Friday, 1 January 2016

THE HOMOPHONIC CIPHER

-= (THE HOMOPHONIC CIPHER) =-
~Versi Amerika (American Version)~




- Sekilas Tentang Sandi Homophonic (Homophonic Cipher)

Sandi Homophonic Classic sendiri sudah ada sejak tahun 1400an, tidak diketahui siapa yang menciptakan secara jelas, sandi ini masuk menjadi salah satu dalam jenis Sandi Substitusi Tetap dengan aturan-aturan tertentu. Seiring perkembangan Zaman, modifikasi pun banyak terjadi pada jenis sandi ini.

Sandi Homophonic (Homophonic Cipher) Modern versi Amerika adalah sandi tabel angka yang menggunakan 4 huruf sebagai kuncinya. Dengan menggunakan 4 baris angka bilangan 01 s/d 100 (00), tiap baris tabel akan berisi 25 angka yang mewakili 25 huruf. Sebetulnya bisa saja sandi ini menggunakan 50 atau 75 angka, tetapi untuk memperkuat sandi ini, gunakanlah standar untuk pembuatan sandi ini yaitu 100 angka yang akan dibagi dalam 4 baris. Seperti halnya sandi/cipher Internasional lain, Sandi Homophonic ini juga menyatukan huruf I dan J dalam satu kolom karena dihitung dari jarang munculnya huruf J dalam literatur bahasa Inggris khususnya. Dimana seperti yang disebut diatas, Tabel sandi Homophonic akan berbentuk 4 baris, dimana baris pertama angka 01 s/d 25, baris kedua angka 26 s/d 50, baris ketiga 51 s/d 75, dan baris terakhir 76 s/d 100 (00).

- Cara Membuat Pesan dengan Sandi Homophonic (Homophonic Cipher)

Pertama-tama pilihlah kata kunci untuk sandi tersebut. Kata kunci harus menggunakan 4 huruf sebagai kuncinya yang akan berperan sebagai huruf awal dari tabel pada sandi ini. Kuncinya adalah tiap masing-masing huruf mewakili dari awal tabel, yaitu posisi angka 1 di baris pertama, angka 26 di baris kedua, angka 51 di baris ketiga, dan angka 76 di baris keempat.

Jika pada bentuk normal (plain) tanpa kata kunci (atau disebut AAAA), maka tabelnya akan seperti ini :

(tabel angka) A - B -C -D - E - F -G -H - I - K - L -M -N -O -P -Q -R - S - T -U - V -W-X -Y - Z
(baris 1) 01-02-03-04-05-06-07-08-09-10-11-12-13-14-15-16-17-18-19-20-21-22-23-24-25
(baris 2) 26-27-28-29-30-31-32-33-34-35-36-37-38-39-40-41-42-43-44-45-46-47-48-49-50
(baris 3) 51-52-53-54-55-56-57-58-59-60-61-62-63-64-65-66-67-68-69-70-71-72-73-74-75
(baris 4) 76-77-78-79-80-81-82-83-84-85-86-87-88-89-90-91-92-93-94-95-96-97-98-99-00

Misalkan kita memakai kata kunci 'MOEH', maka nanti angka 01, akan dimulai dari kolom huruf M, angka 26 akan dimulai dari kolom huruf O, angka 51 akan dimulai dari kolom huruf E, dan angka 76 akan dimulai dari kolom huruf H, sehingga nanti tabel-nya akan seperti ini :

(tabel angka) A - B -C -D - E - F -G -H - I - K - L -  M - N -O -P -Q -R - S - T -U - V -W-X -Y - Z
(baris 1) 15-16-17-18-19-20-21-22-23-24-25-[01]-02-03-04-05-06-07-08-09-10-11-12-13-14
(baris 2) 38-39-40-41-42-43-44-45-46-47-48-49-50-[26]-27-28-29-30-31-32-33-34-35-36-37
(baris 3) 72-73-74-75-[51]-52-53-54-55-56-57-58-59-60-61-62-63-64-65-66-67-68-69-70-71
(baris 4) 94-95-96-97-98-99-00-[76]-77-78-79-80-81-82-83-84-85-86-87-88-89-90-91-92-93

Lalu dengan tabel ini kita ingin menulis pesan : MUTI MOEH, maka jadinya akan seperti ini (posisi angka bisa bebas kamu ambil dari baris mana aja) :

M  U   T   I   M O  E   H
80 32 65 46 58 03 98 76

maka hasil Sandi Homophonic (Homophonic Cipher) untuk kata MUTI MOEH adalah :

80 32 65 46 58 03 98 76

- Kelebihan Sandi Homophonic (Homophonic Cipher)

Sandi ini dikatakan ampuh karena selain mudah dalam pembuatannya, sandi ini memiliki kemampuan meminimalisir kemungkinan pemecahan kode oleh Code Breaker lain yang disebabkan oleh penerapan 4 baris kode tersebut.

Ya, dengan membuat sebuah huruf dapat diwakili oleh 4 buah angka kode, maka kemungkinan sang Code Breaker untuk membaca huruf vocal (huruf hidup) di sandi ini dapat diminimalisir. Perlu diketahui karena pemecahan metode sandi paling simple, khususnya untuk sandi-sandi transposisi dengan posisi konstan (seperti Caesar, Sungai, A=Z, rot13, sandi angka, kode etik dll) cara paling mudah untuk memecahkannya adalah melihat dari huruf yang paling sering muncul, dan mengasumsikan huruf itu sebagai salah satu huruf vocal. Nah, disitulah kehebatan sandi ini, dimana sistem pemecahan dengan pola seperti itu cukup sulit diterapkan pada Sandi Homophonic ini. Karena walaupun perpindahan huruf di sandi ini tetap (konstan) sepanjang isi pesan (selama kita tau posisi awalnya), tetapi akan sulit dipecahkan karena satu huruf vocal dapat diwakili oleh 4 buah angka kode. Sebab logika dasar kita pada sebuah bentuk sandi dengan perpindahan konstan di seluruh tempatnya, 1 angka hanya mewakili 1 huruf saja. Jika ditotal, akan ada 20 kemungkinan huruf vocal di kode tersebut, sehingga huruf vocal dalam bentuk kode tersebut akan mudah berbaur seolah seperti bukan sebuah huruf vocal.

- Tips Memecahkan Sandi Homophonic (Homophonic Cipher)

Sandi Homophonic adalah tipe sandi yang digunakan untuk penerapan pesan panjang, karena cara pembuatannya mudah dan tidak memakan waktu sehingga pesan yang cukup panjang pun tidak masalah. Dari situlah kita harus mengambil celah untuk memecahkan sandi tersebut. Biasanya pada umumnya, setiap kunci dari sandi Homophonic itu sedikitnya ada 1 ataupun 2 huruf yg menggunakan huruf vocal, jika sial sih mungkin si pembuat akan menggunakan huruf konsonan semuanya. Dan umumnya pembuat sandi Homophonic biasanya jarang memakai kunci yang mengandung huruf 'A', karena akan membuat posisi baris pada tabel menjadi plain atau normal. Dan tak lupa perhatikan juga kemungkinan munculnya angka yang kamu curigai sebagai huruf vocal.

Dan ingat, dengan persamaan diatas dimana kemungkinan kunci ada yang memakai huruf vocal salah satunya, maka curigailah angka awal yaitu '01, 26, 51, ataupun 76' sebagai salah satu dari huruf vocal, setidaknya dengan berhasil memecahkan 1 atau 2 baris, kemungkinan kamu memecahkan isi pesan juga bertambah besar. Jangan lupa gunakan sebaik mungkin logika kamu.

sumber : ACA (American Cryptogram Assosiation)

Friday, 6 November 2015

Arthur Conan Doyle | Sherlock Holmes | Batu Mazarin


Batu Mazarin

Dr. Watson senang dapat kembali mengunjungi ruang duduk berantakan di lantai atas Baker Street itu. Banyak petualangannya yang luar biasa dimulai dari ruangan ini.  Matanya menelusuri benda- benda yang ada di sekelilingnya grafik-grafik ilmiah yang tergantung di tembok, bangku yang berlepotan  cairan kimia, biola yang tersandar  di  sudut, kotak berisi pipa dan tembakau.  Akhirnya,  pandangannya ter tuju ke wajah Billy yang cerah dan sedang tersenyum. Pemuda ini masih muda, tapi penampilannya cerdas  dan penuh akal. Dengan adanya  pemuda ini, detektif  kondang yang wajahnya lebih banyak cemberut itu jadi tak begitu kesepian.
"Semua tampaknya tak ada yang berubah, Billy. Kau juga masih seperti dulu. Kuharap dia pun begitu?"
Billy menoleh ke pintu kamar  tidur yang masih tertutup dengan agak khawatir.  "Saya rasa dia masih tidur," katanya.
Waktu itu pukul tujuh malam di musim panas yang ceria, tapi Dr. Watson sudah maklum benar akan gaya hidup sahabatnya yang kadang-kadang tak menentu. Jadi dia tak heran sedikit pun.
"Berarti ada kasus yang sedang ditanganinya?"
"Ya,  Sir, dia sibuk sekali. Saya mengkhawatirkan kesehatannya.  Dia jadi agak pucat dan semakin kurus, karena dia tak mau makan. Ketika Mrs. Hudson menanyakan kapan dia mau makan, dia menjawab, 'Lusa jam setengah delapan.'  Anda pasti sudah kenal  wataknya kalau sedang serius menangani kasus."
"Ya, Billy, aku sangat paham akan hal itu."
"Dia sedang mengincar seseorang. Kemarin dia keluar sambil menyamar sebagai pengangguran yang  sedang  mencari  pekerjaan.  Tadi  dia  menjadi  wanita  tua.  Saya masih terheran-heran melihat tindak-tanduknya, padahal saya sudah cukup lama mengenalnya."  Billy menunjuk payung usang yang tersandar di sofa. "Itu salah satu perlengkapan wanita tua yang dipakainya," katanya.
"Tapi, ada apa sebenarnya, Billy?"
Billy melembutkan suaranya. "Saya tak keberatan mengatakannya kepada Anda, Sir, tapi Anda harus merahasiakannya. Ini mengenai kasus berlian Kerajaan."
"Apa? Berlian bernilai seratus ribu pound yang dirampok itu?"
"Ya, Sir, mereka harus mendapatkannya kembali. Perdana Menteri dan Menteri Dalam Negeri sendiri yang menghubungi Mr. Holmes. Bayangkan,  mereka duduk di sofa itu!  Mr. Holmes menenangkan mereka dan berjanji akan berusaha sebaik mungkin. Tapi Lord Cantlemere..."
"Ah!"
"Ya, Sir, Anda pasti tahu apa artinya. Dia kaku dan angkuh, begitulah menurut saya. Perdana Menteri maupun Menteri Dalam Negeri cukup ramah, Sir, tapi bangsawan yang satu itu, sungguh tak tahan saya terhadap sikapnya. Begitu juga Mr. Holmes, Sir. Anda tahu, Lord Cantlemere tak percaya pada kemampuan Mr. Holmes dan bahkan tidak setuju kasus ini diserahkan kepada Mr. Holmes. Dia pasti berharap agar Mr. Holmes gagal."
"Dan Mr. Holmes tahu itu?"
"Mana ada hal yang luput dari pengamatan Mr. Holmes, Sir?"
"Yah, semoga saja dia berhasil sehingga Lord Cantlemere dipermalukan. Tapi, Billy, untuk apa tirai itu dipasang di situ?"
"Mr. Holmes yang memasangnya tiga hari yang lalu. Di baliknya ada sesuatu yang aneh."
Billy melangkah maju dan menarik tirai yang mengelilingi bagian dalam jendela lengkung itu.  Dr. Watson berteriak keheranan. Di muka jendela duduk patung sahabatnya  lengkap dengan pakaian tidurnya. Wajahnya menunduk sedikit seperti sedang membaca buku, sementara tubuhnya tenggelam di kursi malas. Billy melepaskan kepala patung itu dan mengangkatnya.
"Kami  mengubah-ubah  posisinya, sehingga tampak  seperti  orang  sungguhan. Saya tak akan berani menyentuhnya kalau kerai jendela terbuka, sebab patung ini terlihat dari seberang jalan."
"Kami pernah melakukan tipuan seperti ini."
"Sebelum saya kerja di sini, ya?" kata Billy. Dia menyingkapkan kerai lalu melongok ke jalan.  "Ada beberapa orang yang mengawasi kita dari bawah sana, salah satunya berdiri di depan jendela.  Coba lihatlah sendiri."
Watson baru maju selangkah ketika pintu kamar terbuka, dan muncullah sosok Holmes yang
tinggi kerempeng. Wajahnya pucat dan letih, namun langkah dan sikapnya penuh semangat sebagaimana biasanya. Dengan satu lompatan dia sudah sampai ke dekat jendela, lalu ditutupnya kerai.
"Begitu seharusnya, Billy,"  katanya. "Kau membahayakan  jiwamu, Nak, padahal  aku masih
membutuhkanmu.  Well, Watson, senang sekali melihatmu di sini lagi. Kau kemari tepat pada saat yang kritis."
"Kelihatannya memang begitu?"
"Kau boleh pergi, Billy. Anak muda ini membuatku repot, Watson. Sampai sejauh mana aku
berhak membahayakan dirinya?"
"Membahayakan bagaimana, Holmes?"
"Dia bisa menemui ajalnya tanpa diduga. Aku sedang menantikan sesuatu malam ini."
"Apa itu, Holmes?"
"Pembunuhan terhadap diriku, Watson."
"Ah, kau bercanda!"
"Walaupun rasa humorku terbatas, masa aku bercanda senaif itu? Nah, mari santai saja sekarang. Kau boleh menenggak minuman keras?  Korek dan rokok ada di tempat biasa. Aku ingin melihatmu kembali duduk di kursi malas itu. Kuharap kau tak melarangku merokok, aku perlu rokok
sebagai ganti makanan akhir-akhir ini."
"Kenapa kau tak makan?"
"Karena otakku akan lebih tajam kalau perutku kosong. Sebagai dokter, kau pasti tahu, sobatkuvWatson, sel-sel darah yang dipakai  untuk membantu pencernaan sebenarnya mengurangi  jatah yang untuk ke otak. Bagian terpenting dari  tubuhku kan otak, Watson, bagian lain cuma pelengkap. Jadi otaklah yang kuutamakan."
"Tapi siapa sebenarnya yang ingin membunuhmu, Holmes?"
"Ah, ya, sebaiknya kau mengingat-ingat nama dan alamat pembunuhku, kalau-kalau itu kelak diperlukan.  Kau  dapat meneruskan informasi ini ke Scotland Yard,  diiringi salam perpisahanku.  Namanya Sylvius—Count Negretto Sylvius. Ayo tulis,  sobat, tulis! Alamatnya Moorside Gardens Nomor 136, N.W. Sudah?"
Wajah Watson yang lugu dipenuhi kecemasan. Dia tahu benar risiko-risiko yang harus dihadapi Holmes sehubungan dengan pekerjaannya. Dia pun sadar sahabatnya tidak mengada-ada, malah boleh jadi bahaya yang menghadangnya lebih besar dari yang diungkapkannya.  Keprihatinan   dan kesetiakawanan Watson langsung timbul.
"Aku akan mendampingimu, Holmes. Aku sedang nganggur selama satu-dua hari ini."
"Kau tak bisa membohongiku, Watson, kelihatan jelas kau dokter yang benar-benar sibuk."
"Tapi tak ada kasus  mendesak yang harus  kutangani, sungguh! Aku tak menger ti mengapa tak kautangkap saja orang itu!"
"Sebenarnya aku memang bisa menangkapnya, dan itulah yang membuatnya kuatir."
"Jadi, kenapa tak kaulakukan?"
"Karena aku belum tahu di mana dia menyembunyikan berlian itu."
"Oh ya, Billy sudah bercerita soal itu—permata Kerajaan yang hilang."
"Ya, batu Mazarin besar berwarna kuning itu. Aku sudah memasang pancing, dan ikannya pun sudah kena. Tapi aku belum menemukan batunya. Jadi untuk apa aku menangkap mereka? Dunia memang akan lebih aman kalau mereka mendekam di penjara, tapi saat ini ada hal yang penting. Aku ingin mendapatkan batunya."
"Apakah Count Sylvius salah satu dari ikan-ikan yang kaupancing?"
"Ya, bahkan dia ikan yang paling besar,  hiu. Lainnya adalah Sam Merton,  petinju. Sam sebenarnya tidak jahat, tapi dia diperalat Count. Sam bukan hiu yang menggigit, dia cuma si keras kepala bodoh yang berbadan besar."
"Ada di mana Count Sylvius sekarang?"
"Sepanjang pagi tadi aku berhasil menguntitnya.  Kau  pernah melihatku menjadi wanita tua,  Watson, dan aku bisa memerankannya dengan sangat meyakinkan. Dia bahkan sempat mengambil payungku yang terjatuh. 'Silakan, Madam,' katanya dengan logat Itali yang amat sopan, padahal di saat lain dia bisa bersikap seperti iblis. Hidup ini penuh dengan hal-hal yang lucu, Watson."
"Kelucuan yang bisa berubah menjadi tragedi."
"Well, bisa saja. Aku mengikutinya ke bengkel tua milik Straubenzee di Minories. Straubenzee adalah pembuat senapan angin yang andal, dan hasil karyanya kini siap dibidikkan dari jendela seberang.  Sudah kaulihat bonekaku? Setiap saat, kepalanya yang bagus itu bisa ditembus  peluru. Ah,  Billy, ada apa?"
Pelayan muda itu telah muncul kembali di ruangan, membawa kartu nama di atas nampan.  Holmes membaca kartu itu sambil menaikkan alisnya dan tersenyum gembira.
"Orang itu sendiri. Aku sungguh tak menduga. Siapkan senjatamu, Watson! Orang ini sangat tak sabaran. Kau mungkin pernah mendengar  tentang reputasinya sebagai jago tembak yang termasyhur.  Dan prestasinya akan mencapai puncak kalau dia berhasil menembakku.  Kedatangannya membuktikan dia resah karena aku terus membuntutinya."
"Panggil polisi saja."
"Mungkin bisa begitu. Tapi tidak sekarang. Tolong kaulihat dari jendela, Watson, apakah ada orang yang berkeliaran di jalan."
Dari balik kerai Watson mengamati keadaan di sekitar apartemen Holmes.
"Ya, ada seorang pria yang tampaknya galak berdiri di dekat pintu."
"Itu pasti Sam Merton. Di mana orang yang memberikan kartu nama ini, Billy?"
"Menunggu di bawah, Sir."
"Persilakan dia naik kalau bel kubunyikan."
"Ya, Sir."
"Kalaupun nanti aku tak berada di sini, tetap persilakan dia masuk."
"Baik, Sir."
Watson menunggu sampai pintu ruangan itu tertutup kembali,  lalu menoleh ke sahabatnya
dengan serius.  "Holmes, ini benar-benar tak masuk akal. Orang itu sangat kejam dan sedang terdesak. Dia bisa saja membunuhmu."
"Memang."
"Pokoknya aku akan menemanimu di sini."
"Kau hanya akan menjadi penghalang."
"Menghalangi niat busuknya, maksudmu?"
"Tidak, sobat—menghalangi rencanaku."
"Well, aku tak mungkin meninggalkanmu."
"Harus, Watson, kalau kau mau menolongku. Orang ini datang karena punya rencana tertentu,  tapi lihat saja, yang akan dia jalankan justru rencanaku." Holmes mengambil  buku catatannya dan menuliskan beberapa kalimat. "Pergilah ke Scotland Yard dan serahkan surat ini kepada Youghal dari bagian CID. Lalu kembalilah kemari bersamanya. Polisi tinggal menangkap penjahat itu."
"Akan kulaksanakan dengan senang hati."
"Sementara itu aku akan berusaha mencari tahu di mana batu mulia itu disembunyikan."
Dia membunyikan bel.  "Kita keluar lewat kamar tidur saja.  Pintu keluar cadangan ini   benar-benar bermanfaat, Watson.  Aku lebih suka memperhatikan buruanku sementara dia tak menyadarinya—barangkali kau masih ingat caraku biasa melakukannya?"
Ketika tak lama kemudian Count Sylvius diantarkan ke tempat kami, dia  berhadapan dengan ruang kosong. Jago tembak itu berperawakan besar, dengan kumis lebat yang menutupi bibir tipisnya yang terlihat angker. Hidungnya mancung dan bengkok, seperti paruh burung elang.  Dia berpakaian rapi, namun dasinya yang ramai dan jepit dasinya yang berkilauan menimbulkan kesan norak, apalagi ditambah dengan deretan cincin yang menghiasi jemarinya. Pandangannya yang tajam menelusuri sekitarnya, seolah-olah dia mengharapkan jebakan di setiap sudut. Dia sangat terkejut  ketika melihat kepala dan kerah pakaian tidur  yang menyembul dari kursi malas di dekat jendela. Lalu ekspresinya yang seakan tak percaya berubah, matanya bersinar-sinar penuh hasrat membunuh. Dia melihat sekelilingnya sekali lagi untuk meyakinkan bahwa dia tak sedang diawasi,  lalu dengan berjingkat-jingkat dia mendekati sosok yang dikiranya Holmes itu.  Dia baru saja hendak mengayunkan tongkatnya ketika terdengar suara yang dingin dan sinis dari pintu kamar tidur
yang mendadak terbuka.
"Jangan dihancurkan, Count!  Jangan dihancurkan!"
Pembunuh itu melangkah mundur, wajahnya memancarkan rasa terkejut yang amat sangat.  Selama beberapa saat, dia sepertinya hendak mengalihkan ayunan tongkatnya ke arah Holmes yang asli, tapi pandangan tajam dan senyum sinis sahabatku membuatnya menurunkan tongkat itu.
"Sayang kalau patung sebagus ini dihancurkan," kata Holmes sambil menghampiri  tiruannya itu.  "Dibuat oleh Tavernier, pematung Prancis. Kemahirannya membuat patung lilin sehebat teman Anda Straubenzee membuat senapan angin."
"Senapan angin, Sir? Apa maksud Anda?"
"Tolong taruh topi dan tongkat Anda di meja samping itu. Terima kasih!  Silakan duduk.  Bagaimana kalau Anda juga melepaskan pistol Anda?  Oh,  baiklah kalau Anda lebih   suka mendudukinya. Kunjungan Anda kemari benar-benar kebetulan, karena saya sangat ingin berbicara sebentar dengan Anda."
Wajah pria bergelar count itu memberengut, kedua alisnya mengerut.  "Saya pun ingin menyampaikan sesuatu kepada Anda, Holmes. Itulah sebabnya saya kemari.  Saya tak menyangkal bahwa saya tadi bermaksud menyerang Anda."
Holmes menaikkan kakinya ke meja.  "Saya kira Anda memang bermaksud begitu,"  katanya. "Boleh saya tahu alasannya?"
"Saya sangat terganggu karena ulah Anda. Anda telah menyuruh orang-orang Anda membuntuti saya."
"Orang-orang saya! Tidak sama sekali!"
"Omong kosong!  Saya sudah menyuruh orang mengikuti mereka. Kita saling menguntit,  Holmes."
"Sebelum kita melanjutkan pembicaraan, Count Sylvius, harap Anda perhatikan satu hal kecil.  Anda tentunya mengerti bahwa dalam tugas rutin saya, nama saya sudah biasa disebut dengan sopan,  dan saya sangat tersinggung kalau Anda tidak melakukannya!"
"Baiklah, Mr. Holmes!"
"Bagus! Nah, saya ingin meyakinkan Anda bahwa tak benar saya punya agen-agen seperti yang Anda duga."
Count Sylvius tertawa dengan nada merendahkan.  "Orang lain pun bisa melakukan pengamatan jeli, Mr. Holmes. Kemarin saya dibuntuti pria tua,  hari ini wanita tua."
"Wah, saya benar-benar merasa tersanjung, Sir! Pada malam sebelum dihukum gantung, Baron Dowson sempat mengungkapkan bahwa dunia panggung rugi besar karena saya terjun ke bidang kriminal.  Dan sekarang Anda secara tak langsung memuji kehebatan akting saya."
"Anda menyamar... mereka sebenarnya Anda sendiri?"
Holmes mengangkat bahu.  "Payung kumal di sudut ruangan itulah saksinya. Anda  sempat memungutkannya untuk saya, kan?"
"Kalau saja saya tahu, Anda takkan..."
"Pernah kembali ke rumah ini. Saya sadar  akan hal itu. Kita memang sering menyesal karena telah melewatkan kesempatan untuk melakukan sesuatu. Yang jelas, waktu itu Anda  tak tahu, kan?  Jadilah kita bertemu di sini sekarang ini!"
Alis Count mengerut semakin dalam, matanya memancarkan ancaman. "Ucapan Anda malah memperburuk keadaan. Mereka bukan orang-orang suruhan Anda, tapi  Anda sendiri  yang sok turut campur urusan orang! Jadi Anda mengakui telah menguntit saya. Untuk apa?"
"Ayolah, Count. Anda kan dulunya sering menembak singa di Algeria."
"Lalu?"
"Untuk apa?"
"Untuk apa? Tentu saja untuk olahraga—kegemaran menantang bahaya!"
"Juga untuk membasmi hama?"
"Benar!"
"Persis seperti alasan saya!"
Count itu terlonjak, tangannya tanpa sadar meraba kantong celananya.
"Duduk dulu, Sir, duduk dulu! Ada satu alasan praktis lagi. Saya ingin mendapatkan berlian kuning itu!"
Count Sylvius menjatuhkan diri di kursi sambil tersenyum sinis.  "Saya tak mengerti arah pembicaraan Anda," katanya.
"Anda tahu justru karena itu saya mengejar Anda, dan Anda kemari untuk mengorek informasi seberapa jauh saya tahu tentang kasus ini dan perlukah saya disingkirkan.  Harus saya akui bahwa dilihat dari sudut pandang Anda, saya mestinya dilenyapkan, karena semuanya  sudah  saya ketahui kecuali satu hal, yang sebentar lagi akan Anda ungkapkan."
"Oh, begitu! Fakta apa gerangan yang belum Anda ketahui?"
"Di mana berlian Kerajaan itu disimpan saat ini?"
Count menatap lawan bicaranya dengan tajam. "Oh, Anda ingin tahu itu? Bagaimana saya bisa membantu Anda sedangkan saya sendiri tak tahu-menahu?!"
"Anda bisa, dan Anda pasti akan mengatakannya."
"Begitu, ya!"
"Anda tak bisa mengelabui saya, Count Sylvius."  Mata Holmes menatapnya dengan sangat menusuk. "Anda benar-benar tembus pandang. Saya bisa membaca pikiran Anda."
"Kalau begitu, Anda tahu di mana batu itu berada!"
Holmes bertepuk tangan dengan gembira, lalu diacungkannya telunjuknya.  "Nah,  benar kan Anda tahu tempatnya. Anda baru saja mengakuinya!"
"Saya tak mengakui apa-apa."
"Sekarang, Count, kalau Anda bersedia bekerja sama, kita bisa menyelesaikan urusan ini. Kalau tidak, Anda sendiri yang rugi."
Count Sylvius memutar-mutar bola matanya.  "Sekarang Anda yang mencoba mengelabui saya!" katanya.
Holmes menatapnya sambil berpikir keras,  bagaikan jago catur yang sedang mempertimbangkan langkah kemenangan akhir yang akan dilakukannya. Lalu dia membuka   laci mejanya dan mengambil buku notesnya yang tebal.
"Tahukah Anda apa yang saya catat di buku ini?"
"Tentu saja tidak."
"Anda."
"Saya!"
"Ya, Sir. Anda!  Semua sepak terjang Anda dalam  hidup Anda yang jahat dan penuh bahaya tertulis di sini."
"Terkutuklah kau, Holmes!"  teriak Count dengan mata menyala-nyala.  "Kesabaranku ada batasnya!"
"Benar, Count.  Semuanya tercatat di sini. Fakta-fakta  tentang  kematian  Mrs.  Harold yang mewariskan tanah di Blymer kepada Anda, yang lalu Anda habiskan di meja judi."
"Anda mimpi!"
"Lalu kisah hidup Miss Minnie Warrender..."
"Huh! Tak ada apa-apanya di situ!"
"Masih banyak informasi yang berhasil saya kumpulkan, Count. Perampokan di kereta api utama menuju Riviera pada 13 Februari 1892. Lalu kasus cek kosong yang dikeluarkan Credit Lyonnais."
"Tidak, yang itu bukan begitu."
"Kalau begitu yang lain-lainnya benar!  Sebagai pemain kartu yang andal, Count, Anda tentu paham. Kalau lawan main Anda  memegang semua kartu truf, untuk apa membuang-buang waktu?  Menyerah sajalah."
"Apa hubungan pembicaraan kita dengan batu mulia yang Anda sebutkan tadi?"
"Pelan-pelan, Count. Kendalikan rasa ingin tahu Anda!  Biar saya jelaskan semuanya dengan gaya khas saya yang kata orang bertele-tele. Fakta-fakta yang saya sebutkan tadi sangat memojokkan posisi Anda, tapi yang terpenting, saya sudah memiliki bukti-bukti keterlibatan Anda dan tukang pukul Anda sehubungan dengan berlian Kerajaan yang hilang."
"Oh ya!"
"Saya sudah melacak kusir kereta yang mengantarkan Anda ke Whitehall dan juga yang mengantarkan Anda pulang dari situ. Saya sudah berbicara dengan penjaga istana yang melihat Anda di dekat  kotak penyimpanan batu itu. Saya sudah menemui Ikey Sanders  yang menolak ketika Anda meminta jasanya untuk memotong batu itu. Ikey telah melaporkan semuanya, jadi tamatlah sudah permainan Anda."
Urat-urat darah di dahi Count menegang, sehingga tampak dengan jelas. Tangannya yang hitam dan penuh bulu dikepalnya untuk menahan emosinya yang hampir meledak. Dia mencoba mengucapkan sesuatu, tapi kata-katanya tak kunjung keluar.
"Inilah kartu-kartu yang saya miliki," kata Holmes. "Sudah saya letakkan semuanya di meja.  Tinggal satu kartu yang kurang... saya belum tahu di mana batu itu."
"Anda tak kan pernah tahu."
"Masa? Ayolah, mari bekerja sama, Count. Pertimbangkan situasinya. Anda bisa dipenjara selama dua puluh tahun. Begitu juga Sam Merton. Untuk apa Anda mempertahankan batu itu? Sama sekali tak ada gunanya. Tapi jika Anda bersedia menyerahkannya—well, saya akan tutup mulut tentang kejahatan Anda yang lain-lain. Saya tak berniat menangkap Anda ataupun Sam. Saya hanya menginginkan batu itu. Serahkanlah, dan saya akan mempersilakan Anda pergi jika Anda berjanji untuk tidak berbuat macam-macam lagi di masa yang akan datang. Bila Anda melakukan tindak kejahatan
lagi—well, saya jamin Anda tak bisa berkutik. Tapi tugas saya kali ini hanyalah mendapatkan batu itu,  bukan menangkap Anda."
"Kalau saya menolak tawaran Anda?"
"Yah, tentu saya terpaksa menangkap Anda."
Billy muncul karena Holmes membunyikan bel.  "Saya rasa, Count, sebaiknya teman Anda Sam ikut serta dalam pertemuan ini. Bagaimanapun,  kepentingannya perlu diwakili. Billy, kaulihat pria tinggi besar di depan pintu gedung ini? Panggil dia kemari."
"Kalau dia tak mau, Sir?"
"Tak perlu pakai kekerasan, Billy. Katakan saja Count Sylvius yang memanggilnya."
"Apa yang akan Anda lakukan sekarang?" tanya Count ketika Billy sudah pergi.
"Teman saya Watson baru saja berkunjung. Tadi saya bercerita bagaimana saya menjaring ikan hiu dan temannya. Sekarang saya sedang menarik jaring berisi mereka berdua."
Count bangkit dari duduknya, dan tangannya bergerak ke belakang. Dengan sigap Holmes menggenggam pistol yang mencuat dari saku pakaian tidurnya.  "Kau akan mati tapi tidak di ranjang, Holmes!"
"Saya sudah sering memikirkan hal itu. Tak apa-apa, kan? Anda sendiri juga lebih cenderung akan  menemui ajal secara vertikal daripada horizontal. Tapi pembicaraan soal bagaimana kita akan menemui ajal ini sungguh-sungguh gila. Mengapa tidak kita nikmati saja hidup yang masih tersisa sampai hari ini?"
Mata penjahat ulung itu menyorot bengis, sementara Holmes pun bersiaga.  
"Tak ada gunanya memegang pistol Anda, sobat,"  kata sahabatku dengan tenang.  "Anda tahu Anda tak berani menggunakannya, bahkan jika saya memberi Anda kesempatan   untuk menembakkannya. Pistol itu bunyinya keras, Count, lebih aman pakai senapan angin. Ah, ini dia teman Anda yang setia. Selamat malam, Mr. Merton. Tak banyak yang menarik perhatian di luar sana, ya?"
Petinju bayaran ini masih muda dan badannya kekar. Wajahnya berbentuk persegi, keras namun lugu. Dia berdiri di pintu masuk sambil melihat ke sekelilingnya dengan bingung dan ragu-ragu.  Sambutan Holmes yang ramah merupakan hal baru baginya, dan walaupun merasakan permusuhan yang tersirat di baliknya, dia tak tahu bagaimana menanggapinya. Dia menoleh ke arah temannya seolah memohon bantuan.
"Permainan apa ini, Count? Apa yang diinginkan orang itu?" Suaranya dalam dan parau.
Count mengangkat bahu, dan Holmes yang menjawab.  "Kalau saya boleh mengatakannya secara singkat, Mr. Merton, semuanya sudah selesai."
Petinju itu masih mengarahkan kata-katanya kepada temannya.  "Orang ini sedang bercanda, atau bagaimana? Rasanya waktunya kurang tepat."
"Saya tidak bercanda," kata Holmes. "Dan saya jamin Anda sebentar  lagi juga tak bisa tertawa.  Begini, Count Sylvius. Saya sibuk sekali dan tak mau menyia-nyiakan waktu. Saya akan berlatih biola di kamar tidur, sementara Anda menjelaskan situasinya kepada teman Anda. Lima menit lagi saya akan kembali untuk mendengarkan jawaban akhir Anda. Anda sudah tahu pilihannya, kan? Anda... atau batu itu."
Holmes masuk ke kamar tidurnya setelah mengambil biola dari  sudut ruangan.  Beberapa saat kemudian, terdengar gesekan biola yang memilukan dari pintu kamar tidurnya yang tertutup.
"Ada apa?" tanya Merton dengan penasaran ketika temannya  menoleh ke arahnya. "Apakah dia tahu tentang batu mulia itu?"
"Dia tahu banyak sekali, jangan-jangan malah semuanya."
"Ya Tuhan!" Wajah petinju yang pucat itu jadi semakin pucat.
"Ikey Sanders telah mengkhianati kita."
"Masa? Akan kutinju dia sampai roboh, kalau kita bertemu dengannya."
"Itu tak menolong kita. Kita harus membuat keputusan sekarang."
"Tunggu  sebentar,"  kata petinju itu sambil menengok ke pintu kamar tidur dengan curiga.  "Orang itu perlu diwaspadai. Tentunya dia tidak menguping, kan?"
"Bagaimana dia bisa menguping sambil main biola?"
"Benar. Mungkin ada orang di balik gorden. Banyak sekali gorden di  ruangan ini."
Untuk pertama kalinya dia melihat patung Holmes yang memandang ke luar jendela.  Dia  melotot dan menunjuk-nunjuk, tak mampu berkata-kata.
"Huh! Itu cuma patung," kata Count.
"Palsu, ya? Wah, kaget aku dibuatnya! Tak kalah dengan buatan Madame Tussaud. Benar-benar mirip orangnya, juga pakaian dan lain-lainnya. Tapi gorden-gorden ini, Count!"
"Persetan dengan gorden-gorden itu!  Kita membuang-buang waktu. Dia bisa menangkap kita,  tahu!"
"Ah, mana mungkin?!"
"Tapi dia akan membebaskan kita kalau kita mengatakan di mana barang itu disembunyikan."
"Apa! Menyerah begitu saja? Dan seratus ribu melayang?"
"Habis, pilih yang mana?"
Merton menggaruk- garuk kepalanya "Dia sendirian di kamar itu, yuk kita habisi!  Kalau  dia  mampus, tak ada yang perlu kita takutkan lagi."
Count menggeleng.  "Dia bersenjata dan dalam keadaan siaga penuh. Kalau kita menembaknya, kita tak mungkin melarikan diri dari tempat ini. Di samping itu, kemungkinan besar dia sudah memberikan informasi kepada polisi. Hei... apa itu?"
Terdengar suara lirih yang tampaknya berasal dari jendela. Kedua pria itu berlari ke arah suara,  tapi suara itu sudah menghilang. Sunyi. Kecuali patung yang duduk di dekat jendela, tak ada apa apa lagi di ruangan itu.
"Pasti berasal dari jalanan," kata Merton. "Begini saja, Bos, kau kan yang punya otak jadi pasti bisa mendapatkan jalan keluar. Kalau tak perlu menghabisinya, terserah kau sajalah."
"Aku sudah berkali-kali mengecoh banyak orang, tapi dia cerdik sekali," jawab Count. "Batu itu ada di sini, di saku rahasia.  Aku tak berani meninggalkannya begitu saja.  Malam ini batu ini bisa dibawa ke luar negeri, lalu dipotong menjadi empat di Amsterdam sebelum hari Minggu. Dia tak tahu menahu tentang Van Seddar."
"Kupikir Van Seddar baru berangkat minggu depan."
"Harusnya begitu. Tapi sekarang dia harus berangkat secepatnya. Salah satu  dari kita  harus membawa batu ini ke Lime Street dan menyerahkannya kepadanya."
"Tapi kotak penyimpanan rahasianya belum jadi."
"Yah, biar dibawa begitu saja, habis bagaimana? Waktunya sudah sangat mendesak."
Kembali jago tembak yang senantiasa peka terhadap bahaya di sekelilingnya itu berhenti sejenak dan menatap ke jendela. Ya, dia yakin suara lirih tadi berasal dari jalanan.
"Sedangkan Holmes," lanjutnya, "bisa dengan mudah kita tipu. Keparat tolol itu takkan menangkap kita kalau bisa mendapatkan batu itu. Kita beri dia alamat palsu, dan pada waktu dia sadar alamat itu ternyata palsu, batu itu sudah sampai di Belanda dan kita sudah meninggalkan negeri ini."
"Gagasanmu kelihatannya bagus!" teriak Sam Merton sambil menyeringai.
"Sekarang kautemui orang Belanda itu dan suruh dia bersiap-siap. Aku yang akan menghadapi si tolol Holmes. Akan kukatakan kepadanya batu itu ada di Liverpool. Sialan,  musik brengsek itu membuat telingaku sakit! Ketika dia melacak ke Liverpool dan tak menemukan batu itu, kita sudah memotongnya jadi empat dan kita sudah berada di kapal.  Kemari, jangan dekat-dekat lubang kunci! Ini batunya."
"Berani-beraninya kau membawanya ke sana kemari."
"Di mana lagi yang lebih aman? Kalau kita saja bisa mencurinya dari Whitehall, orang lain pun bisa mencurinya dari tempat tinggalku."
"Coba kita lihat dulu."
Count Sylvius menatap rekannya dengan agak ragu-ragu, tak diacuhkannya tangan kotor yang diulurkan kepadanya.
"Kaukira aku hendak merampasnya darimu? Terus terang saja, Mister, aku mulai muak dengan cara-caramu."
"Wah, wah, jangan marah, Sam. Kita tak boleh bertengkar. Mari mendekat ke jendela kalau kau mau melihat keindahan batu ini dengan jelas. Sekarang, arahkan ke lampu! Nih!"
"Terima kasih!"  Dengan satu lompatan Holmes menyeruak dari kursi yang didudukinya, lalu merebut batu mulia itu. Digenggamnya batu itu di satu tangan, sedangkan tangannya yang lain mengacungkan pistol ke arah kepala Count. Kedua penjahat itu terhuyung-huyung mundur dengan sangat terperanjat. Sebelum mereka sadar akan apa yang sedang terjadi, Holmes telah memencet bel listrik.
"Jangan coba-coba melawan, Tuan-tuan—saya mohon, jangan melawan! Sayang kalau perabotan ruangan ini jadi rusak! Anda harus sadar  posisi Anda sangat tidak menguntungkan. Polisi sudah menunggu di bawah."
Begitu terperanjatnya Count sehingga dia bisa menguasai amarah dan ketakutannya.  "Bagaimana mungkin...?" sergahnya.
"Wajar  kalau Anda terkejut, Anda tak tahu ada pintu lain dari kamar tidur  saya yang menuju belakang gorden. Saya yakin Anda tadi sempat mendengar  sesuatu ketika saya memindahkan patung itu, tapi  kemujuran sedang berpihak kepada saya. Dengan begitu saya berkesempatan mendengarkan percakapan kalian, yang tentunya tak akan seterus terang itu kalau saja kalian mengetahui kehadiran saya di ruangan ini."
Count melakukan gerakan menyerah kalah.  "Kau sungguh luar biasa, Holmes. Aku percaya kaulah si iblis sendiri."
"Setidaknya saat ini saya berdiri tak jauh darinya," balas Holmes sambil tersenyum ramah.  
Otak Sam Merton yang lamban kerjanya mulai menyadari apa yang sedang terjadi.  Ketika terdengar suara langkah-langkah berat dari tangga di luar ruangan, dia akhirnya memecahkan keheningan.
"Polisi," katanya. "Tapi kenapa biolanya masih berbunyi?"
"Yah! yah!"  jawab Holmes. "Anda benar sekali. Biar saja terus berbunyi! Gramofon modern benar-benar hasil penemuan yang hebat."
Polisi menyerbu masuk, lalu terdengar  suara gemerincing borgol yang dikatupkan, dan kedua penjahat itu digiring ke kereta yang menunggu di luar. Watson masih tinggal menemani Holmes, sambil memberikan ucapan selamat atas  keberhasilannya. Sekali lagi, percakapan mereka terpotong dengan masuknya Billy yang membawa nampan berisi kartu nama.
"Lord Cantlemere, Sir."
"Persilakan dia naik, Billy. Dia wakil resmi pejabat tinggi Kerajaan," kata Holmes.
"Orangnya baik dan sangat setia, tapi agak konservatif.  Bagaimana kalau kita menggodanya... supaya dia tak terlalu kaku. Aku yakin dia tak tahu-menahu tentang apa yang telah terjadi."
Pintu ruangan kami terbuka  lagi, lalu masuklah sosok kurus yang anggun. Wajahnya angker berhiaskan janggut model Victoria yang berwarna hitam berkilauan, yang tampak kurang serasi dengan gaya jalannya yang gemulai dan bahunya yang agak bulat. Holmes  mendekatinya  sambil menjabat tangannya dengan ramah, tapi pria itu tidak menanggapi.
"Apa kabar. Lord Cantlemere? Hawa terasa agak dingin, ya, tapi di dalam sini hangat. Boleh saya buka mantel Anda?"
"Tidak usah, terima kasih, saya tak ingin membukanya."
Holmes tetap saja memegangi lengan mantel itu.  "Izinkan saya! Rekan saya Dr. Watson pasti akan menyarankan demikian mengingat perubahan suhu yang terjadi bisa membahayakan kesehatan kita."
Bangsawan itu tetap menolak sambil dengan jengkel membebaskan lengannya dari pegangan Holmes.  "Saya lebih suka begini, Sir, saya tak akan tinggal lama. Saya hanya mau melihat perkembangan tugas yang dipercayakan kepada Anda."
"Tugas itu sulit—sulit sekali."
"Saya sudah menduganya."
Sikap dan ucapan pejabat negara yang sudah tua ini terkesan agak mencemooh.  "Setiap orang pasti punya keterbatasan, Mr. Holmes, tapi paling tidak itu akan mengajar  kita untuk tidak selalu merasa puas diri."
"Ya, Sir, agak banyak hal yang membingungkan saya."
"Jelas."
"Khususnya tentang satu hal. Mungkin Anda bisa menjelaskannya kepada saya?"
"Permintaan Anda agak terlambat. Tadinya saya mengira semua bisa Anda pecahkan dengan cara Anda sendiri. Tapi baiklah, apa yang bisa saya bantu?"
"Anda tahu, Lord Cantlemere, tak sulit untuk mengajukan si pencuri ke pengadilan."
"Setelah Anda berhasil menangkap mereka, tentunya."
"Tepat sekali. Tapi pertanyaannya ialah—bagaimana kita dapat menangani tukang tadahnya secara hukum?"
"Bukankah terlalu dini membicarakan hal itu?"
"Lebih baik kita  mempersiapkan semua perencanaannya. Begini saja, apa  yang membuktikan orang itu tukang tadahnya."
"Batu itu ada padanya."
"Anda akan menangkap dia dengan dasar itu?"
"Jelas!"
Holmes jarang sekali tertawa, tapi kali ini dia benar-benar merasa geli.  "Kalau begitu, Sir, dengan sangat menyesal saya perlu memerintahkan penangkapan atas diri Anda."
Lord Cantlemere marah sekali. Rona merah merambati pipinya yang pucat "Anda benar-benar lancang, Mr. Holmes. Selama lima puluh tahun mengabdi kepada Kerajaan,  belum pernah saya menghadapi hal seperti ini. Saya orang sibuk, Sir, saya mengurusi  banyak hal penting, dan saya tak punya waktu dan minat untuk menanggapi lelucon konyol. Terus terang saja, Sir,  saya sebetulnya tak percaya pada kemampuan Anda, dan menurut pendapat saya kasus ini akan lebih aman jika ditangani polisi. Kelakuan Anda memperkuat semua kesimpulan saya. Saya permisi, selamat malam."
Dengan sigap Holmes telah berpindah posisi. Kini dia berdiri di antara bangsawan itu dan pintu keluar.  "Sebentar, Sir," katanya. "Kalau Anda keluar dari sini sambil membawa batu Mazarin itu, akan lebih berbahaya bagi Anda daripada kalau hanya memilikinya sementara saja."
"Sir, ini benar-benar keterlaluan! Minggir, saya mau lewat."
"Silakan masukkan tangan Anda ke saku mantel Anda sebelah kanan."
"Apa maksud Anda?"
"Ayolah—ayolah, lakukan saja apa yang saya minta."
Sekejap kemudian, pejabat tinggi itu berdiri terpana, menatap batu kuning besar di telapak tangannya yang gemetaran.
"Apa ini! Apa ini! Bagaimana bisa sampai di sini, Mr. Holmes?"
"Maaf, Lord Cantlemere, maaf!" teriak Holmes. "Sobat saya ini akan memberitahu Anda bahwa lelucon saya kadang-kadang keterlaluan. Selain itu saya suka menciptakan suasana yang dramatis. Tadi saya lancang memasukkan batu itu ke saku mantel Anda pada awal pembicaraan kita."
Secara bergantian, pejabat Kerajaan itu menatap batu itu dan wajah sahabatku yang tersenyum simpul di hadapannya.
"Sir, saya jadi penasaran. Tapi... ya... batu ini batu Mazarin yang asli. Kami berutang  budi kepada Anda, Mr. Holmes. Saya memang menganggap lelucon Anda kurang pantas, namun saya ingin menarik kembali ucapan saya tentang kemampuan Anda. Bagaimana..."

"Kasus ini baru terselesaikan setengahnya, perinciannya menyusul. Saya yakin, Lord Cantlemere, sukacita Anda ketika melaporkan keberhasilan ini kepada lingkungan Kerajaan, akan sedikit mengobati sakit hati yang ditimbulkan ulah saya. Billy, tolong antar  Yang Mulia  keluar, dan sampaikan kepada Mrs. Hudson agar dia menyiapkan makan malam untuk dua orang."


-=TAMAT=-

Thursday, 5 November 2015

The Mysterious Affair at Styles (Misteri di Styles) - Agatha Christie

Daftar Isi The Mysterious Affair at Styles (Misteri di Styles) - Agatha Christie 

BAB SATU
-
BAB DUA
-
BAB TIGA
-
BAB EMPAT
-
BAB LIMA
-
BAB ENAM
-
BAB TUJUH
-
BAB DELAPAN
-
BAB SEMBILAN
-
BAB SEPULUH
-
BAB SEBELAS
-
BAB DUA BELAS
-
BAB TIGA BELAS [END]

Wednesday, 4 November 2015

Agatha Christie - Misteri di Styles - BAB TIGA BELAS [END]

BAB TIGA BELAS
PENJELASAN POIROT



"Poirot! Dasar! Ingin rasanya aku mencekikmu. Kenapa pakai mencurangi teman segala?"
Kami duduk di ruang perpustakaan setelah melalui beberapa hari yang sibuk. Di ruang bawah John dan Mary telah bersatu kembali, sedang Alfred Inglethorp dan Nona Howard ditahan yang berwajib. Sekarang saya bisa bicara bebas dengan Poirot dan bertanya dengan bebas. Poirot tidak langsung menjawab. Tapi akhirnya dia berkata, "Aku tidak mencurangimu, mon ami. Aku hanya membiarkan dirimu tertipu oleh dirimu sendiri."
"Ya. Tapi mengapa?"
"Sulit dijelaskan. Karena kau adalah seorang yang jujur. Setiap perubahan akan terlihat di wajahmu—juga perubahan perasaanmu! Seandainya aku memberi tahu apa yang kupikirkan itu kepadamu, pasti Tuan Inglethorp yang licin itu bisa menebak dan menghindar. Jadi kita tak akan punya kesempatan untuk menangkap dia!"
"Rasanya kau pernah mengatakan bahwa aku cukup pintar berdiplomasi."
"Jangan marah, Kawan," kata Poirot menghibur. "Bantuan yang kau berikan sungguh luar biasa. Kesulitannya adalah bahwa kau punya sifat yang terlalu baik."
"Ya—" kata saya mulai lunak. "Setidak-tidaknya kau kan bisa memberi satu atau dua petunjuk."
"Lho, kan sudah. Beberapa, malah. Tapi kau tidak mau tahu. Coba pikir sekarang. Apa aku pernah mengatakan bahwa John Cavendish bersalah? Bukankah aku mengatakan bahwa pasti dia bebas?"
"Ya, tapi—"
"Dan bukankah setelah itu aku mengatakan bahwa sulit menjatuhkan tuduhan pada si pembunuh? Bukankah jelas bahwa aku berbicara tentang dua orang yang berbeda?"
"Tidak. Tidak cukup jelas bagiku!"
"Lalu, bukankah pada permulaan aku berulang kali mengatakan bahwa aku tidak ingin Tuan Inglethorp ditahan sekarang? Tentunya hal itu bisa menjadi petunjuk bagimu."
"Apa kau mencurigai dia sejak lama?"
"Ya. Yang pertama karena yang beruntung dengan kematian Nyonya Inglethorp adalah suaminya. Itu tak bisa disangkal lagi. Lalu ketika aku datang pertama kali ke Styles, memang aku belum punya gambaran bagaimana pembunuhan itu dilakukan, tapi ketika aku kenal Tuan Inglethorp, aku tahu bahwa akan sulit menemukan bukti untuk menghubungkan dia dengan pembunuhan tersebut. Kemudian aku tahu bahwa Nyonya Inglethorplah yang membakar surat wasiat itu. Jadi kau tak perlu mengeluh, Kawan, karena sebenarnya aku telah berusaha memberikan titik terang kepadamu."
"Ya, ya," kata saya tak sabar. "Teruskan."
"Nah. Keyakinanku bahwa Tuan Inglethorp bersalah menjadi guncang. Begitu banyak bukti yang menolak keyakinan itu sehingga aku memikirkan adanya kemungkinan lain."
"Kapan kau berubah pendapat?"
"Ketika aku menyadari bahwa bertambah besar usahaku untuk membersihkan dia, bertambah besar usahanya agar dirinya ditahan. Kemudian, ketika aku tahu bahwa dia tidak punya hubungan apa-apa dengan Nyonya Raikes, dan bahwa Johnlah yang sebenarnya berhubungan dengan Nyonya Raikes, maka aku menjadi yakin."
"Mengapa?"
"Sederhana saja. Seandainya Tuan Inglethorp memang punya hubungan gelap dengan Nyonya Raikes, sikap diamnya bisa dimengerti. Tetapi ternyata seluruh desa tahu bahwa Johnlah yang tertarik pada istri cantik petani itu. Jadi pasti ada sesuatu yang disembunyikan-nya dengan sikapnya tersebut. Tak ada gunanya berpura-pura bahwa dia takut akan skandal itu. Hal ini menyebabkan aku penasaran dan berpikir lebih jauh. Akhirnya aku menyimpulkan bahwa Alfred Inglethorp memang ingin agar ditahan. Eh bien. Sejak itu aku pun berhati-hati agar dia jangan sampai ditahan."
"Tunggu sebentar. Aku tidak mengerti mengapa dia ingin ditahan?"
"Karena, mon ami, hukum di negaramu mengatakan bahwa seseorang yang pernah dibebaskan dari penahanan tidak bisa lagi diajukan ke pengadilan untuk perkara yang sama. Aha! Tapi si Inglethorp itu memang lihai! Dia benar-benar punya cara. Dia tahu benar bahwa dia dicurigai. Jadi dia membuat banyak bukti agar dia ditahan. Tapi kalau sudah ditahan dia akan mengeluarkan senjata ampuhnya—alibi yang kuat dan—dia akan selamat!"
"Tapi aku masih tidak mengerti bagaimana mungkin dia bisa membuat alibi dan pergi
ke toko obat dalam waktu yang bersamaan."
Poirot memandangku dengan heran. "Bagaimana mungkin? Ah, kasihan kau. Belum tahu bahwa Nona Howard yang pergi ke toko obat itu?"
"Nona Howard?"
"Ya. Siapa lagi? Itu kan mudah. Tinggi badannya hampir sama, suaranya besar seperti laki-laki dan dia dengan Inglethorp masih sepupu. Ada persamaan cara mereka berjalan. Sederhana. Pasangan yang cerdik!"
"Tapi aku masih tidak mengerti dengan bromida itu."
"Bon! Aku akan merekonstruksinya. Aku rasa Nona Howardlah otak pembunuhan ini. Kau masih ingat bukan, dia pernah berkata bahwa ayahnya adalah seorang dokter? Barangkali dialah yang menyiapkan obat untuk pasien ayahnya. Atau barangkali dia mendapatkan ide itu dari salah satu buku Nona Cynthia yang tergeletak begitu saja ketika dia belajar untuk ujian. Pokoknya dia tahu bahwa dengan menambahkan bubuk bromida dalam larutan yang mengandung strychnine akan menyebabkan strychninenya mengendap. Barangkali ide itu tiba – tiba saja timbulnya. Nyonya Inglethorp punya sekotak bubuk bromida yang kadang – kadang  diminumnya pada malam hari. Tentunya sangat mudah untuk memasukkan sedikit bubuk bromida ke dalam botol obat Nyonya Inglethorp ketika baru datang dari Coot. Bahayanya tidak ada. Dan tragedi itu baru akan terjadi dua minggu kemudian. Kalau ada orang melihat salah seorang dari mereka memegang-megang botol itu,
maka dalam waktu dua minggu itu mereka akan melupakannya. Nona Howard akan memulai pertengkaran itu, lalu pergi dari Styles. Waktu kepergiannya akan cukup lama dan tidak akan menimbulkan kecurigaan. Memang ide yang amat bagus! Kalau mereka berhenti sampai di situ barangkali kasus itu tak akan pernah terbongkar. Tetapi mereka tidak cukup puas. Mereka menganggap dirinya hebat—jadi akibatnya begitu."
Poirot menghembuskan asap rokoknya yang kecil, Matanya tajam menatap langit - langit.
"Mereka ingin melemparkan kecurigaan pada John Cavendish dengan membeli strychnine dan menandatangani buku di toko obat itu. Pada hari Senin Nyonya Inglethorp akan meminum sisa obatnya yang terakhir. Karena itu, pada jam enam sore, Alfred Inglethorp berusaha agar dilihat sejumlah orang di tempat yang agak jauh dari desa. Nona Howard sebelumnya telah menyebarkan gosip tentang hubungan gelap antara Alfred dengan Nyonya Raikes, supaya Inglethorp punya alasan untuk bersikap diam. Pada jam enam, dengan menyamar sebagai Inglethorp, Nona Howard memasuki toko obat sambil mengobral cerita tentang anjing itu. Dia menuliskan nama Inglethorp dengan tulisan yang dimiripkan dengan tulisan John Cavendish—yang telah dia pelajari baik-baik sebelumnya."
"Tapi, rencana itu bisa gagal, apabila John juga punya alibi yang kuat. Jadi, dia menulis surat kaleng—dengan tulisan yang mirip tulisan John— dan menyuruh John datang ke tempat terpencil. Sejauh itu, rencananya berhasil. Nona Howard kembali ke Middlingham. Alfred Inglethorp kembali ke Styles. Tak ada yang akan bisa menuduhnya, karena Nona
Howard-lah yang membeli strychnine itu—lagi pula, itu semua dirancang agar kecurigaan dilimpahkan kepada John Cavendish."
"Tetapi Nyonya Inglethorp ternyata tidak minum obatnya pada malam itu. Kabel bel
yang putus, ketidakhadiran Cynthia di kamarnya pada hari Senin itu—semua diatur oleh Inglethorp. Tapi ternyata sia-sia. Lalu—dia membuat kekeliruan. Nyonya Inglethorp pergi makan siang. Dia duduk menulis apa yang telah terjadi, dia pikir mungkin Nona Howard gelisah karena rencana mereka tak berhasil. Barangkali Nyonya Inglethorp pulang lebih cepat dari yang diperkirakannya. Kemudian dia cepat-cepat menyembunyikan surat yang ditulisnya dan mengunci mejanya. Dia takut, kalau tetap berada di kamar itu, dia pasti akan membuka laci mejanya dan Nyonya Inglethorp akan melihatnya. Jadi dia ke luar dan berjalan-jalan di hutan, sambil merenung apakah Nyonya Inglethorp membuka mejanya atau tidak."
"Tapi, seperti kita ketahui, Nyonya Inglethorp ternyata menemukan surat itu dan mengetahui pengkhianatan suaminya dan Nona Howard. Sayangnya, kalimat yang menyebutkan tentang bromida itu tidak punya arti apa-apa baginya. Dia tahu bahwa dia dalam bahaya—tapi tidak tahu bentuk bahaya itu bagaimana. Dia memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa pada suaminya, tapi dia menulis surat pada pengacaranya agar datang keesokan paginya. Dia juga memusnahkan surat wasiat yang baru saja dibuatnya. Dia menyimpan surat suaminya."
"Jadi suaminya mencari surat itu dengan membuka paksa tas istrinya?"
"Ya. Dari besarnya bahaya yang mungkin dihadapinya, kita tahu bahwa dia sadar akan pentingnya surat itu. Kalau dia bisa menguasai surat itu, maka tak akan ada bukti yang
bisa menghubungkannya dengan pembunuhan itu."
"Ada yang tidak kumengerti. Mengapa dia tidak memusnahkannya setelah surat itu
ada di tangannya?"
"Karena dia tidak berani mengambil risiko yang lebih besar lagi—dengan menyimpan
surat tersebut."
"Aku tidak mengerti!"
"Begini. Aku telah memperhitungkan bahwa dia hanya punya waktu lima menit untuk
mencari surat itu—lima menit sebelum kedatangan kita ke kamar itu, karena sebelumnya Annie membersihkan tangga dan dia pasti melihat siapa pun yang pergi ke sayap kanan. Bayangkan saja! Dia masuk kamar, dengan memakai kunci yang lain—banyak kunci yang mirip satu sama lain—dan terburu-buru mencari tas istrinya. Ternyata tas itu dikunci dan dia tidak melihat kuncinya di sekitarnva. Ini merupakan hal yang menyulitkan karena kehadirannya di kamar itu pasti akan ketahuan. Tapi dia toh nekat juga, karena surat yang ada di tas itu sangat penting. Dengan cepat dia membuka paksa kunci tas itu dengan pisau lipat dan mengambil suratnya."
"Tapi sebuah kesulitan lain timbul. Dia tidak berani menyimpan surat itu. Barangkali
ada orang yang melihatnya keluar kamar—dan dia takut digeledah. Kalau surat itu ditemukan, dia tak akan bisa berkutik lagi. Barangkali pada detik itu juga dia mendengar Tuan Wells dan John keluar dari ruang kerja Nyonya Inglethorp. Dia harus bertindak cepat. Di mana dia bisa menyembunyikan surat keparat itu? Isi keranjang sampah tetap disimpan dan pasti akan diperiksa. Tak ada alat untuk memusnahkannya. Dia memandang berkeliling dan melihat—apa kira-kira, mon ami"
Saya menggelengkan kepala.
"Dia telah menyobek surat itu menjadi lembaran-lembaran panjang dan memasukkannya ke dalam salah satu vas di atas perapian."
Saya berseru kagum.
"Tak seorang pun akan berpikir untuk melihat-lihat isi vas itu," kata Poirot. "Dan pada
kesempatan yang lebih baik, dia akan bisa mengambil surat tersebut."
"Jadi benda itu selama ini ada di depan hidung kita?" seru saya.
Poirot mengangguk. "Ya, Kawan. Di situlah aku menemukan mata rantai terakhir itu dan aku sangat berterima kasih padamu."
"Padaku?"
"Ya. Kau ingat kan waktu mengatakan bahwa tanganku gemetar ketika membenahi benda-benda pajangan di atas perapian?"
"Ya, tapi aku tidak tahu—"
"Benar. Tapi aku tahu. Aku ingat bahwa pagi harinya, ketika kita di dalam kamar itu,
aku telah membenahi benda-benda di atas perapian. Dan kalau benda-benda itu sudah dibenahi, maka tidak perlu dibenahi lagi kecuali ada orang lain yang menyentuhnya."
"Ah, jadi karena itulah kau bertingkah aneh. Kau cepat-cepat ke Styles dan surat itu
ternyata masih ada di situ?"
"Ya. Aku berpacu dengan waktu."
"Tapi aku masih; belum mengerti mengapa Inglethorp setolol itu—membiarkan surat
tersebut tetap di situ walaupun dia punya kesempatan untuk memusnahkannya."
"Ah, dia nggak punya kesempatan. Aku telah mengaturnya."
"Kau?"
"Ya. Kau ingat waktu kau marah-marah karena aku berteriak-teriak? Kau mengatakan
tak perlu berbuat begitu karena semua orang akan tahu?"
"Ya."
"Nah, pada saat itu aku melihat hanya ada satu kesempatan. Aku belum yakin waktu
itu, apakah si pembunuh itu Inglethorp. Seandainya dia tidak memegang dokumen itu atau menyembunyikannya di suatu tempat, dengan berteriak begitu aku akan mendapat simpati setiap orang di rumah. Inglethorp telah dicurigai. Dengan membuka persoalan itu di muka umum, aku mendapat pelayanan sepuluh orang detektif amatir yang akan memperhatikan gerak-geriknya terus-menerus. Inglethorp sendiri yang merasa dicurigai pasti tidak akan berani bertindak gegabah. Karena itu, terpaksa dia meninggalkan rumah dan meninggalkan surat itu di dalam vas."
"Tapi tentunya Nona Howard punya kesempatan banyak untuk membantu dia."
"Ya, tapi dia kan tidak tahu apa-apa tentang surat itu. Dan sesuai dengan rencana mereka, dia tak akan bicara dengan Inglethorp. Mereka bersikap sebagai musuh. Sampai John Cavendish diputuskan bersalah, mereka tak akan berani bertemu. Tentu saja aku sudah menyuruh seseorang untuk selalu memata-matai Inglethorp. Aku berharap cepat atau lambat dia akan menunjukkan tempat dokumen itu disembunyikan. Tapi dia cukup cerdik dan bersikap baik-baik saja. Surat itu aman di tempatnya, karena tak ada orang yang berpikir untuk mencarinya pada minggu pertama. Mungkin dalam minggu berikut dan seterusnya pun akan demikian. Tapi karena kaulah, semuanya jadi terbongkar."
"Aku mengerti sekarang. Tapi kapan kau mulai mencurigai Nona Howard?"
"Ketika aku tahu bahwa dia berbohong tentang surat yang diterimanya dari Nyonya Inglethorp pada waktu pemeriksaan."
"Apa yang terjadi?"
"Kau melihat surat itu? Masih ingat rupa surat itu?"
"Ya—samar-samar."
"Kau masih ingat kan, bahwa tulisan Nyonya Inglethorp sangat jelas dengan jarak yang cukup lebar antara satu kata dengan kata lainnya? Tetapi kalau kau melihat tanggal di bagian atas surat, 17 Juli, ditulis amat berbeda. Kau mengerti maksudku?"
"Tidak," saya mengaku.
"Surat itu tidak ditulis pada tanggal 17 Juli tapi tanggal 7 Juli—sehari setelah kepergian Nona Howard. Tapi karena ada tambahan angka 1, maka tanggalnya menjadi 17."
"Mengapa dia menambahkannya?"
"Pertanyaan itulah yang ingin kuketahui jawabnya. Mengapa dia menyembunyikan surat yang ditulis pada tanggal 17 dan menggantinya dengan surat palsu? Karena dia tidak ingin menunjukkan surat yang bertanggal 17. Mengapa? Waktu itu juga aku langsung curiga. Kau pasti ingat kata-kataku agar kita hati-hati pada orang yang tidak mengatakan hal yang sebenarnya."
"Tapi setelah itu, kau meyakinkanku dengan dua alasan mengapa Nona Howard tidak
mungkin 'melakukan' kejahatan itu!" seruku.
"Aku punya alasan bagus," jawab Poirot. "Untuk saat yang cukup lama hal itu membuatku bingung sampai aku teringat bahwa dia dan Alfred adalah saudara sepupu. Dia tak akan bisa melaksanakan rencananya sendirian. Tapi alasan itu tidak membuatnya mundur. Lalu juga sikap bencinya yang berlebihan! Sikap yang demikian biasanya menyembunyikan perasaan yang sebaliknya. Pasti ada ikatan di antara mereka sebelum keduanya datang ke Styles. Mereka telah merencanakan semuanya—bahwa Alfred harus menikah dengan wanita tua yang kaya tetapi agak bodoh itu, dan berusaha agar dia meninggalkan semua hartanya untuknya. Seandainya mereka berhasil, mungkin mereka akan pergi meninggalkan Inggris. Dan hidup bersama dari uang si korban."
"Mereka adalah pasangan yang lihai dan bejat. Di satu pihak kecurigaan-kecurigaan dilemparkan pada Alfred. Di pihak lain Nona Howard membuat persiapan untuk tujuan yang berbeda. Dia datang dari Middlingham dengan meyakinkan. Tak ada kecurigaan padanya. Dia bebas melakukan apa saja di rumah itu. Dia bebas menyembunyikan botol strychnine di kamar John. Dia meletakkan jenggot di loteng. Dia mengatur sedemikian rupa sehingga cepat atau lambat benda itu akan ditemukan."
"Aku tak mengerti mengapa mereka mencoba melemparkan kecurigaan pada John. Seandainya Lawrence yang kena, rasanya akan lebih mudah."
"Ya. Itu hanya kebetulan saja. Semua bukti yang memberatkan dia juga merupakan kebetulan. Tentu sangat menjengkelkan keduanya,"
"Dan sikapnya juga tidak membantu," kata saya merenung.
"Ya. Kau pasti tahu apa yang menyebabkannya?"
"Tidak."
"Kau tidak tahu bahwa dia mengira Nona Cynthia yang bersalah?"
"Tidak," seru saya terkejut. "Tak mungkin!"
"Mungkin saja. Aku dulu juga hampir berpikir begitu. Aku sudah punya pikiran begitu ketika aku bertanya kepada Tuan Wellls tentang surat wasiat itu. Lalu ada bubuk bromida yang disiapkannya. Dan kebolehannya berakting sebagai laki-laki seperti diceritakan Dorcas. Sebenarnya banyak sekali bukti yang memberatkan dia."
"Jangan main-main, Poirot."
"Tidak. Aku serius. Kau tahu apa yang membuat Lawrence pucat ketika dia masuk ke
kamar ibunya pada malam yang naas itu? Karena ketika ibunya sedang tergeletak bergulat dengan maut, dia melihat bahwa pintu yang menghubungkan kamar ibunya dengan kamar Nona Cynthia tidak digerendel."
"Tapi dia mengatakan bahwa pintu itu digerendel!" seru saya.
"Tepat," kata Poirot. "Dan justru hal itulah yang membuatku bertambah yakin bahwa
pintu itu tidak digerendel. Dia ingin melindungi Nona Cynthia."
"Tapi kenapa dia melindunginya?"
"Karena dia jatuh cinta pada gadis itu."
Saya tertawa. "Nah, sekarang kau yang keliru! Kebetulan aku tahu dari sebuah fakta bahwa dia bukannya sedang jatuh cinta tapi sangat benci pada Cynthia."
"Siapa yang mengatakan hal itu, mon ami"
"Cynthia sendiri."
"La pauvrc pctitel Dan dia sedih?"
"Katanya dia tidak apa-apa."
"Kalau begitu dia pasti apa-apa," kata Poirot. "Memang wanita biasanya begitu!"
"Yang kaukatakan tentang Lawrence tadi membuatku heran."
"Mengapa? Itu kan kelihatan jelas. Bukankah dia selalu bermuka masam setiap kali Nona Cynthia tertawa dan bicara dengan kakaknya? Dia menyangka gadis itu jatuh cinta pada kakaknya. Ketika dia masuk kamar ibunya yang kena racun, dia mengira bahwa gadis itu terlibat di dalamnya. Dia jadi kacau. Lalu dia menghancurkan cangkir kopi itu karena dia ingat bahwa Cynthia pergi ke luar malam sebelumnya. Dia bermaksud melenyapkan semua bukti yang memberatkan Cynthia. Karena itulah dia mengemukakan pendapat tentang kematian yang wajar."
"Bagaimana dengan cangkir kopi ekstra itu?"
"Aku yakin bahwa Nyonya Cavendish-lah yang menyembunyikannya, tapi aku harus membuktikannya. Mula-mula Lawrence tidak tahu apa yang aku maksud, tetapi setelah berpikir, dia menarik kesimpulan bahwa kalau dia bisa menemukan cangkir ekstra itu, gadis yang dicintainya itu akan bebas dari tuduhan. Dan dia memang benar."
"Satu hal lagi. Apa yang dimaksud Nyonya Inglethorp dengan kata-kata terakhirnya?"
"Tentu saja tuduhan pada suaminya."
"Ah, rasanya kau telah menerangkan semuanya padaku. Aku senang karena semua berakhir dengan baik. John dan istrinya juga sudah berbaik kembali."
"Karena aku."
"Apa maksudmu?
"Apakah kau tidak mengerti bahwa penahanan John-lah yang menyebabkan mereka
berkumpul kembali? Bahwa John Cavendish masih cinta pada istrinya itu aku yakin. Juga bahwa istrinya mencintai dia. Tapi mereka bertambah lama bertambah jauh. Semuanya itu karena salah pengertian. Nyonya Cavendish memang dulu tidak cinta pada suaminya. Dan suaminya tahu. Dia adalah seorang laki-laki yang sensitif dan tidak mau memaksa kalau istrinya tidak mau. Tetapi ketika dia mundur, cinta istrinya tumbuh. Tapi keduanya adalah manusia angkuh dan keangkuhan mereka justru memisahkan mereka. John kemudian bermain-main dengan Nyonya Raikes. Dan istrinya dengan sadar memupuk persahabatan dengan Dokter Bauerstein. Kau masih ingat waktu aku ragu-ragu membuat keputusan?"
"Ya. Aku bisa mengerti kesulitanmu."
"Maaf, Kawan, aku rasa kau tak mengerti sama sekali. Aku berpikir apakah sebaiknya aku membebaskan John Cavendish dari tuduhan itu sama sekali. Aku bisa saja membebaskannya sekaligus saat itu, walaupun itu berarti kegagalan untuk menangkap si pembunuh. Mereka sama sekali tidak mengerti sikapku sampai saat terakhir."
"Maksudmu sebenarnya kau bisa membebaskan John Cavendish dari awal supaya tidak dibawa ke pangadilan?"
"Ya, betul. Tapi aku memutuskan dengan pertimbangan 'demi kebahagiaan seorang wanita'. Kesulitan dan bahaya yang mereka hadapi ituia yang akan membawa kedua orang
angkuh itu bersatu kembali."
Saya memandang Poirot dengan kagum. Benar-benar hebat orang ini. Tak seorang pun pernah berpikir bahwa suatu pengadilan pembunuhan bisa menjadi alat perukun kebahagiaan!
"Aku mengerti apa yang kaupikir, mon ami," katanya sambil tersenyum. "Tak seorang pun kecuali Hercule Poirot akan mencoba hal seperti itu! Sebenarnya memang itulah yang terpenting. Kebahagiaan seorang laki-laki dan seorang wanita. Kata-katanya membuat saya merenungkan beberapa hal yang telah lewat. Saya teringat pada Mary yang terbaring pucat di sofa, mendengar, dan mendengar. Lalu lonceng berbunyi di bawah. Dia terkejut. Poirot membuka pintu, dan sambil menatap matanya yang pedih dia berkata, "Ya, Nyonya, saya membawanya kembali pada Anda."
Poirot minggir dan saya ke luar. Tapi saya sempat melihat sinar cinta dalam mata Mary dan John Cavendish mendekap istrinya.
"Barangkali kau benar, Poirot," kata saya pelahan. "Memang itulah yang paling penting di dunia."
Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu dan Cynthia melongokkan kepalanya. "Saya—saya hanya—"
"Masuklah," sahut saya sambil berdiri. Dia masuk tapi tidak duduk.
"Saya—hanya ingin mengatakan—"
"Ya?"
Cynthia memain-mainkan benang di tarikannya. Kemudian dia berseru, "Kalian sangat baik!" Dan mencium saya, lalu Poirot. Lalu dia berlari ke luar.
"Apa maksudnya?" tanya saya, heran. Memang menyenangkan rasanya dicium Cynthia. Tapi kata – katanya tadi kok—
"Artinya dia tahu bahwa Lawrence ternyata tidak membencinya seperti yang dianggapnya," jawab Poirot.
"Tapi—"
"Ini dia."
Lawrence lewat di depan pintu. "Oh, Tuan Lawrence," panggil Poirot. "Kami harus memberi selamat pada Anda, bukan?"
Wajah Lawrence menjadi merah dan dia tersenyum kaku. Seorang laki-laki yang sedang jatuh cinta memang merupakan tontonan yang menimbulkan belas kasihan. Dan Cynthia memang menarik. Saya menarik napas panjang.
"Ada apa, mon ami"
"Nggak ada apa-apa," kata saya sedih. "Mereka berdua adalah wanita-wanita yang menyenangkan!"
"Tapi tak seorang pun untukmu?" kata Poirot.
"Tak apa. Sudahlah. Kita mungkin akan mendapat yang lain. Siapa tahu?"


-=THE END=-