Wednesday, 30 September 2015

Agatha Christie - Lapangan Golf Maut - BAB SEBELAS

BAB SEBELAS
JACK RENAULD

Lapangan Golf Maut

Aku tak dapat mengatakan bagaimana percakapan itu akan berkelanjutan, karena pada saat itu pintu terbuka lebar-lebar, dan seorang anak muda yang jangkung masuk. Sesaat aku dilanda perasaan ngeri bahwa orang yang sudah meninggal itu hidup kembali. Kemudian aku sadar bahwa rambut yang hitam itu tak ada ubannya, dan dapat dilihat dengan jelas bahwa usianya baru lebih sedikit dari seorang anak. Dia menyerbu kami tanpa basa-basi. Dia
langsung cepat-cepat mendatangi Nyonya Renauld, tanpa mempedulikan kehadiran kami yang lain.
"Ibu!"
"Jack!" Sambil berseru anak muda itu didekapnya dalam pelukannya.
"Sayangku! Mengapa kau sampai kemari? Bukankah seharusnya kau sudah berlayar dengan kapal Anzora dari Cherbourg dua hari yang lalu?"
Kemudian wanita itu tiba-tiba menyadari kehadiran kami yang lain. Dia lalu berbalik dengan anggun. "Anak saya, Tuan-tuan."
"Oh!" kata Tuan Hautet, sambil membalas anggukan anak muda itu.
"Rupanya Anda tak jadi berlayar dengan kapal Anzora?"
"Tidak, Tuan. Saya baru saja akan menerangkan, bahwa keberangkatan Anzora tertunda dua puluh empat jam karena kerusakan mesin. Saya tak jadi berangkat malam kemarinnya, dan seharusnya berangkat semalam. Lalu saya kebetulan membeli surat kabar petang, dan di dalamnya saya membaca berita tentang — musibah yang menimpa kami"
Suaranya terputus dan air matanya tergenang. "Kasihan ayahku — kasihan ayahku
yang malang."
Sambil mengamati anaknya seolah-olah dalam mimpi, Nyonya Renauld berkata lagi, "Jadi kau tak jadi berlayar?" Lalu seolah-olah tak disadarinya, dia bergumam seakan-akan pada dirinya sendiri, "Tapi sudahlah, sudah tak ada artinya lagi — sekarang."
"Silakan duduk, Tuan Renauld," kata Tuan Hautet, sambil menunjuk ke sebuah kursi. "Saya ikut berdukacita sedalam-dalamnya. Tentu Anda sangat terkejut mendapatkan berita dengan cara itu. Namun amatlah menguntungkan bahwa Anda tak jadi berlayar. Saya berharap bahwa Anda mungkin bisa memberi kami informasi yang kami butuhkan untuk
menyingkap misteri ini."
"Saya siap sedia, Bapak Hakim. Tanyakan saja apa yang ingin Anda ketahui."
"Pertama-tama, saya dengar bahwa perjalanan Anda ini Anda lakukan atas permintaan ayah Anda?"
"Memang benar, Pak Hakim. Saya menerima sepucuk telegram dari ayah saya, yang menyuruh saya melanjutkan perjalanan saya terus ke Buenos Ayres, lalu dari sana terus melalui Andes ke Valparaiso dan terus ke Santiago."
"Oh begitu. Lalu apa tujuan perjalanan itu?"
"Saya tak tahu, Pak Hakim."
"Apa?"
"Saya tak tahu. Lihatlah, ini telegramnya."
Hakim mengambil telegram itu, lalu membacanya dengan nyaring.
" 'Lanjutkan segera perjalanan ke Cherbourg naik kapal Anzora yang akan berlayar nanti malam ke Buenos Ayres. Tujuan akhir Santiago. Instruks selanjutnya akan menunggu di Buenos Ayres. Jangan sampai gagal. Persoalannya amat penting. Renauld.' Lalu tak adakah surat-menyurat terdahulu mengenai persoalan itu? "
Jack Renauld menggeleng. "Ttulah satu-satunya keterangannya. Tentu saya tahu bahwa ayah saya yang sudah begitu lama tinggal di Amerika Selatan banyak urusan di sana.
Tapi sebelum itu tak pernah dia menyuruh saya ke sana."
"Tapi Anda tentu sering kali ke Amerika Selatan, Tuan Renauld?"
"Waktu masih kecil, saya di sana. Tapi saya mendapatkan pendidikan saya di Inggris, dan menghabiskan sebagian besar dan hari-hari libur saya di Inggns pula, hingga saya benar-benar hanya tahu sedikit sekali tentang Amerika Selatan daripada yang diharapkan."
Tuan Hautet mengangguk, lalu melanjutkan tanya-jawabnya seperti yang sudah dilakukannya terdahulu. Sebagai jawaban, Jack Renauld menyatakan dengan pasti, bahwa dia sama sekali tidak tahu tentang adanya permusuhan yang telah melibatkan ayahnya di kota Santiago, atau di tempat lain di benua Amerika Selatan. Dia tidak pula melihat adanya perubahan dalam tingkah laku ayahnya akhir-akhir ini, dan tak pernah mendengarnya menyebut-nyebut suatu rahasia. Perintah perjalanannya ke Amerika Selatan dianggapnya berhubungan dengan urusan perusahaan saja.
Waktu Tuan Hautet berhenti sebentar, Giraud menyela dengan suara halus, "Saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan, Pak Hakim."
"Tentu, Tuan Giraud, silakan," kata Hakim dengan nada dingin. Giraud menyeret kursinya agak mendekati meja.
"Apakah hubungan Anda dengan ayah Anda baik-baik saja, Tuan Renauld?"
"Tentu saja," sahut anak muda itu dengan angkuh.
"Dapatkah Anda memastikan hal itu?"
"Ya."
"Tak adakah pertengkaran-pertengkaran kecil?"
Jack mengangkat bahunya. "Semua orang kadang-kadang mungkin saja ada perbedaan  pendapat,"
"Memang benar. Jadi, bila ada seseorang yang mengatakan dengan pasti bahwa Anda bertengkar hebat dengan ayah Anda pada malam menjelang keberangkatan Anda ke Paris, apakah orang itu berbohong?"
Mau tak mau aku mengakui kepandaian Giraud. Kesombongannya waktu berkata, "Saya tahu segala-galanya", bukanlah isapan jempol belaka.
Jack Renauld benar-benar tampak kacau oleh pertanyaan itu. "Ka— kami memang bertengkar," dia mengakui.
"Oh, bertengkar rupanya. Lalu dalam pertengkar an itu, apakah Anda menggunakan kata-kata, 'Kalau Ayah mati, saya bisa berbuat sesuka hati saya'?"
"Mungkin" gumam yang ditanya, "saya tak sadar."
"Menjawab kata-kata Anda itu, apakah ayah Anda berkata, 'Tapi aku belum mati!' Dan kata kata itu Anda balas pula dengan mengatakan 'Saya kepingin Ayah mati!'?"
Anak muda itu tak dapat menjawab. Tangannya mempermainkan barang-barang yang ada di atas meja dengan gugup.
"Saya minta jawaban, Tuan Renauld," kau Giraud dengan tajam. Sambil berseru dengan marah, anak muda itu melemparkan sebuah pisau pembuka surat yang berat ke lantai.
"Buat apa lagi? Anda pun sudah tahu. Ya, saya memang bertengkar dengan ayah saya. Saya pasti telah mengucapkan kata-kata itu — saya demikian marahnya, hingga saya tak uhu lagi apa yang saya katakan! Saya marah sekali — saya sampai hampir-hampir bisa membunuhnya pada saat itu — nah begitulah keadaannya, sekarang terserah!" Dia bersandar di kursinya. Mukanya merah, dan sikapnya menantang.
Giraud tersenyum. Lalu sambil mendorong kursinya agak ke belakang sedikit, dia berkau, "Sekian saja. Anda tentu ingin melanjutkan tanya-jawab Anda, Pak Hakim."
"Ya, memang benar," kau Tuan Hautet, "apa yang menjadi bahan pertengkaran Anda?"
"Saya menolak menyampaikannya."
Tuan Hautet menegakkan duduknya.
"Tuan Renauld, Anda tidak boleh mempermainkan hukum!" bentaknya.
"Apa bahan pertengkaran Anda waktu itu?"
Renauld muda tetap diam, wajahnya yang kekanak-kanakan merengut dan murung. Pada saat itu terdengar suatu suara yang dingin dan tenang yaitu suara Poirot.
"Saya akan memberi tahu Anda, kalau Anda mau, Bapak Hakim."
"Anda tahu?"
"Tentu saja tahu. Yang menjadi bahan pertengkaran itu adalah Nona Marthe Daubreuil."
Renauld melompat terperanjat. Hakim mendekatkan dirinya ke meja.
"Benarkah itu, Tuan Renauld?'
"Benar," dia mengakui.
"Saya mencintai Nona Daubreuil, dan saya ingin menikah dengannya. Waktu saya
memberitahukan hal itu pada ayah saya, langsung saja dia mengamuk, jelas saya tak tahan mendengar gadis yang saya cintai dihina, dan saya pun menjadi marah juga."
Tuan Hautet melihat ke seberang meja, ke arah Nyonva Renauld. "Apakah Anda mengetahui tentang — pertengkaran itu. Nyonya?"
"Saya juga kuatir hal itu akan terjadi," sahutnya singkat.
"Ibu!" pekik anak muda itu. "Ibu sama saja rupanya! Marthe itu bukan saja cantik, tapi juga baik. Apa saja yang tak berkenan di hati Ibu mengenai dia?"
"Tak ada satu pun yang tak berkenan di hatiku mengenai Nona Daubreuil. Tapi aku lebih suka bila kau menikah dengan seorang wanita Inggris, atau kalaupun dengan wanita Prancis, tidak dengan seseorang yang mempunyai ibu yang leluhurnya meragukan!"
Kebenciannya terhadap wanita yang lebih tua itu terdengar jelas dalam suaranya, dan aku bisa mengerti dengan baik bahwa dia mengalami pukulan yang hebat ketika putra tunggalnya menunjukkan tanda-tanda jatuh cinta pada putri saingannya itu.
Nyonya Renauld meneruskan lagi berbicara dengan Hakim, "Barangkali seharusnya saya membicarakan hal itu dengan suami saya. Tapi saya semula berharap bahwa itu hanya cinta monyet yang akan lebih cepat berlalu jika tidak diperhatikan. Sekarang saya merasa bersalah, karena saya tidak berbicara. Tapi sebagaimana sudah saya katakan, akhir-akhir ini
suami saya kelihatannya begitu kuatir dan murung dan jauh berbeda dari keadaan yang sebenarnya, hingga saya selalu berusaha untuk tidak menambah beban pikirannya." Tuan Hautet mengangguk.
"Waktu Anda memberitahukan pada ayah Anda mengenai niat Anda terhadap Nona
Daubreuil," Hakim melanjutkan, "apakah dia terkejut?"
"Dia benar-benar terperanjat. Kemudian dia memerintahkan saya untuk membuang jauh-jauh semua gagasan itu dari pikiran saya. Dia tidak akan pernah mau memberikan restunya pada penikahan itu katanya. Dengan rasa jengkel, saya menuntut penjelasan, apa yang menyebabkannya tidak menyukai Nona Daubreuil. Ayah tak dapat memberikan jawaban yang memuaskan atas pertanyaan itu, tapi berbicara dengan kata-kata yang menghina mengenai misteri yang menyelubungi kehidupan kedua orang anak-beranak itu. Saya jawab bahwa saya akan mengawini Marthe, dan bukan leluhurnya, tapi dia berteriak memarahi saya dan dengan tegas menolak untuk membicarakan soal itu lagi. Seluruh gagasan itu harus saya buang begitu saja. Ketidakadilan dan kesewenangan itu membuat saya
marah sekali — terutama karena ayah sendiri sering menaruh perhatian besar pada kedua beranak Daubreuil ku, dan selalu menganjurkan agar mereka diundang ke rumah. Saya mengamuk, dan kami lalu bertengkar hebat. Ayah mengingatkan saya, bahwa saya masih benar-benar tergantung padanya, dan mungkin dalam menjawab kata-katanya itulah saya berkata bahwa saya akan bisa berbuat sesuka hati saya sesudah dia meninggal —"
Poirot menyela dengan cepat-cepat mengajukan pertanyaan. "Kalau begitu Anda tahu isi surat wasiat ayah Anda?"
"Saya tahu bahwa dia telah mewariskan separuh dari kekayaannya pada saya, sedang yang separuh lagi ditinggalkan untuk ibu saya, dan akan menjadi rnilik saya pula setelah Ibu meninggal," sahut anak muda itu.
"Lanjutkan cerita Anda," kata Hakim "Setelah itu kami bertengkar dengan berteriak-teriak dengan marah sekali, sampai saya tiba-tiba menyadari bahwa saya hampir ketinggalan kereta api yang akan berangkat ke Paris. Saya terpaksa berlari-lari ke stasiun, masih dalam keadaan marah sekali. Namun, segera setelah saya berada jauh, saya menjadi tenang. Saya menulis surat pada Marthe, menceritakan padanya apa yang telah terjadi, dan balasannya membuat saya lebih tenang lagi. Ditekankannya pada saya, bahwa kami harus tabah, maka katanya semua tantangan akan kalah. Cinta kami harus tahan uji dan tahan cobaan, dan bila orang tuaku menyadari bahwa aku tidak sekadar tergila-gila, mereka tentu akan mengalah pada kami. Tentulah saya tidak menceritakan padanya tentang keberatan Ayah yang utama terhadap rencana perkawinan itu. Saya segera menyadari bahwa saya harus berpikir dengan tenang dan tidak bertindak dengan kekerasan. Selama saya di Paris, Ayah menulis beberapa pucuk surat yang bernada kasih sayang, dan sama sekali tidak menyebut-nyebut tentang
pertengkaran kami atau sebabnya. Maka saya pun membalas dengan nada yang sama pula."
"Dapatkah Anda menyerahkan surat-surat itu?" tanya Giraud.
"Saya tidak menyimpannya."
"Tak apa-apalah," kata detektif itu.
Renauld melihat padanya sebentar, lalu Hakim melanjutkan pertanyaannya, "Saya ingin menyinggung soal lain. Apakah Anda mengenal nama Duveen, Tuan Renauld? "
"Duveen?" kata Jack. "Duveen?" Lalu dia membungkuk dan perlahan - lahan memungut pisau pembuka surat yang tadi dilemparkannya ke lantai. Setelah dia mengangkat kepalanya, dia membalas tatapan mata Gifaud.
"Duveen? Tidak, saya tak tahu."
"Coba Anda baca surat ini, Tuan Renauld, lalu katakan pada saya, apakah Anda tahu siapa orangnya yang menulis surat pada ayah Anda itu."
Jack Renauld mengambil surat itu dan membacanya sampai selesai. Sambil membaca itu wajahnya memerah.
"Apakah surat ini dialamatkan pada ayah saya?" Jelas terdengar kemarahan dan emosi dalam nada suaranya.
"Benar. Kami menemukannya dalam saku mantelnya."
"Apakah —" Dia bimbang, lalu memandang sekilas pada ibunya. Hakim mengerti.
"Sementara ini — belum. Dapatkah Anda memberi kami petunjuk mengenai penulis surat itu?"
"Saya sama sekali tak tahu."
Tuan Hautet mendesah.
"Misterius sekali perkara ini. Ah, sudahlah, saya rasa tak usah kita bicarakan lagi surat itu. Bagaimana pendapat Anda, Tuan Giraud. Agaknya kita tidak mendapatkan kemajuan-kemajuan dari surat itu."
"Memang tidak," detektif itu membenarkan dengan bersungguh - sungguh.
"Padahal," desah hakim itu, "mula-mula perkara ini kelihatannya sederhana sekali!" Dia menangkap pandangan Nyonya Renauld, dan dia tiba - tiba merasa malu hingga mukanya memerah. "Oh, ya," Dehemnya, sambil membalik-balik kertas di atas meja. "Coba saya lihat, sampai di mana kita? Oh ya, senjatanya. Saya kuatir hal ini akan menyakitkan Anda, Tuan
Renauld. Saya dengar barang itu adalah hadiah Anda untuk ibu Anda. Menyedihkan sekali — menyusahkan sekali —" Jack Renauld membungkuk.
Wajahnya yang pada waktu membaca Surat tadi merah, kini menjadi pucatpasi "Apakah maksud Anda — bahwa ayah saya — dibunuh dengan pisau pembuka surat yang terbuat dari kawat pesawat terbang itu? Tapi itu tak mungkin! Barang sekecil itu!"
"Yah, Tuan Renauld, nyatanya memang begitu! Ternyata itu merupakan alat yang tepat sekali meskipun kecil, namun tajam dan mudah menanganinya."
"Di mana barang itu? Bisakah saya melihatnya? Apakah masih melekat di
— tubuhnya?"
"Oh, tidak. Sudah dicabut. Apakah Anda ingin melihatnya? Anda ingin meyakinkan diri Anda? Barangkali sebaiknya begitu, meskipun tadi ibu Anda sudah mengenalinya. Namun—Tuan Bex, bolehkah saya minta bantuan Anda?"
"Tentu, Pak Hakim, akan saya ambilkan segera."
"Tidakkah akan lebih baik kalau Tuan Renauld yang dibawa ke gudang itu?" Giraud mengusulkan dengan halus. "Dia pasti ingin melihat jenazah ayahnya."
Anak itu memberikan isyarat menolak, dia tampak merinding, dan Hakim yang selalu ingin membantah Giraud pada setiap kesempatan, menyahut, "Itu tak perlu — tidak sekarang. Tuan Bex tentu mau berbaik hati untuk membawakannya kemari."
Komisaris meninggalkan ruangan itu. Stonor menyeberang ke arah Jack, dan meremas tangan anak muda itu. Poirot bangkit dan memperbaiki letak sepasang wadah lilin. Bagi matanya yang sangat terlatih itu, letak benda – benda itu agak miring. Hakim sedang membaca lagi surat cinta yang misterius tadi untuk terakhir kalinya. Dia masih tetap berpegang kuat-kuat pada teorinya yang pertama mengenai rasa cemburu dan tikaman di
belakang itu. Tiba-tiba pintu terbuka dengan kasar, dan Komisaris masuk dengan
berlari-lari.
"Pak Hakim! Pak Hakim!"
"Ya, ya! Ada apa?"
"Pisau belati itu! Sudah hilang!"
"Apa — hilang?"
"Hilang. Lenyap. Stoples kaca tempat menyimpannya sudah kosong!"
"Apa?" Aku berseru. "Tak mungkin. Baru tadi pagi saya melihatnya —"
Lidahku tak dapat mengucapkan kata-kata itu lagi.
Tetapi perhatian seluruh ruangan itu sudah tertuju padaku.
"Apa kata Anda tadi?" seru Komisaris. "Tadi pagi?"
"Saya melihatnya di sana tadi pagi," kataku perlahan-lahan. "Tepatnya kira-kira satu setengah jam yang lalu."
"Jadi, Anda pergi ke gudang itu? Bagaimana Anda mendapatkan kuncinya?"
"Saya memintanya dari agen polisi."
"Lalu Anda masuk ke sana? Untuk apa? "
Aku bimbang, tapi akhirnya kuputuskan bahwa satu-satunya yang sebaiknya kulakukan adalah mengakuinya dengan terus terang.
"Pak Hakim," kataku. "Saya telah melakukan kesalahan besar, untuk mana saya mohon dimaafkan. "
"Eh bien! Lanjutkan, Saudara."
"Terus terang," kataku, ingin benar aku agar aku tidak berada di tempat itu, "saya tadi bertemu dengan seorang gadis, seorang kenalan saya. Dia menunjukkan keinginan besar untuk melihat segala-galanya, dan saya — yah, singkat cerita, saya ambil kunci itu untuk memperlihatkan mayat itu padanya."
"Aduh, sialan," seru Hakim dengan marah. 'Tapi Anda telah berbuat salah besar, Kapten Hastings. Hal itu benar-benar melanggar hukum. Anda tak pantas melakukan kebodohan itu."
"Saya akui itu," sahutku lemah. "Apa pun yang Anda katakan, tidak akan terlalu kasar, Pak Hakim."
"Apakah gadis itu Anda undang kemari?"
"Tidak. Saya bertemu dengan dia secara kebetulan sekali. Dia seorang gadis Inggris yang kebetulan menginap di Merlinville. Saya tidak mengetahui hal itu sebelum saya bertemu dengan dia secara tak disangka - sangka."
"Yah, yah," kata hakim itu dengan lebih lembut. "Itu benar-benar melanggar peraturan, tapi wanita itu tentu muda dan cantik, ya? Begitulah kalau anak muda! Ah, remaja, remaja!" Dan dia pun mendesah dengan pengertian.
Tetapi Komisaris yang tidak begitu romantis dan lebih praktis, mengambil alih percakapan, "Lalu tidakkah Anda tutup kembali dan kunci pintu itu setelah Anda pergi?"
"Itulah soalnya," kataku lambat-lambat. "Di situlah saya benar-benar menyalahkan diri saya. Teman saya itu pusing waktu melihat mayat itu. Dia hampir pingsan. Saya mengambilkannya air dan brendi, dan setelah itu saya bersikeras untuk mengantarnya kembali ke kota. Dalam kekacauan itu, saya lupa mengunci pintu kembali. Dan baru saya kunci setelah saya kembali ke villa."
"Jadi selama sekurang-kurangnya dua puluh menit —" kata komisaris itu lambat-lambat. Dia berhenti.
"Benar," kata saya.
"Dua puluh menit," kata komisaris itu merenung.
"Menyedihkan sekali," kata Tuan Hautet, yang bersikap tegas lagi.
"Sungguh menyedihkan." Tiba - tiba terdengar suatu suara lain berkata,
"Menurut Anda itu menyedihkan, Bapak Hakim?" tanya Giraud.
"Jelas."
"Eh bien! Menurut saya itu mengagumkan," kata Giraud dengan tenang.
Sikap memihak padaku yang tak kusangka-sangka itu membuatku heran.
"Mengagumkan, Tuan Giraud?" tanya Hakim, sambit memperhatikannya dengan tajam dengan sudut matanya.
"Tepat."
"Mengapa?"
"Karena sekarang kita tahu bahwa si pembunuh, atau yang berkomplot dengan pembunuh itu, berada di dekat villa hanya sejam yang lalu. Maka akan aneh sekali, ada dengan kenyataan itu kita tak bisa menangkapnya dalam waktu singkat." Nada suaranya terdengar jahat sekali.
Dilanjutkannva lagi, "Dia telah menantang bahaya untuk mendapatkan pisau belati itu. Mungkin dia takut sidik jarinya ditemukan pada pisau itu." Poirot berpating pada Bex.
"Kata Anda tak ada sidik jarinya?"
Giraud mengangkat bahunya.
"Mungkin dia kurang merasa yakin."
Poirot melihat padanya. "Anda keliru, Tuan Giraud. Pembunuh itu memakai sarung tangan. Jadi dia tentu yakin."
"Saya tidak mengatakan pembunuhnya sendiri. Mungkin komplotannya yang tak tahu keadaannya yang sebenarnya."
"Agaknya salah caranya mengumpulkan data-data, selalu komplotan saja dikatakannya!" gumam Poirot, tapi dia tak berkata apa-apa lagi.
Juru tulis Hakim mulai mengumpulkan surat-surat di atas meja. Tuan Hakim berkata pada kami, "Pekerjaan kita di sini sudah selesai. Tuan Renauld, silakan Anda mendengarkan kesaksian Anda dibacakan. Semua pekerjaan di sini saya usahakan supaya diselesaikan dengan cara tak resmi. Saya dikatakan lain dari yang lain dalam cara kerja saya itu, tapi saya pertahankan cara yang lain daripada yang lain itu mengingat hasilnya. Penyelidikan perkara ini sekarang ditangani oleh Tuan Giraud yang sudah terkenal. Dia pasti bisa menjadi terkemuka. Saya bahkan ingin tahu, apakah dia sekarang belum berhasil menangkap pembunuh-pembunuh itu! Nyonya, sekali lagi saya nyatakan rasa turut dukacita saya yang sedalam-dalamnya. Tuan-tuan, saya mengucapkan selamat siang." Hakim pergi diikuti oleh juru tulisnya dan Komisaris.
Poirot mengeluarkan arlojinya yang sebesar lobak itu, lalu melihat waktu. , "Mari kita kembali ke hotel untuk makan siang, Sahabatku," katanya.
"Dan kau harus menceritakan lagi selengkapnya mengenai perbuatan salahmu tadi pagi itu. Tak seorang pun melihat kita. Kita tak perlu minta diri."
Kami keluar dari ruangan dengan diam-diam. Hakim Pemeriksa baru saja keluar dari halaman rumah dengan mobilnya. Aku sedang menuruni tangga ketika suara Poirot menghentikan langkahku, "Tunggu sebentar saja, Sahabatku."

Dia cepat-cepat mengeluarkan pita pengukurnya, lalu dia mengukur sehelai mantel yang tergantung di lorong rumah itu, dari lehernya sampai ke tepi bawahnya. Aku sebelumnya tidak melihat mantel itu tergantung di situ, dan menduga itu milik Tuan Stonor atau Jack Renauld. Kemudian, dengan menggeram menyatakan rasa puasnya, Poirot menyimpan kembali pita pengukurnya ke dalam sakunya, dan menyusulku keluar ke udara terbuka.


Lanjut ke BAB DUA BELAS

Monday, 28 September 2015

Agatha Christie - Lapangan Golf Maut - BAB SEPULUH

BAB SEPULUH
GABRIEL STONOR


Laki - laki yang memasuki ruangan itu adalah orang yang segera menarik perhatian. Tubuhnya yang jangkung, dengan bobot yang bagus potongannya, serta wajah dan leher yang cukup banyak mendapat sinar matahari, melebihi semua orang yang berkumpul dalam ruang itu. Bahkan Giraud pun tak berarti di sampingnya.
Setelah aku mengenalnya lebih baik, kusadari bahwa Gabriel Stonor mempunyai kepribadian yangn istimewa. Dia kelahiran Inggris, tapi sudah bepergian ke mana-mana di seluruh dunia. Dia pernah berburu binatang-binatang besar di Afrika, pernah mengusahakan tanah pertanian di California, dan berdagang di Kepulauan Laut Selatan. Dia pernah menjadi sekretaris seorang jutawan kereta api di New York, dan pernah pula berkemah di padang pasir bersama suatu suku bangsa yang baik selama setahun. Dengan mata yang terlatih dia bisa mengenali Tuan Hautet.
"Anda Hakim Pemeriksa dalam perkara ini? Selamat bertemu, Pak Hakim. Mengerikan sekali perkara ini. Bagaimana Nyonya Renauld? Bisakah beliau menanggung semua ini dengan baik? Dia tentu mengalami shock yang hebat."
"Ya, hebat sekali," kata Tuan Hautet. "Saya perkenalkan, Tuan Bex — komisaris polisi kami, Tuan Giraud dari Dinas Rahasia. Tuan ini adalah Hercule Poirot. Tuan Renauld telah memintanya datang, tapi beliau datang terlambat untuk mencegah kejadian itu. Ini sahabat Tuan Poirot, Kapten Hastings,"
Stonor melibat pada Poirot dengan penuh perhatian. "Meminta Anda datang rupanya beliau, ya?"
"Jadi Anda tak tahu bahwamTuan Renauld telah memanggil seorang detektif?" sela Tuan Bex.
"Tidak. Tapi saya sama sekali tak heran."
"Mengapa?"
"Karena orang tua itu kebingungan! Saya tak tahu apa yang dibingungkannya. Dia tidak menceritakannya pada saya. Hubungan kami belum sebegitu jauh. Tapi beliau jelas kebingungan — hebat sekali!"
"Ha!" kata Tuan Hautet. "Tapi Anda tak tahu apa sebabnya?"
"Sudah saya katakan, tidak."
"Maaf, Tuan Stonor, tapi kami harus mulai dengan beberapa formalitas. Nama Anda?"
"Gabriel Stonor."
"Sudah berapa lama Anda menjadi sekretaris Tuan Renauld?"
"Sudah dua tahun, sejak beliau mula-mula tiba dari Amerika Selatan. Saya bertemu dengan beliau melalui seorang teman saya yang juga kenal padanya, dan beliau menawari saya pekerjaan ini. Beliau bos yang benar-benar baik."
"Apakah dia banyak bercerita tentang hidupnya di Amerika Selatan?"
"Ya, banyak.
"Tahukah Anda bahwa dia pernah tinggal di Santiago?"
"Saya rasa telah beberapa kali beliau ke sana."
"Tak pernahkah dia bercerita tentang suatu kejadian khusus yang terjadi di sana — sesuatu yang mungkin menimbulkan permusuhan terhadap dirinya? "
"Tak pernah."
"Adakah dia pernah mengatakan sesuatu tentang suatu rahasia?"
"Seingat saya tidak. Tapi, memang ada suatu misteri pada dirinya. Beliau tak pernah bercerita tentang masa kecilnya, umpamanya, atau mengenai kejadian-kejadian sebelum dia berangkat ke Amerik Selatan. Saya rasa dia orang Kanada keturunan Prancis, tapi saya tak pernah mendengar dia berbicara tentang kehidupannya di Kanada. Dia memang bisa menutup
mulut rapat-rapat seperti kerang"
"Jadi sepanjang pengetahuan Anda, dia tak punya musuh? Lalu tak dapatkah Anda memberi kami petunjuk mengenai suatu rahasia yang membuatnya sampai terbunuh, karena orang ingin mendapatkan nya?"
"Tak bisa"
"Tuan Stonor, pernahkah Anda mendengar nama Duveen yang punya hubungan dengan Tuan Renauld?"
"Duveen. Duveen." Dia mencoba mengingat-ingat nama itu. "Rasanya tak pernah. Tapi rasanya saya pernah mendengar nama itu."
"Kenalkah Anda seorang wanita, seorang teman Tuan Renauld, yang nama awalnya Belia" Tuan Stonor menggeleng lagi.
"Bella Duveen? Apakah itu nama lengkapnya? Aneh sekali! Saya yakin saya tahu nama itu. Tapi pada saat ini, saya tak ingat dalam hubungan apa."
Hakim mendehem. "Ketahuilah, Tuan Stonor. Harap Anda tidak menyembunyikan apa-apa. Mungkin Anda, dengan mempertimbangkan perasaan Nyonya Renauld — yang saya dengar amat Anda hormati dan sayangi, Anda mungkin — yah!" kata Tuan Hautet. yang kata-katanya jadi kacau, "pokoknya sama sekali tak ada yang boleh disembunyikan."
Stonor memandanginya dengan mata terbelalak, lalu matanya membayangkan bahwa dia mulai mengerti.
"Saya kurang mengerti," katanya dengan halus. "Apa hubungannya dengan Nyonya Renauld ? Saya sangat menghormati dan menyayangi wanita itu, beliau orang yang hebat dan istimewa, tapi saya tak mengerti, bagaimana keterbukaan saya dalam perkara ini atau tertutupnya saya, mempengaruhi beliau?"
"Tak ada hubungannya, kecuali kalau Belia Duveen itu lebih dari sekadar sahabat bagi suaminya."
"Oh!" kata Stonor. "Sekarang saya mengerti. Tapi saya berani mempertaruhkan uang saya sampai sen yang terakhir, bahwa Anda keliru. Pria tua itu menoleh saja pun tak mau pada perempuan lain. Dia memuja istrinya sendiri. Merekalah pasangan yang paling mesra yang pernah saya lihat."
Tuan Hautet menggeleng perlahan-lahan.
"Tuan Stonor, kami ada bukti jelas — sepucuk surat cinta yang ditulis oleh Belia pada Tuan Renauld. Dalam surat itu dia menuduh bahwa laki-laki itu telah bosan padanya. Apa lagi, kami ada lagi buku, bahwa pada saat kematiannya, dia sedang punya hubungan gelap dengan seorang wanita Prancis, yang bernam Nyonya Daubreuil, yang menyewa villa di sebelah situ. Itulah laki-laki yang menurut Anda tak pernah menoleh pada perempuan lain!"
Sekretaris itu menyipitkan matanya. "Tunggu sebentar, Pak Hakim. Anda sedang menelanjangi orang yang salah. Saya kenal betul Paul Renauld. Apa yang Anda katakan itu semuanya tak mungkin. Pasti ada penjelasan lain. Hakim itu mengangkat bahunya.
"Apa penjelasan lain itu?"
"Apa yang membuat Anda menduga bahwa itu adalah peristiwa cinta?"
"Nyonya Daubreuil punya kebiasaan mendatangi laki-laki itu malam hari. Juga, sejak Tuan Renauld tinggal di Villa Genevieve, Nyonya Daubreuil telah menyetorkan banyak uang tunai. Jumlahnya mencapai empat ribu dalam mata uang pound Anda."
"Itu memang benar," kata Stonor dengan tenang.
"Saya sendiri yang mengirimkan uang itu atas permintaannya. Tapi ini bukan hubungan gelap."
"Ah! Tuhanku! Lalu hubungan apa?"
"Pemerasan," kata Stonor tajam, sambil menepuk meja kuat-kuat. "Itulah persoalannya."
"Ah! Itu pendapat baru" seru Hakim. Mau tak mau dia merasa terguncang.
"Pemerasan," ulang Stonor. "Orang tua itu diperas habis-habisan — jumlahnya besar sekali. Empat ribu pound dalam beberapa bulan. Huh! Sudah saya katakan bahwa Tuan Renauld itu diselubungi misteri. Agaknya Nyonya Daubreuil tahu betul itu dan memanfaatkannya dengan baik."
"Itu memang mungkin," teriak Komisaris dengan bersemangat. "Itu pasti masuk akal."
"Mungkin?" geram Stonor. "Itu sudah jelas! Sudahkah Anda tanyai Nyonya Renauld mengenai gagasan soal cinta Anda itu?"
"Belum. Kami tak ingin menimbulkan kesedihan hatinya kalau hal itu bisa dicegah."
"Kesedihan? Ah, dia hanya akan menertawakan Anda. Saya ulangi, beliau dan Tuan Renauld adalah pasangan abadi."
"Ah, hal itu mengingatkan saya pada suatu hal lain," kata Tuan Hautet.
"Apakah Tuan Renauld pernah mengatakan pada Anda, bahwa dia telah mengubah surat wasiatnya?"
"Saya tahu semua — saya yang membawanya ke pengacaranya setelah dibuatnya. Kalau Anda ingin melihatnya, saya bisa memberitahukan nama pengacaranya. Mereka yang menyimpannya. Surat wasiat itu sederhana sekali. Separuh diserahkannya pada istrinya untuk selama hidupnya, yang separuh lagi untuk putranya. Masih ada beberapa peninggalan lain. Kalau tak salah saya ditinggalinya beberapa ribu."
"Kapan surat wasiat itu dibuat?"
"Kira-kira satu setengah tahun yang lalu."
"Apakah Anda akan terkejut sekali, Tuan Stonor, bila Anda mendengar bahwa  Tuan Renauld telah membuat surat wasiat baru, kurang dari dua minggu yang lalu?"
Stonor kelihatan sangat terkejut.
"Saya tak tahu. Bagaimana bunyinya?"
"Seluruh kekayaannya yang banyak itu diwaris kannya, tanpa sisa, pada istrinya. Tak ada disebut – sebut tentang putranya."
 Tuan Stonor bersiul panjang. "Itu jelas sangat merugikan anak muda itu. Ibunya sangat memujanya, tapi bagi dunia luar kelihatannya ayahnya kurang menaruh kepercayaan padanya. Hal itu tentu akan merupakan sesuatu yang pahit bagi harga dirinya. Namun, hal itu semua membuktikan kebenaran kata-kata saya tadi, yaitu bahwa hubungan Tuan Renauld dengan istrinya mesra sekali."
"Memang benar," kata Tuan Hautet.
"Mungkin kita akan harus mengubah jalan pikiran kita mengenai beberapa hal. Kami sudah mengirim telegram ke Santiago, dan jawabannya kami harapkan akan datang setiap saat. Dengan demikian mungkin semuanya akan menjadi jelas, dan bisa dipahami. Sebaliknya, bila dugaan Anda mengenai 'pemerasan' itu memang benar, maka Nyonya Daubreuil seharusnya bisa memberi kita informasi yang berharga."
Poirot bertanya, "Tuan Stonor, apakah Masters, supir yang berkebangsaan Inggris itu, sudah lama bekerja pada Tuan Renauld?"
"Setahun lebih."
"Tahukah Anda, apakah dia pernah tinggal di Amerika Selatan?"
"Saya tahu betul, tak pernah. Sebelum bekerja pada Tuan Renauld, selama bertahun - tahun dia bekerja pada orang di Gloucestershire yang saya kenal baik."
"Jelasnya, bisakah Anda menjawab atas namanya, bahwa dia tak perlu dicurigai?"
"Pasti."
Poirot kelihatan agak kecewa. Sementara itu Hakim telah memanggil Marchaud.
"Sampaikan salamku pada Nyonya Renauld, katakan bahwa aku ingin berbicara dengan beliau sebentar. Katakan padanya supaya tak usah bersusah payah. Aku akan menjumpainya sendiri di atas."
Marchaud memberi salam lalu pergi. Kami menunggu beberapa menit, lalu kami terkejut waktu pintu terbuka, karena yang masuk adalah Nyonya Renauld yang pucat pasi
Tuan Hautet membawakannya kursi, sambil tak sudah – sudahnya meminta maaf, dan wanita itu mengucapkan terima kasih dengan tersenyum. Tangannya yang sebelah dipegang Stonor dengan sikap sopan sekali. Pria itu agaknya tak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Nyonya Renauld menoleh pada Tuan Hautet.
"Anda ingin menanyakan sesuatu pada saya, Tuan Hakim?"
"Dengan izin Anda, Nyonya. Saya dengar, suami Anda adalah orang Kanada keturunan Prancis. Dapatkah Anda menceritakan sesuatu rentang master mudanya, atau pendidikannya?"
Wanita itu menggeleng.
"Suami saya selalu tertutup mengenai dirinya, Tuan. Saya rasa masa kanak kanaknya tidak bahagia karena dia tak pernah mau membicarakan tentang masa itu. Kami menjalani hidup ini semata mata atas dasar masa kini dan masa depan."
"Adakah sesuatu yang misterius dalam hidup masa, lalunya?"
Nyonya Renauld tersenyum kecil lalu menggeleng. "Tak ada sesuatu yang begitu romantis, Tuan Hakim." Tuan Hakim ikut tersenyum.
"Memang, kita memang tak boleh membiarkan diri kita menjadi terlalu romantis. Tetapi ada satu hal lagi —" dia ragu.
Stonor cepat menyela, "Mereka punya gagasan yang aneh, Nyonya Renauld. Mereka membayangkan bahwa Tuan mempunyai hubungan gelap dengan seseorang yang bernama Nyonya Daubreuil, yang katanya tinggal di sebelah sini."
Pipi Nyonya Renauld menjadi merah tua. Dia mendongakkan kepalanya lalu menggigit bibirnya. Wajahnya tampak bergetar. Stonor terkejut melihatnya, tetapi Tuan Bex membungkuk lalu berkata dengan halus, "Kami menyesal menyakiti hati Anda, Nyonya, tapi mungkinkah Anda punya alasan untuk menduga bahwa Nyonya Daubreuil adalah kekasih
gelap suami Anda?"
Dengan terisak sedih, Nyonya Renauld membenamkan wajahnya ke dalam tangannva. Bahunya terangkat tegang. Akhirnya diangkatnya kepalanya, dan berkata terputus-putus, "Mungkin benar."
Tak pernah aku melihat orang yang demikian hebat tercengangnya seperti Stonor. Dia benar-benar terpana.

Lanjut ke BAB SEBELAS

Sunday, 27 September 2015

Agatha Christie - Lapangan Golf Maut - BAB SEMBILAN


BAB SEMBILAN
TUAN GIRAUD MENEMUKAN BEBERAPA PETUNJUK

Lapangan Golf Maut

Dalam ruang tamu utama kutemukan Hakim Pemeriksa sibuk menanyai tukang kebun tua, Augustc. Poirot dan Komisaris, yang juga hadir, menyambut kedatanganku. Poirot dengan tersenyum sedang Komisaris membungkuk dengan hormat. Diam-diam aku mengambil tempat duduk. Tuan Hautet berusaha keras dan sangat cermat sekali, namun tidak berhasil memancing sesuatu yang penting.
Sarung tangan kebun diakui Auguste sebagai miliknya. Sarung tangan itu katanya dipakainya waktu mengurus semacam bunga primula yang beracun bagi orang-orang tertentu. Dia tak dapat mengatakan kapan dia memakainya terakhir. Dia sama sekali tidak merasa kehilangan.
"Di mana sarung tangan itu disimpan? "
"Kadang-kadang di suatu tempat, kadang-kadang di tempat lain."
"Sekop itu biasanya terdapat di gudang alat-alat yang kecil. Apakah gudang itu terkunci?"
"Tentu saja terkunci"
"Di mana kuncinya disimpan? "
"Pak Hautet tentu saja di pintunya! Tak ada sesuatu yang berharga, yang patut dicuri di situ."
"Siapa yang menyangka akan ada bandit atau pembunuh?"
"Hal semacam itu tak pernah terjadi waktu tempat ini masih dihuni oleh Nyonya
Vicornte."
Setelah Tuan Hautet menyatakan bahwa dia sudah selesai dengan tanya jawab dengannya, orang tua itu pun pergi, sambil tak sudah – sudahnya menggerutu. Mengingat bagaimana Poirot bersikeras terus mengenai bekas jejak kaki yang terdapat di bedeng-bedeng bunga, aku memperhatikan orang tua itu dengan saksama selama dia memberikan kesaksiannya.
Kesimpulanku, dia sama sekali memang tak ada sangkut-pautnya dengan kejahatan itu, atau dia seorang aktor ulung. Tiba-tiba aku mendapatkan suatu gagasan. Sebelum dia keluar dari pintu aku berkata, "Maaf, Tuan Hautet, maukah Anda mengizinkan saya mengajukan satu pertanyaan saja padanya?"
"Tentu, Tuan."
Merasa didorong begitu, aku berpaling pada Auguste.
"Di mana Anda taruh sepatu bot Anda?"
"Sialan!" geram orang tua itu. "Di kaki saya tentu. Di mana lagi?"
"Tapi kalau Anda tidur malam hari?"
"Di bawah tempat tidur saya."
"Lalu siapa yang membersihkannya?"
"Tak seorang pun. Untuk apa dibersihkan? Apakah saya harus berbaris di barisan terdepan seperti orang muda? Pada hari Minggu, saya tentu mengenakan sepatu khusus hari Minggu, tapi pada hari-hari lain" Dia mengangkat bahunya.
Aku menggeleng kehilangan semangat.
"Yaah," kata Hakim.
"Kita tak banyak mendapatkan kemajuan. Kita terpaksa menunda hal ini sampai kita mendapatkan balasan telegram dari Santiago. Adakah di antara Anda yang melihat Giraud?
Benar-benar kurang sopan! Saya ingin menyuruh seseorang memanggilnya, dan —"
"Anda tak perlu menyuruh orang pergi jauh, Bapak Hakim."
Kami terkejut mendengar suaranya yang tenang itu. Giraud sedang berdiri di luar, dan dia kini menjenguk ke dalam dari jendela yang terbuka. Dia melompat melalui jendela itu ke dalam kamar, lalu mendekati meja.
"Saya siap menjalankan tugas-tugas Anda, Pak Hakim. Maafkan saya, karena tidak melapor lebih cepat."
'Tak apa-apa, tak mengapa," kata Hakim dengan perasaan tak enak.
"Soalnya, saya hanya seorang detektif," lanjut Giraud, "saya tak tahu menahu tentang tanya-jawab. Kalaupun saya mengadakan tanya-jawab, saya tidak akan melakukannya dengan jendela terbuka kalau ada orang yang berdiri di luar, dia akan bisa mendengarkan dengan mudah. Tapi sudahlah."
Merah wajah Tuan Hautet karena marah. Jelas bahwa Hakim Pemeriksa dan detektif yang bertugas saling tak menyukai. Sejak semula mereka sudah saling membenci. Bagi Giraud, semua hakim pemeriksa itu goblok, dan bagi Tuan Hautet, yang menganggap dirinya penting, sikap seenaknya dari detektif  Paris itu pasti akan menyulitkan.
"Eb bien, Tuan Giraud," kata Hakim agak tajam. "Anda pasti telah memanfaatkan waktu Anda dengan baik sekali? Apakah Anda sudah dapat memberikan nama-nama para pembunuhnya pada kami? Juga di mana mereka berada sekarang?"
Tanpa merasa tersinggung karena sindiran itu, Giraud menjawab, "Sekurang - kurangnya, saya tahu dari mana mereka itu"
"Bagaimana?"
Giraud mengeluarkan dua buah barang dari sakunya, lalu meletakkannya di atas meja. Kami mengerumuni barang itu. Barang-barang itu sangat sederhana, sebuah puntung rokok, dan sebatang korek api yang belum dinyalakan. Detektif itu berbalik menghadapi Poirot.
"Apa yang Anda lihat itu?" tanyanya.
Nadanya terdengar kasar. Mukaku jadi panas dibuatnya. Namun Poirot tetap tak tersinggung. Dia hanya mengangkat bahunya.
"Sebuah puntung rokok dan sebatang korek api."
"Lalu, apa yang dapat Anda jelaskan dari barang-barang itu?"
Poirot menelentangkan kedua belah tangannya. "Tidak — tidak ada apaapa."
"Oh!" kata Giraud dengan nada puas. "Tidakkah Anda pelajari barang - barang ini? Bukan begitu caranya yang lazim — setidak-tidaknya di negeri ini lain. Barang-barang itu biasa terdapat di Amerika Selatan. Untunglah korek apinya belum dinyalakan. Kalau sudah, saya tidak akan bisa mengenalinya. Agaknya salah seorang di antara mereka membuang puntung rokoknya yang sudah mati, lalu menyalakan sebatang lagi. Waktu dia akan menyalakannya, sebatang korek apinya terjatuh."
"Lalu puntung korek api yang sebatang lagi?"
"Puntung korek api yang mana?"
"Puntung yang sudah dinyalakannya. Adakah itu Anda temukan pula?"
"Tidak."
"Mungkin Anda kurang teliti mencarinya."
"Kurang teliti mencarinya —" Sesaat terkilas seolah-olah amarahnya akan meledak, tetapi dia berusaha menguasai dirinya. "Anda kelihatannya suka berkelakar, Tuan Poirot. Tapi bagaimanapun juga, ada atau tidak puntung korek api yang satu itu, puntung rokok itu saja sudah cukup. Rokok itu dari Amerika Selatan, kertasnya terbuat dari lapisan dalam kayu manis."
Poirot mengangguk.
Komisaris angkat bicara, "Puntung rokok dan korek api itu mungkin kepunyaan Tuan Renauld. Ingat, dia baru dua tahun kembali dari Amerika Selatan"
"Bukan," sahut detektif itu dengan yakin. "Saya telah memeriksa barang - barang milik Tuan Renauld. Rokok yang diisapnya dan korek api yang dipakainya lain sekali."
"Tidakkah Anda merasa aneh," tanya Poirot, "bahwa orang-orang tak dikenal itu datang tanpa membawa senjata, tanpa membawa sarung tangan, tanpa sekop, dan kebetulan sekali mereka bisa menemukan barang-barang itu di sini?"
Giraud tersenyum dengan sikap super.
"Tentu saja aneh. Tanpa teori yang ada pada saya, hal itu memang tak bisa dijelaskan"
"Oh!" kata Tuan Hautet.
 "Maksud Anda mereka berkomplot, dan seorang dari komplotan itu ada dalam rumah ini? "
"Atau di luar," kau Giraud dengan senyum aneh.
"Tapi lalu tentu harus ada yang membukakannya pintu? Bukankah kau tak bisa beranggapan, bahwa nasibnya demikian baiknya, hingga mereka menemukan pintu dalam keadaan terbuka sedikit dan bisa masuk?"
"Setuju, Pak Hakim. Memang ada seseorang yang membukakan mereka pintu, tapi pintu itu bisa saja dengan mudah dibuka dari luar — oleh seseorang yang memiliki kuncinya."
"Tapi siapa yang memilikinya?"
Giraud mengangkat bahunya.
"Mengenai hal itu, kalaupun ada yang memilikinya, dia tentu akan berusaha untuk tidak mengatakannya. Tapi ada beberapa orang yang mungkin memilikinya. Tuan Jack Renauld, putra mereka, umpamanya. Dia memang sedang dalam perjalanan ke Amerika Selatan, tapi mungkin dia telah kehilangan kunci itu atau kunci itu telah dicuri orang. Kemudian tukang kebun — dia sudah bertahun-tahun di sini. Salah seorang pelayan yang masih muda mungkin pula punya pacar di luar. Mudah saja menjiplak bentuk kunci dan menyuruh orang membuat tiruannya. Pokoknya, banyak kemungkinannya. Kemudian ada lagi seseorang, yang menurut saya sangat mungkin menyimpan barang seperti itu."
"Siapa?"
"Nyonya Daubreuil," kata detektif itu datar.
"Ehem!" kata Hakim dengan wajah agak sedih, "rupanya Anda juga sudah mendengar tentang hal itu, ya?"
"Saya mendengar segalanya," kata Giraud dengan tenang.
"Pasti ada satu hal yang belum Anda dengar," kata Tuan Hautet dengan senang, karena bisa memperlihatkan kelebihan pengetahuannya, dan tanpa menunggu lebih lama, diceritakannya kisah tentang tamu misterius yang datang pada malam hari menjelang kejadian itu. Dia juga menyinggung tentang cek yang ditulis untuk Duveen, dan akhirnya memberikan surat yang ditandatangani oleh Belia pada Giraud. Giraud mendengarkan tanpa berkata apa-apa, membaca surat itu dengan saksama, lalu dikembalikannya.
"Semuanya menarik sekali, Pak Hakim. Tapi teori saya tetap, tak bisa diganggu gugat."
"Apa teori Anda itu?"
"Sementara ini saya tak mau mengatakannya. Ingat, saya baru saja mulai dengan penyelidikan saya."
"Tolong katakan satu hal, Tuan Giraud," kata Poirot tiba-tiba.
"Menurut teori Anda pintu terbuka. Teori itu tidak menjelaskan mengapa pintu itu dibiarkan terbuka. Bila mereka pergi, tidakkah wajar kalau mereka menutupnya kembali? Bila seorang agen polisi kebetulan datang ke rumah ini, seperti yang kadang-kadang dilakukannya, untuk melihat apakah semuanya aman, mereka bisa ketahuan dan segera terkejar."
"Ah! Mereka lupa. Pasti suatu keteledoran, yakinlah,"
Lalu aku heran, karena Poirot mengucapkan lagi kata-kata yang hampir sama dengan yang diucapkannya terhadap Bex malam kemarin, "Saya tak sependapat dengan Anda . Pintu yang dibiarkan terbuka, atau yang memang sengaja dibuka, atau memang dianggap perlu terbuka, dan semua teori yang membantah hal itu, pasti akan salah."
Kami semua memandang pria kecil itu dengan amat terkejut. Tadi dia terpaksa mengakui bahwa dia tak tahu-menahu tentang batang korek api itu tadi. Kurasa hal itu pasti telah membuatnya malu. Tetapi sekarang, seperti biasanya, dia mengemukakan hukumnya pada Giraud yang agung tanpa ragu-ragu dan dengan perasaan puas. Detektif dari Paris itu memilin-milin kumisnya, sambil memandang sahabatku dengan sikap geli.
"Anda tak sependapat dengan saya, bukan? Nah, apa yang menurut Anda paling istimewa dalam perkara ini? Coba saya dengar pendapat Anda."
"Satu hal yang saya lihat jelas sekali. Coba ingat-ingat, Tuan Giraud, tak adakah sesuatu yang menurut Anda seperti pernah Anda kenali dalam perkara ini? Apakah tak ada yang mengingatkan Anda akan sesuatu?"
"Pernah dikenal? Mengingatkan saya akan sesuatu? Saya tak dapat langsung menjawabnya. Tapi saya rasa, tidak."
"Anda keliru," kata Poirot dengan tenang. "Ada suatu kejahatan yang hampir sama benar caranya pernah dilakukan."
"Kapan? Dan di mana?"
"Oh, mengenai hal itu, sayangnya, saya belum dapat mengingatnya sekarang ini — tapi kelak pasti bisa. Tadinya saya berharap Andalah yang bisa membantu mengingatkan saya"
Giraud mendengus terang-terangan. "Banyak sekali kejadian dengan orang-orang berkedok! Saya tak bisa mengingatnya satu demi satu. Semua kejahatan ini kira-kira sama saja."
"Namun ada yang biasa dinamakan ciri khasnya." Poirot tiba-tiba bersikap seperti orang memberikan kuliah dan menujukan pembicaraannya pada kami semua. "Sekarang saya akan membicarakan segi psikologis kejahatan. Tuan Giraud tentu tahu bahwa setiap penjahat punya cara khasnya sendiri, dan polisi yang kemudian dipanggil untuk menyelidiki dalam suatu perkara pencurian, umpamanya sering kali sudah bisa menduga siapa pelakunya, hanya dengan melihat cara tertentu yang dipakainya. (Japp tentu akan berkata begitu pula padamu, Hastings.) Manusia adalah makhluk yang berlain-lainan. Berlainan, baik dalam hukum, dalam hidupnya sehari-hari, maupun di luar hukum. Bila seseorang melakukan kejahatan, maka semua kejahatan lain yang dilakukannya pasti mirip benar dengan cara kejahatan yang pernah dilakukannya itu. Perkara seorang pembunuh berkebangsaan Inggris yang menyingkirkan istri – istrinya secara berturut-turut dengan cara membenamkannya dalam bak mandinya, adalah salah satu contoh. Bila caranya itu diubahnya, mungkin sampai
sekarang pun dia masih belum tertangkap. Tapi dia menuruti petunjuk - petunjuk biasa dalam kebiasaan manusiawinya, dengan berpikir bahwa apa yang telah berhasil tentu akan berhasil lagi, dan dengan demikian dia mendapatkan ganjarannya."
"Lalu apa maksudnya semua ini?" cemooh Giraud.
"Bahwa bila kita menemukan dua kejahatan yang sama benar perencanaannya dan cara kerjanya, kita akan menemukan otak yang sama pula di baliknya. Saya sedang mencari otak itu, Tuan Giraud  dan saya pasti bisa menemukannya. Di sini kita menemukan petunjuk yang tepat petunjuk psikologis. Mungkin Anda tahu semua tentang puntung-puntung
rokok dan korek api, Tuan Giraud. Tapi saya, Hercule Poirot, tahu pikiran manusia!" Dan pria kecil yang lucu itu mengetuk-ngetuk dahinya dengan sikap penting.
Giraud masih tetap tak terkesan sama sekali.
"Untuk menuntun Anda," Poirot melanjutkan, "akan saya tunjukkan pula suatu kenyataan yang mungkin tak tampak oleh Anda. Sehari setelah kejadian menyedihkan itu, arloji Nyonya Renauld terlalu cepat dua jam. Hal itu mungkin akan menarik untuk Anda selidiki."
Giraud terbelalak. "Mungkin saja memang biasa terlalu cepat."
"Sebenarnya begitulah kata mereka pada saya."
"Kalau begitu, eh bien"
"Tapi, dua jam itu lama," kata Poirot dengan halus. ''Kemudian ada pula soal bekas telapak kaki di bedeng bunga."
Dia mengangguk ke arah jendela yang terbuka. Dengan penuh semangat dan dengan langkah panjang-panjang, Giraud pergi ke jendela itu, lalu melihat ke luar.
"Bedeng yang ini?"
"Ya."
"Tapi saya tak melihat bekas telapak kaki."
"Tidak," kata Poirot sambil meluruskan letak setumpukan buku-buku di atas meja. "Memang tak ada."
Suatu pandangan geram membayangi wajah Giraud sejenak. Dia mengambil langkah langkah panjang ke arah penggodanya, tapi pada saat itu pintu ruang tamu terbuka, dan Marchaud mengumumkan, "Tuan Stonor, sekretaris Tuan Renauld, baru tiba dari Inggris. Bolehkah beliau masuk?"

Lanjut ke BAB SEPULUH