Tapi Bex sudah menarik lonceng dengan tak sabaran.
Francoise datang memenuhi panggilan itu. Memang, tadi banyak sekali potongan-potongan kertas di lantai, Diapakannya kertas itu? Memasukkannya ke dalam anglo di dapur tentu? Apa lagi?
Bex menyuruhnya pergi dengan isyarat yang membayangkan putus asanya. Kemudian wajannya menjadi cerah, dan dia berlari ke meja tulis. Sebentar kemudian dia mencari-cari dalam buku cek almarhum. Lalu dia mengulangi gerakan putus asanya tadi. Bekas sobekan cek dalam buku itu kosong.
"Besarkan hati Anda!" seru Poirot sambil menepuk punggungnya. "Nyonya Renauld pasti akan bisa menceritakan pada kita tentang orang misterius yang bernama Duveen itu."
Wajah Komisaris pun cerah kembali. "Benar juga. Mari kita lanjutkan."
Waktu kami berbalik akan meninggalkan kamar itu, Poirot berkata seenaknya, "Di sini Tuan Renauld menerima tamunya semalam, ya?"
"Ya — bagaimana Anda tahu?"
"Dari ini. Saya menemukannya di sandaran kursi kulit." Lalu diperlihatkannya sehelai rambut panjang yang berwarna hitam, yang dipegangnya dengan jari telunjuk dan ibu jarinya. Rambut itu rambut seorang wanita!
Tuan Bex membawa kami keluar di bagian belakang rumah, di mana ada sebuah gudang kecil yang tertempel pada bangunan rumah. Dikeluarkannya sebuah kunci dari sakunya dan dibukanya gudang itu.
"Mayatnya ada di sini. Kami baru saja memindahkannya dari tempat kejadian kejahatan, segera setelah para fotografer selesai membuat foto."
Setelah pintu terbuka kami masuk. Orang yang terbunuh itu terbaring di tanah, ditutupi sehelai kain. Dengan cekatan Tuan Bex membuka kain penutup itu. Tuan Renauld tingginya sedang dan langsing. Kelihatannya dia berumur lima puluh tahun, dan rambutnya yang hitam sudah banyak diselingi uban. Mukanya tercukur bersih, hidungnya panjang dan mancung, serta jarak antara kedua matanya dekat. Warna kulitnya merah perunggu, sebagaimana biasanya warna kulit orang yang banyak menghabiskan waktunya di bawah sinar matahari di daerah tropis. Giginya kelihatan keluar, dan air mukanya membayangkan keterkejutan dan ketakutan amat sangat.
"Dari wajahnya kita bisa melihat bahwa dia memang ditikam dari belakang," kata Poirot.
Dengan halus dibalikkannya tubuh mayat itu. Di situ; di antara kedua belah belikatnya, terdapat sebuah noda bulat berwarna merah kehitaman, mengotori mantel tipis yang terbuat dari kulit rusa. Di tengah-tengahnya tampak irisan pada bahan itu, Poirot memeriksanya dengan teliti.
"Tahukah Anda dengan senjata apa pembunuhan ini dilakukan?"
Alat itu tertinggal di lukanya tadi." Komisaris mengambil sebuah stoples kaca. Di dalamnya terdapat benda kecil yang kelihatannya lebih mirip pisau kecil untuk membuka amplop surat daripada untuk dijadikan alat lain. Pisau itu bergagang hitam, dan mata pisaunya kecil, berkilat. Dari gagang sampai ke ujung pisau panjangnva tak lebih dari dua puluh lima sentimeter. Poirot menyentuh ujung yang sudah berubah warna itu dengan ujung jarinya.
"Waduh! Tajam sekali! Alat pembunuh yang kecil mungil dan mudah digunakan!"
"Malangnya, kita tak bisa menemukan satu pun bekas sidik jari," kata Bex dengan menyesal. "Pembunuhnya pasti memakai sarung tangan."
"Tentu saja," kata Poirot dengan sikap mencemooh. "Di Santiago sekalipun, orang sudah tahu cara itu. Meskipun demikian, saya merasa sangat tertarik mengenai tidak adanya sidik jari. Sebenarnya mudah saja meninggalkan sidik jari orang lain umpamanya! Maka polisi tentu akan senang." Dia menggeleng. "Saya kuatir penjahat kita ini orang yang kurang tahu akan cara kerja yang baik — atau kalau tidak, dia mungkin terdesak waktu. Tapi kita lihat saja nanti."
Mayat itu diletakkannya kembali pada keadaan semula.
"Saya lihat dia hanya memakai pakaian dalam di bawah mantelnya," katanya.
"Ya, Hakim Pemeriksa pun merasa bahwa itu aneh."
Pada saat itu terdengar suatu ketukan di pintu yan tadi ditutup Bex. Bex membukanya. Francoise yan datang. Dia-berusaha untuk mengintip-intip dengan rasa ingin tahu yang besar.
"Ada apa?" tanya Bex dengan tak sabar.
"Nyonya. Beliau berpesan bahwa beliau suda cukup baik, dan sudah siap untuk menerima Hakim Pemeriksa."
"Baik," kata Tuan Bex dengan tegas. "Katakan it pada Tuan Hautet, dan katakan juga bahwa k akan segera datang."
Poirot agak berlambat-lambat, dan menoleh ke arah mayat itu. Sejenak kusangka bahwa dia akan menolak ajakan itu, akan menyatakan dengan jelas bahwa dia tidak akan beristirahat sampai di menemukan pembunuhnya. Tetapi waktu di berbicara, kata-katanya lemah dan tak tegas, sedan pernyataannya menggelikan dan tak sesuai deng saat seperti itu.
"Mantelnya kepanjangan," katanya dengan aga tertahan.

Lanjut ke BAB LIMA

0 comments:

Post a Comment